Anda di halaman 1dari 28

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PENYUSUNAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM


INTERNASIONAL SERTA NASIONAL DAN STUDI KASUS PENYUSUNAN UNITED
NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perjanjian Internasional

NADIAH SALSABILLA (1806139506)


RANDHIKA PRATAMA (1806219835)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
MARET 2021
I. PENDAHULUAN

Dalam perkembangan hukum internasional, perjanjian internasional memegang


kedudukan yang penting dalam banyak kegiatan hukum internasional. Perjanjian
Internasional merupakan kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional
mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan
hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.1
Mempertimbangkan keberadaan perjanjian internasional sebagai sumber hukum
internasional dan pentingnya perjanjian internasional dalam hubungan internasional, lahir
Konvensi Wina tahun 1969 atau Vienna Convention on The Law of Treaties (“VCLT
1969”) yang diselenggarakan di Vienna dan telah diratifikasi oleh 116 negara. Berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) huruf a VCLT, perjanjian adalah:2

“ 'treaty' means an international agreement concluded between States in written


form and governed by international law, whether embodied in a single instrument
or in two or more related instruments and whatever its particular designation.”

Ketentuan mengenai perjanjian internasional juga selanjutnya berkembang dengan


lahirnya Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International
Organizations or Between International Organizations (“VCLT 1986”). Selain ketentuan
yang tertera dalam VCLT 1969 maupun VCLT 1986, masing-masing negara juga pada
umumnya memiliki peraturan mengenai perjanjian internasionalnya masing-masing dalam
tingkat nasional. Dalam halnya pembuatan atau penyusunan perjanjian internasional
terdapat pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh negara maupun pihak-pihak pembuat
perjanjian internasional tersebut baik bersifat informal maupun formal yang sebagaimana
diatur dalam VCLT 1969 maupun hukum domestik masing-masing negara. Penyusunan
perjanjian internasional terdiri dari beberapa tahap, mulai dari tahap penjajakan,
perundingan, perumusan naskah perjanjian, penerimaan, hingga persetujuan untuk terikat
pada perjanjian.3 Paper ini dibuat untuk membahas mengenai bagaimana penyusunan

1
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I, (Bandung: Mandar Maju, 2018), hlm. 12.
2
United Nations, Vienna Convention on The Law of Treaties (“VCLT”), (1969), Ps. 2 ayat (1) huruf a.
3
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 44.
perjanjian internasional diatur baik dalam cakupan internasional maupun domestik. Selain
itu, paper ini juga akan membahas mengenai penerapan serta praktik penyusunan
perjanjian internasional yang juga diiringi dengan analisis penyusunan perjanjian
internasional salah satu konvensi internasional yaitu United Nations Convention Against
Corruption (“UNCAC”) untuk lebih mendalami pemahaman mengenai praktik penyusunan
perjanjian internasional itu sendiri.

II. PENYUSUNAN PERJANJIAN INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM


INTERNASIONAL

A. TAHAP PENYUSUNAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


Berdasarkan Pasal 6 VCLT 1969, dinyatakan bahwa: “every state possesses
capacity to conclude treaties”. Berdasarkan ketentuan ini bisa diketahui bahwa negara
sebagai subjek hukum internasional mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian, di
mana negara yang dimaksud dalam hal ini adalah negara yang berdaulat.4 Terdapat tahap-
tahap yang dilalui dalam penyusunan internasional, di antaranya:

1. Penjajakan (lobbying)

Pada umumnya pihak-pihak yang bermaksud untuk menyusun suatu perjanjian


internasional mengenai permasalahan tertentu akan melakukan pendekatan-pendekatan
atau negosiasi baik yang bersifat informal maupun formal dalam rangka mencapai
kesepakatan untuk menyusun suatu perjanjian internasional. Misalnya pendekatan antara
dua pejabat negara mengenai suatu permasalahan dalam bidang perdagangan, maka dua
pejabat melakukan pendekatan untuk membahas mengenai perjanjian kerjasama dalam
bidang perdagangan bilateral maupun multilateral. Selain itu, pendekatan juga bisa
dilakukan melalui pertemuan antara para diplomat atau pejabat negara baik secara bilateral
maupun selanjutnya diingkatkan dalam forum yang resmi, hingga melalui forum organisasi

4
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019),
hlm. 24.
internasional baik regional maupun global.5 Apabila sekiranya tahap penjajakan atau
lobbying menghasilkan suatu masalah maupun topik, maka masalah tersebut selanjutnya
akan dirundingkan secara resmi.

2. Perundingan (negotiation)

Dalam mengadakan perundingan dalam rangka merumuskan naskah perjanjian,


maka para pihak atau negara akan menunjuk wakil-wakilnya yang akan mengadakan
perundingan tersebut sebagai delegasi dari masing-masing pihak. Biasanya, wakil-wakil
tersebut terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, dan lainnya secara umum dipanggil
sebagai anggota. Namun, jumlah maupun susunan dalam hal ini tergantung sesuai dengan
kebutuhan. Penunjukan wakil-wakil ini merupakan kebijakan masing-masing negara yang
pada umumnya adalah warga negaranya sendiri. Setelah ditunjuk oleh pemerintah
negaranya masing-masing, wakil-wakil ini kemudian dilengkapi dengan kuasa penuh (full
powers) sebagai bukti bahwa orang atau individu yang bersangkutan secara sah mewakili
negaranya dalam suatu perundingan maupun konferensi.6 Berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
huruf c, kuasa penuh adalah:7

“full powers” means a document emanating from the competent authority


of a State designating a person or persons to represent the State for
negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty, for expressing
the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any
other act with respect to a treaty”

Selanjutnya, ketentuan mengenai kuasa penuh berkaitan dengan penyusunan perjanjian


internasional diatur dalam Pasal 7 VCLT 1969. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dari VCLT
1969 tertera bahwa mereka yang berhak untuk diberikan kewenangan penuh adalah yang
mewakili negaranya dalam melakukan tindakan-tindakan atas nama negaranya untuk
berunding, menerima, dan mengesahkan suatu perjanjian.8 Pada awal perkembangannya,

5
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I, hlm. 93.
6
Ibid., hlm. 93-95.
7
VCLT, Ps.. 2 ayat (1) huruf c.
8
Ibid., Ps. 7(1): “A person is considered as representing a State for the purpose of adopting or authenticating
the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent of the State to be bound by a treaty if:
permintaan adanya full powers selalu diminta terhadap perwakilan negara masing-masing
dan masih tetap diperlukan dalam pembuatan perjanjian formal. Namun dalam
perkembangannya seringkali perjanjian disusun tanpa adanya full power. Pada awalnya full
powers merupakan hak yang sangat penting karena wakil-wakil dari negara yang dikirim
seringkali mengalami kesulitan mengadakan komunikasi dengan raja maupun pemerintah
dari negara asalnya. Namun dengan berkembangnya teknologi komunikasi seringkali
wakil-wakil dari negara dapat mengadakan konsultasi dengan negaranya secara lebih
mudah melalui telepon, e-mail, dan lainnya.

Selain itu, seringkali negara mengabaikan persyaratan berkaitan dengan kuasa


penuh dalam penyusunan perjanjian bilateral dan perjanjian yang dianggap lebih
sederhana.9 Permasalahan terkait dengan full powers seringkali dianggap tidak terlalu
signifikan disebabkan oleh:10

a. Berakhirnya monarchi absolute (pada akhir abad ke-18) yang terdapat


kecenderungan mengadakan kontrol diplomatik terhadap politik luar negeri.
Perkembangan ini terutama dirasakan setelah terjadinya revolusi Amrika
dan revolusi Prancis di mana negara-negara mulai melakukan praktik
ratifikasi atas perjanjian yang dianggap penting untuk negaranya meskipun
delegasi atau perwakilan negaranya telah melaksanakan perundingan sesuai
dengan kewenangan yang telah diberikan,
b. Meningkatnya peran komunikasi elektronik yang memungkinkan untuk
memonitor apakah delegasi telah melaksanakan tugas atau kewenangannya
dengan baik,

(a) he produces appropriate full powers; or


(b) it appears from the practice of the States concerned or from other circumstances that their
intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to dispense
with full powers.”
9
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlm.
62-63.
10
L. M. Sinclair, The Vienna Convention on the Law of Treaties, (Manchester: Oceana Publications, 1973),
hlm. 28.
c. Adanya tendensi bahwa negara mengadakan perjanjian dengan cara
sederhana, termasuk tukar-menukar dokumen (exchange of note) yang tidak
memerlukan full powers.

Dalam perundingan berbentuk konferensi internasional yang dihadiri banyak perwakilan


negara-negara sebagai peserta (participants), maupun menjadi peninjau (observers), secara
teknis tidak mungkin untuk dilakukan pertukaran atau saling memperlihatkan kuasa penuh
masing-masing perwakilan. Berkaitan dengan hal tersebut maka biasa dibentuk suatu
komite yang disebut sebagai komite kuasa penuh (full powers committee) yang bertugas
untuk memeriksa dan menilai keabsahan kuasa penuh dari wakil-wakil berbagai negara.11
Selain full powers, delegasi atau perwakilan dari suatu negara juga dapat dilengkapi dengan
credential atau surat kepercayaan. Surat kepercayaan ini akan diberikan kepada Sekjen
PBB sebelum sidang umum akan dimulai.12 Hal ini dikarenakan untuk mengikuti sidang
Majelis Umum PBB tidak diperlukan full powers, mengingat resolusi yang dilahirkan dari
sidang umum tersebut tidak memerlukan tanda tangan dari negara-negara partisipannya.13
Selain itu, Pasal 7 ayat (2) VCLT 1969 juga memberikan perumusan tiga kategori
orang-orang yang menurut hukum internasional dikategorikan sebagai pejabat yang dapat
mewakili negaranya tanpa menunjukkan full powers, dan until itu maka wakil dari negara-
negara lain juga harus mengakui kualifikasi orang tersebut dan menghormatinya tanpa
meminta bukti. Adapun Pasal 7 ayat (2) VCLT 1969 menyebutkan kategori orang-orang
ini sebagai berikut:14

In virtue of their functions and without having to produce full powers, the following
are considered as representing their State:

11
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I, hlm.95.
12
United Nations, Rules of Procedure of the General Assembly, Ps. 27: “The credentials of representatives
and the names of members of a delegation shall be submitted to the Secretary-General if possible not less than one
week before the opening of the session. The credentials shall be issued either by the Head of the State or Government
or by the Minister for Foreign Affairs.”
13
BPHN, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian
Internasional, (1979-1980), hlm. 35.
14
VCLT, Ps. 7 ayat (2).
(a) Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the
purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty;
(b) heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a treaty
between the accrediting State and the State to which they are accredited;
(c) representatives accredited by States to an international conference or to an
international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text
of a treaty in that conference, organization or organ.

Bahwa berdasarkan pasal tersebut, pejabat-pejabat yang dianggap mewakili negaranya dan
tidak membutuhkan full powers adalah termasuk kategori Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, serta Menteri Luar Negeri. Menteri Luar Negeri merupakan pejabat atau
orang istimewa yang mewakili negaranya dalam hubungan luar negeri dan kedudukannya
sebagai pejabat yang dapat mengikatkan negaranya diakui oleh Mahkamah Internasional
Permanen atau Permanent Court of International Justice (biasa juga dikenal sebagai World
Court) dalam status Greenland Timur sehubungan dengan adanya IHLEN Declaration.15
Selain itu sebagaimana yang tertera pada Pasal 7 ayat (2) di huruf b, kepala
perwakilan atau diplomat yang mewakili negaranya juga berhak mewakili negaranya
dalam hubungan membuat perjanjian internasional, mengingat pula bahwa salah satu
fungsi dari diplomat termasuk untuk mengadakan perundingan dengan negara tuan
rumah.16 Perwakilan negara yang diakreditasikan organisasi internasional atau
pelengkapannya dengan fungsi menerima atau mengadopsi suatu teks perjanjian atas suatu
konferensi maupun organisasi internasional tersebut juga dianggap sebagai perwakilan dari
negara mereka masing-masing. Berdasarkan Pasal 8 VCLT 1969, dalam halnya perjanjian
internasional dibuat oleh orang-orang yang tidak termasuk pada kelompok orang yang
disebutkan dalam Pasal 7, maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum kecuali
kemudian disahkan oleh pejabat yang berwenang dari negaranya.17

15
PCIJ, “Legal Status of Eastern Greenland PCIJ”, Series A/B No. 53 (1933), hlm. 71.
16
United Nations, Vienna Convention on Diplomatic Relations, (1961), Ps. 3 ayat (1) huruf c.
17
VCLT, Ps. 8.
3. Perumusan Naskah
Dalam tahap perundingan biasanya telah terdapat draf yang diajukan oleh negara-
negara untuk didiskusikan. Berangkat dari diskusi yang dilakukan di tahap perundingan,
maka selanjutnya negara-negara sebagai pihak penyusun perjanjian internasional akan
merumuskan naskah perjanjian dengan mengajukan usul-usul, amandemen, hingga kontra
amandemen.18

4. Penerimaan dan Pengesahan Naskah


Setelah disusunnya draf perjanjian, maka penyusunan perjanjian internasional akan
dilanjutkan ke tahap penerimaan naskah. Dalam halnya perjanjian bilateral, penerimaan
naskah secara bulat oleh para pihak akan mudah untuk dicapai, begitu pula kondisinya pada
penyusunan perjanjian multilateral yang pihaknya cenderung terbatas atau tidak banyak.
Namun dalam halnya perjanjian internasional dengan jumlah pihak yang banyak,
keputusan dengan suara bulat akan lebih sulit untuk dicapai. Seringkali dalam praktiknya
juga dimungkinkan untuk para peserta konferensi untuk memutuskan jumlah pihak
pemungutan suara untuk penerimaan naskah.19
Ketentuan mengenai Penerimaan dan Pengesahan Naskah diatur dalam Pasal 9 dan
10 VCLT 1969. Perlu dipahami bahwa penerimaan naskah berbeda dengan pengesahan
teks. Untuk disahkannya suatu naskah, maka draf perjanjian harus diterima oleh para
peserta terlebih dahulu. Selanjutnya penerimaan naskah bisa dilakukan berdasarkan
prosedur yang disetujui oleh para pihak penyusun perjanjian internasional, atau bisa juga
dilakukan melalui pembubuhan paraf atau tanda tangan atas naskah resmi tersebut yang
telah diterima dan tidak akan diubah lagi.20 Kerap ditemukan pula praktik di mana tahap
penerimaan dan otentifikasi dijadikan satu. Perlu diingat bahwa tindakan otentifikasi atau
pengesahan merupakan suatu tindakan formal bahwa naskah telah diterima oleh para
peserta konferensi dan tidak akan dapat diubah lagi, namun adanya paraf dan tanda tangan

18
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 28.
19
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
(Bandung: Alumni, 2000), hlm. 107.
20
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: Tatanusa, 2008), hlm. 53.
sebagai tindakan pengesahan tersebut bukan berarti secara otomatis memberikan ikatan
hukum di masing-masing pihak.21

5. Persetujuan untuk Terikat Pada Perjanjian (Consent to be Bound by a Treaty)

Apabila suatu naskah perjanjian internasional telah diterima sebagai naskah yang otentik,
perjanjian tersebut belum mengikat para pihak dan memiliki ketentuan mengikat kecuali
dalam tingkat pengotentifikasian sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan utuk
terikat pada perjanjian atau digabungkan. Agar suatu perjanjian bisa teruikat, maka kita
akan mengahadapi ketentuan baik internasional maupun nasional.22 Ketentuan terkait
persetujuan untuk terikat pada perjanjian bisa ditemukan dalam Pasal 11-18, dengan Pasal
11 yang menyatakan bahwa pernyataan negara untuk terikat pada suatu perjanjian dapat
dinyatakan melalui penandatanganan, pertukaran instrumen yang melahirkan perjanjian,
ratifikasi, penerimaan (acceptance), persetujuan (approval), atau aksesi (accesion) atau
dengan cara lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.23

Pernyataan terikat pada suatu perjanjian internasional melalui penandatanganan


bisa dilakukan oleh para wakil-wakil yang memiliki wewenang untuk mengikatkan
negaranya berdasarkan tanda tangan, dan apabila perjanjian itu sendiri memutuskan bahwa
penandatanganan memiliki dampak atas berlakunya suatu perjanjian internasional.24
Dalam halnya pertukaran instrumen yang melahirkan perjanjian, instrumen tersebut harus
menetapkan dan mencamumkan pula bahwa pertukarannya memiliki akibat berlakunya
suatu perjanjian.25 Pada perjanjian tertentu untuk berlakuknya perjanjian terkadang tidak
hanya dibutuhkan penandatanganan, tetapi juga ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan.
Hal ini bisa diperlukan apabila perjanjian internasional tersebut menyatakan bahwa negara
peserta perjanjian itu terikat harus berdasarkan ratifikasi atau perwakilan negara yang
menandatangani menyatakan bahwa perjanjian tersebut mengisyaratkan perluya ratifikasi.

21
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 28-30.
22
Ibid., hlm. 30.
23
VCLT, Ps. 11: “The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange
of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so
agreed.”
24
VCLT, Ps. 12.
25
VCLT, Ps. 13.
Atas perjanjian yang diratifikasi, dapat dicantumkan ketentuan penutup perjanjian atas
penerimaan (acceptance) atau persetujuan (approval) terkait apa yang diratifikasi
tersebut.26

Selain cara-cara di atas, dapat dilakukan pula pernyataan terikat dengan aksesi
(accession). Aksesi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh suatu negara
yang bukan peserta asli atas suatu perjanjian multilateral untuk terikat pada perjanjian
internasional yang telah berlaku (entry into force). Aksesi ini diatur dalam Pasal 15 dan
hanya mungkin dilakukan untuk perjanjian yang sifatnya terbuka, yaitu perjanjian yang
memungkinkan negara yang tidak ikut membuat perjanjian internasional menjadi peserta
perjanjian.27

B. BERLAKUNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL (ENTRY INTO FORCE)

Suatu perjanjian internasional yang berlaku merupakan hukum positif yang akan
mengatur hak dan kewajiban negara peserta. Berlakunya perjanjian internasional diatur
dalam Pasal 24 VCLT 1969 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian berlaku pada tanggal
yang telah ditetapkan sebagaimana kesepakatan antara negara yang berunding.28 Adapun
ketentuan terkait hal tersebut biasanya dicantumkan di dalam perjanjian. Apabila tidak
dicantumkan maka para pihak bisa berunding dan mengadakan kesepakatan kapan
perjanjian itu mulai berlaku yang biasanya dalam memberlakukan suatu perjanjian negara
berusaha untuk memberikan cukup waktu untuk memikirkan kesiapan suatu negara untuk
ikut dalam suatu perjanjian internasional. Selain itu, dalam halnya suatu perjanjian tidak
menetapkan berlakunya, maka perjanjian itu akan dengan segera berlaku setelah ada
kesepakatan untuk terikat terhadap suatu perjanjian tersebut.29

Bahwa dimungkinkan pula untuk suatu perjanjian dilaksanakan da diberlakukan


unttuk sementara. Hal ini diatur di dalam Pasal 25 VCLT dan dapat dilakukan apabila para
pihak perjanjian setuju untuk melakukan hal tersebut, serta tertulis sebagaimana yang

26
VCLT, Ps. 14.
27
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 35.
28
VCLT, Ps. 24 ayat (1): “A treaty enters into force in such manner and upon such date as it may provide
or as the negotiating States may agree.”
29
Ibid., Ps. 24 ayat (2).
diatur dalam perjanjian.30 Biasanya pelaksanaan sementara dapat dilaksanakan apabila para
pihak memandang hal ini diperlukan sambil menunggu perjanjian internasional itu secara
definitif berlaku di negara masing-masingnya. Pelaksanaan perjanjian sementara bisa
diterapkan untuk seluruh perjanjian atau sebagian dari perjanjian dan tidak boleh
menganggu maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.31

III. PENYUSUNAN PERJANJIAN INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM


NASIONAL
Hukum Internasional, meskipun sudah mengatur berbagai aspek terkait
penyusunan perjanjian internasional, belum mengatur secara jelas mengenai kompetensi
dari organ negara untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan perjanjian
internasional, mulai dari permulaan negosiasi hingga persetujuan untuk mengikatkan diri.32
Pengaturan nasional dari suatu negara lah yang kemudian berperan mengisi kekurangan
tersebut. Di Indonesia sendiri, UUD 1945 telah menentukan bahwa pembuatan perjanjian
internasional merupakan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara.33 Namun, Undang-
Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU Perjanjian
Internasional”) mengelaborasi lebih lanjut dengan mengindikasikan bahwa pembuatan
perjanjian internasional, termasuk pengikatan diri terhadap perjanjian itu, dilakukan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.34 Terhadap hal ini, konsisten dengan UUD 1945,
seyogianya pengikatan diri terhadap suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Presiden
sebagai Kepala Negara.35
Selain mengatur terkait kewenangan, UU Perjanjian Internasional juga berperan
sebagai acuan utama bagi Indonesia dalam keseluruhan praktik perjanjian internasional.
Pembuatan Undang-Undang ini dilatarbelakangi pada fakta bahwa pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan subjek
hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting dan oleh

30
Ibid., Ps. 25.
31
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 53.
32
Committee of Legal Advisers on Public International Law, Expression of Consent by States to be Bound
by a Treaty: Analytical Report and Country Reports (Stratsbourg:CAHDI, 2001), hlm. 21.
33
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 11.
34
Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000,
TLN No. 4012, Ps. 3.
35
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 49.
sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan
dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-
undangan yang jelas pula.36 Beberapa bagian dari undang-undang ini yang terkait dengan
penyusunan perjanjian internasional, seperti Lembaga Pemrakarsa, Surat Kuasa atau Full
Powers, dan alur pembuatan perjanjian internasional yang akan dibahas dengan berikut.
Lembaga Pemrakarsa

Dalam UU Perjanjian Internasional dikenal Lembaga Pemrakarsa sebagai lembaga


yang berwenang untuk memprakarsai, mengkoordinasi pembuatan, serta menerapkan suatu
perjanjian internasional.37 Lembaga Pemrakarsa bukanlah suatu lembaga tunggal,
melainkan merupakan Lembaga Negara atau Lembaga pemerintah, baik departemen
maupun non-departemen, di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang mempunyai rencana
untuk membuat perjanjian internasional.38 Hal ini kemudian berarti bahwa yang dapat
menjadi Lembaga Pemrakarsa meliputi lembaga-lembaga baik lembaga negara seperti
BPK, DPR, KPK, atau lembaga pemerintah seperti Kementerian Keuangan dan
Kementerian Perikanan. Namun, mengingat adanya pengaturan bahwa yang dapat
melakukan perjanjian internasional adalah pemerintah dan kewenangan untuk
mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian internasional terdapat pada Presiden selaku
Kepala Negara, pembuatan perjanjian internasional bagi Lembaga Negara non-eksekutif
akan diwakili oleh pemerintah.

Terkait penentuan lembaga mana yang dapat menjadi lembaga pemrakarsa


pembuatan perjanjian internasional dengan muatan tertentu sebenarnya tidak diatur secara
baku. Namun, pada praktiknya penentuan lembaga mana yang menjadi lembaga
pemrakarsa perjanjian internasional tertentu menggunakan parameter tugas dan fungsi
pokok lembaga pemerintah.39 Sebagai contoh, dalam Perjanjian Pengakuan Sistem
Inspeksi dan Pengendalian Perikanan dan Hasil Perikanan yang dilakukan antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kanada, yang menjadi lembaga pemrakarsa

36
Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Internasional (“UU Perjanjian Internasional”), UU No. 24 Tahun
2000, Menimbang, butir d.
37
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 44.
38
UU Perjanjian Internasional, Ps. 5 ayat (1).
39
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 46.
adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan karena kesesuaian tugas dan fungsi pokok
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan materi dari perjanjian tersebut.40 Dalam
menjalankan tugasnya sebagai pemrakarsa, kementerian tersebut akan berfungsi sebagai
koordinator dalam persiapan, pembuatan, pemberlakuan, dan pelaksanaan perjanjian
internasional.41

Sebelum melaksanakan rencana pembuatan perjanjian internasional, sebagaimana


diamanatkan UU Perjanjian Internasional, Lembaga Pemrakarsa harus terlebih dahulu
berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri.42 Konsultasi dan koordinasi
ini umumnya dilakukan melalui rapat inter-kementerian atau komunikasi jarak jauh
melalui berbagai macam perantara. Dalam konsultasi dan koordinasi, fungsi dari
Kementerian Luar Negeri adalah untuk menjamin keamanan suatu perjanjian dari segi:43
a. Politis → enjamin agar suatu perjanjian tidak bertentangan dengan Politik
Luar Negeri dan kebijakan Hubungan Luar Negeri Pemerintah Pusat;
b. Keamanan → Menjamin agar suatu perjanjian tidak memiliki potensi
mengancam stabilitas dan keamanan dalam negeri;
c. Yuridis → menjamin agar suatu perjanjian dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis baik menurut hukum nasional maupun internasional;
d. Teknis → menjamin agar suatu perjanjian tidak bertentangan dengan
kebijakan teknis dari pemerintah.

Pedoman Delegasi

Dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik


Indonesia harus terlebih dahulu menetapkan posisinya melalui suatu pedoman delegasi.44

40
Perjanjian antara Indonesia dan Kanada mengenai Pengakuan Sistem Inspeksi dan Pengendalian Perikanan
dan Hasil Perikanan (Arrangement on the Mutual Recognition of Fish and Fishery Products Inspection and Control
Systems).
41
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 47.
42
UU Perjanjian Internasional, Ps. 5 ayat (1).
43
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 49.
44
UU Perjanjian Internasional, Ps. 5 ayat (2).
Pedoman delegasi perlu untuk terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Luar
Negeri dan memuat hal-hal seperti:45
● Latar belakang permasalahan;
● Analisis permasalahan, ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek
lain yang dapat memengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
● Posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk
mencapai kesepakatan.

Dalam praktiknya, mengingat tingginya kebutuhan pembuatan perjanjian internasional


secara cepat, instrumen Pedoman Delegasi seringkali tidak dibuat sebagaimana semestinya
dan hanya memuat elemen-elemen yang disyaratkan sebagai formalitas.46 Namun,
umumnya untuk perundingan-perundingan tertentu yang dianggap penting, seperti United
Nations Climate Change Conference 2019, Pedoman Delegasi dibuat secara
komprehensif.47

Surat Kuasa (Full Powers)


UU Perjanjian Internasional mengartikan Full Powers atau Surat Kuasa sebagai
surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu
atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani
atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri
pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan
perjanjian internasional.48 Konsep Full Powers yang terdapat dalam UU Perjanjian
Internasional merupakan suatu adopsi dari Full Powers dalam praktik internasional, namun
memiliki beberapa perbedaan dengan Full Powers sebagaimana diatur di VCLT 1969.
Beberapa perbedaan terkait Full Powers ini meliputi:
a. Dalam VCLT 1969, Full Powers mencakup kewenangan untuk berunding
dan otentifikasi naskah.49 Sementara, dalam UU Perjanjian Internasional

45
UU Perjanjian Internasional, Ps. 5 ayat (3).
46
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 50.
47
Pemerintah Republik Indonesia, “Pedoman Delegasi Republik Indonesia dalam Mengikuti United Nations
Climate Change Conference 2019” https://indonesiaunfccc.com/wp-content/uploads/2019/11/Draft-Pedoman-
DELRI-COP25-19-November-2019_ed_2.pdf, diakses 21 Maret 2021.
48
UU Perjanjian Internasional, Ps. 1 butir 3.
49
VCLT, Ps. 2 ayat (1) butir c.
kedua kewenangan ini terpisah. Surat Kuasa atau Full Powers memberikan
kewenangan untuk otentifikasi naskah, sementara kewenangan untuk
menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu perjanjian
internasional didapatkan dari Surat Kepercayaan atau Credentials.50
Pembedaan ini dilatarbelakangi oleh praktik Indonesia yang sudah secara
baku memisahkan penggunaan Surat Kuasa dan Surat Kepercayaan.51

b. Dalam VCLT 1969, Kepala Misi Diplomatik atau Duta Besar dianggap
sebagai pihak yang tidak memerlukan Full Powers untuk mewakili
negaranya.52 Sementara, UU Perjanjian Internasional tidak menempatkan
Duta Besar Indonesia di suatu negara/organisasi internasional dalam
kategori pihak yang tidak memerlukan Full Powers.
c. UU Perjanjian Internasional tidak mensyaratkan adanya Full Powers
apabila suatu perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut merupakan
kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku
dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara
atau lembaga pemerintah.

Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional

Pasal 6 ayat (1) UU Perjanjian Internasional telah menyusun tahap-tahap yang perlu
ditempuh untuk membuat perjanjian internasional dengan mengatur bahwa:53

“Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,


perundingan perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.”

Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa tahap-tahap yang dilalui Indonesia dalam
menyusun perjanjian internasional meliputi:

50
UU Perjanjian Internasional, Ps. 1 butir 4.
51
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 53.
52
VCLT 1969, Ps. 7 ayat (2) butir b.
53
UU Perjanjian Internasional, Ps. 6 ayat (1).
1. Penjajakan
Tahap Penjajakan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua belah
pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian
internasional.54 Pada praktiknya, tahap penjajakan dapat dilakukan atas inisiatif
dari lembaga pemrakarsa di Indonesia, atau dapat pula merupakan inisiatif dari
calon mitra.55 Apabila penjajakan diadakan atas inisiatif dari lembaga
pemrakarsa di Indonesia, lembaga pemrakarsa mengoordinasikan rapat
interdepartemen yang melibatkan Kemlu dan berbagai instansi terkait. Dalam
tahap ini akan terjadi proses tukar-menukar dokumen (draft/counterdraft)
antara para pihak, dan apabila belum tercapai kesepakatan atas materi perjanjian
internasional tersebut, kedua pihak akan melanjutkan pembahasan di tahap
perundingan.56

2. Perundingan
Tahap Perundingan merupakan tahap untuk membahas substansi dan masalah-
masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.57 Tahap ini
pada praktiknya diwujudkan melalui suatu pertemuan antara para pihak dan
bertujuan akhir untuk mencapai kesepakatan atas materi-materi yang belum
disetujui pada tahap penjajakan.58
3. Perumusan naskah
Tahap ini merupakan tahap di mana dilakukan perumusan rancangan suatu
perjanjian internasional.59 Rancangan naskah dalam tahap ini merupakan
naskah hasil kesepakatan dari para pihak di tahap perundingan. Di tahap ini juga
dilakukan pemarafan terhadap rumusan naskah yang telah disetujui.60 Apabila
perjanjian internasional yang dibuat merupakan perjanjian bilateral,

54
UU Perjanjian Internasional, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).
55
Indonesia, Menteri Luar Negeri, Peraturan Menteri Luar Negeri tentang Panduan Umum Tata Cara
Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Nomor PM 9 Tahun 2006, lampiran hlm. 50.
56
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 49.
57
UU Perjanjian Internasional, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).
58
Indonesia, Menteri Luar Negeri, Peraturan Menteri Luar Negeri tentang Panduan Umum Tata Cara
Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Nomor PM 9 Tahun 2006, lampiran hlm. 50
59
UU Perjanjian Internasional, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).
60
Indonesia, Menteri Luar Negeri, Peraturan Menteri Luar Negeri tentang Panduan Umum Tata Cara
Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Nomor PM 9 Tahun 2006, lampiran hlm. 51.
kesepakatan yang dicapai dan tindakan pemarafan ini sudah dapat disebut
sebagai penerimaan.
4. Penerimaan
Tahap ini merupakan tahap di mana naskah perjanjian yang telah dirumuskan
dan disepakati oleh para pihak diterima. Apabila perjanjian internasional
merupakan perjanjian bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan
dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan
inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi
masing-masing. Sementara, di perjanjian multilateral proses penerimaan
(acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara
pihak atas perubahan perjanjian internasional.61
5. Penandatanganan
Tahap ini merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk
melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak. Sementara untuk perjanjian multilateral, penandatangan
perjanjian internasional bukan mke serupakan pengikatan diri sebagai negara
pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui
pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).

IV. STUDI KASUS PENYUSUNAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST


CORRUPTION (“UNCAC”)
A. TRAVAUX PRÉPARATOIRES

Travaux preparatoires atau “preparatory works” merupakan suatu dokumentasi


atas terbentuknya perjanjian yang juga bisa membantu interpretasi atas perjanjian layaknya
legislative atau drafting history atas statuta atau instrumen hukum lainnya.62 Travaux
preparatoires secara sederhananya adalah kumpulan catatan negosiasi hingga kesimpulan

61
UU Perjanjian Internasional, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).
62
Marylin Raisch, “Travaux preparatoires and United Nations or Conventions: Using the Web Wisely” 30
Int’l J. Legal Info (2002), hlm. 325.
dari perjanjian.63 Selain bisa digunakan untuk mengetahui proses dari penyusunan
perjanjian internasional, travaux preparatoires juga bisa digunakan sebagai sumber dari
melakukan suatu interpretasi atas perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 32
VCLT 1969.64 Adapun dalam paper ini, travaux preparatoires akan digunakan sebagai
sumber untuk mengetahui penyusunan perjanjian internasional, di mana dalam hal ini
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang akan dijelaskan di bagian
selanjutnya.

B. PROSES PENYUSUNAN UNCAC


1. Penjajakan

Tahap Penjajakan dari UNCAC dimulai dari Resolusi 55/61 Majelis


Umum PBB yang menyatakan bahwa perlu dibuat suatu instrumen hukum
internasional yang berfungsi untuk memberantas korupsi, yang terpisah dari
United Nations Convention against Transnational Organized Crime.
Melalui resolusi ini, Majelis Umum PBB meminta Sekretaris Jenderal PBB
untuk mempersiapkan sejumlah hal, yang meliputi:65

- Menyusun laporan yang kandungannya berupa analisa


mengenai hal-hal yang relevan dengan rencana instrumen
pemberantasan korupsi ini;
- Membentuk sebuah kelompok ahli terbuka antarpemerintah
yang bertugas untuk menyiapkan sebuah draft terms of
reference untuk keperluan negosiasi instrumen
pemberantasan korupsi ini;

63
Sir Robert Jennings and Sir Arthur Watts, Oppenheim’s Internasional Law (Essex: Longman, 1993), hlm.
1277.
64
VCLT, Ps. 32: “Recourse may be had to supplementary means of interpretation, including the preparatory
work of the treaty and the circumstances of its conclusion, in order to confirm the meaning resulting from the
application of article 31, or to determine the meaning when the interpretation according to article 31:(a) leaves the
meaning ambiguous or obscure; or (b) leads to a result which is manifestly absurd or unreasonable.”
65
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 55/61 (2001), 22 Januari 2001.
- Membentuk sebuah panitia ad hoc untuk pelaksanaan tahap
negosiasi yang pekerjaannya akan dimulai segera setelah
draft terms of reference yang sebelumnya disebutkan telah
diadopsi.

Laporan yang disusun oleh Sekretaris Jenderal PBB ini kemudian


dibahas dalam sesi ke-10 the Commission on Crime Prevention and
Criminal Justice, yang diisi dengan diskusi tematik terkait perkembangan
pemberantasan korupsi global. Dalam sesi ini, mayoritas negara anggota
mendukung seruan Majelis Umum PBB untuk membentuk suatu instrumen
hukum internasional untuk pemberantasan korupsi. Terdapat beberapa
saran yang dikemukakan delegasi-delegasi yang hadir dalam sesi ini, salah
satunya adalah agar instrumen ini dibuat dalam bentuk konvensi.

Majelis Umum PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 55/188 yang


menyatakan ulang permintaannya di Resolusi 55/61 untuk membentuk
kelompok ahli terbuka antarpemerintah, dan meminta Sekretaris Jenderal
PBB untuk menyiapkan laporan analisis mengenai perkembangan
implementasi Resolusi 55/61.66 Kandungan dari laporan ini mencerminkan
tanggapan-tanggapan yang diberikan negara-negara dan badan-badan
terkait dari PBB terkait implementasi instrumen hukum ini.67

Kemudian, dari tanggal 30 Juli hingga 3 Agustus 2001 dilaksanakan


pertemuan kelompok ahli terbuka antarpemerintah, sebagaimana
diamanatkan Resolusi 55/61, untuk membahas mengenai draft terms of
reference di Vienna. Dalam pertemuan ini terdapat berbagai konsensus
mengenai beberapa hal dalam perjanjian ini, salah satunya adalah mengenai
judul perjanjian “United Nations Convention against Corruption.”68

66
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 55/188 (2001), 25 Januari 2001.
67
United Nations Office on Drugs and Crime, Travaux Préparatoires of the Negotiations for the Elaboration
of the United Nations Convention Against Corruption (New York: United Nations, 2010), hlm. xxxv.
68
Ibid, hlm. xxxviii.
Setelah draft terms of reference selesai dibuat, diadakan Informal
Preparatory Meeting of the Ad Hoc Committee for the Negotiation of a
Convention against Corruption di Buenos Aires, dari tanggal 4 hingga 7
Desember 2001 yang bertujuan menciptakan konsolidasi proposal-proposal
untuk naskah draf konvensi. Dalam pertemuan ini kemudian dilakukan
tinjauan ulang terhadap naskah hasil konsolidasi yang dibuat oleh
Sekretariat Jenderal dengan tujuan meminimalisir adanya duplikasi materi
dan mencari tahu lebih lanjut kompatibilitas antar proposal-proposal.69

Penjajakan UNCAC mencapai puncaknya dengan dibuatnya


Resolusi 56/260. Melalui resolusi ini, Majelis Umum PBB memutuskan
bahwa panitia ad hoc untuk the Negotiation of a Convention against
Corruption harus menegosiasikan pembuatan UNCAC. Majelis Umum
PBB juga memutuskan bahwa panitia ad hoc akan bersidang di Vienna pada
tahun 2002 dan 2003, dan akan mengadakan tidak lebih dari 3 sesi yang
masing-masing berdurasi dua minggu per tahunnya, dan meminta agar
pekerjaan panitia ini selesai sebelum akhir tahun 2003.70

2. Perundingan dan Perumusan Naskah

Tahap Perundingan dalam perancangan UNCAC dilaksanakan


melalui sesi-sesi pertemuan the Ad Hoc Committee for the Negotiation of a
Convention against Corruption. Pertemuan-pertemuan ini diadakan di
Vienna dan terdiri dari 7 sesi:71

1. Sesi pertama dilaksanakan dari 21 Januari hingga 1 Februari 2002;


2. Sesi kedua dilaksanakan dari 17 hingga 18 Juni 2002;
3. Sesi ketiga dilaksanakan dari 30 September hingga 11 Oktober
2002;
4. Sesi keempat dilaksanakan dari 13 hingga 24 Januari 2003;

69
Ibid, hlm. xl.
70
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 56/260 (2002), 9 April 2002, para. 2-6.
71
Travaux Préparatoires UNCAC, hlm. xlii.
5. Sesi kelima dilaksanakan dari 10 hingga 21 Maret 2003;
6. Sesi keenam dilaksanakan dari 21 Juli hingga 8 Agustus 2003;
7. Sesi ketujuh dilaksanakan dari 29 September hingga 1 Oktober
2003.

Dalam pertemuan-pertemuan ini, draf hasil konsolidasi yang sebelumnya


telah disusun oleh Sekretariat Jenderal dibahas oleh negara-negara anggota
dan disepakati perumusannya.

Untuk dapat memahami lebih lanjut mengenai proses ini, kita dapat
melihat contoh proses negosiasi dan perumusan terhadap Pasal 5 konvensi
ini tentang Preventive Anti-Corruption Policy and Practices. Berikut ini
adalah bunyi Pasal 5 pada awal sesi pertama pertemuan panitia ad hoc:

Article 5
National integrity strategy and policies

1. Each State Party shall develop a national anti-corruption strategy


to ensure that the necessary measures are nationally coordinated,
in both planning and implementation.

2. States Parties shall endeavour to evaluate periodically existing


relevant legal instruments and administrative practices with a view
to detecting their vulnerability to corruption and criminal acts
related specifically to corruption.

3. States Parties shall endeavour to develop and evaluate national


projects and to establish and promote best practices and policies
aimed at the prevention of corruption and criminal acts related
specifically to corruption.

6. States Parties shall, as appropriate, collaborate with each other


and relevant international and regional organizations in promoting
and developing the measures referred to in this article. This shall
include participation in international projects aimed at the
prevention of corruption and criminal acts related specifically to
corruption.”

Kemudian, ini adalah bunyi Pasal 5 pada akhir sesi pertama pertemuan
panitia ad hoc:

Article 4 bis

Each State Party agrees, to the extent appropriate and consistent


with its legal system, to consider to implement those preventive
measures set out in this Convention by legislative, administrative
or other appropriate measures

Article 5

[National]3 preventive anti-corruption policies

1. Each State Party shall, in a manner consistent with the


fundamental principles of its legal system, develop a national anti-
corruption policy that [includes the participation of civil society
and] reflects the principles of rule of law, good governance,
integrity, transparency and accountability.

2. Each State Party shall ensure that the necessary measures are
nationally coordinated, in both planning and implementation.

3. Each State Party shall endeavour to evaluate periodically existing


relevant legal instruments and public practices with a view to
detecting their vulnerability to corruption and criminal acts related
specifically to corruption.
4. Each State Party shall endeavour to develop and evaluate
national projects and to establish and promote best practices and
policies aimed at the prevention of corruption and criminal acts
related specifically to corruption.

5. Each State Party shall inform the Secretary-General of the


United Nations of the name and address of the authority or
authorities that can assist other States Parties in developing and
implementing a national integrity policy. Such information shall
contain the name and address of bodies referred to in article [...]
[Anti-corruption bodies] of this Convention.

6. States Parties shall, as appropriate, collaborate with each other


and relevant international and regional organizations in promoting
and developing the measures referred to in this article. This shall
include participation in international projects aimed at the
prevention of corruption and criminal acts related specifically to
corruption.

Dalam rumusan Pasal 5 di akhir pertemuan ini dapat terlihat bahwa terdapat
beberapa rumusan. Perbedaan rumusan Pasal 5 di awal dan di akhir sesi
menggambarkan berjalannya dinamika negosiasi dalam pertemuan ini.
Perubahan-perubahan ini dilatarbelakangi adanya pengajuan rumusan dari
delegasi-delegasi negara anggota yang merepresentasikan kepentingan
nasional negaranya masing-masing. Beberapa pengajuan yang terdapat
dalam pasal ini meliputi pengajuan dibuatnya Pasal 4 bis oleh Republik
Rakyat Cina, dan penambahan rumusan “reflects the principles of rule of
law, good governance, integrity, transparency and accountability” dalam
ayat (1) pasal 5 oleh Spanyol yang mewakili segenap anggota-anggota Uni-
Eropa.72

72
Travaux Préparatoires UNCAC, hlm. 72.
Di akhir sesi keenam, rumusan Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Article 5
Preventive anti-corruption policies and practices

1. Each State Party shall, in accordance with the fundamental


principles of its legal system, develop and implement or maintain
effective, coordinated anti-corruption policies that promote the
participation of society and reflect the principles of the rule of law,
proper management of public affairs and public property, integrity,
transparency and accountability.

2. Each State Party shall endeavour to establish and promote


effective practices aimed at the prevention of corruption.

3. Each State Party shall endeavour to periodically evaluate


relevant legal instruments and administrative measures with a view
to determining their adequacy to prevent and fight corruption.

4. States Parties shall, as appropriate and in accordance with the


fundamental principles of their legal system, collaborate with each
other and with relevant international and regional organizations in
promoting and developing the measures referred to in this article.
That collaboration may include participation in international
programmes and projects aimed at the prevention of corruption.

Berdasarkan catatan yang dibuat oleh Sekretariat, pada sesi keenam panitia
ad hoc menyetujui rumusan pasal ini. Kemudian, pada sesi ketujuh para
pihak telah menyatakan telah menimbang, memfinalisasi, dan menyetujui
Pasal 5 yang diajukan ke Majelis Umum untuk pengadopsian pada sesi ke-
58, sebagaimana tertera dalam Resolusi 56/260 Majelis Umum PBB.73

73
Travaux Préparatoires UNCAC, hlm. 75.
3. Penerimaan dan Penandatanganan

Setelah pembahasannya disetujui secara keseluruhan oleh panitia ad hoc,


UNCAC diadopsi oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi 58/4 pada
tanggal 31 Oktober 2003. Melalui resolusi ini, UNCAC menjadi open for
signature di Konferensi Penandatanganan Politik Tingkat Tinggi yang akan
diadakan di Mexico dari tanggal 9 hingga 11 Desember 2003.74 Indonesia
turut menandatangani konvensi ini di Mexico pada Desember 2003
sehingga telah menjadi pihak dari konvensi ini,75 dan meratifikasinya pada
tahun 2006.76

4. Persetujuan untuk Terikat dan Berlakunya Perjanjian

Consent to be bound by a treaty dalam perjanjian ini bisa dilihat di Pasal 67


yang menyatakan bahwa konvensi ini dapat ditandatangani oleh negara-
negara maupun organisasi internasional regional mulai dari tanggal 9-11
December 2003 sebagaimana yang tertera di atas. Selain itu, tertera juga
bahwa konvcnsi ini harus dilakukan ratifikasi, penerimaan (acceptance),
persetujuan (approval), serta dapat dilakukan aksesi terhadapnya.77
Berlakunya perjanjian ini diatur dalam pasal selanjutnya yang menyatakan
bahwa UNCAC berlaku mulai dari hari kesembilan puluh setelah
dilakukannya 30 ratifikasi, penerimaan, baik persetujuan yang dilakukan
oleh negara-negara.78

74
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 58/4 (2003), 31 Oktober 2003, para. 2.
75
Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, “United Nations Convention against Corruption (UNCAC)”
https://aclc.kpk.go.id/materi/pengetahuan-keterampilan-antikorupsi/united-nations-convention-against-corruption-
uncac, diakses 23 Maret 2021.
76
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003,
UU No. 7 Tahun 2006, Ps. 1 ayat (1).
77
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention Against Corruption (“UNCAC”), UNTS 2349 (2005), Ps. 67.
78
UNCAC, Ps. 68.
V. KESIMPULAN

Bahwa penyusunan perjanjian internasional terdiri dari beberapa tahap meliputi


penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan pengesahan perjanjian, serta
persetujuan untuk terikat terhadap perjanjian. Selain itu terdapat pula entry into force atau
berlakunya perjanjian yang juga memiliki keterikatan dengan penyusunan dan keberlakuan
perjanjian internasional. Ketentuan mengenai penyusunan perjanjian internasional bisa
ditemukan di VCLT 1969 dalam cakupan internasional, dan di UU No. 24 Tahun 2000 atau
UU Perjanjian Internasional.

Dalam studi kasus paper ini terhadap UNCAC, dapat ditemukan proses
penyusunan perjanjian internasional yang bisa dilihat di travaux preparatoires mulai dari
tahap penjajakan serta instrumen-instrumen terkait korupsi sebelum disusunnya UNCAC,
perundingan para negara-negara terkait klausul-klausul yang terdapat di dalam konvensi
tersebut, hingga keterikatan negara terhadap konvensi dan berlakunya konvensi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Parthiana, I Wayan. Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I. Bandung: Mandar Maju, 2018.
Agusman, Damos Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia.
Bandung: Refika Aditama, 2017.
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika,
2019)
Aust, Anthony. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.
Sinclair, Ian M. The Vienna Convention on the Law of Treaties. Manchester: Oceana Publications,
1973.
Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global. Bandung: Alumni, 2000.
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Tatanusa, 2008.

JURNAL DAN LAPORAN

PCIJ. “Legal Status of Eastern Greenland PCIJ.” Series A/B No. 53 (1933). Hlm. 71.

Committee of Legal Advisers on Public International Law. Expression of Consent by States to be


Bound by a Treaty: Analytical Report and Country Reports. Stratsbourg: CAHDI, 2001.
Hlm. 21.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.


Indonesia. Undang-Undang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No. 185
Tahun 2000, TLN No. 4012.
Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Corruption, 2003, UU No. 7 Tahun 2006.
Indonesia, Menteri Luar Negeri. Peraturan Menteri Luar Negeri tentang Panduan Umum Tata
Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah. Nomor PM 9
Tahun 2006.
BPHN. Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi
Perjanjian Internasional (1979-1980).

KONVENSI

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Vienna Convention on The Law of Treaties. UNTS 1151 (1969).

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Vienna Convention on Diplomatic Relations. 1961.

DOKUMEN INTERNASIONAL

Perjanjian antara Indonesia dan Kanada mengenai Pengakuan Sistem Inspeksi dan Pengendalian
Perikanan dan Hasil Perikanan (Arrangement on the Mutual Recognition of Fish and
Fishery Products Inspection and Control Systems).
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi 55/61 (2001). 22 Januari 2001.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi 55/188 (2001). 25 Januari 2001.
United Nations Office on Drugs and Crime. Travaux Préparatoires of the Negotiations for the
Elaboration of the United Nations Convention Against Corruption. New York: United
Nations, 2010.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi 56/260 (2002). 9 April 2002.

INTERNET

Pemerintah Republik Indonesia. “Pedoman Delegasi Republik Indonesia dalam Mengikuti United
Nations Climate Change Conference 2019” https://indonesiaunfccc.com/wp-
content/uploads/2019/11/Draft-Pedoman-DELRI-COP25-19-November-2019_ed_2.pdf.
Diakses 21 Maret 2021.
Pusat Edukasi Antikorupsi KPK. “United Nations Convention against Corruption (UNCAC)”
https://aclc.kpk.go.id/materi/pengetahuan-keterampilan-antikorupsi/united-nations-
convention-against-corruption-uncac. Diakses 23 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai