LP Cholelitiasis
LP Cholelitiasis
TINJAUAN TEORI
I. KONSEP MEDIS
A. Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliarycalculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut
koledokolitiasis.
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung
empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu,
kalsium dan matriks inorganik.
Klasifikasi Cholelitiasis :
Menurut Lesmana L, 2012 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I gambaran
makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1. Batu kolesterol
- Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal
Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto rontgen
terlihat intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau
noduler. Batu ini tidak mengandung kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada
pemotretan sinar X biasa.
- Batu kolesterol campuran
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu
mengandung batu empedu kolesterol yang soliter dimana pada permukaannya
terdapat endapan pigmen kalsium.
- Batu kolesterol ganda
Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung
<20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat
adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya
disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi
saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari
bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya
batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu
dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu
yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu
pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam
kandung empedu dengan empedu yang steril.
3. Batu campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (± 80 %), dan terdiri atas
kolesterol, pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya
berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.Batu kolesterol
mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium
palmitit dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu
pigmen. Dapat berupa batu soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin atau
multifaset, bulat, berduri, da nada yang seperti buah murbei.
B. Anatomi Fisiologi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati
masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil
tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah
hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis.
Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus
koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus
membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua
saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung
empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang
dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus
hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu.
Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik
dalam kandung empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10
kali lipat daripada cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan
isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter
Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya
kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat
untuk menimbulkan kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan
batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul
sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan.
C. Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu.
Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya
tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol
bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.Etiologi batu empedu masih
belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko
dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan
sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan
batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa
berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat
badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah
lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam
empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik
meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya
meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai
faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung
empedu.
6. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam
bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol
meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus.
Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol
dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
11. Nutrisi Intravena Jangka Lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
D. Patofisiologi
Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya
merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang
merangkum tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait:
1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan
duktus hepatikus kanan dan kiri)
Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen
pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehinggakan
patofisiologi batu empedu turut terbagi atas:
1. Patofisiologi batu kolesterol
2. Patofisiologi batu berpigmen
1. Patofisiologi Batu Kolesterol
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama
yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan
a. Supersaturasi kolesterol empedu
b. Hipomotilitas kantung empedu
c. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
d. Hipersekresi mukus di kantung empedu
Supersaturasi Kolesterol Empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme
kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh
komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan
fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk
misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal.
Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,
kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid
seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan
dengan fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam
misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang
akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol
dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid
dwilapisan tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel
turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal
sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid
dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana
selebihnya berada dalam bentuk vesikel.
Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu
empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk
konformasi kristal.. Empedu yang tersupersaturasi dengan kolesterol akan berwujud lebih
dari satu fase yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan
cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang
menjadi batu empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk
vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga
membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan
fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses
nukleasi.
Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia
pada fase vesikel merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan
untuk membentuk batu empedu. Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor
paling utama yang menentukan litogenisitas empedu. Faktor-faktor yang mendukung
supersaturasi kolesterol empedu termasuk :
a. Hipersekresi kolesterol.
b. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.
c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid.
Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol
empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh :
a. Peningkatan uptake kolesterol hepatik
b. Peningkatan sintesis kolesterol
c. Penurunan sintesis garam empedu hepatik
d. Penurunan sintesis ester kolestril hepatik
Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas
koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding
kontrol. Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik
yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol
mengakibatkan konsentrasi kolesterol yang melampau tinggi dalam empedu hingga
terjadi supersaturasi kolesterol dan ini menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol sesuai
dengan gambaran pada diagram keseimbangan fase.
Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya
sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan
mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam
kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang
berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam
empedu di mana terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni:
a. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
b. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.
c. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan
masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang
berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu,
semakin besar kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi
sintesis asam empedu. Kombinasi dari kedua-dua hal ini akan menjurus kepada empedu
yang litogenik.
Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu
tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam
empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat
hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang
kecil dan cadangan asam deoksikolik yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat
hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan
mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik
merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu
kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut
menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan
aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.Sembilanpuluh lima persen dari pada
fosfolipid epedu terdiri atas lesitin.
Sebagai komponen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam
membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid
(disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk
lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa
muda.
Hipomotilitas Kantung Empedu
Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik yang
mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu secara berterusan dari
kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas
kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus menerusi duktus
empedu secara optimal dan ini menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol halus yang
cenderung bernukleasi dan berkembang menjadi batu empedu.
Perlambatan evakuasi kantung empedu membolehkan absorpsi air dari empedu
oleh dinding mukosa secara melampau hingga terjadi peningkatan konsentrasi empedu
dan ini mempergiat proses litogenesis empedu. Hipomotilitas kantung empedu dapat
terjadi akibat:
i. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon
seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen.
Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
ii. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu
empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung
empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot
polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G.
Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis,
penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu cenderung
bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan serta
sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar.
Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung
empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan
terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis
menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan
pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang
dan ini memudahkan kejadian supersaturasi.
Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary
sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN
untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan
berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau
pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol
monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis
proses yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier
akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga
dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.
Peningkatan Aktivitas Nukleasi Kolesterol
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses
nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal
kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu
supersaturasi.
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur
antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung
oleh empedu. Penelitian in vitro model empedu mendapatkan bahwa faktor pronukleasi
berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan
kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk
glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi
pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah
hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel
yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga
memacu proses nukleasi.
Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu
termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein
asam. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies
Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu.
Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium
inorganik maupun organik.2 Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin
A (IgA), apoA-I dan apoA –II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk
sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang
berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang
menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu
empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu
nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses
litogenesis empedu.
Hipersekresi Mukus Di Kantung Empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang
universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang
eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam
kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan
memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein
musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat
yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus
yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin
diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
2. Patofisiologi Batu Berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan
batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
Patofisiologi Batu Berpigmen Hitam
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat
(khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi
hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi
normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase endogenik
membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme
asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung empedu atau
menurunnya kapasitas “buffering” asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan
menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi
pada keadaan empedu dengan PH yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan
pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat.
Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan
pembentukan batu berpigmen hitam.
Patofisiologi Batu Berpigmen Coklat
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai
dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi
traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus
atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta
Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.
Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma
enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase, fosfolipase A dan hidrolase
asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:
a. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan
pembentukan bilirubin tak terkonjugat.
b. Fosfolipase a menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam
palmitik).
c. Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.
Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium
dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat terendap lalu berkristalisasi
sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis
empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan
glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang
menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik.
E. Pathway
2. Penatalaksanaan Medis
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris,
terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera
dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang
sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika
ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus
dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan
batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak
digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu rawat yang
singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari
prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi
lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva
pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi
yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak
jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau
cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan
jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan dengan
sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar kateter atau
perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari
serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu
resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi
(yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit
pasien yang mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para
penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru
atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan
lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu
oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa
penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke
dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan
prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda
dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke
dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter
ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga
mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama
kolesistektomi.
3. Rehabilitatif
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut
nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit,
dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi,
prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesic dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih.
Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien
mengalami kegemukan.Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu
radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam
kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada. Kemungkinan kombinasi asam
ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat
lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang
berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat
dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan
dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang
sama. Mekanisme kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan
sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat
dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12
bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau.
Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada
pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk
menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut
kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.
c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,
atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui
endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut
dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau
muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air
atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut
dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara
bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus
koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam
empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara
irigasi dan aspirasi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut b.d Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu
b. Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
c. Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
d. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
e. Kerusakan Integritas Kulit b.d Faktor mekanik
f. Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif
3. Prioritas Diagnosa
No Prioritas Diagnosa
1 Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung
Empedu.
2 Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
3 Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
4 Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
5 Kerusakan Integritas Kulit
6 Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif
DAFTAR PUSTAKA
Herdman, T.Heather. 2018. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Sanjaya, Arif. “Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu”
Smeltzer, Suzanne C. 2012. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC
Suratun dan Lusianah. 2019. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2016. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC
Djumhana, (2017). Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Mirizzi. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia
Tjokropawiro, (2015). Analisis Praktik. Juliana Br Sembiring, FIK UI, 2015
Harahap.(2016). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis Di Ruang
Rawat Inap Rsi Surakarta. Naskah Publikasi, 1-18