Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Toxoplasma Serebral
Disusun Oleh
Rohmi Pawitra Sari
1610015038
Dosen Pembimbing :
dr. Abdul Mu’ti, Sp.Rad
Gambar 2.3 Area-area korteks fungsional di Hemispherium cerebri (F. Paulsen & J.
Waschke, 2012)
Fungsi kortikal yang lebih tinggi seperti wicara memerlukan kooperasi berbagai macam
area kortikal. Area kortikal fungsional ini dibagi menjadi area kortikal primer, area kortikal
sekunder dan area asosiasi. Area kortikal primer dan sekunder memproses informasi sensorik
yang spesifik contohnya persepsi dan intepretasi visual dari korteks visual lobus oksipitalis.
Area asosiasi kortikal contohnya korteks asosiasi prefrontal mengisi sebagian besar korteks
dan berperan mengintegrasikan beragam pola informasi yang rumit. Gambaran karakter mirip
manusia (homonkulus) mencerminkan struktur somatotopik di korteks somatomotor primer.
Korteks auditorik primer dan sekunder serta pusat WERNICKE meluas disepanjang batas
atas dan permukaan dalam lobus temporalis (F. Paulsen & J. Waschke, 2012).
2.2 Definisi
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii merupakan
parasit protozoa obligat intraseluler yang umumnya didapat melalui intake daging
mentah atau makanan yang kurang matang yang mengandung bradizoit, tertelan oosit
yang terdapat pada feces kucing, transmisi transplasental dari ibu ke janin, transfusi
darah atau trasnplantasi dari orang yang terinfeksi (Katusiime, 2018).
Toksoplasmosis serebri adalah suatu infeksi otak akut yang disebabkan oleh reaktivasi
kembali kista patogen intrasel T.gondii laten, mengandung bradisoit dan kemudian
mengalami perubahan fase menjadi takisoit, hal ini terjadi oleh karena adanya keadaan
imunokompremis (AIDS) dengan kadar CD4 rendah, manifestasi klinis adanya disfungi
neurologis fokal maupun difus dengan histopatologi adanya nekrosis dan trombosis
pembuluh darah dengan inflamasi perivaskular (vaskulitis) pada bagian sentral tampak
sebagai nodul mikroglia serta banyak ditemukan takisoit yang mengelilingi nodul, seperti
cincin pada daerah perbatasan nekrosis arteritis dan takisoit pada dinding pembuluh
darah (INDRAYANI, 2011).
2.3 Epidemiologi
Infeksi toksoplasmosis merupakan oportunistik pada penderita AIDS dan paling
sering menyebabkan lesi desak ruang di otak dengan angka prevalensi beragam diseluruh
dunia . Diperkirakan sekitar 11% penduduk amerika serikat berusia 6 tahun keatas telah
terinfeksi toxoplasma. Diseluruh belahan dunia sebanyak lebih dari 60% populasi
tertentu telah terinfeksi oleh toxoplasma. Infeksi paling tinggi berada diwilayah yang
beriklim panas, lembab, dan dataran rendah, karena ookista bertahan lebih baik di
lingkungan jenis ini (CDC, 2018). Prevalensi koinfeksi di negara berpenghasilan rendah,
menengah dan tinggi berurutan adalah 55%, 34% dan 26%. Prevalensi paling tinggi
terdapat di Amerika Latin, sebagian Eropa Timur/Tengah, Timur Tengah, sebagian Asia
Tenggara dan Afrika (Vidal, 2019). Perkembangan Toxoplasma gondii di otak pada
tahap akhir infeksi HIV terjadi karena imunosupresi yang cukup kuat menyebabkan
reaktivasi infeksi laten. Pada tahap lebih lanjut toxoplasma dapat menyebar dan
menyebabkan kerusakan tidak hanya pada otak namun juga paru-paru, mata, kelenjar
getah bening dan saluran pencernaan (Azovtseva, 2021).
2.4 Patofisiologi
Kasus infeksi T.gondii pada manusia biasanya terjadi melalui jalur oral atau
transplasenta dan sangat jarang melalui transfusi darah maupun transplantasi organ.
Kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau tidak dimasak dengan baik mengandung
kista viabel, air dan sayuran yang terkontaminasi ookista merupakan alur primer
penularan melalui oral. Manusia adalah host sekunder untuk T.gondii, sedangkan kucing
adalah host definitif. Kucing terinfeksi menyebarkan penyakit ketika mengeluarkan
ookista melalui kotorannya. Ketika kista jaringan mengandung bradisoit atau ookista
tertelan manusia, kista terlepas oleh enzim pencernaan usus halus, sporozoit dilepaskan
masuk ke sel epitel usus halus dan sebagian mati oleh karena proses fagositosis dan
sebagian lagi melanjutkan perkembangannya menjadi trophozoit atau takisoit
(INDRAYANI, 2011).
Sporozoit yang terlepas dapat menghindari sistem imun tubuh pertama oleh karena
memiliki mantel lamina dan matrik protein ekstraseluler yang dapat mencegah
fagositosis dan kerusakan oksidatif Aminoff dkk, (2007), walaupun saat ini respon
imunitas seluler terhadap toksoplasma sangat efektif namun pada seseorang dengan
imunokompremis (AIDS), sistem ini tidak mampu bekerja secara optimal. Seiring
menurunnya kadar CD4 menyebabkan kista yang awalnya bersifat laten akan mengalami
perubahan fase (INDRAYANI, 2011).
Gambar 2.5 Produksi Sitokin Oleh Sistem Imun Perifer dan Sistem Imun Saraf
(INDRAYANI, 2011)
Lesi di otak menjadi lebih berat dan permanen akibat destruksi jaringan oleh karena
ploriferasi takisoit, mengakibatkan sel otak mengalami kematian atau nekrosis. Mekanisme
kematian sel glia secara morfologi terdiri dari dua mekanisme yaitu, apoptosis dan nekrosis.
Sebagai akibat proses integrasi antigen antibodi. Kedua mekanisme sel ini pada awalnya
diakibatkan oleh suatu stres oksidatif sebagai pemicu awalnya, namun proses kematian sel
selanjutnya sangat berbeda. Takisoit menginduksi terjadinya proses infiltrasi inflamasi sel
mikroglia untuk menginduksi IFN-γ selanjutnya menghasilkan Nitrit Oksida (NO) sebagai
stres oksidatif yang merusak mikondria sel. Sitokin proinflamasi dalam otak IL-1 dan TNFα
merangsang Apaf-1 mengaktifkan caspase untuk terjadinya apoptosis yaitu kematian sel tipe-
1, selanjutnya terjadi kematian sel tipe-2, cytoplasmic autophagig vakuola dalam lisosom
yang merusak intraseluler yang merusak nukleus dan sitoplasma sebagai penetrasi takisoit
dalam target nukleus sehingga kematian sel tipe -3 yang dikenal dengan nekrosis terjadi.
Nekrosis ditandai dengan kariolisis dan edem sel sehingga terjadi pembengkakan dan
hilangnya plasma serta integritas membran. Keluaran radikal bebas Nitrit Oksida (NO) dalam
jumlah tinggi menimbulkan gejala serebral melalui hambatan neurotransmisi.
Pada penelitian binatang percobaan, predileksinya selalu tampak pada substansia grisea
dari kortek serebri, lebih dalam lagi ke ganglia basalis dan daerah periventrikuler. Keadaan
AIDS menyebabkan respon perlawanan terhadap T.gondii sangat lemah, tidak mampu
membatasi perkembangan parasit. Sifat parasit yang obligat intraseluler memperburuk
keadaan, dimana parasit masuk secara intraseluler kemudian dengan mudah menyebar
keseluruh tubuh secara hematogen dan limfogen.
Parasit dapat masuk menembus sawar darah otak yang memperberat infeksi disamping
oleh reaktivasi dari kista jaringan yang memang sebelumnya berada di jaringan otak. Pada
saat takisoit menyebar dalam darah terjadi parasitemia yang berlangsung beberapa hari.
Takisoit beredar dalam sirkulasi akan difagosit oleh makrofag. Takisoit mempunyai
kemampuan menghambat fusi fagosom dan lisosom, sehingga terhindar dari enzim lisosom
yang dapat membunuhnya. Kondisi sistem imun rendah menyebabkan takisoit tetap dapat
berkembang dalam makrofag dan justru secara aktif menginvasi sel makrofag untuk
membelah diri dalam fagosom, selanjutnya makrofag pecah mengeluarkan banyak takisoit
baru dan siap menginfeksi sel host lainnya melalui proses endodiogeni.
Ganbar 2.6
Gambar 2.7
Seseorang dengan sistem imun baik akan terjadi perangsangan respon imun oleh
takisoit, teraktivasi sel limfosit T membentuk limfosit T sitotoksik, antibodi anti parasit
menginduksi makrofag dan sel dendritik menghasilkan IL-12, serta mempresentasikan
antigen dan mengaktifkan sitokin proinflamasi lainnya untuk mengaktifkan sel T dan natural
killer (NK) memproduksi IFN–γ mengaktifkan imunitas humoral.
Gambar 2.8
Limfokin spesifik antigen ini mampu membunuh baik parasit ekstraseluler maupun
sel target yang terinfeksi oleh parasit. Keadaan ini membatasi perkembangan parasit menjadi
bentuk aktif (takisoit), dan untuk tetap dapat bertahan hidup parasit membentuk kista
agrofilik dalam jaringan host. Kista jaringan yang mengandung bradisoit apabila tetap utuh
tidak mengalami degenerasi maupun pecah diotak sehingga tidak akan menimbulkan reaksi
inflamasi.
Infeksi tetap terjadi namun tidak mengalami perkembangan menjadi laten dan
subklinis. Sifat laten disebabkan karena keadaan seimbang antara imunitas hospes yang
adekuat mengendalikan pertumbuhan atau replikasi parasit dengan ketidak mampuan
mengeleminasi total parasit dalam sel. Keadaan dalam keseimbangan merupakan situasi yang
ideal dimana hospes dapat mempertahankan kekebalan spesifiknya karena stimulasi terus
menerus sel memori oleh parasit. Sedangkan parasit bisa tetap hidup tanpa diganggu oleh
kemungkinan bertambahnya jumlah parasit dalam sel yang dapat merugikan parasit dan dapat
membunuh sel hospes ditinggalinya. Keadaan seimbang ini tidak selalu stabil tergantung
keadaan sistem imun, suatu waktu dapat terjadi keadaan patologis pada hospes yang dapat
menyebabkan reaktivasinya parasit.
Penderita AIDS yang terjadi kegagalan mempertahankan keadaan seimbang antara
hospes dan parasit oleh karena terserangnya CD4 sehingga kemampuan pengenalan antigen
yang depresentasikan bersama Major Histocompatibilitas Complex (MHC-II), oleh Antigen
Presenting Cell (APC) yang berkembang menjadi sel efektor Th1 menurun sehingga sekresi
IFN-γ menurun dan terjadi penurunan fungsi imunitas seluler fagosit/makrofag secara
menyeluruh menurun.
Gambar 2.9
Sistem imun ini yang sangat berperan dalam terjadinya reaktivasi T.gondii. Pada host
yang imunokompeten cell mediated immunity (CMI ) atau sel T CD8+ / sel T cytotoxic (Tc)
memiliki peranan yang penting dalam mengendalikan infeksi interaseluler toksoplasma akut.
Sel Tc mengenal peptida antigen dalam sitoplasma sel terinfeksi yang diikat molekul MHC-I
yang ditemukan pada semua sel tubuh bernukleus dengan menghancurkan sel yang terinfeksi
tersebut. Kista jaringan di sel glial pada pasien AIDS akan mengalami degenerasi dan terjadi
perkembangan fase, kista yang mengandung bradisoit berubah menjadi bentuk takisoit yang
aktif dan invasif. Perkembangan kista laten inilah yang merupakan sumber infeksi baru
toksoplasmosis pada pasien AIDS dan bertanggung jawab untuk terjadinya toksoplasmosis
serebri.
Pada pasien AIDS terjadi keadaan defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi
secara kualitatif dan kuantitatif yang progresif dari subset limfosit T yaitu T helper (Th1).
Subset sel T digambarkan secara fenotip oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4
yang bekerja sebagai molekul sel primer pada penderita HIV (Merati dan Samsuridjal,
2006)). Setelah beberapa tahun, jumlah CD4 akan mengalami deplesi dan menurun dibawah
level kritis ≤ 100 sel/mL, pasien sangat rentan terhadap infeksi oportunistik seperti infeksi
laten T.gondii akan menjadi aktif kembali.
Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi T.gondii dengan
bantuan imunitas humoral. Makrofag dan sel dendritik yang teraktivasi oleh adanya takisoit
akan memproduksi IL-12 dan sinyal sel T seperti ligan CD140 (CD40L) yang mengikat atau
mengekspresikan CD40. IL-12 bekerja terhadap limfosit dan sel NK untuk merangsang
produksi IFN–γ dan aktifitas sitolitik untuk menyingkirkan takisoit intraseluler. Mekanisme
terjadinya infeksi T.gondii pada pasien AIDS sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk
penurunan kadar CD4, gangguan produksi IL-12 dan IFN-γ serta sel CD40L (CD140) yang
mengikat CD40 menurun, sehingga infeksi T.gondii yang laten dapat teraktivasi.
Penelitian terdahulu mengenai T.gondii dilaporkan bahwa kemampuan dan peranan
sel CD4+ untuk melawan infeksi T.gondii sangat jelas. Walaupun pada seseorang dengan
fungsi sel T kurang, namun gejala tidak akan timbul secara menyeluruh, hal ini diyakini
karena virulensi dari strains T.gondii yang berbeda.
Gambar 2. CT scan otak yang tidak ditingkatkan menunjukkan lesi diskrit redaman rendah di
ganglia basal (panah) dan hipokampus (panah) (Gregory, Tse Lee; Fernando, Antelo; Anton
A, 2009).
Gambar 2. Pencitraan computed tomography (CT) kontras yang ditingkatkan dari pasien
terinfeksi HIV dengan toksoplasmosis otak (D-F). Saat masuk, lesi tunggal yang luas di
ganglia basalis kiri menyebabkan herniasi otak terlihat (D). Setelah 4 minggu terapi
antitoxoplasma dengan kortikosteroid, penurunan yang nyata terlihat pada ukuran dan edema
perilesional (E). Setelah 8 minggu terapi antitoxoplasma, CT scan lain hanya menunjukkan
perubahan sisa (F). Panah menunjukkan kelainan (Vidal, 2019).
Gambar 2. Ct Scan menunjukkan temuan neuroradiologis dari toksoplasmosis serebral. Terdapat lesi
hipodense dengan peningkatan cincin dan edema perilesi (A) Peningkatan nodul dan edema
perilesional (B) Lesi hipodense ekspansif tanpa peningkatan kontras dan dengan efek massa (C) CT
Scan dengan kontras tanpa kelainan (D) MRI T2 menununjukkan beberapa lesi basal ganglia dengan
sinyal intensitas tinggi (E) CT Scan dengan kontras menunjukkan edema difus (F) CT CT Scan tanpa
kontras pada pasien terinfeksi HIV yang menunjukkan beberapa lesi hiperdense (G) CT Scan dengan
kontras dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan lesi yang meningkatkan cincin di
mesencephalon yang terkait dengan perilesi, edema dan hidrosefalus. Lesi ini menunjukkan resolusi
lengkap setelah 4 minggu terapi antitoxoplasma (H) T1 dengan kontras sagital yang ditingkatkan MRI
berbobot menunjukkan lesi peningkatan cincin tunggal yang melintasi korpus kalosum (I) pasien ini
menjalani biopsi otak dengan kecurigaan limfoma sistem saraf pusat pimer (SSP) tetapi studi
histopatologi memastikan diagnosis toksoplasmosis serebral. Anak panah menunjukkan kelainan
(Vidal, 2019)
Gambar 2. Pemindaian computed tomography (CT) kontras yang ditingkatkan dan magnetic
resonance imaging (MRI) dari pasien terinfeksi HIV dengan otak toksoplasmosis (A dan B). Saat
masuk, lesi hipodens tanpa peningkat kontras di belahan otak kiri (A). Setelah 3 hari, sebuah MRI
menunjukkan beberapa lesi serebelar yang meningkatkan cincin atau heterogen terkait dengan edema
perilesional. Pemindaian tomografi terkomputasi dan MRI pasien terinfeksi HIV dengan
toksoplasmosis otak (C dan D). Saat masuk, lesi hipodens tanpa kontras meningkat di kanan belahan
otak yang berhubungan dengan edema perilesional dan deviasi ventrikel keempat (C). Setelah 5 hari,
MRI menunjukkan ringenhancing lesi serebelar yang berhubungan dengan edema perilesional dan
deviasi yang lebih rendah dari ventrikel keempat (D) (Vidal, 2019)
.Gambar 2. : (a) Gambar MR Aksial Tertimbang T1 menunjukkan beberapa lesi hipointens
dengan edema perilesional. (b) Gambar MR Aksial Tertimbang T2 yang menunjukkan beberapa
lesi hiperintens dengan berbagai ukuran dengan edema vasogenik sekitarnya yang ditandai. (c)
Gambar T1 sagital pasca kontras yang menunjukkan beberapa lesi dengan peningkatan di
pinggiran dan tengah. (d) Gambar koronal pasca kontras yang menunjukkan beberapa lesi
supratentorial dan infratentorial yang meningkatkan cincin dengan nodul eksentrik: "tanda
target". (e) Gambar MR aksial berbobot difusi yang menunjukkan lesi peningkat cincin multipel
dengan berbagai ukuran (Vidal, 2019).
Gambar 2. (a): Imaging MR aksial T1-Weighted menunjukkan beberapa lesi dengan sinyal
campuran hipo dan hiperintens dan secara nyata mengurangi edema di sekitarnya. (b) Citra MR
aksial pasca kontras menunjukkan lesi peningkat cincin multipel, ukuran, jumlah, dan
peningkatannya berkurang dengan edema di sekitarnya yang sangat berkurang. (c) Gambar
kontras pasak Coronal Flair menunjukkan beberapa lesi yang meningkat di daerah supratentorial
dan infratentorial. (d) Gambar MR berbobot difusi yang menunjukkan lesi peningkat cincin
multipel (Vidal, 2019).
Biopsi Otak
Diagnosis yang paling umum diperoleh dari stereotactic atau open brain biopsi dari focal
brain lesi pada ODHA adalah PCNSL (15% -28%), PML (21-22), dan toksoplasmosis
serebral (19% -20%). Biopsi otak stereotaktik adalah cara yang aman dan efektif untuk
mendiagnosis lesi otak fokal pada ODHA dan memiliki dampak terapeutik dan klinis.
Hasil biopsi otak biasanya lebih baik di pusat-pusat dengan keahlian teknis yang lebih
tinggi. Hambatan dalam penggunaan biopsi meliputi kondisi klinis pasien, topografi lesi,
invasif, biaya tinggi, dan struktur lesi (Vidal, 2019). Biopsi otak stereotatik menunjukkan
adanya granulomatosa dan studi imunohistokimia menunjukkan bradizoit dan takizoit dari
toksoplasma gondii di parenkim otak (QJM : An International Journal of Medicine, 2016).
Gambar 2. Panah menunjukkan bradizoit intraseluler T. gondii yang terletak di sel-sel glia
otak (pewarnaan hematoxyline & eosin) (QJM : An International Journal of Medicine,
2016).
Gambar 2. Menunjukkan daerah nekrosis yang dikelilingi dengan makrofag, limfosit dan
banyak kista takisoit (INDRAYANI, 2011).
2.7 Penatalaksanaan
Terapi dibagi menjadi fase akut dan fase rumatan. Pada fase akut diberikan rejimen
standar kombinasi pirimetamin dan sulfadiazine dengan dosis awal pirimetamin 200 mg
setiap hari, kemudian diturunkan dosisnya hingga 50-75 mg setiap harinya sebagai terapi
rumatan. Sedangkan dosis sulfadiazine adalah 4-8 g setiap harinya, rejimen ini dapat
diberikan selama 2 minggu. Dosis fase akut klindamisin yang dapat diberikan adalah 600
mg dalam sehari selama 3-6 minggu. Dosis fase rumatan klindamisin adalah 300-450 mg
tablet setiap 6 – 8 jam. Atovakuon dapat juga diberikan sebanyak 750 mg, 4 kali sehari
selama 21 hari. Pada kondisi imunosupresi berkelanjutan seperti yang dialami penderita
AIDS terapi rejimen rumatan tersebut perlu diberikan seumur hidup sebagai profilaksis.
Dosis yang diberikan untuk fase rumatan adalah setengah dari dosis fase akut. Terapi
profilaksis dapat dihentikan bila pasien menunjukkan perbaikan imunitas (meningkatnya
hitung CD4 di atas 200 sel/mm3 yang bertahan ≥ 6 bulan (Astriani & Sutarni, 2019).
Kortikosteroid seperti dexametason dapat diberikan pada pasien yang terbukti dari
pemeriksaan radiologi adanya gambaran lesi. Namun pemberian kortikostreoid dapat
membiaskan penilaian terhadap efektivitas antibiotik. Antikonvulsan dapat diberikan
pada pasien kejang, namun tidak direkomendasikan untuk penggunaan profilaksis
(Gregory, Tse Lee; Fernando, Antelo; Anton A, 2009).
Pada pasien yang belum atau tidak terdiagnosis toksoplasmosis terapi profilaksis sangat
dianjurkan untuk diberikan bila hitung CD4 kurang dari 100 sel/mm3 atau masih kurang
dari 200 sel/mm3 akan tetapi disertai dengan infeksi oportunistik atau keganasan.
Rejimen profilaksis yang dapat diberikan adalah kombinasi trimethoprim dan
sulfametoksazol (TMP-SMX). Rejimen TMP-SMX tersedia dalam bentuk tablet
kombinasi (160 mg trimethoprim dan 800 mg sulfametoksazol) dapat diminum 2 kali
sehari atau 14 tablet dalam seminggu. Profilaksis dapat dihentikan bila hitung CD4
meningkat hingga lebih dari 200 sel/mm 3 dan viral load yang rendah atau negatif,
biasanya setelah 3 bulan terapi (Astriani & Sutarni, 2019).
2.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada organ lain bila pasien mengalami imunokompromise
seperti pada pasien AIDS organ lain yang sering terkena yaitu mata (50%), paru-paru
(26%), darah tepi (3%), jantung (3%), sumsum tulang (3%) dan kandung kemih (1%).
Keterlambatan terapi atau tidak adanya terapi dapat menyebabkan kematian (Yostila D &
Armen A, 2018).
2.9 Prognosis
2. Ensefalitis
Gambar 2. Proton density-Axial pada wanita 62 tahun dengan ensefalitis herpes yang
menunjukkan hyperintensity T2, melibatkan lobus temporal kanan (Patel, 2019)
3. Limfoma SSP
Seorang wanita 77 tahun dengan riwayat difus limfoma sel B besar (DLBCL) baru-baru
ini, status setelah enam siklus R-CHOP kemoterapi (yang terdiri dari rituximab,
siklofosfamid, doksorubisin, vinristin, dan prednisolon) disajikan dengan kelemahan sisi
kanan yang memburuk dan episode jatuh yang berulang. Kira-kira empat bulan sebelum
presentasinya, dia menyelesaikan siklus terakhir kemoterapi dan telah dinyatakan dalam
remisi total dengan scan positron emission tomography (PET) negatifnya. CT scan tanpa
kontras menunjukkan beberapa lesi dengan atenuasi rendah di inti otak bagian dalam dan
persimpangan abu-abu putih dari pita kortikal. Pungsi lumbal dilakukan dan beberapa tes
laboratorium dilakukan pada sampel. Tidak ada peningkatan neutrofil atau limfosit yang
diidentifikasi dan kadar glukosa berada dalam kisaran normal. Pengujian polymerase
chain reaction (PCR) untuk virus herpes simpleks HSV-1 dan HSV-2 negatif dan tidak
ada antigen kriptokokus yang terdeteksi. Satu-satunya temuan abnormal pada cairan
serebrospinal (CSF) adalah peningkatan konsentrasi protein. Lebih penting lagi,
pengujian PCR untuk Toxoplasma gondii tidak dilakukan pada sampel awal ini.
Pemindaian MRI kepala yang berulang menunjukkan lesi yang meningkatkan T1 dan T2
di seluruh belahan otak, terkait dengan limfoma berulang atau penyakit metastasis
multifokal. Biopsi otak stereotaktik dilakukan selanjutnya, karena status klinisnya terus
memburuk. Meskipun beberapa lesi yang meningkatkan diidentifikasi pada MRI, ini
sebagian besar terletak di daerah ganas basal dan motorik / premotor, yang menghalangi
biopsi yang aman dari lesi ini. Tim bedah saraf memilih lesi frontal kanan yang lebih
kecil untuk meminimalkan risiko. Biopsi menunjukkan astrogliosis dan infiltrat
limfositik sel T yang konsisten dengan ensefalitis / vaskulitis (Gambar 2). Pewarnaan
Grocott methenamine silver (GMS) negatif untuk jamur dan pewarnaan acid-fast bacilli
(AFB) negatif untuk mikobakteria. Pewarnaan imunohistokimia untuk sitomegalovirus
(CMV), HSV, varicella zoster (VZV), virus SV40, dan Toxoplasma gondii dilakukan
dan semuanya negatif. Status neurologisnya terus menurun dan dia meninggal. Seluruh
perawatan di rumah sakit adalah 18 hari. Dua hari sebelum dia meninggal, sampel CSF
lain diambil dan tes PCR dilakukan untuk Toxoplasma gondii. Tesnya positif, tetapi
hasilnya tidak lengkap sampai seminggu setelah kematiannya. Sertifikat kematiannya
ditandatangani oleh salah satu dokter yang merawatnya sebagai "limfoma sel besar".
Keluarganya meminta dan menyetujui untuk diotopsi, karena mereka tidak memahami
penurunannya yang cepat, terutama karena dia dinyatakan sembuh dengan limfomanya
selama empat bulan sebelum. Pada otopsi, otaknya menunjukkan pembengkakan
parahippocampal gyri. Beberapa lesi nekrotik diidentifikasi. Lesi terbesar berukuran 3 x
3 x 3 cm, terletak di putamen kiri dan globus pallidus dan mengenai kapsul internal kiri.
Terdapat lesi besar tambahan di ganglia basalis kiri dan lesi besar lainnya di regio
parasagital kiri, masing-masing berukuran 3 x 3 x 2 cm. Kepala kaudatus kanan juga
menunjukkan pelunakan dan ini berdekatan dengan area perdarahan 2 x 2 x 1 cm di
lobus frontal kanan, di mana biopsi otak dilakukan. Lesi kecil yang tak terhitung
banyaknya tersebar di seluruh belahan otak. Tidak ada lesi yang teridentifikasi di batang
otak atau otak kecil. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dan menunjukkan beberapa
abses nekrotik dengan inti debris dan neutrofil. Di pinggiran inti nekrotik terdapat
banyak neutrofil dan sel mononuklear sebagai serta banyak kapiler kecil dan pembuluh
darah trombosis. Di luar zona inflamasi yang ditandai ini terdapat banyak profil seluler
yang mengandung butiran kecil mengenai kista parasit bersama dengan astrogliosis yang
ditandai. Pewarnaan imunohistokimia untuk Toxoplasma gondii menunjukkan
banyaknya kista yang mengandung bradyzoites dan takyzoit kecil, tersebar, dan bebas
yang tak terhitung banyaknya. Jantung juga menunjukkan miokarditis akut yang tidak
merata dengan kista toksoplasma yang langka. Tidak ada limfadenopati yang tercatat
pada otopsi; namun, banyak kelenjar getah bening diambil sampelnya karena riwayat
klinis DLBCL. Tidak ada limfoma residual yang teridentifikasi. Satu-satunya temuan
anatomi signifikan lainnya adalah aterosklerosis arteri koroner sedang dan
bronkopneumonia yang tidak merata di lobus bawah paru kiri. tim klinis diberitahu dan
sertifikat kematian diubah menjadi "toksoplasmosis otak" (Harrison & Hulette, 2017)
Gambar 2. CT Scan tanpa kontras yang ditingkatkan (gambar kiri) yang menunjukkan lesi
dengan atenuasi rendah di ganglia basalis kiri. Pencitraan MRI T1-weighted post kontras
(gambar kanan) menunjukkan lesi target dengan nodul yang meningkat di dekatnya ke tepi
hiperintens (Harrison & Hulette, 2017) .
Gambar 2. Bagian dari lesi ganglia basalis kiri nekrotik ini menunjukkan banyak
neutrofil dan profil seluler bulat yang sesuai kista parasit (panah) (H&E, x600) (Harrison
& Hulette, 2017).
BAB 3
PENUTUP
Toksoplasmosis serebri adalah suatu infeksi otak akut yang disebabkan oleh reaktivasi
kembali kista patogen intrasel T.gondii laten oleh karena adanya keadaan
imunokompremis (AIDS) dengan kadar CD4 rendah. Toksoplasmosis umumnya subakut
pada individu imunokompeten namun pada individu imunokompromis dapat terjadi
disfungi neurologis fokal maupun difus. Penyakit ini dapat menunjukkan progresifitas
yang pesat menyebabkan ensefalitis fatal difus atau ventrikulitis tanpa bukti lesi fokal di
otak. Pasien dengan keluhan demam dan sakit kepala harus dicurigai sebagai
toksoplasmosis. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan radiologi
berupa CT Scan atau MRI dan biopsi otak. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat
memberikan prognosis yang baik pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Astriani, D., & Sutarni, S. (2019). Nyeri Kepala dan Pusing Berputar Sebagai Manifestasi
Klinis Toxoplasmosis Serebral.
F. Paulsen & J. Waschke. (2012). Sobotta Atlas Anatomi Manusia (23rd ed.). EGC.
Gregory, Tse Lee; Fernando, Antelo; Anton A, M. (2009). Best Cases from the AFIP. August,
1200–1205.
Harrison, W. T., & Hulette, C. (2017). Cerebral Toxoplasmosis: A Case Report with
Correlation of Radiographic Imaging, Surgical Pathology, and Autopsy Findings.
Academic Forensic Pathology, 7(3), 494–501. https://doi.org/10.23907/2017.042