Anda di halaman 1dari 11

Makalah Fiqh

KAIDAH USHULIYYAH

Dosen Pengampu:

Drs. Sabilal Rusdi

Disusun Oleh:

Helda Annisa Yusfik 20010223

Helma Rasyida Ansari Putri 20010224

Normakiyuddin 20010243

Saidah Nafisah 20010250

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

SYEKH MUHAMMAD NAFIS

TABALONG
2020

BAB I
PEMBUKA

A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah hukum tidaklah disusun dalam suatu kurun waktu tertentu. Hukum-hukum itu
baru tersusun secara sistematis di kemudian hari sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan
ijtihad dikalangan para pakar dan pendiri madzhab dalam hukum islam.
Makna-makna yang tergantung dalam kaidah-kaidah hukum ditetapkan oleh para pakar
hukum islam yang kemudian dikenal sebagai pendiri dan tokoh madzhab hukum. Mereka
menyusun kaidah-kaidah hukum berdasarkan pengalaman empiriknya yang kemudian
dirumuskannya melalui penalaran induktif. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kaidah-
kaidah hukum itu baru dikodifikasikan pada abad ke-3 hijriah.
Bunyi pernyataan dalam bentuk kaidah hukum dalam kitab-kitab hukum karya ulama
terdahulu berbeda dengan bunyi pernyataan kaidah hukum dalam kitab-kitab yang ditulis para
pakar hukum islam yang datang kemudian. Tokoh pendahulu dalam penulisan kaidah-kaidah
hukum islam adalah Abu al-Hasan Ubaidillah bin al-Husain bin al-Karkhi (160-340H) yang
dikenal dengan nama al-Karkhi. Kaidah tentang ijtihad dalam karya al-Karkhi berbunyi.
Artinya : Pada pokoknya apabila suatu kasus telah ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad,
maka ketetapan tersebut tidak dapat dihapuskan dengan hasill ijtihad serupa. Ketetapan tersebut
dapat dihapus berdasarkan nash.
Susunan pernyataan yang terkandung di dalam kaidah hukum itu tidak diketahui secara pasti
dari mana asal-usulnya. Akan tetapi, kaidah hukum itu ada yang dipetik sepenuhnya dari teks al-
Qur’an dan dari hadits Nabi.
Dengan mengamati definisi-definisi diatas dapatlah dipaham bahwa kaidah-kaidah hukum
yang dibangun oleh para pakar hukum itu disusun berdasarkan penalan induktif. Para ahli ushul
fiqh, yakni kaum epistemology hukum islam telah menyusun kaidah-kaidah hukum itu
berdasrkan penalaran induktif.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Al- qawa’id ushuliyyah


Qawa’id merupakan bentuk jamak dari qa’idah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia
disebut dengan kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson Munawwir menjelaskan
bahwa qa’idah adalah al-asas (dasar, asas atau fondasi), al-mabda’ (prinsip) dan al-nasaq
(metode atau cara).1 Sedangkan Musthafa Ahmad al-Zarqa menjelaskan bahwa arti kaidah secara
bahasa adalah al-asas, baik berupa asas yang konkrit (inderawi) maupun yang abstrak
(ma’nawi).2 Ushûl secara etimologis berarti pangkal, asal, sumber, pokok, pusat, asas, dasar,
sebab.3Bentuk jamak dari ashl. Pengertian lain Ushûl adalah ‫( م??ا ب??ني علي??و غ??يره‬sesuatu yang
menjadi dasar bagi yang lain).4 Sementara secara terminologis, ushûl dapat diartikan kepada
beberapa kata sebagai berikut5:
1. Qa’idah Kulliyyah.
Kaidah ini disebut pula dengan peraturan umum. Artinya, melaksanakan ketentuan syara
kecuali dalam keadaan terpaksa.
2. Rujhân.
Asal arti kata ini berarti kuat. Ashal dari pada perkataan adalah hakikatnya. Yakni, berarti
yang kuat dan yang diambil adalah makna hakikatnya bukan makna majaznya.
3. Mustahab.
Arti dari kata ini adalah penyesuaian. Arti ini didapatkan dari kaidah ‫أألصل بقاء ماكان على ماكان‬
yang berarti “menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada
sekarang”. Dengan demikian, maksud kaidah ini penetapan hukum sesuatu atas hukum yang
telah ada.

1
Ahmad warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pesantren al-Munawwir,
1984), 1224
2
Muhammad Sidqi Ibn Ahmad ibn Muhammad al-Burnu, al-Wajiz fi Idah Qawaid al-Fiqh alKuliyyat
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), 13-14. Lihat pula dalam Ali Ahmad al-Nadawi, alQawa’id al-Fiqhiyyat
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1998), 39
3
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2007), h. 28.
4
Muhammad al-Utsaimin, al-Ushul min Ilmi Ushul, h. 2.
5
Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh: Sebuah Pengenalan Awal (Banda Aceh: Nasa, 2013), h. 371-374.
4. Maqis ‘alaih.
Maksud dari kata di atas adalah meng-qiyas-kan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
5. Dalil.
Maksud dari kata ini adalah di mana dalam penetapan hukum harus didasarkan pada dalil.
Berdasarkan penjelasan mengenai definisi di atas, kaidah ushuliyah dapat dipahami sebagai
kaidah atau metode atau pendekatan atau teori yang ditempuh Mujtahid dalam menggali hukum
syara‟ agar tidak terjadi kesalahan dalam penggaliannya. Dengan kata lain, kaidah ushuliyah
merupakan instrumen penting untuk memelihara keadilan dan kemaslahatan masyarakat setiap
masa.
B. Contoh-Contoh Kaidah Ushuliyyah
Kaidah Ushuliyyah dibagi menjadi dua bagian yakni:

1. Kaidah Ushuliyah Lughowiyah


Sumber-sumber hukum Islam baik al-Qur’an dan As-Sunnah keduanya berbahasa arab. Maka
untuk memahami hukum syariat dibutuhkan pengetahuan uslub bahasanya, metode dalalahnya,
dan penunjukkan lafal baik secara mufrad maupun murakkab. Dari sinilah ulama ushul fiqh
6
bereksperimen dengan bahasa sehingga muncul kaidah-kaidah kebahasaan (lughowiyah).
Kaidah ini meliputi tujuh kaidah yakni:
a. Kaidah Ke-1 Metode Dalalah Nash
- Ibarot an-Nash (makna yang langsung bisa dipahami dari bentuk kalimatnya). Contoh: ‫وأح ّل‬
‫هللا البيع و حرّم الرّبا‬
Kehalalan jual-beli dan keharaman riba langsung dapat dipahami dari bentuk nash.
- Isyarot an-Nash (makna tidak bisa langsung dimengerti, namun diperlukan perenungan
karena ia adalah makna lazim).
ّ
Contoh:‫وكسوتهن بالمعروف وعلى‬ ّ
‫رزقهن‬ ‫المولود له‬
Secara ibarot an-nash, nash tersebut menunjukkan wajibnya ayah memberi nafkah kepada
istri berupa rizki dan pakaian. Secara isyarot an-nash, dipahami sesungguhnya ayahlah
satu-satunya yang menanggung nafkah anak-anaknya, karena mereka adalah miliknya
bukan orang lain. Hal ini berimplikasi pada hukum perwalian terhadap anak, dalam hal
waris ayah juga menjadi ashobah (penerima sisa) jika anaknya meninggal dan tidak

6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (t.t.p.: al-Haromain, 2004), cet. II, hlm. 140.
mempunyai anak, atau mempunyai anak namun perempuan. Juga karena anak milik ayah,
maka semua harta kekayaan anak juga menjadi milik ayah.
- Dalalat an-Nash (makna yang dipahami dari ruh nash dan rasionalitasnya)
ّ ‫فال تقل لهما‬
Contoh: ‫أف‬
Ibarotnya menunjukkan larangan anak mengatakan “ah” pada orang tuanya. Sedangkan
illat dalam pelarangan tersebut adalah segala sesuatu yang menyakiti orang tua.
- Iqtidlo’ an-Nash (makna yang tidak tampak dalam perkataan yang mana makna kalimat
tersebut tidak bisa tegak atau didapat kecuali dengan mengira-ngirakannya atau
memasukkannya)
Contoh: ‫حرّمت عليكم أ ّمهاتكم وبناتكم‬
Yakni yang diharamkan adalah menikahi mereka. Kata “menikahi” perlu disisipkan karena
tuntutan nash tersebut memang seperti itu.
b. Kaidah Ke-2 Mafhum Mukhalafah
Definisinya sendiri adalah hukum yang tersirat (tidak terucap) yang berbeda dengan yang
tersurat (diucapkan), baik dalam menetapkan atau meniadakan hukum. Metode ini tidak bisa
didapatkan dengan 4 metode dalalah diatas. Selanjutnya mafhum mukholafah dapat dilihat dari
segi sifat, syarat, ghoyah (batasan), dan adad (bilangan).
Contoh: ‫وحالئل أبنائكم الّذين من أصالبكم‬
Nash menunjukkan haramnya menikahi istri-istri dari anak kandung. Maka mafhum
mukholafahnya yaitu halal menikahi istri-istri anak yang bukan kandung. Ini termasuk mafhum
al-washf (dari segi sifat).
c. Kaidah Ke-3 Kejelasan Dalalah dan Tingkatannya
Sesuai urutan jelasnya dalalah dari yang terendah hingga yang tertinggi dibagi menjadi 4,
yakni:
1. Dhohir
Ia adalah sesuatu yang menunjukkan makna dengan bentuk kalimatnya, tanpa bergantung
kepada aspek luar. Tetapi makna tersebut bukan makna asal (ashalah) dari runutan kalam,
serta dhohir memungkinkan ta’wil.
Contoh: ‫وأح ّل هللا البيع و حرّم الرّبا‬
Kehalalan setiap jual beli dan haramnya setiap riba menjadi makna dhohir karena dapat
langsung dipahami tanpa membutuhkan qarinah. Namun makna tersebut bukanlah maksud
asal dari runutan ayat karena ayat tersebut runutan asalnya bertujuan untuk meniadakan
persamaan antara jual beli dan riba bukan untuk menjelaskan hukum keduanya. Hal itu
sebagai argumen bagi orang-orang yang berkata, “Bahwasanya jual beli itu sama halnya
dengan riba”.7
2. Nash
Ia adalah sesuatu yang menunjukkan makna dengan bentuk kalimatnya, tanpa bergantung
kepada aspek luar, sebagai makna asal yang dituju oleh runutan kalam.
Contoh: ‫وأح ّل هللا البيع و حرّم الرّبا‬
Nash-nya yaitu tiada persamaan antara jual beli dan riba.
3. Mufassar
Ia dengan sendirinya menujukkan makna yang terperinci. Dan rincian tersebut tidak
menerima ta’wil, sehingga wajib diamalkan beserta rincian-rinciannya. Contohnya yakni ayat
dalam orang-orang yang menuduh zina.
Contoh : ‫فاجلدوهم ثمانين جلدة‬

Maka bilangan yang tertentu tersebut tidak mungkin ditambah dan dikurangi serta tidak bisa
dikehendaki pada selain maknanya.
Termasuk dari mufassar ayat-ayat al-Qur’an yang asalnya bersifat global namun dirinci
dengan as-Sunnah.
Contoh: ‫ وأقيموا الصالة‬dirinci dengan hadits
‫كما رأيتموني أصلّي صلّوا‬.

4. Muhkam
Ia menunjukkan maknanya yang mana tidak menerima pembatalan, penggantian dan
ta’wil. Contoh: menyembah kepada Allah, iman kepada rasul dan kitab (hukum dasar kaidah
agama), birrul walidain, adil (pokok-pokok keutamaan yang tidak akan berubah lantaran
perubahan kondisi), dan hukum tidak diterimanya persaksian penuduh zina selamanya
(hukum cabang juz’i yang ditunjukkan oleh syari’ berlaku selamanya).

7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (t.t.p.: al-Haromain, 2004), cet. II, hlm. 162.
d. Kaidah Ke-4 Kesamaran Dalalah dan Tingkatannya
Sesuai urutan samarnya dalalah dari yang terendah hingga yang tertinggi dibagi menjadi 4,
yakni:
1. Al-Khofiy
Ia adalah nash yang belum jelas maksudnya yang ketidak jelasannya tersebut bukan dari
bentuk nash, melainkan ketika diterapkan pada bagian-bagian lain yang sejenis, terdapat
makna yang kabur dan tersembunyi, sehigga perlu penalaran untuk menegaskan makna yang
kabur tersebut.
Contoh: ‫والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما‬
As-Sariq (pencuri) adalah orang yang mengambil barang berharga milik orang lain dengan
cara sembunyi-sembunyi di tempat yang terlindungi, tanpa izin pemiliknya. Tetapi ada
kesamaran ketika diterapkan pada bagian-bagian lain yang sejenis. Seperti an-Nasyal, orang
yang mengabil harta dengan terang-terangan di depan umum dengan macam-macam
ketangkasan dan kecepatan tangan. Dan juga an-Nabasy yang mengambil harta yang tidak
disenangi pada umumnya dari kuburan, seperti kain kafan. Keduanya berbeda sifatnya dengan
as-Sariq.
Lantas apakah keduanya harus dipotong tangan, menurut Imam Syafi’i dan Abi Yusuf
keduanya adalah pencuri maka harus dipotong tangannya. Sedangkan menurut ulama’
Hanafiyah, an-Nasyal akan dikenai potong tangan apabila harta yang diambil masih dalam
tempat penjagaan seperti saku dan lengan, dan an-Nabasy bukanlah pencuri maka ia diberi
sanksi atau ta’zir tanpa dipotong tangannya.8
2. Al-Musykil
Ia adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya belum menunjukkan maknanya, sehingga
perlu unsur lain untuk menjelaskan maknanya tersebut.
ّ
Contoh: ‫بأنفسهن ثالثة قروء‬ ‫والمطلّقات يتربّصن‬
Makna quru’ tidak bisa dipahami dengan sendirinya karena secara bahasa ia berarti suci
dan haid. Perlu qarinah lain dalam memahami makna mana yang diharapkan dalam ayat
diatas. Menurut Imam Syafi’i dan beberapa mujtahid, makna quru’ dalam ayat ini adalah suci

8
Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar el-Fikr, 1999), cet.I, hlm. 182-183.
(thuhr) berdasarkan adad yang digunakan. Sedangkan menurut ulama hanafiyah dan
kelompok lain dari mujtahid, makna quru’ dalam ayat adalah haid. Berdasarkan hikmah dari
pensyariatan iddah yakni untuk mengetahui bersihnya rahim dan haid menjadi tanda bahwa
rahim bersih dari adanya pembuahan. Dan juga pendapat ini didasari ayat dan hadits.
3. Al-Mujmal
Ia adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya tidak menunjukkan makna yang dimaksud,
tanpa ada qarinah baik secara lafal maupun konteks yang menjelaskannya. Dan Syari’ sendiri
yang akan menjelaskannya. Contoh: lafal Sholat, Zakat, Shiyam, Hajj, dan Riba yang
kesemuanya itu sudah keluar dari makna bahasanya dan yang diharapkan oleh Syari’ adalah
makna istilah syar’inya. Sunnah lah yang nanti akan menjelaskan maknanya. Lafal-lafal yang
ghorib (asing) yang dijelaskan oleh nash sendiri, seperti al-qoriah dalam surat al-qoriah, yang
dijelaskan ayat selanjutnya.
4. Al-Mutasyabih
Ia adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya tidak menunjukkan makna yang dimaksud,
tanpa ada qarinah baik secara lafal maupun konteks yang menjelaskannya. Dan Syari’ tidak
memberi penjelasan.
Contoh: ‫ ق‬,‫ ن‬,‫ يس‬,‫ الر‬,‫الم‬
Termasuk dari Mutasyabih yaitu ayat-ayat yang secara dhohir terdapat penyerupaan Allah
dengan makhluknya. Contoh :‫يد هللا فوق أيديهم‬
e. Kaidah Ke-5, Ke-6, dan Ke-7 adalah Musytarok dan dalalahnya, Am dan dalalahnya, dan
Khosh dan dalalahnya.
Penjelasan secara singkatnya yakni Musytarok adalah lafal yang mempunyai makna lebih dari
satu, Am adalah lafal yang menunjukkan atas tercakupnya seluruh kesatuan-kesatuan yang sesuai
tanpa ada batasan, dan Khosh adalah lafal yang menunjukkan atas satu kesatuan atau kesatuan-
kesatuan yang sesuai maknanya secara terbatas (tidak menyeluruh).9
2. Kaidah Ushuliyah Tasyri’iyyah
Kaidah-kaidah Ushuliyyah Tasyri’iyyah ini menjadi landasan bagi ulama’ Ushul Fiqh dalam
meneliti hukum-hukum syar’i dan dalam meneliti illat dan hikmah dari hukum syar’i. Dari nash-
nash yang ada ditetapkanlah dasar-dasar dan pokok-pokok pensyariatan. Seperti halnya
memelihara dasar-dasar pensyariatan dalam istinbath hukum dari nash-nash adalah keharusan

9
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, hlm. 177-178.
maka memeliharanya dalam beristinbath hukum dalam perkara yang tidak ada nashnya menjadi
lebih harus lagi, supaya pensyariatan menjadi nyata dalam maksud tujuan yang menghantarkan
pada kemaslahatan manusia, dan keadilan.
Kaidah ini dibagi menjadi 5 kaidah, dan akan kami bahas satu saja:
1. Tujuan Umum Pensyariatan
Tujuan umum Syari’ dalam pensyariatan hukumnya adalah pencapaian kemaslahatan manusia
meliputi pemenuhan kebutuhan dhoruriy (dasar), dan penyempuraan kebutuhan hajiy (biasa),
serta kebutuhan tahsiny (pembagus).10
Disebut dhoruriy jika kebutuhan itu menyangkut kehidupan manusia, sekiranya jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi maka rusaklah sistem kehidupan manusia. Yang termasuk dhoruriy
antara lain agama, jiwa, akal, harga diri, dan harta.
Disebut hajiy jika ia merupakan sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mendapat
kemudahan, dan menghilangkan kesulitan hidup. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka sistem
kehidupan tidak akan rusak dan tidak terjadi kekacauan di dalamnya, namun manusia akan
mengalami kesusahan dan kesempitan. Yang termasuk di dalamnya adalah keringanan-
keringanan syariat dalam menanggung taklif sehingga manusia mudah dalam melakukan
interaksi, dan transaksi. Misalnya dalam ibadah, orang yang sakit dan berpergian boleh
membatalkan puasa. Dalam muamalah, manusia memenuhi kebutuhannya dengan akad-akad
muamalah yang bermaslahat dan tidak merugikan manusia dalam perspektif syariat. Dan dalam
pidana, orang yang membunuh tanpa sengaja hukumannya lebih ringan dari pada orang yang
membunuh dengan sadar.
Disebut tahsiniy jika ia berhubungan dengan harga diri dan sopan santun. Jika kebutuhan ini
tidak ada maka kehidupan manusia akan dianggap aneh menurut akal sehat dan fitrah normal.
Dan termasuk didalamnya adalah kemuliaan akhlak dan perbaikan kebiasaan serta segala sesuatu
yang dituju manusia untuk menjalani hidup dengan cara lebih baik. Misalnya dalam sholat,
disyariatkan kesucian badan, pakaian dan tempat serta menutup aurat. Dan dalam muamalah,
diharamkan menipu, memalsukan, terlalu berlebihan dan terlalu irit.11

BAB III
10
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, hlm. 197
11
Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, hlm. 199-200
PENUTUP

A. Kesimpulan
Qawaid Ushuliyah Tasyriiyyah dalam bahasa Indonesia bisa memliki banyak arti. Kata
qaidah sendiri sudah diserap menjadi kaidah. Secara umum, pembahasan singkat tentang topik
ini memberikan kesimpulan bahwa dari segi teoretis sudah banyak kajian-kajian yang
menyinggung, meskipun belum terperinci atau terkhusus menjadi sebuah buku. Hal penting dari
kaidah ushuliyah tasyriiyyah adalah pengetahuan tentang definisi, kegunaan, sifat dan sumber
dapat membawa seseorang untuk bisa mengaplikasikan kaidah-kaidah ushuliyah yang begitu
banyak. Selain itu, dalam praktiknya harus diperhatikan lima prinsip, yaitu tujuan umum
pensyariatan, hak Allah dan hak mukallaf, situasi dan kondisi boleh berijtihad, hukum naskh dan
ta‟arudh dan tarjih agar dapat menggali hukum dengan memelihara keadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin Muhammad, al-Ushul min Ilmi Ushul.

az-Zuhaili Wahbah, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar el-Fikr, 1999), cet.I.

Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (t.t.p.: al-Haromain, 2004), cet. II. hlm(140,
162,177-178, 197, 199-200).

Muhammad Sidqi Ibn Ahmad ibn Muhammad al-Burnu, al-Wajiz fi Idah Qawaid al-Fiqh
alKuliyyat (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), 13-14. Lihat pula dalam Ali Ahmad al-
Nadawi, alQawa’id al-Fiqhiyyat (Damaskus: Dar al-Qalam, 1998), 39

Munawwir Ahmad warson, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pesantren al-


Munawwir, 1984), 1224

Munawwir Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:


Pustaka Progresif, 2007).

Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh: Sebuah Pengenalan Awal (Banda Aceh: Nasa, 2013), h. 371-374.

Anda mungkin juga menyukai