FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
MARET 2021
I. PENDAHULUAN
1
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I, (Bandung: Mandar Maju, 2018), hlm. 12.
2
United Nations, Vienna Convention on The Law of Treaties (“VCLT”), (1969), Ps. 2 ayat (1) huruf a.
3
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 44.
perjanjian internasional diatur baik dalam cakupan internasional maupun domestik. Selain
itu, paper ini juga akan membahas mengenai penerapan serta praktik penyusunan
perjanjian internasional yang juga diiringi dengan analisis penyusunan perjanjian
internasional salah satu konvensi internasional yaitu United Nations Convention Against
Corruption (“UNCAC”) untuk lebih mendalami pemahaman mengenai praktik penyusunan
perjanjian internasional itu sendiri.
1. Penjajakan (lobbying)
4
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019),
hlm. 24.
internasional baik regional maupun global.5 Apabila sekiranya tahap penjajakan atau
lobbying menghasilkan suatu masalah maupun topik, maka masalah tersebut selanjutnya
akan dirundingkan secara resmi.
2. Perundingan (negotiation)
5
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I, hlm. 93.
6
Ibid., hlm. 93-95.
7
VCLT, Ps.. 2 ayat (1) huruf c.
8
Ibid., Ps. 7(1): “A person is considered as representing a State for the purpose of adopting or authenticating
the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent of the State to be bound by a treaty if:
permintaan adanya full powers selalu diminta terhadap perwakilan negara masing-masing
dan masih tetap diperlukan dalam pembuatan perjanjian formal. Namun dalam
perkembangannya seringkali perjanjian disusun tanpa adanya full power. Pada awalnya full
powers merupakan hak yang sangat penting karena wakil-wakil dari negara yang dikirim
seringkali mengalami kesulitan mengadakan komunikasi dengan raja maupun pemerintah
dari negara asalnya. Namun dengan berkembangnya teknologi komunikasi seringkali
wakil-wakil dari negara dapat mengadakan konsultasi dengan negaranya secara lebih
mudah melalui telepon, e-mail, dan lainnya.
In virtue of their functions and without having to produce full powers, the following
are considered as representing their State:
11
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I, hlm.95.
12
United Nations, Rules of Procedure of the General Assembly, Ps. 27: “The credentials of representatives
and the names of members of a delegation shall be submitted to the Secretary-General if possible not less than one
week before the opening of the session. The credentials shall be issued either by the Head of the State or Government
or by the Minister for Foreign Affairs.”
13
BPHN, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian
Internasional, (1979-1980), hlm. 35.
14
VCLT, Ps. 7 ayat (2).
(a) Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the
purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty;
(b) heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a treaty
between the accrediting State and the State to which they are accredited;
(c) representatives accredited by States to an international conference or to an
international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text
of a treaty in that conference, organization or organ.
Bahwa berdasarkan pasal tersebut, pejabat-pejabat yang dianggap mewakili negaranya dan
tidak membutuhkan full powers adalah termasuk kategori Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, serta Menteri Luar Negeri. Menteri Luar Negeri merupakan pejabat atau
orang istimewa yang mewakili negaranya dalam hubungan luar negeri dan kedudukannya
sebagai pejabat yang dapat mengikatkan negaranya diakui oleh Mahkamah Internasional
Permanen atau Permanent Court of International Justice (biasa juga dikenal sebagai World
Court) dalam status Greenland Timur sehubungan dengan adanya IHLEN Declaration.15
Selain itu sebagaimana yang tertera pada Pasal 7 ayat (2) di huruf b, kepala
perwakilan atau diplomat yang mewakili negaranya juga berhak mewakili negaranya
dalam hubungan membuat perjanjian internasional, mengingat pula bahwa salah satu
fungsi dari diplomat termasuk untuk mengadakan perundingan dengan negara tuan
rumah.16 Perwakilan negara yang diakreditasikan organisasi internasional atau
pelengkapannya dengan fungsi menerima atau mengadopsi suatu teks perjanjian atas suatu
konferensi maupun organisasi internasional tersebut juga dianggap sebagai perwakilan dari
negara mereka masing-masing. Berdasarkan Pasal 8 VCLT 1969, dalam halnya perjanjian
internasional dibuat oleh orang-orang yang tidak termasuk pada kelompok orang yang
disebutkan dalam Pasal 7, maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum kecuali
kemudian disahkan oleh pejabat yang berwenang dari negaranya.17
15
PCIJ, “Legal Status of Eastern Greenland PCIJ”, Series A/B No. 53 (1933), hlm. 71.
16
United Nations, Vienna Convention on Diplomatic Relations, (1961), Ps. 3 ayat (1) huruf c.
17
VCLT, Ps. 8.
3. Perumusan Naskah
Dalam tahap perundingan biasanya telah terdapat draf yang diajukan oleh negara-
negara untuk didiskusikan. Berangkat dari diskusi yang dilakukan di tahap perundingan,
maka selanjutnya negara-negara sebagai pihak penyusun perjanjian internasional akan
merumuskan naskah perjanjian dengan mengajukan usul-usul, amandemen, hingga kontra
amandemen.18
18
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 28.
19
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
(Bandung: Alumni, 2000), hlm. 107.
20
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: Tatanusa, 2008), hlm. 53.
sebagai tindakan pengesahan tersebut bukan berarti secara otomatis memberikan ikatan
hukum di masing-masing pihak.21
Apabila suatu naskah perjanjian internasional telah diterima sebagai naskah yang otentik,
perjanjian tersebut belum mengikat para pihak dan memiliki ketentuan mengikat kecuali
dalam tingkat pengotentifikasian sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan utuk
terikat pada perjanjian atau digabungkan. Agar suatu perjanjian bisa teruikat, maka kita
akan mengahadapi ketentuan baik internasional maupun nasional.22 Ketentuan terkait
persetujuan untuk terikat pada perjanjian bisa ditemukan dalam Pasal 11-18, dengan Pasal
11 yang menyatakan bahwa pernyataan negara untuk terikat pada suatu perjanjian dapat
dinyatakan melalui penandatanganan, pertukaran instrumen yang melahirkan perjanjian,
ratifikasi, penerimaan (acceptance), persetujuan (approval), atau aksesi (accesion) atau
dengan cara lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.23
21
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 28-30.
22
Ibid., hlm. 30.
23
VCLT, Ps. 11: “The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange
of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so
agreed.”
24
VCLT, Ps. 12.
25
VCLT, Ps. 13.
Atas perjanjian yang diratifikasi, dapat dicantumkan ketentuan penutup perjanjian atas
penerimaan (acceptance) atau persetujuan (approval) terkait apa yang diratifikasi
tersebut.26
Selain cara-cara di atas, dapat dilakukan pula pernyataan terikat dengan aksesi
(accession). Aksesi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh suatu negara
yang bukan peserta asli atas suatu perjanjian multilateral untuk terikat pada perjanjian
internasional yang telah berlaku (entry into force). Aksesi ini diatur dalam Pasal 15 dan
hanya mungkin dilakukan untuk perjanjian yang sifatnya terbuka, yaitu perjanjian yang
memungkinkan negara yang tidak ikut membuat perjanjian internasional menjadi peserta
perjanjian.27
Suatu perjanjian internasional yang berlaku merupakan hukum positif yang akan
mengatur hak dan kewajiban negara peserta. Berlakunya perjanjian internasional diatur
dalam Pasal 24 VCLT 1969 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian berlaku pada tanggal
yang telah ditetapkan sebagaimana kesepakatan antara negara yang berunding.28 Adapun
ketentuan terkait hal tersebut biasanya dicantumkan di dalam perjanjian. Apabila tidak
dicantumkan maka para pihak bisa berunding dan mengadakan kesepakatan kapan
perjanjian itu mulai berlaku yang biasanya dalam memberlakukan suatu perjanjian negara
berusaha untuk memberikan cukup waktu untuk memikirkan kesiapan suatu negara untuk
ikut dalam suatu perjanjian internasional. Selain itu, dalam halnya suatu perjanjian tidak
menetapkan berlakunya, maka perjanjian itu akan dengan segera berlaku setelah ada
kesepakatan untuk terikat terhadap suatu perjanjian tersebut.29
26
VCLT, Ps. 14.
27
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 35.
28
VCLT, Ps. 24 ayat (1): “A treaty enters into force in such manner and upon such date as it may provide
or as the negotiating States may agree.”
29
Ibid., Ps. 24 ayat (2).
diatur dalam perjanjian.30 Biasanya pelaksanaan sementara dapat dilaksanakan apabila para
pihak memandang hal ini diperlukan sambil menunggu perjanjian internasional itu secara
definitif berlaku di negara masing-masingnya. Pelaksanaan perjanjian sementara bisa
diterapkan untuk seluruh perjanjian atau sebagian dari perjanjian dan tidak boleh
menganggu maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.31
30
Ibid., Ps. 25.
31
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 53.
32
Committee of Legal Advisers on Public International Law, Expression of Consent by States to be Bound
by a Treaty: Analytical Report and Country Reports (Stratsbourg:CAHDI, 2001), hlm. 21.
33
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 11.
34
Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000,
TLN No. 4012, Ps. 3.
35
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 49.
sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan
dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-
undangan yang jelas pula.36 Beberapa bagian dari undang-undang ini yang terkait dengan
penyusunan perjanjian internasional, seperti Lembaga Pemrakarsa, Surat Kuasa atau Full
Powers, dan alur pembuatan perjanjian internasional yang akan dibahas dengan berikut.
Lembaga Pemrakarsa
36
Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Internasional (“UU Perjanjian Internasional”), UU No. 24 Tahun
2000, Menimbang, butir d.
37
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 44.
38
UU Perjanjian Internasional, Ps. 5 ayat (1).
39
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 46.
adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan karena kesesuaian tugas dan fungsi pokok
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan materi dari perjanjian tersebut.40 Dalam
menjalankan tugasnya sebagai pemrakarsa, kementerian tersebut akan berfungsi sebagai
koordinator dalam persiapan, pembuatan, pemberlakuan, dan pelaksanaan perjanjian
internasional.41
Pedoman Delegasi
40
Perjanjian antara Indonesia dan Kanada mengenai Pengakuan Sistem Inspeksi dan Pengendalian Perikanan
dan Hasil Perikanan (Arrangement on the Mutual Recognition of Fish and Fishery Products Inspection and Control
Systems).
41
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 47.
42
UU Perjanjian Internasional, Ps. 5 ayat (1).
43
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 49.
44
UU Perjanjian Internasional, Ps. 5 ayat (2).
Pedoman delegasi perlu untuk terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Luar
Negeri dan memuat hal-hal seperti:45
● Latar belakang permasalahan;
● Analisis permasalahan, ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek
lain yang dapat memengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
● Posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk
mencapai kesepakatan.
45
UU Perjanjian Internasional, Ps. 5 ayat (3).
46
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 50.
47
Pemerintah Republik Indonesia, “Pedoman Delegasi Republik Indonesia dalam Mengikuti United Nations
Climate Change Conference 2019” https://indonesiaunfccc.com/wp-content/uploads/2019/11/Draft-Pedoman-
DELRI-COP25-19-November-2019_ed_2.pdf, diakses 21 Maret 2021.
48
UU Perjanjian Internasional, Ps. 1 butir 3.
49
VCLT, Ps. 2 ayat (1) butir c.
kedua kewenangan ini terpisah. Surat Kuasa atau Full Powers memberikan
kewenangan untuk otentifikasi naskah, sementara kewenangan untuk
menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu perjanjian
internasional didapatkan dari Surat Kepercayaan atau Credentials.50
Pembedaan ini dilatarbelakangi oleh praktik Indonesia yang sudah secara
baku memisahkan penggunaan Surat Kuasa dan Surat Kepercayaan.51
b. Dalam VCLT 1969, Kepala Misi Diplomatik atau Duta Besar dianggap
sebagai pihak yang tidak memerlukan Full Powers untuk mewakili
negaranya.52 Sementara, UU Perjanjian Internasional tidak menempatkan
Duta Besar Indonesia di suatu negara/organisasi internasional dalam
kategori pihak yang tidak memerlukan Full Powers.
c. UU Perjanjian Internasional tidak mensyaratkan adanya Full Powers
apabila suatu perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut merupakan
kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku
dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara
atau lembaga pemerintah.
Pasal 6 ayat (1) UU Perjanjian Internasional telah menyusun tahap-tahap yang perlu
ditempuh untuk membuat perjanjian internasional dengan mengatur bahwa:53
Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa tahap-tahap yang dilalui Indonesia dalam
menyusun perjanjian internasional meliputi:
50
UU Perjanjian Internasional, Ps. 1 butir 4.
51
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 53.
52
VCLT 1969, Ps. 7 ayat (2) butir b.
53
UU Perjanjian Internasional, Ps. 6 ayat (1).
1. Penjajakan
Tahap Penjajakan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua belah
pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian
internasional.54 Pada praktiknya, tahap penjajakan dapat dilakukan atas inisiatif
dari lembaga pemrakarsa di Indonesia, atau dapat pula merupakan inisiatif dari
calon mitra.55 Apabila penjajakan diadakan atas inisiatif dari lembaga
pemrakarsa di Indonesia, lembaga pemrakarsa mengoordinasikan rapat
interdepartemen yang melibatkan Kemlu dan berbagai instansi terkait. Dalam
tahap ini akan terjadi proses tukar-menukar dokumen (draft/counterdraft)
antara para pihak, dan apabila belum tercapai kesepakatan atas materi perjanjian
internasional tersebut, kedua pihak akan melanjutkan pembahasan di tahap
perundingan.56
2. Perundingan
Tahap Perundingan merupakan tahap untuk membahas substansi dan masalah-
masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.57 Tahap ini
pada praktiknya diwujudkan melalui suatu pertemuan antara para pihak dan
bertujuan akhir untuk mencapai kesepakatan atas materi-materi yang belum
disetujui pada tahap penjajakan.58
3. Perumusan naskah
Tahap ini merupakan tahap di mana dilakukan perumusan rancangan suatu
perjanjian internasional.59 Rancangan naskah dalam tahap ini merupakan
naskah hasil kesepakatan dari para pihak di tahap perundingan. Di tahap ini juga
dilakukan pemarafan terhadap rumusan naskah yang telah disetujui.60 Apabila
perjanjian internasional yang dibuat merupakan perjanjian bilateral,
54
UU Perjanjian Internasional, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).
55
Indonesia, Menteri Luar Negeri, Peraturan Menteri Luar Negeri tentang Panduan Umum Tata Cara
Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Nomor PM 9 Tahun 2006, lampiran hlm. 50.
56
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, hlm. 49.
57
UU Perjanjian Internasional, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).
58
Indonesia, Menteri Luar Negeri, Peraturan Menteri Luar Negeri tentang Panduan Umum Tata Cara
Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Nomor PM 9 Tahun 2006, lampiran hlm. 50
59
UU Perjanjian Internasional, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).
60
Indonesia, Menteri Luar Negeri, Peraturan Menteri Luar Negeri tentang Panduan Umum Tata Cara
Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Nomor PM 9 Tahun 2006, lampiran hlm. 51.
kesepakatan yang dicapai dan tindakan pemarafan ini sudah dapat disebut
sebagai penerimaan.
4. Penerimaan
Tahap ini merupakan tahap di mana naskah perjanjian yang telah dirumuskan
dan disepakati oleh para pihak diterima. Apabila perjanjian internasional
merupakan perjanjian bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan
dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan
inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi
masing-masing. Sementara, di perjanjian multilateral proses penerimaan
(acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara
pihak atas perubahan perjanjian internasional.61
5. Penandatanganan
Tahap ini merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk
melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak. Sementara untuk perjanjian multilateral, penandatangan
perjanjian internasional bukan mke serupakan pengikatan diri sebagai negara
pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui
pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).
61
UU Perjanjian Internasional, Penjelasan Pasal 6 ayat (1).
62
Marylin Raisch, “Travaux preparatoires and United Nations or Conventions: Using the Web Wisely” 30
Int’l J. Legal Info (2002), hlm. 325.
dari perjanjian.63 Selain bisa digunakan untuk mengetahui proses dari penyusunan
perjanjian internasional, travaux preparatoires juga bisa digunakan sebagai sumber dari
melakukan suatu interpretasi atas perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 32
VCLT 1969.64 Adapun dalam paper ini, travaux preparatoires akan digunakan sebagai
sumber untuk mengetahui penyusunan perjanjian internasional, di mana dalam hal ini
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang akan dijelaskan di bagian
selanjutnya.
63
Sir Robert Jennings and Sir Arthur Watts, Oppenheim’s Internasional Law (Essex: Longman, 1993), hlm.
1277.
64
VCLT, Ps. 32: “Recourse may be had to supplementary means of interpretation, including the preparatory
work of the treaty and the circumstances of its conclusion, in order to confirm the meaning resulting from the
application of article 31, or to determine the meaning when the interpretation according to article 31:(a) leaves the
meaning ambiguous or obscure; or (b) leads to a result which is manifestly absurd or unreasonable.”
65
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 55/61 (2001), 22 Januari 2001.
- Membentuk sebuah panitia ad hoc untuk pelaksanaan tahap
negosiasi yang pekerjaannya akan dimulai segera setelah
draft terms of reference yang sebelumnya disebutkan telah
diadopsi.
66
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 55/188 (2001), 25 Januari 2001.
67
United Nations Office on Drugs and Crime, Travaux Préparatoires of the Negotiations for the Elaboration
of the United Nations Convention Against Corruption (New York: United Nations, 2010), hlm. xxxv.
68
Ibid, hlm. xxxviii.
Setelah draft terms of reference selesai dibuat, diadakan Informal
Preparatory Meeting of the Ad Hoc Committee for the Negotiation of a
Convention against Corruption di Buenos Aires, dari tanggal 4 hingga 7
Desember 2001 yang bertujuan menciptakan konsolidasi proposal-proposal
untuk naskah draf konvensi. Dalam pertemuan ini kemudian dilakukan
tinjauan ulang terhadap naskah hasil konsolidasi yang dibuat oleh
Sekretariat Jenderal dengan tujuan meminimalisir adanya duplikasi materi
dan mencari tahu lebih lanjut kompatibilitas antar proposal-proposal.69
69
Ibid, hlm. xl.
70
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 56/260 (2002), 9 April 2002, para. 2-6.
71
Travaux Préparatoires UNCAC, hlm. xlii.
5. Sesi kelima dilaksanakan dari 10 hingga 21 Maret 2003;
6. Sesi keenam dilaksanakan dari 21 Juli hingga 8 Agustus 2003;
7. Sesi ketujuh dilaksanakan dari 29 September hingga 1 Oktober
2003.
Untuk dapat memahami lebih lanjut mengenai proses ini, kita dapat
melihat contoh proses negosiasi dan perumusan terhadap Pasal 5 konvensi
ini tentang Preventive Anti-Corruption Policy and Practices. Berikut ini
adalah bunyi Pasal 5 pada awal sesi pertama pertemuan panitia ad hoc:
Article 5
National integrity strategy and policies
Kemudian, ini adalah bunyi Pasal 5 pada akhir sesi pertama pertemuan
panitia ad hoc:
Article 4 bis
Article 5
2. Each State Party shall ensure that the necessary measures are
nationally coordinated, in both planning and implementation.
Dalam rumusan Pasal 5 di akhir pertemuan ini dapat terlihat bahwa terdapat
beberapa rumusan. Perbedaan rumusan Pasal 5 di awal dan di akhir sesi
menggambarkan berjalannya dinamika negosiasi dalam pertemuan ini.
Perubahan-perubahan ini dilatarbelakangi adanya pengajuan rumusan dari
delegasi-delegasi negara anggota yang merepresentasikan kepentingan
nasional negaranya masing-masing. Beberapa pengajuan yang terdapat
dalam pasal ini meliputi pengajuan dibuatnya Pasal 4 bis oleh Republik
Rakyat Cina, dan penambahan rumusan “reflects the principles of rule of
law, good governance, integrity, transparency and accountability” dalam
ayat (1) pasal 5 oleh Spanyol yang mewakili segenap anggota-anggota Uni-
Eropa.72
72
Travaux Préparatoires UNCAC, hlm. 72.
Di akhir sesi keenam, rumusan Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
Article 5
Preventive anti-corruption policies and practices
Berdasarkan catatan yang dibuat oleh Sekretariat, pada sesi keenam panitia
ad hoc menyetujui rumusan pasal ini. Kemudian, pada sesi ketujuh para
pihak telah menyatakan telah menimbang, memfinalisasi, dan menyetujui
Pasal 5 yang diajukan ke Majelis Umum untuk pengadopsian pada sesi ke-
58, sebagaimana tertera dalam Resolusi 56/260 Majelis Umum PBB.73
73
Travaux Préparatoires UNCAC, hlm. 75.
3. Penerimaan dan Penandatanganan
74
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 58/4 (2003), 31 Oktober 2003, para. 2.
75
Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, “United Nations Convention against Corruption (UNCAC)”
https://aclc.kpk.go.id/materi/pengetahuan-keterampilan-antikorupsi/united-nations-convention-against-corruption-
uncac, diakses 23 Maret 2021.
76
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003,
UU No. 7 Tahun 2006, Ps. 1 ayat (1).
77
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Convention Against Corruption (“UNCAC”), UNTS 2349 (2005), Ps. 67.
78
UNCAC, Ps. 68.
V. KESIMPULAN
Dalam studi kasus paper ini terhadap UNCAC, dapat ditemukan proses
penyusunan perjanjian internasional yang bisa dilihat di travaux preparatoires mulai dari
tahap penjajakan serta instrumen-instrumen terkait korupsi sebelum disusunnya UNCAC,
perundingan para negara-negara terkait klausul-klausul yang terdapat di dalam konvensi
tersebut, hingga keterikatan negara terhadap konvensi dan berlakunya konvensi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Parthiana, I Wayan. Hukum Perjanjian Internasional: Bagian I. Bandung: Mandar Maju, 2018.
Agusman, Damos Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia.
Bandung: Refika Aditama, 2017.
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika,
2019)
Aust, Anthony. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.
Sinclair, Ian M. The Vienna Convention on the Law of Treaties. Manchester: Oceana Publications,
1973.
Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global. Bandung: Alumni, 2000.
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Tatanusa, 2008.
PCIJ. “Legal Status of Eastern Greenland PCIJ.” Series A/B No. 53 (1933). Hlm. 71.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KONVENSI
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Vienna Convention on The Law of Treaties. UNTS 1151 (1969).
DOKUMEN INTERNASIONAL
Perjanjian antara Indonesia dan Kanada mengenai Pengakuan Sistem Inspeksi dan Pengendalian
Perikanan dan Hasil Perikanan (Arrangement on the Mutual Recognition of Fish and
Fishery Products Inspection and Control Systems).
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi 55/61 (2001). 22 Januari 2001.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi 55/188 (2001). 25 Januari 2001.
United Nations Office on Drugs and Crime. Travaux Préparatoires of the Negotiations for the
Elaboration of the United Nations Convention Against Corruption. New York: United
Nations, 2010.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi 56/260 (2002). 9 April 2002.
INTERNET
Pemerintah Republik Indonesia. “Pedoman Delegasi Republik Indonesia dalam Mengikuti United
Nations Climate Change Conference 2019” https://indonesiaunfccc.com/wp-
content/uploads/2019/11/Draft-Pedoman-DELRI-COP25-19-November-2019_ed_2.pdf.
Diakses 21 Maret 2021.
Pusat Edukasi Antikorupsi KPK. “United Nations Convention against Corruption (UNCAC)”
https://aclc.kpk.go.id/materi/pengetahuan-keterampilan-antikorupsi/united-nations-
convention-against-corruption-uncac. Diakses 23 Maret 2021.