Anda di halaman 1dari 2

Aku menatap gemas Alden. Mencubit pipi milik laki-laki itu dengan pelan. “Aduh. Sakit Zee.

” Teriak
laki-laki itu pelan. Aku hanya tertawa kecil. Aku peluk tubuh Alden dengan erat. Alden membalas
pelukannya dengan sedikit menepuk punggung milikku.

Aku dan Alden saling mencintai. Hubungan kami terbilang sangat baik untuk hubungan yang hampir
menginjak usia 3 tahun. Ya mungkin karena sifat Alden yang suka mengalah dan aku yang suka meminta
maaf terlebih dahulu. Alden adalah sosok laki-laki yang sangat jarang ditemukan dari laki-laki zaman
sekarang. Ia manis, lemah lembut, dewasa dan sangat perhatian. Aku sama sekali tak pernah menyesal
memilih tetap berada di sisinya.

“Kapan jadwal kerja kamu kosong?” Tanyaku pada Alden yang tengah sibuk mengemasi pakaian yang
akan ia pakai untuk dinas diluar kota.

“Aku belum bisa mengambil cuti untuk bulan ini. Tetapi akan aku usahakan Zee.” Alden mengecup
keningku dengan lembut. Aku mengangguk. Mengerti dengan keadaan Alden yang sangat sibuk dengan
pekerjaannya.

“Aku akan mencari pekerjaan.” Aku menatap Alden sekilas

“Untuk apa?”

Aku menaikkan kedua bahuku. “Kamu bertanya saja sama calon mertuamu.”

Ia menatapku bingung. “Ya aku tahu tapi begini Zee, rencana pernikahan kita semakin dekat.”

Aku memeluk tubuhnya secara tiba-tiba. Alden tersentak. Padahal aku hanya sedang mengelabui dirinya.
Tetapi melihat reaksi dari wajah Alden, tampaknya ia menanggapi secara serius perkataanku.

“Prankk.” Aku melepaskan pelukanku lalu berlari menjauh dan menjulurkan lidahku. Alden yang tampak
kebingungan kini memasang wajah kesalnya. Ia berlari mengejarku.

“Kamu nakal ya, Zee.”

Aku tertawa puas. “Hahaha tegang sekali wajahmu, Alden.”

Alden berhasil menangkapku. Ia memeluk tubuhku dari belakang. “Apa hukuman yang tepat untukmu,
Zee?” Bisiknya dari belakang telinga milikku.

Aku yang merasa kegelian hanya bisa tertawa dengan keras. “Ampun, ampuni aku Tuan Alden.”

Alden tak menggubris perkataanku. Ia melancarkan aksinya dengan tangan yang sedang sibuk
menggerayangi bagian sensitifku. Yaitu leher mulus milikku. Aku semakin tertawa terbahak-bahak
menahan rasa geli yang disebabkan oleh tangan milik Alden.

“Ampun hahaha a-aku.. janji tidak nakal lagi.”

“Oke, janji.” Alden memutar badanku. Kini kami saling berhadapan. Tatapan kami bertemu. Alden
mendekatkan hidung bangirnya ke hidung minimalis milikku. Lalu menggerakan hidungnya dan kini
hidung kami saling bersentuhan. Aku tersenyum penuh dengan kebahagiaan. Dan Alden mengecup
bibirku pelan. Kami saling berpagutan dengan mesra.

Ah, hari ini rasanya aku tak ingin kehilangan Alden. Tak ingin Alden pergi dinas dan hanya ingin Alden
berada disampingku. Aku sangat egois. Namun, aku dengan cepat menggelengkan kepalaku. Biarlah,
Alden hanya pergi sebentar. Ia akan kembali karena Alden adalah miliknya. Dan ia milik Alden.
Hubungan kami tak akan mungkin terpisahkan hanya karena jarak.

Aku menikmati malam ini sebagai malam terindahku. Merasakan hangatnya pelukan Alden sebelum ia
pergi dinas keluar kota. Untung saja malam ini dipenuhi dengan bintang. Kalau tidak, mungkin momen
ini tak akan terasa romantis.

“Aku mencintaimu.”

“Aku juga mencintaimu, Alden.”

Anda mungkin juga menyukai