Anda di halaman 1dari 4

A.

Mantuq

1. Pengertian mantuq

Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan. oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah
dilalah mantuq adalah:

Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan
(lafal).

Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara
seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. 1 Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis Rasulullah dilihat dari
segi kebahasaan menurut jumhur ulama Ushul Fiqli bisa menunjuk kepada hukum melalui mantuq dan
bisa pula melalui mafhum, baik mafhum muwafaqah maupun mafhum mukhalafah seperti yang akan
datang dijelaskan.

Menurut ulama Ushul Fiqh, mantuq dibagi kepada mantuq sharih dan mantuq gairu sharih. Mantuq
sharih secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Menurut istilah, seperti
dikemukakan oleh Mushtafa Sa’id al-Khin, ialah:

makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh
atau berupa bagiannya.2

Kalangan ulama Syafi’iyah, dilâlah lafal nash dibagi kepada dua macam, yaitu dilâlat al-mantûq dan
dilâlat al-mafhûm. Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :

‫داللة المنطوق ھى داللة اللفظ على حكم شئ ذكر فى الكآل م ونطق بھ‬.

“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan
apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat
dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-
Nisa’ (4): 23:

‫ ُك ُم ٰالّتِ ْي َد َخ ْلتُ ْم‬.ِ‫ٰالّتِ ْي فِ ْي ُحجُوْ ِر ُك ْم ِّم ْن نِّ َس ۤا ِٕٕى‬

“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri
yang telah kamu gauli…”

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas bahwa haram
menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli.

1
jurnal tumin

2
buku ushul fiqh
B. Macam-macam mantuq.

Adapun mantuq dibagi menjadi dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.

1. Mantûq Sarih

Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas
secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini
adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.Pada dasarnya
mantuq ada yang berupa nas, zahir:

a. Nash

Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak
mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196

ٌ‫صيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة اَي ٍَّام فِى ْال َح ِّج َو َس ْب َع ٍة اِ َذا َر َج ْعتُ ْم ۗ تِ ْلكَ َع َش َرةٌ كَا ِملَة‬
ِ َ‫فَ َم ْن لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬

“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali.
Itulah sepuluh hari yang sempurna.”

Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.

b. Zahir

Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan,
tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫اغ َّواَل عَا ٍد فَٓاَل اِ ْث َم َعلَ ْي ِه ۗ اِ َّن َ َغفُوْ ٌر ر‬
‫َّح ْي ٌم‬ ٍ َ‫اِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا اُ ِه َّل بِ ٖه لِ َغي ِْر ِ ۚ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

2. Mantûq Ghairu Sarih

Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:

a. Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi
melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat
atau peristiwa. Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah
saw. bersabda:

“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yang menghidupkan (mulai
mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga
melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya
bagi pemilikan tanah untuknya.

b. Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan
pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan
oleh redaksi itu. Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:

َ ِ‫ص ْينَا ااْل ِ ْنسَانَ بِ َوالِ َد ْي ۚ ِه َح َملَ ْتهُ اُ ُّمهٗ َو ْهنًا ع َٰلى َو ْه ٍن َّوف‬
‫صالُهٗ فِ ْي عَا َم ْي ِن‬ َّ ‫َو َو‬

“...Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun...”

c. Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada
redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu. Contohnya
sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:

“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari
umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat
Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan.
Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum),
sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah,
karena lupa atau karena keterpaksaan.

C. Kehujjahan mantuq

Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum
muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali
mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk
penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum
padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada
dalil lain yang menentukannya.

Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling shahih, mafhum-
mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:

1. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada dalam
pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan anak-anak perempuan dan istri-istrimu
yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat
dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada
umumnya anak-anak perempuan istri kita berada dalam pemeliharaan suami.
2. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS. Al-Mu’minin:
117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada
suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”

Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak
ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk
memperkuat realita realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping Allah,
bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya. 3

3
jurnal 3

Anda mungkin juga menyukai