Anda di halaman 1dari 30

Lab/SMF Ilmu Psikiatri REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Toxoplasma Serebral

Disusun Oleh
Rohmi Pawitra Sari
1610015038

Dosen Pembimbing :
dr. Abdul Mu’ti, Sp.Rad

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium / SMF Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh toxoplasma gondii, yang merupakan
parasit protozoa intraseluler obligat dari family Apicomplexa dan merupakan patogen
oportunistik pada penderita Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (INDRAYANI,
2011). Penularan pada manusia melalui beberapa cara antara lain konsumsi daging mentah
atau daging yang kurang matang yang terdapat bradyzoit, tertelan bulu kucing yang terdapat
ookista, secara transplasenta, transfusi darah atau melalui transplantasi dari orang yang
terinfeksi (Katusiime, 2018). Infeksi transplasenta terjadi pada wanita yang secara akut
terinfeksi T. gondii selama kehamilan. Tingkat infeksi kongenital berkisar 20-50% tergantung
pada trimester terjadinya infeksi akut (INDRAYANI, 2011). Infeksi akut dari T gondii
umumnya jarang menimbulkan manifestasi klinis parah pada individu yang imunokompeten
(Vidal, 2019). Namun pada 10% individu dapat muncul gejala demam ringan menyerupai flu,
pembesaran kelenjar limfe leher yang tidak nyeri ataupun pembesaran kelenjar limfe
menyeluruh (INDRAYANI, 2011).
Diperkirakan sekitar 11% penduduk amerika serikat berusia 6 tahun keatas telah
terinfeksi toxoplasma. Diseluruh belahan dunia sebanyak lebih dari 60% populasi tertentu
telah terinfeksi oleh toxoplasma. Infeksi paling tinggi berada diwilayah yang beriklim panas,
lembab, dan dataran rendah, karena ookista bertahan lebih baik di lingkungan jenis ini (CDC,
2018). Prevalensi koinfeksi di negara berpenghasilan rendah, menengah dan tinggi berurutan
adalah 55%, 34% dan 26%. Prevalensi paling tinggi terdapat di Amerika Latin, sebagian
Eropa Timur/Tengah, Timur Tengah, sebagian Asia Tenggara dan Afrika (Vidal, 2019).
Toxoplasmosis merupakan infeksi otak yang paling sering terjadi pada pasien AIDS yang
tidak menerima profilaksis yang tepat (Anwar, 2018). Infeksi pada otak dapat terjadi oleh
karena reaktivasi dari infeksi kronik laten. Hal ini terjadi oleh karena adanya keadaan
imunokompremis (AIDS) dengan kadar CD4 rendah, manifestasi klinis yang dapat timbul
adalah disfungsi neurologis fokal maupun difus. Toksoplasmosis serebral merupakan
indikator prognosis buruk pada penderita AIDS dan memberikan kontribusi sebesar 23%
angka kematian pasien AIDS (INDRAYANI, 2011).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penulisan referat ini adalah untuk menambah ilmu dan wawasan
secara umum mengenai toxoplasmosis serebral.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penulisan referat ini adalah untuk mengetahui modalitas apa
saja yang bisa digunakan serta melihat gambaran radiologi yang khas pada kasus
toksoplasmosis serebral sehingga dapat mempermudah penegakkan diagnosis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak
SSP terdiri dari otak dan korda spinalis. Sebanyak 100 miliar neuron diperkirakan
terdapat di otak manusia tersusun membentuk anyaman kompleks dan memungkinkan
manusia untuk (1) secara bawah-sadar mengatur lingkungan internal melalui sistem saraf, (2)
mengalami emosi, (3) secara sadar mengontrol gerakan, (4) merasakan (mengetahui dengan
kesadaran) tubuh dan lingkungan, dan (5) melakukan fungsi-fungsi kognitif luhur misalnya
berpikir dan mengingat. Tidak ada bagian otak yang bekerja sendiri terpisah dari bagian-
bagian otak lain karena anyaman neuron-neuron terhubung secara anatomis oleh sinaps dan
neuron-neuron di seluruh otak berkomunikasi secara ekstensif satu sama lain dengan cara
listrik atau kimiawi. Meskipun beroperasi sebagai suatu kesatuan, otak tersusun menjadi
bagian-bagian yang berbeda. Bagian-bagian otak dapat dikelompokkan dalam berbagai cara
bergantung pada perbedaan anatomik, spesialisasi fungsi, dan perkembangan evolusi
(Sherwood, 2013).

Gambar 2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak (Sherwood, 2013)


1. Batang otak, bagian otak paling tua, bersambungan dengan korda spinalis. Bagian ini
terdiri dari otak tengah, pons, dan medula. Batang otak mengontrol banyak proses
yang memelihara kehidupan, misalnya pernapasan sirkulasi, dan pencernaan, yang
umum bagi semua vertebrata. Proses-proses ini sering disebut sebagai fungsi
vegetatif, yang berarti fungsi yang dilakukan di bawah sadar atau involunter.
2. Serebelum melekat di atas bagian belakang batang otak,berkaitan dengan
pemeliharaan posisi tubuh yang tepat dalam ruang dan koordinasi bawah-sadar
aktivitas motorik (gerakan). Serebelum juga berperan kunci dalam mempelajari
keterampilan motorik, misalnya gerakan menari.
3. Diensefalon terletak di atas batang otak, di dalam interior serebrum. Bagian ini
mengandung dua komponen : hipotalamus, yang mengontrol banyak fungsi
homeostatik yang penting untuk mempertahankan stabilitas lingkungan internal; dan
talamus, yang melakukan beberapa pemrosesan sensorik primitif.
4. Serebrum bagian otak yang ukurannya besar membentuk lebih dari 80% berat total
otak dengan bentuk berlekuk-lekuk. Lapisan luar serebrum adalah korteks serebrum
yang sangat berkelok-kelok, yang menutupi bagian dalam yang mengandung nukleus
basal. Korteks serebrum berperan penting dalam fungsi-fungsi saraf yang canggih,
misalnya inisiasi volunter gerakan, persepsi sensorik akhir (interpretasi otak tentang
tubuh dan lingkungan sekitarnya berdasarkan masukan sensorik), pikiran sadar,
bahasa, kepribadian, dan faktor lain yang berkaitan dengan pikiran atau intelek. Ini
adalah daerah integrasi otak yang paling kompleks dan paling tinggi (Sherwood,
2013).

Gambar 2.2 Lobus Serebrum (F. Paulsen & J. Waschke, 2012)


Serebrum terdiri dari 2 hemisfer yang dipisahkan oleh fissura longitudinalis serebri. Terdiri
dari 4 lobus yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus oksipitalis (F.
Paulsen & J. Waschke, 2012).
 Lobus frontalis, dipisahkan dengan lobus parietalis oleh sulcus sentralis, berperan
dalam tiga fungsi utama: (1) aktivitas motorik volunter, (2) kemampuan berbicara,
dan (3) elaborasi pikiran (F. Paulsen & J. Waschke, 2012; Sherwood, 2013).
 Lobus parietalis, dipisahkan dengan lobus oksipitalis oleh sulcus parietooccipitalis
dan dengan lobus frontalis oleh sulcus sentralis, berfungsi terutama untuk menerima
dan memproses rangsangan sensorik (F. Paulsen & J. Waschke, 2012; Sherwood,
2013).
 Lobus termporalis, terletak di lateral dipisahkan oleh sulcus lateralis dengan lobus
frontalis, parietalis dan oksipitalis, berfungsi melakukan pemrosesan awal
pendengaran (auditorik) (F. Paulsen & J. Waschke, 2012; Sherwood, 2013).
 Lobus oksipitalis, terletak di posterior dipisahkan oleh sulcus parietooccipitalis
dengan lobus parietalis, berfungsi melakukan pemrosesan awal penglihatan (visual)
(F. Paulsen & J. Waschke, 2012; Sherwood, 2013).

Gambar 2.3 Area-area korteks fungsional di Hemispherium cerebri (F. Paulsen & J.
Waschke, 2012)
Fungsi kortikal yang lebih tinggi seperti wicara memerlukan kooperasi berbagai macam
area kortikal. Area kortikal fungsional ini dibagi menjadi area kortikal primer, area kortikal
sekunder dan area asosiasi. Area kortikal primer dan sekunder memproses informasi sensorik
yang spesifik contohnya persepsi dan intepretasi visual dari korteks visual lobus oksipitalis.
Area asosiasi kortikal contohnya korteks asosiasi prefrontal mengisi sebagian besar korteks
dan berperan mengintegrasikan beragam pola informasi yang rumit. Gambaran karakter mirip
manusia (homonkulus) mencerminkan struktur somatotopik di korteks somatomotor primer.
Korteks auditorik primer dan sekunder serta pusat WERNICKE meluas disepanjang batas
atas dan permukaan dalam lobus temporalis (F. Paulsen & J. Waschke, 2012).
2.2 Definisi
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii merupakan
parasit protozoa obligat intraseluler yang umumnya didapat melalui intake daging
mentah atau makanan yang kurang matang yang mengandung bradizoit, tertelan oosit
yang terdapat pada feces kucing, transmisi transplasental dari ibu ke janin, transfusi
darah atau trasnplantasi dari orang yang terinfeksi (Katusiime, 2018).
Toksoplasmosis serebri adalah suatu infeksi otak akut yang disebabkan oleh reaktivasi
kembali kista patogen intrasel T.gondii laten, mengandung bradisoit dan kemudian
mengalami perubahan fase menjadi takisoit, hal ini terjadi oleh karena adanya keadaan
imunokompremis (AIDS) dengan kadar CD4 rendah, manifestasi klinis adanya disfungi
neurologis fokal maupun difus dengan histopatologi adanya nekrosis dan trombosis
pembuluh darah dengan inflamasi perivaskular (vaskulitis) pada bagian sentral tampak
sebagai nodul mikroglia serta banyak ditemukan takisoit yang mengelilingi nodul, seperti
cincin pada daerah perbatasan nekrosis arteritis dan takisoit pada dinding pembuluh
darah (INDRAYANI, 2011).
2.3 Epidemiologi
Infeksi toksoplasmosis merupakan oportunistik pada penderita AIDS dan paling
sering menyebabkan lesi desak ruang di otak dengan angka prevalensi beragam diseluruh
dunia . Diperkirakan sekitar 11% penduduk amerika serikat berusia 6 tahun keatas telah
terinfeksi toxoplasma. Diseluruh belahan dunia sebanyak lebih dari 60% populasi
tertentu telah terinfeksi oleh toxoplasma. Infeksi paling tinggi berada diwilayah yang
beriklim panas, lembab, dan dataran rendah, karena ookista bertahan lebih baik di
lingkungan jenis ini (CDC, 2018). Prevalensi koinfeksi di negara berpenghasilan rendah,
menengah dan tinggi berurutan adalah 55%, 34% dan 26%. Prevalensi paling tinggi
terdapat di Amerika Latin, sebagian Eropa Timur/Tengah, Timur Tengah, sebagian Asia
Tenggara dan Afrika (Vidal, 2019). Perkembangan Toxoplasma gondii di otak pada
tahap akhir infeksi HIV terjadi karena imunosupresi yang cukup kuat menyebabkan
reaktivasi infeksi laten. Pada tahap lebih lanjut toxoplasma dapat menyebar dan
menyebabkan kerusakan tidak hanya pada otak namun juga paru-paru, mata, kelenjar
getah bening dan saluran pencernaan (Azovtseva, 2021).
2.4 Patofisiologi
Kasus infeksi T.gondii pada manusia biasanya terjadi melalui jalur oral atau
transplasenta dan sangat jarang melalui transfusi darah maupun transplantasi organ.
Kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau tidak dimasak dengan baik mengandung
kista viabel, air dan sayuran yang terkontaminasi ookista merupakan alur primer
penularan melalui oral. Manusia adalah host sekunder untuk T.gondii, sedangkan kucing
adalah host definitif. Kucing terinfeksi menyebarkan penyakit ketika mengeluarkan
ookista melalui kotorannya. Ketika kista jaringan mengandung bradisoit atau ookista
tertelan manusia, kista terlepas oleh enzim pencernaan usus halus, sporozoit dilepaskan
masuk ke sel epitel usus halus dan sebagian mati oleh karena proses fagositosis dan
sebagian lagi melanjutkan perkembangannya menjadi trophozoit atau takisoit
(INDRAYANI, 2011).
Sporozoit yang terlepas dapat menghindari sistem imun tubuh pertama oleh karena
memiliki mantel lamina dan matrik protein ekstraseluler yang dapat mencegah
fagositosis dan kerusakan oksidatif Aminoff dkk, (2007), walaupun saat ini respon
imunitas seluler terhadap toksoplasma sangat efektif namun pada seseorang dengan
imunokompremis (AIDS), sistem ini tidak mampu bekerja secara optimal. Seiring
menurunnya kadar CD4 menyebabkan kista yang awalnya bersifat laten akan mengalami
perubahan fase (INDRAYANI, 2011).

Gambar 2.4 Infeksi T.gondii Pada Manusia (INDRAYANI, 2011)


Kista di jaringan otak mengandung banyak bradisoit (kista jaringan otak dengan daya
replikasi sangat rendah), akan mengalami perubahan fase menjadi takisoit dalam kista
(pseudokista) yang mempunyai aktivitas pembelahan sangat cepat, aktif dan invasif.
Perkembangan selanjutnya takisoit atau trophozoit akan mengalami replikasi secara cepat
sehingga mengisi seluruh sel glial otak.
Proses takisoit menembus masuk ke sel glial, menempel pada permukaan sel hospes
kemudian membentuk vakuola, pengeluaran enzim dari roptri sehingga mempermudah
menembus kedalam sel hingga sempurna dalam waktu ± 10 detik. Selanjutnya bereplikasi
sangat cepat mengisi seluruh sel glial hingga penuh menyebabkan sel pecah dan parasit
bersporulasi menginfeksi sel jaringan otak sekitarnya. Takisoit yang baru terbentuk akan
menyebar dan segera mengaktivasi sistem imunitas tubuh ditangkap oleh makrofag dan
limfosit yang merupakan sistem imun diluar sistem saraf pusat (SSP)
Sitokin yang dihasilkan oleh sel astrosit dan mikroglia seperti IL-1, IL-6, Tumor Necrosis
Factor α (TNFα) dan Tumor Growth Factor ß (TGF-ß) dan sitokin yang dihasilkan oleh
oligodendrodit seperti IL-1, dan TGF- ß, sel-sel tersebut merupakan komponen sistem imun
dalam otak (SSP) yang bekerja untuk menghancurkan dan menghambat perkembangan
parasit (Dubey, 2010). Astrosit dan mikroglia memproduksi TNFα yang memodulasi
ekspresi MCH-I dan MCH-II yang ditemukan pada beberapa jenis sel SSP. Interferon gamma
(IFN-γ) diproduksi oleh sistem imun di SSP maupun diperifer dan INF-γ inilah yang
kerjanya diduga sebagai penghubung antara SSP dan sistem imun diseluruh tubuh.

Gambar 2.5 Produksi Sitokin Oleh Sistem Imun Perifer dan Sistem Imun Saraf
(INDRAYANI, 2011)
Lesi di otak menjadi lebih berat dan permanen akibat destruksi jaringan oleh karena
ploriferasi takisoit, mengakibatkan sel otak mengalami kematian atau nekrosis. Mekanisme
kematian sel glia secara morfologi terdiri dari dua mekanisme yaitu, apoptosis dan nekrosis.
Sebagai akibat proses integrasi antigen antibodi. Kedua mekanisme sel ini pada awalnya
diakibatkan oleh suatu stres oksidatif sebagai pemicu awalnya, namun proses kematian sel
selanjutnya sangat berbeda. Takisoit menginduksi terjadinya proses infiltrasi inflamasi sel
mikroglia untuk menginduksi IFN-γ selanjutnya menghasilkan Nitrit Oksida (NO) sebagai
stres oksidatif yang merusak mikondria sel. Sitokin proinflamasi dalam otak IL-1 dan TNFα
merangsang Apaf-1 mengaktifkan caspase untuk terjadinya apoptosis yaitu kematian sel tipe-
1, selanjutnya terjadi kematian sel tipe-2, cytoplasmic autophagig vakuola dalam lisosom
yang merusak intraseluler yang merusak nukleus dan sitoplasma sebagai penetrasi takisoit
dalam target nukleus sehingga kematian sel tipe -3 yang dikenal dengan nekrosis terjadi.
Nekrosis ditandai dengan kariolisis dan edem sel sehingga terjadi pembengkakan dan
hilangnya plasma serta integritas membran. Keluaran radikal bebas Nitrit Oksida (NO) dalam
jumlah tinggi menimbulkan gejala serebral melalui hambatan neurotransmisi.
Pada penelitian binatang percobaan, predileksinya selalu tampak pada substansia grisea
dari kortek serebri, lebih dalam lagi ke ganglia basalis dan daerah periventrikuler. Keadaan
AIDS menyebabkan respon perlawanan terhadap T.gondii sangat lemah, tidak mampu
membatasi perkembangan parasit. Sifat parasit yang obligat intraseluler memperburuk
keadaan, dimana parasit masuk secara intraseluler kemudian dengan mudah menyebar
keseluruh tubuh secara hematogen dan limfogen.
Parasit dapat masuk menembus sawar darah otak yang memperberat infeksi disamping
oleh reaktivasi dari kista jaringan yang memang sebelumnya berada di jaringan otak. Pada
saat takisoit menyebar dalam darah terjadi parasitemia yang berlangsung beberapa hari.
Takisoit beredar dalam sirkulasi akan difagosit oleh makrofag. Takisoit mempunyai
kemampuan menghambat fusi fagosom dan lisosom, sehingga terhindar dari enzim lisosom
yang dapat membunuhnya. Kondisi sistem imun rendah menyebabkan takisoit tetap dapat
berkembang dalam makrofag dan justru secara aktif menginvasi sel makrofag untuk
membelah diri dalam fagosom, selanjutnya makrofag pecah mengeluarkan banyak takisoit
baru dan siap menginfeksi sel host lainnya melalui proses endodiogeni.
Ganbar 2.6

Gambaran toksoplasmosis serebri secara histopatologi nampak disekitar sel dipenuhi


takisoit yang kelilingi sel mononuklear dan makrofag serta terjadi inflamasi perivaskuler
selanjutnya menjadi vaskulitis dan nekrosis. Timbul lesi membesar semakin lama menjadi
lunak berupa eksudasi limfosit dan plasma, jaringan nekrosis pada leptomeningeal secara
difus, granuloma menimbulkan dilatasi ventrikel akibat oklusi aquaduktus, pembentukan
abses dikelilingi banyak takisoit, ensefalitis, kalsifikasi menimbulkan gejala lesi desak ruang.

Gambar 2.7
Seseorang dengan sistem imun baik akan terjadi perangsangan respon imun oleh
takisoit, teraktivasi sel limfosit T membentuk limfosit T sitotoksik, antibodi anti parasit
menginduksi makrofag dan sel dendritik menghasilkan IL-12, serta mempresentasikan
antigen dan mengaktifkan sitokin proinflamasi lainnya untuk mengaktifkan sel T dan natural
killer (NK) memproduksi IFN–γ mengaktifkan imunitas humoral.

Gambar 2.8
Limfokin spesifik antigen ini mampu membunuh baik parasit ekstraseluler maupun
sel target yang terinfeksi oleh parasit. Keadaan ini membatasi perkembangan parasit menjadi
bentuk aktif (takisoit), dan untuk tetap dapat bertahan hidup parasit membentuk kista
agrofilik dalam jaringan host. Kista jaringan yang mengandung bradisoit apabila tetap utuh
tidak mengalami degenerasi maupun pecah diotak sehingga tidak akan menimbulkan reaksi
inflamasi.
Infeksi tetap terjadi namun tidak mengalami perkembangan menjadi laten dan
subklinis. Sifat laten disebabkan karena keadaan seimbang antara imunitas hospes yang
adekuat mengendalikan pertumbuhan atau replikasi parasit dengan ketidak mampuan
mengeleminasi total parasit dalam sel. Keadaan dalam keseimbangan merupakan situasi yang
ideal dimana hospes dapat mempertahankan kekebalan spesifiknya karena stimulasi terus
menerus sel memori oleh parasit. Sedangkan parasit bisa tetap hidup tanpa diganggu oleh
kemungkinan bertambahnya jumlah parasit dalam sel yang dapat merugikan parasit dan dapat
membunuh sel hospes ditinggalinya. Keadaan seimbang ini tidak selalu stabil tergantung
keadaan sistem imun, suatu waktu dapat terjadi keadaan patologis pada hospes yang dapat
menyebabkan reaktivasinya parasit.
Penderita AIDS yang terjadi kegagalan mempertahankan keadaan seimbang antara
hospes dan parasit oleh karena terserangnya CD4 sehingga kemampuan pengenalan antigen
yang depresentasikan bersama Major Histocompatibilitas Complex (MHC-II), oleh Antigen
Presenting Cell (APC) yang berkembang menjadi sel efektor Th1 menurun sehingga sekresi
IFN-γ menurun dan terjadi penurunan fungsi imunitas seluler fagosit/makrofag secara
menyeluruh menurun.

Gambar 2.9
Sistem imun ini yang sangat berperan dalam terjadinya reaktivasi T.gondii. Pada host
yang imunokompeten cell mediated immunity (CMI ) atau sel T CD8+ / sel T cytotoxic (Tc)
memiliki peranan yang penting dalam mengendalikan infeksi interaseluler toksoplasma akut.
Sel Tc mengenal peptida antigen dalam sitoplasma sel terinfeksi yang diikat molekul MHC-I
yang ditemukan pada semua sel tubuh bernukleus dengan menghancurkan sel yang terinfeksi
tersebut. Kista jaringan di sel glial pada pasien AIDS akan mengalami degenerasi dan terjadi
perkembangan fase, kista yang mengandung bradisoit berubah menjadi bentuk takisoit yang
aktif dan invasif. Perkembangan kista laten inilah yang merupakan sumber infeksi baru
toksoplasmosis pada pasien AIDS dan bertanggung jawab untuk terjadinya toksoplasmosis
serebri.
Pada pasien AIDS terjadi keadaan defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi
secara kualitatif dan kuantitatif yang progresif dari subset limfosit T yaitu T helper (Th1).
Subset sel T digambarkan secara fenotip oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4
yang bekerja sebagai molekul sel primer pada penderita HIV (Merati dan Samsuridjal,
2006)). Setelah beberapa tahun, jumlah CD4 akan mengalami deplesi dan menurun dibawah
level kritis ≤ 100 sel/mL, pasien sangat rentan terhadap infeksi oportunistik seperti infeksi
laten T.gondii akan menjadi aktif kembali.
Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi T.gondii dengan
bantuan imunitas humoral. Makrofag dan sel dendritik yang teraktivasi oleh adanya takisoit
akan memproduksi IL-12 dan sinyal sel T seperti ligan CD140 (CD40L) yang mengikat atau
mengekspresikan CD40. IL-12 bekerja terhadap limfosit dan sel NK untuk merangsang
produksi IFN–γ dan aktifitas sitolitik untuk menyingkirkan takisoit intraseluler. Mekanisme
terjadinya infeksi T.gondii pada pasien AIDS sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk
penurunan kadar CD4, gangguan produksi IL-12 dan IFN-γ serta sel CD40L (CD140) yang
mengikat CD40 menurun, sehingga infeksi T.gondii yang laten dapat teraktivasi.
Penelitian terdahulu mengenai T.gondii dilaporkan bahwa kemampuan dan peranan
sel CD4+ untuk melawan infeksi T.gondii sangat jelas. Walaupun pada seseorang dengan
fungsi sel T kurang, namun gejala tidak akan timbul secara menyeluruh, hal ini diyakini
karena virulensi dari strains T.gondii yang berbeda.

2.5 Manifestasi Klinis


Toksoplasmosis serebral biasanya menunjukkan manifestasi subakut neurologi.
Namun penyakit ini dapat menunjukkan progresifitas yang pesat menyebabkan
ensefalitis fatal difus atau ventrikulitis tanpa bukti lesi fokal otak pada pencitraan dan
bahkan dapat muncul gejala menyerupai stroke (Vidal, 2019).
Gejala klinis yang muncul bergantung pada letak dan jumlah lesi. Gejala klinis utama
adalah sakit kepala (38%-93%), defisit neurologi fokal (22%-80%), demam (35%-88%),
kebingungan mental (15%-52%), kejang (19%-58%), perubahan sikap dan psikomotor
(37%-42%), cranial nerve palsy (12%-28%), ataxia (2%-30%), dan abnormalitas visual
(8%-19%). Pasien juga bisa menunjukkan sindrom hipertensi intrakranial dan gerakan
involunter. Sakit kepala yang muncul memiliki pola yang bervariasi dengan atau tanpa
manifestasi lain. Tanpa terapi yang adekuat gangguan neurologi akan berkembang pesat
dan menyebabkan penurunan kesadaran menjadi stupor, koma dan bahkan kematian
(Vidal, 2019). Manifestasi lain yang dapat muncul adalah gejala fokal seperti
hemiparesis, afasia, ataxia, alexia dan kelumpuhan saraf kranial. Selain itu dapat juga
terjadi gangguan kognitif seperti gangguan memori, konsentrasi, persepsi dan orientasi
(Azovtseva, 2021).

2.6 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis definitif untuk toksoplasmosis serebral adalah gambaran klinis seperti sakit
kepala, gejala neurologi dan demam. Gambaran radiologi menunjukkan adanya
peningkatan masa lesi berbentuk cincin dari dan ditemukannya organisme toksoplasma
melalui biopsi otak (QJM : An International Journal of Medicine, 2016).
Gambar 2. Algoritma ini diusulkan untuk pengelolaan kasus dugaan toksoplasmosis otak pada
orang yang dengan HIV / AIDS (ODHA). Algoritme ini dimaksudkan sebagai panduan, namun
ini dapat berubah bergantung situasi klinis individu sesuai pendapat ahli. Hingga 4 minggu
manifestasi klinis sugestif dari lesi otak yang meluas, seperti sakit kepala, defisit fokal motorik,
atau perubahan status mental. Pola yang paling umum pada CT scan otak adalah lesi peningkat
cincin dengan edema perilesional, lesi peningkat nodular dengan edema perilesional, dan lesi
nonenhancing dengan efek ekspansif. Pemeriksaan MRI harus diperoleh pada pasien dengan CT
scan samar atau negatif. Jika tersedia, MRI adalah modalitas pencitraan pilihan untuk
mengevaluasi ODHA dengan lesi otak ekspansif. Terapi antitoksoplasma adalah alat untuk
diagnosis lesi otak ekspansif pada ODHA. Oleh karena itu, tindak lanjut klinis yang cermat
sangat penting. Tidak adanya antibodi Toxoplasma gondii immunoglobulin G (IgG) dan reaksi
berantai polimerase negatif (PCR) dalam sampel darah tidak menutup kemungkinan terjadinya
toksoplasmosis serebral. Langkah ini sangat penting untuk mencurigai sedini mungkin diagnosis
alternatif untuk toksoplasmosis serebral. Masalah utama yang akan dievaluasi adalah:
neuroepidemiologi lokal; derajat imunosupresi; dan gambaran klinis, laboratorial, dan
neuroradiologis individu. Reaksi rantai polimerase negatif (PCR) untuk T gondii dalam cairan
serebrospinal (CSF) tidak mengesampingkan kemungkinan toksoplasmosis serebral. Tidak
adanya antibodi T gondii IgG dan adanya lesi tunggal pada MRI menunjukkan diagnosis
alternatif untuk serebral toksoplasmosis dan biopsi otak biasanya diindikasikan. Namun, jika
pasien menunjukkan perbaikan klinis, pencitraan otak baru dapat dilakukan dengan 1 hingga 2
minggu terapi antitoksoplasma, dan jika ada perbaikan radiologis, biopsi tidak diperlukan.
Perbaikan klinis biasanya mendahului perbaikan radiologis (Vidal, 2019).
Pemeriksaan Radiologi
CT awal otak menunjukkan beberapa lesi parenkim atenuasi rendah diskrit di ganglia
basalis kanan, kapsul internal kanan, hipokampus kanan, thalami kanan dan kiri, dan
badan kaudatus kiri (Gregory, Tse Lee; Fernando, Antelo; Anton A, 2009). Temuan CT
Scan dan MRI pada pasien toxoplasmosis serebral dapat berupa peningkatan lesi
berbentuk cincin yang multiple dibagian basal ganglia (48%), lobus frontal (37%) dan
lobus parietal (37%) dengan edema disekitarnya. Pada kondisi tertentu dapat juga terjadi
pada lobus oksipital (19%), lobus temporal (18%), dan batang otak/cerebellum (5-15%).
(Vidal, 2019).

Gambar 2. CT scan otak yang tidak ditingkatkan menunjukkan lesi diskrit redaman rendah di
ganglia basal (panah) dan hipokampus (panah) (Gregory, Tse Lee; Fernando, Antelo; Anton
A, 2009).

Gambar 2. Pencitraan computed tomography (CT) kontras yang ditingkatkan dari pasien
terinfeksi HIV dengan toksoplasmosis otak (D-F). Saat masuk, lesi tunggal yang luas di
ganglia basalis kiri menyebabkan herniasi otak terlihat (D). Setelah 4 minggu terapi
antitoxoplasma dengan kortikosteroid, penurunan yang nyata terlihat pada ukuran dan edema
perilesional (E). Setelah 8 minggu terapi antitoxoplasma, CT scan lain hanya menunjukkan
perubahan sisa (F). Panah menunjukkan kelainan (Vidal, 2019).

Gambar 2. Ct Scan menunjukkan temuan neuroradiologis dari toksoplasmosis serebral. Terdapat lesi
hipodense dengan peningkatan cincin dan edema perilesi (A) Peningkatan nodul dan edema
perilesional (B) Lesi hipodense ekspansif tanpa peningkatan kontras dan dengan efek massa (C) CT
Scan dengan kontras tanpa kelainan (D) MRI T2 menununjukkan beberapa lesi basal ganglia dengan
sinyal intensitas tinggi (E) CT Scan dengan kontras menunjukkan edema difus (F) CT CT Scan tanpa
kontras pada pasien terinfeksi HIV yang menunjukkan beberapa lesi hiperdense (G) CT Scan dengan
kontras dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan lesi yang meningkatkan cincin di
mesencephalon yang terkait dengan perilesi, edema dan hidrosefalus. Lesi ini menunjukkan resolusi
lengkap setelah 4 minggu terapi antitoxoplasma (H) T1 dengan kontras sagital yang ditingkatkan MRI
berbobot menunjukkan lesi peningkatan cincin tunggal yang melintasi korpus kalosum (I) pasien ini
menjalani biopsi otak dengan kecurigaan limfoma sistem saraf pusat pimer (SSP) tetapi studi
histopatologi memastikan diagnosis toksoplasmosis serebral. Anak panah menunjukkan kelainan
(Vidal, 2019)

Gambar 2. Pemindaian computed tomography (CT) kontras yang ditingkatkan dan magnetic
resonance imaging (MRI) dari pasien terinfeksi HIV dengan otak toksoplasmosis (A dan B). Saat
masuk, lesi hipodens tanpa peningkat kontras di belahan otak kiri (A). Setelah 3 hari, sebuah MRI
menunjukkan beberapa lesi serebelar yang meningkatkan cincin atau heterogen terkait dengan edema
perilesional. Pemindaian tomografi terkomputasi dan MRI pasien terinfeksi HIV dengan
toksoplasmosis otak (C dan D). Saat masuk, lesi hipodens tanpa kontras meningkat di kanan belahan
otak yang berhubungan dengan edema perilesional dan deviasi ventrikel keempat (C). Setelah 5 hari,
MRI menunjukkan ringenhancing lesi serebelar yang berhubungan dengan edema perilesional dan
deviasi yang lebih rendah dari ventrikel keempat (D) (Vidal, 2019)
.Gambar 2. : (a) Gambar MR Aksial Tertimbang T1 menunjukkan beberapa lesi hipointens
dengan edema perilesional. (b) Gambar MR Aksial Tertimbang T2 yang menunjukkan beberapa
lesi hiperintens dengan berbagai ukuran dengan edema vasogenik sekitarnya yang ditandai. (c)
Gambar T1 sagital pasca kontras yang menunjukkan beberapa lesi dengan peningkatan di
pinggiran dan tengah. (d) Gambar koronal pasca kontras yang menunjukkan beberapa lesi
supratentorial dan infratentorial yang meningkatkan cincin dengan nodul eksentrik: "tanda
target". (e) Gambar MR aksial berbobot difusi yang menunjukkan lesi peningkat cincin multipel
dengan berbagai ukuran (Vidal, 2019).

Gambar 2. (a): Imaging MR aksial T1-Weighted menunjukkan beberapa lesi dengan sinyal
campuran hipo dan hiperintens dan secara nyata mengurangi edema di sekitarnya. (b) Citra MR
aksial pasca kontras menunjukkan lesi peningkat cincin multipel, ukuran, jumlah, dan
peningkatannya berkurang dengan edema di sekitarnya yang sangat berkurang. (c) Gambar
kontras pasak Coronal Flair menunjukkan beberapa lesi yang meningkat di daerah supratentorial
dan infratentorial. (d) Gambar MR berbobot difusi yang menunjukkan lesi peningkat cincin
multipel (Vidal, 2019).
Biopsi Otak
Diagnosis yang paling umum diperoleh dari stereotactic atau open brain biopsi dari focal
brain lesi pada ODHA adalah PCNSL (15% -28%), PML (21-22), dan toksoplasmosis
serebral (19% -20%). Biopsi otak stereotaktik adalah cara yang aman dan efektif untuk
mendiagnosis lesi otak fokal pada ODHA dan memiliki dampak terapeutik dan klinis.
Hasil biopsi otak biasanya lebih baik di pusat-pusat dengan keahlian teknis yang lebih
tinggi. Hambatan dalam penggunaan biopsi meliputi kondisi klinis pasien, topografi lesi,
invasif, biaya tinggi, dan struktur lesi (Vidal, 2019). Biopsi otak stereotatik menunjukkan
adanya granulomatosa dan studi imunohistokimia menunjukkan bradizoit dan takizoit dari
toksoplasma gondii di parenkim otak (QJM : An International Journal of Medicine, 2016).

Gambar 2. Panah menunjukkan bradizoit intraseluler T. gondii yang terletak di sel-sel glia
otak (pewarnaan hematoxyline & eosin) (QJM : An International Journal of Medicine,
2016).
Gambar 2. Menunjukkan daerah nekrosis yang dikelilingi dengan makrofag, limfosit dan
banyak kista takisoit (INDRAYANI, 2011).

2.7 Penatalaksanaan

Terapi farmakologis pilihan pertama yang diindikasikan untuk toksoplasmosis yaitu


pirimetamin, sulfadiazin. Apabila pasien alergi sulfa, klindamisin dapat menjadi
alternatif. Semua rejimen pirimetamin harus mencakup asam folinat (leucovorin) untuk
mencegah toksisitas hematologi akibat obat, pemberian terapi biasanya selama 6 minggu
(Gregory, Tse Lee; Fernando, Antelo; Anton A, 2009).

Terapi dibagi menjadi fase akut dan fase rumatan. Pada fase akut diberikan rejimen
standar kombinasi pirimetamin dan sulfadiazine dengan dosis awal pirimetamin 200 mg
setiap hari, kemudian diturunkan dosisnya hingga 50-75 mg setiap harinya sebagai terapi
rumatan. Sedangkan dosis sulfadiazine adalah 4-8 g setiap harinya, rejimen ini dapat
diberikan selama 2 minggu. Dosis fase akut klindamisin yang dapat diberikan adalah 600
mg dalam sehari selama 3-6 minggu. Dosis fase rumatan klindamisin adalah 300-450 mg
tablet setiap 6 – 8 jam. Atovakuon dapat juga diberikan sebanyak 750 mg, 4 kali sehari
selama 21 hari. Pada kondisi imunosupresi berkelanjutan seperti yang dialami penderita
AIDS terapi rejimen rumatan tersebut perlu diberikan seumur hidup sebagai profilaksis.
Dosis yang diberikan untuk fase rumatan adalah setengah dari dosis fase akut. Terapi
profilaksis dapat dihentikan bila pasien menunjukkan perbaikan imunitas (meningkatnya
hitung CD4 di atas 200 sel/mm3 yang bertahan ≥ 6 bulan (Astriani & Sutarni, 2019).
Kortikosteroid seperti dexametason dapat diberikan pada pasien yang terbukti dari
pemeriksaan radiologi adanya gambaran lesi. Namun pemberian kortikostreoid dapat
membiaskan penilaian terhadap efektivitas antibiotik. Antikonvulsan dapat diberikan
pada pasien kejang, namun tidak direkomendasikan untuk penggunaan profilaksis
(Gregory, Tse Lee; Fernando, Antelo; Anton A, 2009).

Pada pasien yang belum atau tidak terdiagnosis toksoplasmosis terapi profilaksis sangat
dianjurkan untuk diberikan bila hitung CD4 kurang dari 100 sel/mm3 atau masih kurang
dari 200 sel/mm3 akan tetapi disertai dengan infeksi oportunistik atau keganasan.
Rejimen profilaksis yang dapat diberikan adalah kombinasi trimethoprim dan
sulfametoksazol (TMP-SMX). Rejimen TMP-SMX tersedia dalam bentuk tablet
kombinasi (160 mg trimethoprim dan 800 mg sulfametoksazol) dapat diminum 2 kali
sehari atau 14 tablet dalam seminggu. Profilaksis dapat dihentikan bila hitung CD4
meningkat hingga lebih dari 200 sel/mm 3 dan viral load yang rendah atau negatif,
biasanya setelah 3 bulan terapi (Astriani & Sutarni, 2019).

Tatalaksana simtomatis dapat disesuaikan dengan keluhan, dengan pemberian analgesik


sesuai dengan kebutuhan pasien. Gejala vestibular atau vertigo dapat diatasi dengan
pilihan terapi farmakologi seperti antikolinergik, antihistamin, antidopaminergik,
benzodiazepin, antagonis kalsium, simpatomimetik dan asetilleusin (Astriani & Sutarni,
2019).

2.8 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada organ lain bila pasien mengalami imunokompromise
seperti pada pasien AIDS organ lain yang sering terkena yaitu mata (50%), paru-paru
(26%), darah tepi (3%), jantung (3%), sumsum tulang (3%) dan kandung kemih (1%).
Keterlambatan terapi atau tidak adanya terapi dapat menyebabkan kematian (Yostila D &
Armen A, 2018).

2.9 Prognosis

Pada pasien dengan imunodefisiensi contohnya AIDS toksoplasmosis seringkali menjadi


infeksi kronis. Dengan adanya terapi fase akut dan rumatan, sebagian besar pasien
mengalami perbaikan kondisi dan pencegahan kekambuhan (Astriani & Sutarni, 2019).
2.10 Diagnosis Banding
1. Tuberkuloma

Gambar 2. pemindaian ct kranial setelah injeksi kontras menunjukkan beberapa lesi


hipodens bulat yang terletak di hemispherium serebral dengan edema di sekitarnya
yang ditandai dan peningkatan seperti cincin (Case 13185, 2016)

2. Ensefalitis

Gambar 2. Proton density-Axial pada wanita 62 tahun dengan ensefalitis herpes yang
menunjukkan hyperintensity T2, melibatkan lobus temporal kanan (Patel, 2019)
3. Limfoma SSP

Gambar 2. Limfoma SSP Sekunder : penampilan khas pada pasien dengan


kekebalan normal adalah peningkatan massa soliter. Biasanya ditunjukkan dengan
densitas yang tinggi pada CT non-kontras (NCCT) dan menunjukkan peningkatan
pada post kontras

2.11 Case Report

Seorang wanita 77 tahun dengan riwayat difus limfoma sel B besar (DLBCL) baru-baru
ini, status setelah enam siklus R-CHOP kemoterapi (yang terdiri dari rituximab,
siklofosfamid, doksorubisin, vinristin, dan prednisolon) disajikan dengan kelemahan sisi
kanan yang memburuk dan episode jatuh yang berulang. Kira-kira empat bulan sebelum
presentasinya, dia menyelesaikan siklus terakhir kemoterapi dan telah dinyatakan dalam
remisi total dengan scan positron emission tomography (PET) negatifnya. CT scan tanpa
kontras menunjukkan beberapa lesi dengan atenuasi rendah di inti otak bagian dalam dan
persimpangan abu-abu putih dari pita kortikal. Pungsi lumbal dilakukan dan beberapa tes
laboratorium dilakukan pada sampel. Tidak ada peningkatan neutrofil atau limfosit yang
diidentifikasi dan kadar glukosa berada dalam kisaran normal. Pengujian polymerase
chain reaction (PCR) untuk virus herpes simpleks HSV-1 dan HSV-2 negatif dan tidak
ada antigen kriptokokus yang terdeteksi. Satu-satunya temuan abnormal pada cairan
serebrospinal (CSF) adalah peningkatan konsentrasi protein. Lebih penting lagi,
pengujian PCR untuk Toxoplasma gondii tidak dilakukan pada sampel awal ini.
Pemindaian MRI kepala yang berulang menunjukkan lesi yang meningkatkan T1 dan T2
di seluruh belahan otak, terkait dengan limfoma berulang atau penyakit metastasis
multifokal. Biopsi otak stereotaktik dilakukan selanjutnya, karena status klinisnya terus
memburuk. Meskipun beberapa lesi yang meningkatkan diidentifikasi pada MRI, ini
sebagian besar terletak di daerah ganas basal dan motorik / premotor, yang menghalangi
biopsi yang aman dari lesi ini. Tim bedah saraf memilih lesi frontal kanan yang lebih
kecil untuk meminimalkan risiko. Biopsi menunjukkan astrogliosis dan infiltrat
limfositik sel T yang konsisten dengan ensefalitis / vaskulitis (Gambar 2). Pewarnaan
Grocott methenamine silver (GMS) negatif untuk jamur dan pewarnaan acid-fast bacilli
(AFB) negatif untuk mikobakteria. Pewarnaan imunohistokimia untuk sitomegalovirus
(CMV), HSV, varicella zoster (VZV), virus SV40, dan Toxoplasma gondii dilakukan
dan semuanya negatif. Status neurologisnya terus menurun dan dia meninggal. Seluruh
perawatan di rumah sakit adalah 18 hari. Dua hari sebelum dia meninggal, sampel CSF
lain diambil dan tes PCR dilakukan untuk Toxoplasma gondii. Tesnya positif, tetapi
hasilnya tidak lengkap sampai seminggu setelah kematiannya. Sertifikat kematiannya
ditandatangani oleh salah satu dokter yang merawatnya sebagai "limfoma sel besar".
Keluarganya meminta dan menyetujui untuk diotopsi, karena mereka tidak memahami
penurunannya yang cepat, terutama karena dia dinyatakan sembuh dengan limfomanya
selama empat bulan sebelum. Pada otopsi, otaknya menunjukkan pembengkakan
parahippocampal gyri. Beberapa lesi nekrotik diidentifikasi. Lesi terbesar berukuran 3 x
3 x 3 cm, terletak di putamen kiri dan globus pallidus dan mengenai kapsul internal kiri.
Terdapat lesi besar tambahan di ganglia basalis kiri dan lesi besar lainnya di regio
parasagital kiri, masing-masing berukuran 3 x 3 x 2 cm. Kepala kaudatus kanan juga
menunjukkan pelunakan dan ini berdekatan dengan area perdarahan 2 x 2 x 1 cm di
lobus frontal kanan, di mana biopsi otak dilakukan. Lesi kecil yang tak terhitung
banyaknya tersebar di seluruh belahan otak. Tidak ada lesi yang teridentifikasi di batang
otak atau otak kecil. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dan menunjukkan beberapa
abses nekrotik dengan inti debris dan neutrofil. Di pinggiran inti nekrotik terdapat
banyak neutrofil dan sel mononuklear sebagai serta banyak kapiler kecil dan pembuluh
darah trombosis. Di luar zona inflamasi yang ditandai ini terdapat banyak profil seluler
yang mengandung butiran kecil mengenai kista parasit bersama dengan astrogliosis yang
ditandai. Pewarnaan imunohistokimia untuk Toxoplasma gondii menunjukkan
banyaknya kista yang mengandung bradyzoites dan takyzoit kecil, tersebar, dan bebas
yang tak terhitung banyaknya. Jantung juga menunjukkan miokarditis akut yang tidak
merata dengan kista toksoplasma yang langka. Tidak ada limfadenopati yang tercatat
pada otopsi; namun, banyak kelenjar getah bening diambil sampelnya karena riwayat
klinis DLBCL. Tidak ada limfoma residual yang teridentifikasi. Satu-satunya temuan
anatomi signifikan lainnya adalah aterosklerosis arteri koroner sedang dan
bronkopneumonia yang tidak merata di lobus bawah paru kiri. tim klinis diberitahu dan
sertifikat kematian diubah menjadi "toksoplasmosis otak" (Harrison & Hulette, 2017)

Gambar 2. CT Scan tanpa kontras yang ditingkatkan (gambar kiri) yang menunjukkan lesi
dengan atenuasi rendah di ganglia basalis kiri. Pencitraan MRI T1-weighted post kontras
(gambar kanan) menunjukkan lesi target dengan nodul yang meningkat di dekatnya ke tepi
hiperintens (Harrison & Hulette, 2017) .

Gambar 2. Gambar biopsi bedah ini menunjukkan infiltrat mononuklear dengan


astrogliosis. Panah menunjukkan perwakilan astrosit reaktif (H&E, x400) (Harrison &
Hulette, 2017).
Gambar 2. Gambar dari otopsi ini menunjukkan lesi nekrotik besar di putamen kiri dan
globus pallidus (panah) dengan ekstensi ke kapsul internal. Lesi nekrotik tambahan
terlihat di persimpangan abu-abu-putih di belahan kanan (Harrison & Hulette, 2017).

Gambar 2. Bagian dari lesi ganglia basalis kiri nekrotik ini menunjukkan banyak
neutrofil dan profil seluler bulat yang sesuai kista parasit (panah) (H&E, x600) (Harrison
& Hulette, 2017).
BAB 3

PENUTUP

Toksoplasmosis serebri adalah suatu infeksi otak akut yang disebabkan oleh reaktivasi
kembali kista patogen intrasel T.gondii laten oleh karena adanya keadaan
imunokompremis (AIDS) dengan kadar CD4 rendah. Toksoplasmosis umumnya subakut
pada individu imunokompeten namun pada individu imunokompromis dapat terjadi
disfungi neurologis fokal maupun difus. Penyakit ini dapat menunjukkan progresifitas
yang pesat menyebabkan ensefalitis fatal difus atau ventrikulitis tanpa bukti lesi fokal di
otak. Pasien dengan keluhan demam dan sakit kepala harus dicurigai sebagai
toksoplasmosis. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan radiologi
berupa CT Scan atau MRI dan biopsi otak. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat
memberikan prognosis yang baik pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, N. ul huda M. and M. (2018). Case Report: Cerebral Toxoplasmosis Infection by


T.gondii in Young Patient with AIDS. 5–7.

Astriani, D., & Sutarni, S. (2019). Nyeri Kepala dan Pusing Berputar Sebagai Manifestasi
Klinis Toxoplasmosis Serebral.

Azovtseva, O. V. (2021). Cerebral toxoplasmosis in HIV-infected patients over 2015 – 2018 (


a case study of Russia ). 2018, 1–6.

Case 13185. (2016). https://doi.org/10.1594/EURORAD/CASE.13185

CDC. (2018). Parasites - Toxoplasmosis (Toxoplasma infection). Parasites - Toxoplasmosis


(Toxoplasma Infection). https://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/epi.html

F. Paulsen & J. Waschke. (2012). Sobotta Atlas Anatomi Manusia (23rd ed.). EGC.

Gregory, Tse Lee; Fernando, Antelo; Anton A, M. (2009). Best Cases from the AFIP. August,
1200–1205.

Harrison, W. T., & Hulette, C. (2017). Cerebral Toxoplasmosis: A Case Report with
Correlation of Radiographic Imaging, Surgical Pathology, and Autopsy Findings.
Academic Forensic Pathology, 7(3), 494–501. https://doi.org/10.23907/2017.042

INDRAYANI, I. A. S. (2011). Uji Validitas Kadar Cd4 Untuk Diagnosis Toksoplasmosis


Serebri Pada Penderita Acquired Immunodeficiency Syndrome. In Universitas Udayana
Denpasar.

Katusiime, C. (2018). Cerebral toxoplasmosis in an HIV negative patient: the first


documented case report in Africa and literature review. Clinical Practice, 3(1), 1–6.

QJM : An International Journal of Medicine. (2016). Cerebral toxoplasmosis. March, 491–


492. https://doi.org/10.1093/qjmed/hcw044

Sherwood, L. (2013). Sherwood Introduction to Human Physiology (8th ed.).


BROOKS/COLE CENGAGE Learning.

Vidal, E. (2019). HIV-Related Cerebral Toxoplasmosis Revisited : Current Concepts and


Controversies of an Old Disease. 18, 1–20. https://doi.org/10.1177/2325958219867315
Yostila D, & Armen A. (2018). Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS. Jurnal Kesehatan
Andalas, 7(Supplement 4), 96–99. http://jurnal.fk.unand.ac.id

Anda mungkin juga menyukai