Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program Pemberantasan Penyakit Menular mempunyai peranan dalam

menurunkan angka kesakitan dan kematian, melalui penerapan teknologi kesehatan

secara tepat oleh petugas kesehatan yang didukung peran serta aktif masyarakat

(Depkes RI, 2002).Salah satu penyakit menular adalah TB paru yang

penyebarannya sangat mudah karena penularannya hanya melalui droplet

yangdisebarkan lewat udara oleh penderita TB paru BTA (Bakteri Tahan Asam)

(+) (Depkes RI, 2002).

Micobacterium Tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk

dunia, menurut WHO sekitar 9 juta penduduk dunia diserang TB dengan

kematian 3 juta orang pertahun (WHO, 1997). Di Negara berkembang kematian

ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan

pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB paru berada di negara-negara

berkembang (Kompas, 2003).

Penyakit TBC (Tuberkulosis) termasuk penyakit infeksimenahun/kronis

dengan masa pengobatan 6 sampai 8 bulan, bahkan bias lebih dari 1 tahun bila

kuman penyebab TBC yaitu Mycobacteriumtuberculosis yang menginfeksi pasien

telah menjadi kebal atau resistenterhadap obat antiTBC yang umum, dan

diperlukan obat lebih khusus danmahal untuk penyembuhannya bahkan ada pula

yang memerlukan tindakanoperasi pada organ yang terkena infeksi seperti paru,
hati, dan lain-lain. Tuberkulosis dapat menyerang siapa saja, dari semua

golongan, segalausia dan jenis kelamin dan semua status sosial-ekonomi. Jadi

Tuberkulosisbukan penyakit keturunan maupun disebabkan oleh kutukan atau

guna-guna (Misnadiarly, 2006).

Di Indonesia TB paru kembali muncul sebagai penyebab kematian utama

setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT)

tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberculosis merupakan penyebab kematian

nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada

semua golongan umur dan nomor satu pada penyakit infeksi. Diperkirakan setiap

tahun 450.000 kasus TB Paru dimana sekitar sepertiga penderita terdapat di

puskesmas, sepertiga ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan

swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan (Depkes RI,

2002).

Dengan melihat tingginya angka kejadian infeksi TB paru di masyarakat,

maka pemerintah melakukan berbagai upaya melalui program pemberantasan TB

paru. Program pemberantasan TB paru di Indonesia dilakukan oleh direktorat

Tuberculosis, yang berada dibawah naungan direktorat Pemberantasan Penyakit

Menular Langsung (P2ML), ditjen PPM dan PLP Depkes RI. Tujuan pelaksanaan

program penanggulangan penyakit TBC meliputi tujuan jangka panjang yaitu

menurunkan angka kesakitan dan angka kematian dengan cara memutuskan rantai

penularan, sehingga penyakit TBC tidak lagi merupakan masalah kesehatan

masyarakat Indonesia. Melalui program ini diharapkan tercapainya angka


kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA positif yang

ditemukan dan tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap pada

tahun 2005 dapat mencapai 70% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif

(Depkes RI, 2002).

Akan tetapi pencapaian tersebut belum dapat dilakukan secara optimal.

Dilaporkan bahwa dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru beberapa

faktor yang menjadi hambatan, yaitu hambatan medik dan hambatan non medik

(Yunus, 1992). Faktor medik mengenai penyakit dan obat-obatannya, dimana

pemakaian obat anti TB yang memakan waktu 6 bulan menyebabkan penderita

bosan dan berhenti makan obat (Aditama, 2002), tidak jarang pula setelah makan

obat selama dua sampai tiga bulan gejala penyakit hilang dan

penderitamenghentikan makan obat (Aditama, 2002). Hambatan non medik yaitu

faktor sosial budaya seperti menganggap bahwa penyakit TB sebagai suatu mistik

(Yunus, 1992). Anggapan seperti ini mempengaruhi penderita untuk tidak mau

berobat ke puskesmas karena menganggap bahwa obat medis tidak mampu

menyembuhkan penyakitnya.

Pada tahun 2009 data jumlah terduga penderita TB paru di Sulawesi Utara

mencapai 37.240 orang,dengan temuan terduga sebanyak 33.671 orang. Pada

tahun 2010 dari jumlah terduga sebanyak 41.337 tetapi terduga yang ditemukan

hanya 26.823 orang (Dinkes Sulut, 2012).

Survey awal yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas Buko tahun 2012

jumlah penduduk mencapai 5725 orang, dari jumlah tersebut estimasi terduga

penderita TB paru sejumlah 215 orang dengan estimasi BTA Positif 85


orangorang penderita/tahun. Jika dilihat dari data tahun sebelumnya tahun 2011,

jumlah ini mengalami peningkatan dimana pada sampai dengan akhir desember

2011 tercata ada 61 penderita yang positif BTA.

Selama periode januari hingga agustus 2012, yang mendapatkan

pengobatan 6 bulan sebanyak 22 orang namun dari jumlah tersebut masih ada

juga penderita yang tidak rutin menjalani pengobatan. Hal ini menjadi hambatan

dalam proses pemberantasan penyakit tuberkolisis terutama masih adanya

penderita yang tidak rutin dalam menjalani pengobatan TBC. Untuk itu

dibutuhkan perhatian serius bagi puskesmas buko terutama dalam mengatasi

masalah hambatan dalam pemberantasan penyakit tuberkolosis paru.

Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka penelitian ini perlu

dilakukan untuk mengidentifikasi hambatan- hambatan pelaksanaan program

pengobatan TB paru di wilayah kerja puskesmas Buko kecamatan Pinogaluman

Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.

B. Rumusan Masalah

Hal-hal apa sajakah yang menjadi hambatan pelaksanaan program

pemberantasan penyakit TB paru di wilayah kerja puskesmas Buko kecamatan

Pinogaluman Kabupaten Bolaang Mongondow Utara ?


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan pelaksannan

program pemberantasan penyakit TB paru di wilayah kerja puskesmas Buko

kecamatan Pinogaluman Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.

2. Tujuan Khusus

a Mengidentifikasi hambataan medic yang meliputi penyakit dan

penyebabnya serta obat-obatan anti tuberkolosis terhadap hambatan dalam

pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru

b Mengidentifikasi Hambatan non medik yaitu hambatan pelaksanaan

program yang bukan berasal dari penyakit maupun obat-obatan yang dapat

menghambat tercapainya tujuan program pemberantasan TB Paru yaitu

pendidikan, sikap, social budaya, kemiskinan, keterlambatan deteksi dan

petugas.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai

pihak terkait tentang hambatan pelaksanaan program pemberantasan TB paru

a Aplikatif

1. Sebagai informasi tambahan dan masukan bagi praktek keperawatan,

khususnya keperawatan komunitas tentang bebagai hambatan pelaksaan

program pemberantasan penyakit TB paru di masyarakat


2. Sebagai informasi tentang hambatan pelaksanaan program pemberantasan

penyakit TB paru di puskesmas, agar jajaran pengelola program

pemberantasan TB Paru dapat mengembangkan dan memodifikasi

program terkait agar berjalan optimal.

b Keilmuan

Menambah khasanah keilmuan keperawatan komunitas, khsusnya tenatng

faktor penghambat pelaksaan program pemberantasan penyakit TB paru di

masyarakat dan upaya optimalisasi program.

c Penelitian Selanjutnya

Sebagai data pendukung bagi penelitian lanjutan yang berkaitan dengan

hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tubercolosis Paru

2.1.1 Definisi

Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis (Keliat, 2004). Penularan kuman ini melalui udara dan

bisa bertahan hidup di udara mulai beberapa menit sampai jam setelah dikeluarkan

oleh penderita sewaktu batuk, bersin, menyanyi dan berbicara, dan orang yang

terpapar akan terinfeksi (Alsagaff dan Mukty, 2006).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yangdisebabkan oleh kuman

TBC (Mycobacterium tuberculosis), sebagianbesar kuman TBC menyerang paru,

tetapi dapat juga mengenai organtubuh lainnya (Depkes RI,2002).

2.1.2 Kuman tuberkolosis

Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup

beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat

dormant, tertidur lama selama beberapa tahun(Depkes RI, 2002).

2.1.3 Epidemiologi

Micobacterium Tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia,

menurut WHO sekitar 9 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta

orang pertahun (WHO,1997). Di Indonesia khususnya Sumatera Utara tahun 2006

data jumlah terduga penderita TB paru mencapai angka 34.329 orang, dengan temuan
terbanyak 156,408 orang. Tahun 2007 dari jumlah terduga sebanyak 204,171 tetapi

terduga yang ditemukan hanya 117,136 orang (Antonio, 2008).

2.1.4 Etiologi

Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru, kuman ini

bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki

konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Tetapi juga dapat menyerang organ tubuh

lainnya seperti : usus, kelenjar getah bening (limfe), tulang, kulit, otak, ginjal dan

lainnya serta dapat menyebar ke seluruh tubuh (Aditama, 1994; Reeves, dkk, 2001).

Kuman TB berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam dan pewarnaan sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini dapat

cepat mati dengan sinar matahari langsung selama beberapa menit tetapi dapat

bertahan sampai beberapa jam pada tempat yang lembab. Dalam jaringan tubuh

kuman ini dapat dormant (tertidur) selama beberapa tahun ( Depkes RI, 2002).

2.1.5 Gambaran Klinik

Gambaran klinik dapat dibagi atas dua golongan yaitu gejala sistemik dan

gejala respiratorik. Gejala sistemik adalah : demam pada sore dan malam hari yang

merupakan gejala awal terjadinya penyakit TB dan malaise. Sedangkan gejala

respiratorik adalah batuk terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. Gejala

tambahan: batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, berat badan menurun, keringat

malam hari, demam meriang lebih dari sebulan (Aditama, 2002).

2.1.6 Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,

penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).


Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama

beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau terkena droplet tersebut dan masuk

kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh dan terus

menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem

saluran limfe, saluran nafas dan penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya

(Depkes RI, 2002).

Daya penularan dari seorang penderita, ditentukan banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,

makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak tahan

asam), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Depkes RI, 2002).

2.1.7 Riwayat Terjadinya tuberkolosis

a Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin

dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari

banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh

b Infeksi Sekunder

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulanatau tahun

infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuhmenurun akibat terinfeksi

HIV atau status gizi. Ciri khas darituberkulosis pasca primer adalah kerusakan

paru yang luas denganterjadinya kavitas (rongga) atau efusi pleura (lewatnya

gas padaselaput paru).

(Depkes RI,2002:10-11)
2.1.8 Resiko Penularan

Resiko penularan (Annual Risk Tuberculosis Infection) di Indonesia dianggap

cukup tinggi dengan variasi antara 1 – 3%. Bila suatu daerah ARTI sebesar 1%

berarti setiap tahun dari 1000 ada 10 orang yang terinfeksi dan dari 10 orang. dapat

diperkirakan bahwa di daerah tersebut setiap 100 penduduk rata-rata satu orang

penderita pertahun (Depkes, 2005).

2.1.9 Penemuan Penderita TB

Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan

tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang berkunjung ke unit pelayanan

kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif,

baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan

tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotif Case

Finding. Selain itu semua kontak penderita TB BTA Positif dengan gejala yang sama,

harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen

dahak dalam 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) (Depkes RI,

2005).

2.1.10 Diagnosa TB

TB dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak

secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari

tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu

diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak

SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan maka dapatdilakukan pemeriksaan

lain seperti biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik
spektrum luas selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala

mencurigakan TB ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau SPS positif didiagnosis

sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil SPS negatif, lakukan pemeriksaan foto

rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB,

didiagnosis penderita TB BTA negSatif rongent positif. Sedangkan bila rontgen

negatif penderita tersebut bukan penderita TB.

2.2 Program Pemberantasan Tubercolosis Paru

2.2.1 Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)

a Definisi

DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) adalah strategi

penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Atau dengan

kata lain DOTS adalah pengobatan TB jangka pendek dengan pengawasan ketat oleh

petugas kesehatan atau keluarga penderita. Dengan menggunakan strategi DOTS

maka proses penyembuhan TB dapat secara cepat. DOTS menekankan pentingnya

pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai

ketentuan, sampai dinyatakan sembuh. Starategi DOTS telah dibuktikan dengan

berbagai uji coba lapangan dengan memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank

dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang relatif paling

murah pembiayaannya (Aditama, 2002).

DOTS terdiri dari 5 komponen yang tidak dapat dipisahkan yaitu : (1).

Komitmen politis, berupa dukungan dana jajaran pemerintah/pengambilan keputusan

terhadap penanggulangan TB atau dukungan dana operasional. (2). Penemuan


penderita dalam pemeriksaan dahak dengan mikroskopis langsung. Pemeriksaan

penunjang lainnya seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan

kesehatan yang memilikinya. (3). pengadaan dan distribusi obat yang cukup dan tidak

terputus. Tersedianya obat antituberculosis (OAT) yang cukup dan tidak terputus bagi

penderita. (4). Pengawasan menelan obat. Untuk memastikan keteraturan penderita

minum OAT, dibutuhkan seorang pengawas minum obat (PMO), khususnya pada dua

bulan pertama dimana penderita minum obat setiap hari. (5). Sistim pencatatan dan

pelaporan data-data perkembangan penyakit TB Paru yang baku (Aditama, 2002).

Melalui sistem pencatatan dan pelaporan yang sama diseluruh unit pelayanan

kesehatan, akan memudahkan evaluasi. Dengan keseragaman penggunaan defenisi

kasus berdasarkan kategori penyakitnya, maka pencatatan penderita yang diikuti

secara konkrit akan dapat di evaluasi secara berkala. Dalam jangka panjang tujuan

program pengobatan pemberatasan TB di Indonesia adalah memutuskan mata rantai

penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat

Indonesia. Dalam jangka pendek, program ini bertujuan untuk memperluas sarana

kesehatan secara bertahap hingga mencapai minimal 70% dari total penderita TB

yang ada dapat di catat dan menyembuhkan minimal 80% dari total penderita yang

ditemukan. Prinsif DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap

penderita agar secara langsungdapat mengawasi keteraturan menelan obat dan

melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang

ditentukan (Aditama, 2002).

b Pengawas Menelan Obat ( PMO )


Untuk menjamin kesembuhan dan mencegah resistensi serta keteraturan

pengobatan dan mencegah drop out (lalai) dilakukan pengawasan dan DOTS melalui

pengawasan langsung menelan obat oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Bagi

penderita TB yang rumahnya dekat dengan puskesmas dan unit pelayanan kesehatan

lainnya maka PMOnya adalah petugas puskesmas, sedangkan bagi penderita yang

rumahnya jauh, diperlukan PMO atas bantuan masyarakat, LSM, PPTI (Perkumpulan

Pembantasan TB Indonesia) dan PKK. Obat harus ditelan setiap hari yang disaksikan

oleh PMO, jika tidak mungkin bagi penderita untuk datang setiap hari ke puskesmas

maka petugas puskesmas harus merundingkannya dengan penderita bagaimana

caranya agar terjamin obat di telan setiap hari. Sebelum obat pertama kali diberikan,

penderita dan PMO harus diberi penyuluhan tentang : TB bukan penyakit keturunan

atau kutukan, TB dapat di sembuhkan dengan berobat teratur, bagaimana tata laksana

pengobatan penderita pada tahap awal dan tahap intensif, pentingnya berobat secara

teratur, Karena itu pengobatan perlu di awasi, efek samping obat dan tindakan yang

harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut dan cara penularan dan mencegah

penularan (Aditama, 2002).

Adapun yang menjadi persyaratan untuk menjadi seorang PMO menurut

Depkes (2005) adalah : (1) Dikenal, di percaya dan di setujui oleh petugaskesehatan

dan penderita, selain itu juga harus disegani dan dihormati oleh penderita, (2) Dekat

dengan tempat tinggal penderita, (3) Bersedia membantu penderita dengan suka rela,

(4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

Seorang PMO akan bertugas untuk mengawasi penderita agar menelan obat

secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita agar
mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-

waktu yang telah ditentukandan memberi penyuluhan pada anggota keluarga

penderita TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka penderita TB untuk segera

memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005).

c Pengobatan TB Paru

Obat yang diberikan kepada penderita TB paru dengan BTA positif adalah

OAT (obat anti tuberculosis) yang telah diprogramkan pada tahun 1993/1994. Untuk

pengamanan dalam pelaksanaan pengobatan paduan OAT dikemas dalam bentuk

blister kemasan harian kombipak (paket kombinasi), dari kombipak I, kombipak II

untuk pase awal dan kombipak III untuk pase lanjutan, oleh karena itu sekali seorang

penderita memulai pengobatan ia harus menyelesaikannya dengan lengkap dan

hingga sembuh (Depkes RI, 2002).

Obat anti tuberculosis yang digunakan dalam program pengobatan TB jangka

pendek adalah : Isoniazid (H), Rifampisin (R), pirazinamid (Z), streptomisin (S) dan

ethambutol (E). oleh karena itu penggunaan rifampisin dan streptomisin untuk

penyakit lain hendaknya dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi kuman.

Pengobatan penderita harus didahului oleh pemastian diagnosismelalui pemeriksaan

laboratorium terhadap adanya BTA pada sample sputum penderita dan pemeriksaan

radiologi (Depkes RI, 2002).

Pemberian OAT juga harus sesuai dengan berat badan penderita, rata-rata berat

badan penderita TB menurut pengalaman petugas kesehatan antara 33-50 kg sehingga

kemasan dalam blister kombipak I, kombipak II, kombipak III dan kombipak IV

sangat sesuai ; bagi penderita dengan berat badan lebih dari 50 kg perlu penambahan
dosis. Pemberian pengobatan dengan kombipak sangat efektif dan praktis (Depkes

RI, 2002).

Obat yang dipakai dalam program pembertasan TB sesuai dengan rekomendasi

WHO berupa paduan obat jangka pendek yang terdiri dari 3 kategori, setiap kategori

terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal dan fase lanjutan/ intermitten yaitu, pada

Kategori I (2HRZE/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA positif dan

penderita baru BTA negatif tetapi rontgen positif dengan “sakit berat” dan penderita

ekstra paru berat. Diberikan 114 kali dosis harian berupa 60 kombipak II dan fase

lanjutan 54 kombipak III dalam kemasan dos kecil (Depkes RI, 2005).

Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3), diberikan kepada penderita dengan

BTA (+) yang telah pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya selama lebih dari

sebulan, dengan kriteria : penderita kambuh (relaps) BTA (+) dan gagal pengobatan

(failure) BTA (+) dan lain-lain dengan kasus BTA masih (+). Diberikan 156 dosis ,

fase awal sebanyak 90 kombipak II, fase lanjutan 66 kombipak IV, disertai

streptomisin (Depkes RI, 2005).

Kategori III (2HRZ/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA (-)/

roentgen (+) dan penderita ekstra paru ringan. Pemberian dengan dosis 114 kali. Pada

pase awal 60 kombipak 1 dan pase lanjutan 54 kombipak III. OAT sisipan (HRZE),

diberikan pada pengobatan kategori I dan II yang pada pase awal masih BTA (+),

untuk ini diberikan obat sisipan selama 1 bulan, dimakan setiap hari (Depkes RI,

2005).

Kategori kasus berdasarkan riwayat pengobatan : (1) Kasus baru : penderita

yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberculosis (OAT),
atau pernah akan tetapi kurang dari 1 bulan. (2) Kambuh/ relaps : pernah dilaporkan

sembuh, tetapi datang lagi dengan BTA (+). (3). Pindahan/transfer in : telah terdapat

dan mendapat pengobatan ditempat pengobatan lain, kini datang berobat serta

mendaftarkan diri untuk lanjutan pengobatan. (4). Pengobatan setelah default/lalai :

penderita yang datang berobat setelah berhenti makan obat selama 2 bulan atau lebih.

Dan (5). Gagal : penderita BTA (+) yang tetap memberikan hasil BTA (+), walaupun

setelah pengobatan fase awal (Depkes RI, 2005).

Pemakaian obat anti tuberculosis (OAT) jangka pendek sesuai rekomendasi

WHO, yaitu berdasarkan kategori dan klasifikasi penyakit sangat penting. Obat anti

TB yang digunakan sesuai dengan program pemerintah guna mencegah kegagalan

pengobatan (Depkes RI, 2005).

d Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut

Hasil pengobatan penderita dapat dikategorikan sebagai : sembuh, pengobatan

lengkap, meninggal, pindah (transfer out) defaulted (lalai)/ DO dan gagal (Depkes RI,

2005). Kategori pertama, penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah

menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak (follow

up) paling sedikit 2 (kali) berturut- turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan atau

sebulan sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya). Contoh

penderita yang dinyatakan sembuh, bila hasil pengobatan ulang dahak negatif pada

akhir pengobatan (AP), pada sebulan sebelum AP, dan pada akhir intensif. Penderita

dengan hasil pemeriksaan dahak negatif pada AP dan pada akhir intensif (pada

penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum

AP tidak diketahui hasilnya. Selanjutnya, bila hasil pemeriksaan dahak negatif pada
AP dan pada setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan), meskipun

pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya. hasil

pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada akhir intensif

(pada penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak

diketahui hasilnya. Contoh berikutnya, bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif

pada sebulan sebelum AP dan pada stelah sisipan (pada penderita yang mendapat

sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya.

Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya

memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap (Depkes RI, 2002). Kategori

hasil pengobatan yang kedua, pengobatan lengkap adalah penderita yang telah

menyelesaikanpengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang

dahak dua kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila

gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap

(Depkes RI, 2002). Kategori selanjutnya penderita yang pada masa pengobatan

diketahui meninggal karena sebab apapun (Depkes RI, 2002). Kategori keempat

adalah penderita yang pindah berobat ke kabupaten/kota lain. Tindak lanjut :

penderita yang ingin pindah dibuatkan surat pindah dan bersama sisa obat dikirim ke

unit pelayanan yang baru (Depkes RI, 2002).Kategori hasil pengobatan kelima,

penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatan selesai. Tindak lanjut: Lacak penderita tersebut dan berikan penyuluhan

pentingnya berobat secara teratur. Apabila penderita melanjutkan pengobatan lakukan

pemeriksaan dahak. Bila positif lakukan pengobatan dengan kategori 2, bila negatif

sisa pengobatan kategori 1 dilanjutkan (Depkes RI, 2002). Terakhir, penderita BTA
positif yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada

satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. Tindak lanjut :

penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai dari awal,

penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 dirujuk ke UPK

spesialistik atau berikan INH seumur hidup. Penderita BTA negatif yang hasil

pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan kedua menjadi positif. Tindak lanjut :

berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal (Depkes RI, 2002).

2.2.2 Penyuluhan Kesehatan

Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah

rangkaian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar untuk

mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara

keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan

meningkatkan kesehatan (Depkes RI, 2002;Effendy, 1998).

Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan

dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah

untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam

penanggulangan TB Paru.

Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting

secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan

dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan

media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk

media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi.


Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan

sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita.

Penyuluhan ini ditujukan kepada penderita dan keluarganya, supaya penderita

menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang

sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar

dari penularan TB Paru.

Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama terlebih dahulu

dijelaskan tentang penyakit TBC, bagaimana riwayat pengobatan sebelumnya,

bagaimana cara pengobatannya, juga perlu dijelaskan pentingnya pengawasan

langsung menelan obat dan bagaimana penularan penyakit TBC (Depkes RI, 2002).

Selanjutnya pada kunjungan berikutnya, hal-hal yang perlu dijelaskan mengenai cara

menelan OAT, jumlah obat dan frekuensi menelan OAT, penting juga dijelaskan

mengenai efek samping OAT juga perlu dijelaskan jadwal pemeriksaan ulang dahak

dan arti hasil pemeriksaan tersebut, dan tak kalah pentingnya penjelasan mengenai

apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap.

Petugas kesehatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor yang dapat

menghambat terciptanya komunikasi yang baik. Faktor yang menghambat tersebut,

antara lain ketidaktahuan penyebab TBC dan cara penyembuhannya, rasa takut yang

berlebihan terhadap TBC yang menyebabkab timbulnya reaksi penolakan, juga

adanya stigma sosial yang mengakibatkan penderita merasa takut tidak diterima

keluarga dan temannya serta hambatan yang berupa menolak untuk mengajukan

pertanyaan karena tidak mau ketahuan bahwa ia tidak tahu tentang TBC (Depkes,

2002).
Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan

untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi

masyarakat tentang TB Paru sebagai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan

dan memalukan, menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi dapatdisembuhkan. Bila

penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif.

Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan

PMO, sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain

dilakukan oleh tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sector termasuk

kalangan media massa (Depkes RI, 2002).

2.3 Hambatan Pelaksanaan Pemberantasan Tubercolosis Paru

Hambatan pelaksanaan program TB Paru adalah masalah-masalah yang

dihadapi dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru yang meliputi

hambatan medik dan nonmedik yang mengakibatkan tidak tercapainya pelaksanaan

program pemberantasan TB paru.

Menurut Yunus,dkk, (1992) pada umumnya hambatan dalam pelaksanaan

program pemberantasan TB paru dapat di golongkan dam masalah medik dan

masalah nonmedik.

2.3.1 Hambatan Medik

Ada dua hal yang menyangkut masalah medik yaitu pertama berasal dari

penyakit dan penyebab penyakit. Tuberculosis adalah penyakit menahun,

berkembang secara kronik. Dalam perjalanannya ada masa tenang, ada masa

eksaserbasi. Dalam masa eksaserbasi akan muncul sarang-sarang radang

(pneumonis), dalam masa tenang sarang-sarang tersebut menyembuh dengan


membentuk sarang-sarang fibrotis/proliferatif. Makin lambat diagnosisditegakkan,

makin banyak sarang-sarang fibrotis. Kavitas akan menjadi kavitas sklerotik

(Yunus,dkk, 1992).

Obat antituberkulosis akan berhasil baik pada sarang-sarang TB bentuk

pneumoni, sarang-sarang pneumonis akan diresorbsi kembali. Obat antituberkulosis

tidak akan mengembalikan jaringan fibrosis menjadi jaringan parenkhim, kavitas

sklerotik tetap akan menjadi sklerotik (Yunus,dkk, 1992). Pemakaian obat

antituberkulosis yang lama, apalagi yang tidak teratur akan menimbulkan resistensi

kuman terhadap obat. Resistensi kuman terhadap obat akan diketahui setelah dua

bulan berlalu.

Kedua, masalah yang berasal dari obat antituberkulosis (OAT). Pada umumnya

sekarang tidak ada lagi hambatan dari segi obat, khususnya setelah ditemukan obat-

obat bakterisid. Semua paduan obat akan berhasil baik, asal dikerjakan sesuai aturan

mainnya. Beberapa hal dari segi obat yang harus diperhatikan, yaitu : pemakaian obat

antituberkulosis yang tidak teratur dapat menimbulkan resistensi kuman terhadap

obat.dan harus dijaga, jangan sampai pemakaian obat yang berbulan-bulan

menimbulkan efek samping dari obat-obatan yang bersangkutan (Aditama, 2002)).

2.3.2 Hambatan Non-Medik

Masalah nonmedik merupakan hambatan penting yang menyebabkan kegagalan

pengobatan TB paru. Masalah nonmedik mencakup :

a Pendidikan

Pendidikan yang rendah/tidak adanyan pengetahuan, khususnya terhadap

peyakit dan hygiene (Yunus,dkk, 1992). Dengan pendidikan yang kurang penderita
tidak menyadari bahwa penyembuhan penyakit dan kesehatan itu umumnya

berpangkal daripenderita atau masyarakat itu sendiri. pendidikan yang kurang

menyebabkan sesorang tidak dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencpai

taraf hidup yang baik yang sangat dibutuhkan untuk penjagaan kesehatan

b Sikap

Hal lain yang merupakan masalah adalah sikap klien yang tidak acuh terhadap

dirinya sendiri, khususnya terhadap penyakit yang di deritanya. Berhubungan dengan

rendahnya pendidikan terdapat perasaan tidak acuh terhadap dirinya mengenai

kesehatan lingkungannya, dan terhadap penyakit yang sedang di deritanya. Terutama

lagi perasaan tidak acuh ini terhadap penyakit kronis, seperti tuberculosis. Mungkin

juga frustasi karena berbulan-bulan tidak juga sembuh, meningkatkan perasaaan tidak

acuh terhadap penyakit tuberculosis (Yunus,dkk, 1992).

c Social budaya

Sosial budaya ataupun kehidupan status ekonomi dan sosial budaya diantaranya

perumahan yang kurang memadai ruangan, ventilasi yang kurang mendapat cahaya

matahari, membuang ludah sembarangan, penjagaan kebersihan lingkungan yang

baik dan menganggap penyakit tuberculosis sebagai sesuatu yang mistik, dan bahkan

sebagai hukuman dari Tuhan (Yunus,dkk, 1992).

d Kemiskinan

Tuberculosis adalah penyakit yang umumnya menyerang masyarakat dengan

status miskin karena tidak sanggup meningkatkan daya tahan tubuh, makanan yang

tidak mencukupi dan kurang gizi, tidak sanggup membeli obat yang seharusnya

dikonsumsi secara rutin, juga karena kemiskinan mengharuskan mereka bekerjakeras


(secara fisik), sehingga kondisi ini mempersulit proses penyembuhan penyakit TB

Paru yang diderita (Yunus,dkk, 1992).

e Petugas Kesehatan

Dedikasi dari petugas penting artinya untuk mendapatkan keberhasilan dalam

tiap tugas, datang terutama untuk penyakit kronik seperti tuberculosis yang

membutuhkan pasien harus terus dimotivasi dengan baik. Karena kesibukannya

petugas tidak mempunyai waktu lagi memperhatikan untuk melakukan pengawasan.

Pasien yang tidak mengerti apa yang dihadapinya dengan sendirinya akan lalai

berobat sampai putus berobat,apalagi kalau penderita sudah merasakan sembuh dari

penyakitnya (Yunus,dkk, 1992).


BAB III

KERANGKA KONSEP

4.1 Kerangka Konseptual

Gambar 1. Kerangka konsep hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit

paru di Puskesmas Buko Kecamatan pinogaluman

Hambatan Pelaksanaan
ProgramPemberantasan
TB Paru yangmeliputi :
 Hambatan medic yaitu
Program Pemberantasan
pengethuan penyakit
TB Paru
dan Penggunaan obat
obatan
 Hambatann non medic
yaitu Sikap, Social
budaya, Kemiskinan, ,
petugas

4.2 Definisi Operasional

Variable Definisi Operasional Alat ukur Hasil ukur skala

Hambatan  Pengetahuan adalah  Kuisioner 1=tinggi Jika Ordinal

medic adanya pengetahuan, Berupa 3 nilai > median

khususnya terhadap pernyata- 0=rendah jika ≤

peyakit dan pengobatan an median

terutama TBC
 Penggunaan obat adalah  Kuisioner 0=tinggi Jika Ordinal

obat-obatan yang berupa 7 nilai > median

digunakan dalam pernyata- 1=rendah jika ≤

mengatasi perkembang an median

biakan kuman TBC

Hambatan non  Sikap merupakan sikap  Kuisioner 1=tinggi Jika Ordinal

medic klien yang tidak acuh 4 item nilai > median

terhadap dirinya sendiri, pernyataa 0=rendah jika ≤

khususnya terhadap n median

penyakit yang di

deritanya

 Social budaya yaitu  Kuisioner 1=tinggi Jika Ordinal

menganggap penyakit 3 item nilai > median

tuberculosis sebagai pernyataa 0=rendah jika ≤

sesuatu yang mistik, dan n median

bahkan sebagai hukuman

dari Tuhan

 Kemiskinan yaitu  Kuisioner 0=tinggi Jika Ordinal

berhubungan dengan 3item nilai > median


tingkat ekonomi yang pernyataa 1=rendah jika ≤

menyebabkan kebutuhan n median

makanan yang tidak

mencukupi dan kurang

gizi, sehingga

berpengaruh pada daya

tahan tubuh

 Petugas yaitu orang yang  Kuisioner 1=tinggi Jika Ordinal

bertugas dalam 2 item nilai > median

pemberantasan TBC pernyataa 0=rendah jika ≤

dalam hal ini petugas n median

P2M puskesmas buko

4.3 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di puskesmas Buko, dengan pertimbangan bahwa di

tempat ini ditemukan kejadian TB Paru dengan kecenderungan kasus yang

mengalami peningkatan dan dari survey awal ditemukan ada klien peserta program

pengobatan TB paru yang tidak tuntas melakukan pengobatan. Disamping itu lokasi
penelitian adalah tempat tinggal peneliti sehingga hasil penelitian ini dapat

ditindaklanjuti di kemudian hari. Waktu penelitian selama bulan Oktober 2012.


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Metode Penelitian

4.1.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode deskritif eksplorasi, yang bertujuan

untuk memberikan gambaran tentang hambatan pelaksanaan program pemberantasan

penyakit TB paru di puskesmas Buko kecamatan Pinogaluman kabupaten Bolaang

Mongondow Utara.

4.1.2 Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah penderita TB paru yang telah didata dalam

program pengobatan penyakit TB paru di puskesmas Buko berdasarkan data

puskesmas periode Januari hingga Agustus tahun 2012 sejumlah 20 orang.

4.1.3 Sampel

Dari data puskesmas Buko diperoleh jumlah penderita TB paru yang berobat ke

puskesmas Buko tahun 2012 sebanyak 20 Orang. Dalam penentuan sampel

penelitian, peneliti menggunakan teknik total sampling yaitu sampel berjumlah 20

orang penderita tubercolosis paru.

4.1.4 Instrumen Penelitian

a Kuisioner Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden,peneliti menggunakan alat

pengumpulan data berupa kuesioner tertulis berupa pernyataan yang dibuat sendiri

oleh peneliti dengan berpedoman kepada kerangka konsep dan tinjauan pustaka dan
studi dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari puskesmas

Buko.

Instrumen penelitian berupa data demografi yang berisi : usia responden, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan, suku,jarak tempat tinggal dengan pelayanan

kesehatan. Sedangkan data kedua berisikan pernyataan yang dapat digunakan untuk

mengetahui hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru yang di

nilai dari 2 aspek yaitu masalah medik (nomor 1 - 10) dan masalah non-medik

(nomor 11 – 22). Dalam penelitian ini peneliti menilai jawaban responden pada

kuesioner dengan menggunakan skala likert dimana responden diminta untuk

memberikan tanda checklist (√) pada salah satu jawaban yang dianggap paling sesuai.

Untuk pernyataan positif skor untuk : tidak setuju (TS) = 1, setuju (S) = 2,

sangat setuju (SS) = 3. sedangkan untuk pernyataan negatif skor untuk, tidak setuju

(TS) = 3, setuju (S) = 2 dan sangat setuju (SS) = 1. dari sejumlah pernyataan yang ada

skor minimum yang mungkin di peroleh adalah 22 dan skor maksimum adalah 66.

b Reliabilitas Instrumen

Untuk mengetahui kepercayaan (reabilitas) instrumen akan dilakukan uji

reabilitas instrument yang bertujuan untuk mngetahui sejauhmana suatu alat pengukur

dapat dipercaya dan diandalkan untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Alat

ukur yang baik adalah alat ukur yang sama bila digunakan beberapakali pada

kelompok sample (Arikunto, 2002). Dalam penelitian ini menggunakan uji reabilitas

internal yang diperoleh dengan cara menganalisis data dari satu kali hasil pengetesan

(Arikunto, 2002).
4.1.5 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kuesioner dan

dokumentasi. Penelitian dimulai setelah peneliti menerima surat izin pelaksanaan

penelitian dari institusi pendidikan yaitu Program Studi Ilmu KeperawatanUniversitas

Muhammadiyah Gorontalo dan surat izin dari kepala Puskesmas Buko kecamatan

Pinogaluman.

Pada saat pengumpulan data peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan

menjelaskan tujuan,manfaat dan prosedur penelitian. Setelah mendapatkan

persetujuan responden,peneliti membagikan kuesioner dan mendampingin responden

saat pengisian kuesioner tersebut. Penelitian dilakukan pada pasien yang datang ke

puskesmas Buko pada saat mengambil obat yaitu setiap 10 hari. Karena lokasi

wilayah puskesmas yang begitu luas, tidak semua pasien datang mengambil obat ke

puskesmas tapi melalui puskesmas pembantu maka untuk memperoleh data

keseluruhan peneliti meminta bantuan kepada sejawat petugas puskesmas pembantu.

Metode dokumentasi yaitu pengumpulan data atau dokumen yang berkaitan

dengan penelitian yang di peroleh dari bagian Rekam Medik dan petugas TB paru

puskesmas Buko.

4.1.6 Analisa Data

Setelah semua data terkumpul maka analisa data dilakukan dengan memeriksa

kembali semua kuesioner satu persatu yaitu identitas dan data responden serta

memastikan semua jawaban sudah diisi sesuai dengan petunjuk kemudian memberi

tanda kode terhadap setiap pertanyaan yang telah diajukan guna mempermudah

peneliti ketika melakukan tabulasi, data diolah menggunakan pengolaan data


komputerisasi. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan

persentase.kelengkapan, kejelasan, relevansi, serta konsistensi jawaban responden.

Kuesioner yang belum lengkap akan dikembalikan kepada responden untuk diisi

kembali pada saat itu juga. Coding, yaitu proses mengubah data berbentuk huruf

menjadi data berbentuk bilangan sehingga akan mempercepat proses memasukkan

data serta memudahkan pada saat analisis data. Scoring, yaitu proses memberi nilai

untuk setiap pertanyaan sesuai dengan ketepatan jawaban responden. Jawaban

responden diberi scor dan hasil scoring ini akan dijumlahkan, sehingga setiap

responden memiliki nilai tersendiri. Processing, yaitu proses memasukkan data ke

dalam program komputer.Cleaning, yaitu proses pengecekan kembali data-data yang

telah dimasukkan untuk melihat ada tidaknya kesalahan, terutama kesesuaian

pengkodean yang dilakukan. Apabila terjadi kesalahan maka data tersebut akan

segera diperbaiki sehingga sesuai dengan hasil pengumpulan data yang dilakukan.
BAB V

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan gambaran hasil penelitian tentang hambatan

pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru di Puskesmas Buko

Kecamatan Pinogaluman Kabupaten Bolaang Mongondow Utara setelah dilakukan

pengumpulan data sejak tanggal 13 Desember 2012 sampai dengan 20 Desember

2012.

5.1. Karakteristik Responden

Deskripsi karakteristik responden pada penelitian ini mencakup usia, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan, suku, jarak tempat tinggal dengan pelayanan

kesehatan dan lama waktu mengikuti program pengobatan.

Pada tabel 1 hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden

berusia 30-39 tahun (55%) dengan usia rata-rata 35 tahun (SD = 10,33) dan berjenis

kelamin laki-laki (60%). Responden pada umumnya berpendidikan SMP (40%) dan

SMU (40%), pekerjaan mayoritas sebagai petani (45%), suku Batak (80%).

Umumnya bertempat tinggal dengan jarak 1-2 km dari tempat pelayanan kesehatan

(45%) >4 km (10%). Responden pada umumnya baru pertama kali mengikuti

program pengobatan TB paru (50%).


Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden (n=20)

Karakteristik Frekuensi Persentase


Usia
 18-29 Tahun 5 25
 30-39 Tahun 11 55
 > 40 Tahun 4 20
Jenis Kelamin
 Laki-laki 12 60
 Perempuan 8 40

Pendidikan
 SD 4 20
 SMP 8 40
 SMU 8 40

Pekerjaan
 PNS 1 5
 Wiraswasta 2 10
 Petani 9 45
 Karyawan 2 10
 Tidak ada 6 30

Suku
 Bolaang 16 80
mongondow
 Gorontalo 2 10
 Sangihe 2 10

Jarak Tempat Tinggal


dengan Puskesmas
 < 1 km 4 20
 1-2 km 9 45
 2-3 km 2 10
 3-4 km 3 15
 > 4 km 2 10

Status Penderita
 Pertama Kali 10 50
 Lanjutan 5 25
 Pernah gagal 5 25
5.2. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan

pengetahuan TB Paru

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa 85% responden setuju datang ke puskesmas

setelah merasakan adanya sesak bernafas, 30% responden setuju sudah pernah

mengikuti program pengobatan tetapi tidak tuntas sesuai program, 95% setuju datang

ke puskesmas setelah terlebih dahulu mencoba pengobatan lain tetapi tidak sembuh.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program


Pemberantasan TB Paru berdasarkan pengetahuan TB Paru (n=20)

S KS TS
Pernyataan
n (%) n (%) n (%)
Datang ke puskesmas setelah merasakan adanya 17 ( 85 ) 1(5) 2 ( 10 )
sesak bernafas

Pernah mengikuti program pengobatan tetapi 6 (30) 1(5) 13(65)


tidak tuntas sesuai program

Datang ke puskesmas setelah terlebih dahulu 19 ( 95) 0(0) 1(5)


mencoba pengobatan lain dan tidak sembuh

5.3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Pemakaian

OAT

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa hambatan program pemberantasan TB paru

adalah 15% responden tidak minum obat secara teratur sesuai petunjuk petugas

kesehatan, 55% responden tidak menjaga dan memperhatikan waktu minum obat

tepat waktu, dan 45% tidak rutin minum obat selama 6 bulan karena yakin akan

sembuh, 40% responden berhenti minum obat karena merasa sudah sembuh walaupun

belum 6 bulan, 25% responden tidak datang ke puskesmas untuk kontrol dan
mengambil obat, 70% responden enggan makan obat karena rasa mual dan muntah

setelah makan obat.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program


Pemberantasan TB Paru berdasarkan Pemakaian OAT (n=20)

S KS TS
Pernyataan
n (%) n (%) n (%)
Minum obat secara teratur sesuai petunjuk 13 ( 65 ) 4 ( 20 ) 3 ( 15 )
petugas kesehatan

Selalu menjaga dan memperhatikan waktu 2 ( 10 ) 7 ( 35 ) 11 (55)


minum obat agar tepat waktu

Selalu minum obat setelah selesai makan walau 18 (90) 1 (5) 1(5)
waktu makan telah lewat.

Rutin minum obat selama 6 bulan karena yakin 9 (45) 2 (10) 9 (45)
akan sembuh.

Berhenti minum obat karena merasa sudah 8 (40) 5 (25) 7 (35)


sembuh walaupun belum 6 bulan

Datang ke puskesmas setiap 10 hari untuk 10 (50) 5 (25) 5 (25)


kontrol dan mengambil obat

Rasa mual dan muntah setelah makan obat 14 (70) 0(0) 6 (30)
membuat enggan makan

5.4. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Sikap

Tidak Acuh terhadap Penyakit

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa 55% responden tidak memiliki ventilasi rumah

yang cukup, pintu dan jendela selalu dibuka setiap hari, 70% responden datang ke

puskesmas hanya jika sempat, 70% responden enggan datang ke puskesmas karena

merasa obat yang diberikan tidak ada pengaruhnya pada penyakitnya, 70% responden

tidak diawasi oleh petugas atau keluarga sewaktu minum obat.


Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program
Pemberantasan TB Paru berdasarkan Sikap Tidak Acuh terhadap Penyakit
(n=20)

S KS TS
Pernyataan
n (%) n (%) n (%)
Ventilasi rumah, pintu dan jendela selalu dibuka 13 ( 65 ) 4 ( 20 ) 3 ( 15 )
setiap hari

Selalu menjaga dan memperhatikan waktu 2 ( 10 ) 7 ( 35 ) 11 (55)


minum obat agar tepat waktu

Selalu minum obat setelah selesai makan walau 18 (90) 1 (5) 1(5)
waktu makan telah lewat.

Rutin minum obat selama 6 bulan karena yakin 9 (45) 2 (10) 9 (45)
akan sembuh.

Berhenti minum obat karena merasa sudah 8 (40) 5 (25) 7 (35)


sembuh walaupun belum 6 bulan

Datang ke puskesmas setiap 10 hari untuk 10 (50) 5 (25) 5 (25)


kontrol dan mengambil obat

Rasa mual dan muntah setelah makan obat 14 (70) 0(0) 6 (30)
membuat enggan makan

5.5. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan

Permasalahan Sosial Budaya

5.6. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Masalah

Kemiskinan

5.7. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Petugas

Kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

Aditama. (1994). Tuberkulosis, Masalah dan Penanggulangannya, Jakarta:


Universitas Indonesia

Aditama. (2002). Tuberkulosis Paru, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Edisi-4.,


Jakarta: IDI

Alsagaff, H, dkk. (2006). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi-4., Surabaya:


Universitas Airlangga

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi-VI.,


Jakarta: PT. Bineka Cipta

Crofton, Sir J, dkk. (2002). Tuberkulosis Klinis, Edisi-2., Jakarta: Widya Medika

Depkes RI. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, JakartaI

Depkes RI. (2005). Indonesia Capai Kemajuan Dalam Penanggulangan Penyakit


TBC. Diambil tanggal 7 september 2012 dari
http://www.depkes.go.id/index.php.

Depkes RI. (2009). Talk Show Menteri Kesehatan RI Pada Peringatan Hari TB
sedunia. Diambil tanggal 27 september 2012 dari
http://www.ppl.depkes.go.id/images data/TBC.pdf

Depkes RI. Kajian Riset Operasional Pemberantasan Penyakit menular tahun


1998/1999-2003. Diambil tanggal 27 september 2012 dari
http://www.Litbang.Depkes.go.id.

Effendi ( 1998), Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2., Jakarta:


EGC

Litbang Depkes RI (2009). Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan


Penyakit Menular tahun 1998/1999 – 2003. Diambil tanggal 27 september 2012
dari http://www.Litbang.Depkes.go.id.

Keliat, E.N.et all. (2004).Pengobatan Tuberculosis Paru yang Terbaru. Suplemen


MK Nusantara 37

Komala, S. (1996). Pengobatan Tuberkulosis Pedoman Untuk Program- Program


Nasional, Edisi-1., Jakarta: Hipokrates
Misnadiarly. (2006). Mengenal, Mencegah, Menanggulangi TBC Paru, Ekstra Paru,
Anak, dan Pada Kehamilan, Edisi-1., Jakarta: Pustaka Populer Obor
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi.,Jakarta: PT.
Rineka Cipta

Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan:


Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Jakarta:
Salemba Medika
Lampiran 1

FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN

Gambaran Tentang Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Tb Paru


Di Puskesmas Buko Kecamatan Pinogaluman Kabupaten Bolaang Mongondow Utara

Oleh : Ferawati Damopolii

Nim: CO 140 9012

Saya adalah mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Gorontalo. Ingin melakukan penelitian di Puskesmas

Buko kecamatan Pinogaluman kabupaten Bolaang Mongondow Utara dengan tujuan

untuk mendapatkan Gambaran Tentang Hambatan Pelaksanaan Program

Pemberantasan Penyakit Tb Paru.

Penelitian ini salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas skripsi di Jurusan

Keperawatan Fakultas Ilmu KesehatanUniversitas Muhammadiyah Gorontalo. Maka

saya mengharapkan kesediaan bapak/Ibu menjadi responden dalam penelitian ini.

Informasi yang saya dapatkan ini hanya akan digunakan untuk pengembangan ilmu

keperawatan dan tidak akan dipergunakan untuk maksud lain. Partisipasi Bapak/Ibu

dalam penelitian ini bersifat bebas untuk menjadi responden penelitian atau menolak

tanpa ada sanksi apapun. Jika Bapak/Ibu bersedia menjadi responden silahkan

Bapak/Ibu menandatangani formulir persetujuan ini.

Tanggal :

No. responden :

Tanda tangan :
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bersedia untuk ikut

berpartisipasi dalam pengumpulan data yang dilakukan oleh mahasiswa

JurusanJurusan Keperawatan Fakultas Ilmu KesehatanUniversitas Muhammadiyah

Gorontalo, yang bernama : Ferawati Damopolii, Nim. CO 140 9012, tentang

“Gambaran Tentang Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Tb

ParuDi Puskesmas Buko kecamatan Pinogaluman kabupaten Bolaang Mongondow

Utara”

Saya mengerti bahwa tidak ada resiko yang akan terjadi pada saya. Apabila ada

pertanyaan yang menimbulkan respon emosional yang tidak nyaman atau berakibat

negatif terhadap saya, saya berhak menghentikan atau mengundurkan diri dari

penelitian ini tanpa adanya sanksi atau kehilangan hak.

Saya mengerti bahwa catatan/data mengenai penelitian ini akan dirahasiakan

dan hanya dipergunakan untuk pengolahan data pada penelitian ini saja.

Demikian secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya

berperan dalam penelitian ini.

Buko, November 2012

Tanda Tangan

( )

INSTRUMEN PENELITIAN
LEMBAR KUESIONER

Kode :

Tgl :

Petunjuk pengisian

Isilah pertanyaan pada data demografi dan berilah tanda checlist (√) pada pernyataan

yang menurut anda benar dan bila ada pernyataan yang kurang dimengerti, anda dapat

ditanyakan kepada peneliti. :

A. Data Demografi

No. responden ( )

1. Usia : ……………….Tahun

2. Jenis Kelamin

1  Laki-laki

2  Perempuan

3. Suku

1  Gorontalo 3  Jawa

2  Bolaang Mongondow 4  Minahasa

4. Pekerjaan

1  Ibu rumah tangga 3  Wiraswata

2  Pegawai swasta 4  PNS 5  Petani

5. Pendidikan

1  SD 3  SMA

2  SMP 4  D III/Sarjana
6. Mengikuti program pengobatan

1  Pertama kali

2  Lanjutan.

3  Pernah gagal

4  Tuntas

7. Jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan :

1  Kurang dari 1 Km

2  1 Km – 2 Km

3  2 Km – 3 Km

4  Lebih dari 5 Km
B. Data tentang hambatan pelaksanaan program

Petunjuk Pengisian : Berilah tanda checlist (√) pada pernyataan yang menurut anda

benar pada kolom berikut dengan ketentuan pilihan yaitu :

S = Setuju, KS = Kurang Setuju,TS = Tidak Setuju.

No PERNYATAAN MASALAH MEDIK S KS TS


1 Saya datang ke Puskesmas setelah merasakan adanya sesak
bernafas
2 Saya sudah pernah mengikuti program pengobatan tetapi tidak
tuntas sesuai program.
3 Saya datang ke puskesmas setelah terlebih dahulu mencoba
pengobatan lain dan tidak sembuh.
4 Saya minum obat secara teratur sesuai dengan petunjuk petugas
kesehatan
5 Saya selalu menjaga dan memperhatikan waktu minum obar agar
tepat waktu
6 Saya selalu minum obat setelah selesai makan walau waktu
makan saya telah lewat
7 Saya akan rutin minum obat selama 6 bulan karena saya yakin
akan sembuh
8 Saya akan berhenti minum obat karena saya merasa sudah
sembuh walaupun belum 6 bulan.
9 Saya selalu datang ke puskesmas setiap 10 hari untuk kontrol
dan mengambil obat.
10 Rasa mual dan muntah setelah makan obat membuat saya
enggan makan obat
No PERNYATAAN MASALAH NON MEDIK S KS TS
11 Ventilasi rumah saya cukup, pintu dan jendela selalu dibuka
setiap hari
12 Saya datang berobat ke puskesmas hanya jika saya sempat
13 Saya malas datang ke puskesmas karena saya merasa obat yang
diberikan tidak ada pengaruhnya pada penyakit saya
14 Saya selalu diawasi oleh petugas/keluarga sewaktu minum obat
15 Menurut keyakinan saya penyakit TBC lebih diakibatkan oleh
mistik
16 Saya lebih suka berobat alternatif daripada ke dokter di
puskesmas
17 Menurut saya penyakit saya ini hanya dapat disembuhkan oleh
tabib di daerah tersebut
18 Saya tetap bekerja seperti biasa meskipun saya sedang sakit
untuk memenuhi kebutuhan keluarga
19 Saya makan apa adanya karena saya tidak mampu membeli
makanan bergizi
20 Setelah menderita TBC saya minum susu untuk memperkuat
daya tahan tubuh
21 Saya mendapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan selama
menjalani pengobatan
22 Petugas kesehatan melakukan pemeriksaan rutin, menimbang
berat badan setiap berkunjung

Anda mungkin juga menyukai