Anda di halaman 1dari 35

Artikel:

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS DI TINGKAT


SEKOLAH DASAR

Judul: PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS DI TINGKAT SEKOLAH DASAR


Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi bagian IPS / SOCIAL SCIENCE.
Nama & E-mail (Penulis): Arief Achmad Mangkoesapoetra
Saya Guru di SMAN 21 Bandung
Topik: Model Pembelajaran
Tanggal: 16 Agustus 2005

Menyongsong Diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi :


PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS DI TINGKAT SEKOLAH DASAR
Oleh :
Drs. ARIEF ACHMAD MSP., M.Pd.

Pendahuluan

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) secara nasional akan diimplementasikan


pada tahun pembelajaran 2004-2005, meskipun semenjak digulirkan (2001) sudah
ada beberapa sekolah yang memberlakukannya, dalam bentuk uji coba atau
menjadi pilot project dari Depdiknas. Gaung KBK kiranya sudah menggema ke
seluruh pelosok persada tanah air tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), khususnya di kalangan pendidikan. Demikian halnya harapan yang sama
ditujukan bagi KBK pendidikan IPS di tingkat SD.

Tulisan ini mencoba memberikan deskripsi tentang hal-hal apa saja yang perlu
diketahui, dipahami, dan diimplementasikan dari KBK IPS di tingkat SD itu.

Pendidikan IPS untuk Sekolah Dasar

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD harus memperhatikan kebutuhan


anak yang berusia antara 6-12 tahun. Anak dalam kelompok usia 7-11 tahun
menurut Piaget (1963) berada dalam perkembangan kemampuan
intelektual/kognitifnya pada tingkatan kongkrit operasional. Mereka memandang
dunia dalam keseluruhan yang utuh, dan menganggap tahun yang akan datang
sebagai waktu yang masih jauh. Yang mereka pedulikan adalah sekarang
(=kongkrit), dan bukan masa depan yang belum bisa mereka pahami (=abstrak).
Padahal bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak.
Konsep-konsep seperti waktu, perubahan, kesinambungan (continuity), arah mata
angin, lingkungan, ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan,
permintaan, atau kelangkaan adalah konsep-konsep abstrak yang dalam program
studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD.

Berbagai cara dan teknik pembelajaran dikaji untuk memungkinkan konsep-


konsep abstrak itu dipahami anak. Bruner (1978) memberikan pemecahan
berbentuk jembatan bailey untuk mengkongkritkan yang abstrak itu dengan
enactive, iconic, dan symbolic melalui percontohan dengan gerak tubuh, gambar,
bagan, peta, grafik, lambang, keterangan lanjut, atau elaborasi dalam kata-kata
yang dapat dipahami siswa. Itulah sebabnya IPS SD bergerak dari yang kongkrit
ke yang abstrak dengan mengikuti pola pendekatan lingkungan yang semakin
meluas (expanding environment approach) dan pendekatan spiral dengan
memulai dari yang mudah kepada yang sukar, dari yang sempit menjadi lebih
luas, dari yang dekat ke yang jauh, dan seterusnya : dunia-negara tetangga-
negara-propinsi-kota/kabupaten-kecamatan-kelurahan/desa-RT/RW-tetangga-
keluarga-Aku.

Pola Pendekatan Lingkungan yang Semakin Meluas

Pembelajaran IPS SD akan dimulai dengan pengenalan diri (self), kemudian


keluarga, tetangga, lingkungan RT, RW, kelurahan/desa, kecamatan,
kota/kabupaten, propinsi, negara, negara tetangga, kemudian dunia. Anak
bukanlah sehelai kertas putih yang menunggu untuk ditulisi, atau replika orang
dewasa dalam format kecil yang dapat dimanipulasi sebagai tenaga buruh yang
murah, melainkan, anak adalah entitas yang unik, yang memiliki berbagai potensi
yang masih latent dan memerlukan proses serta sentuhan-sentuhan tertentu
dalam perkembangannya. Mereka yang memulai dari egosentrisme dirinya
kemudian belajar, akan menjadi berkembang dengan kesadaran akan ruang dan
waktu yang semakin meluas, dan mencoba serta berusaha melakukan aktivitas
yang berbentuk intervensi dalam dunianya. Maka dari itu, pendidikan IPS adalah
salah satu upaya yang akan membawa kesadaran terhadap ruang, waktu, dan
lingkungan sekitar bagi anak (Farris and Cooper, 1994 : 46).

Pendidikan IPS dalam Struktur Program Kurikulum (KBK) SD

Pendidikan IPS SD disajikan dalam bentuk synthetic science, karena basis dari
disiplin ini terletak pada fenomena yang telah diobservasi di dunia nyata. Konsep,
generalisasi, dan temuan-temuan penelitian dari synthetic science ditentukan
setelah fakta terjadi atau diobservasi, dan tidak sebelumnya, walaupun
diungkapkan secara filosofis. Para peneliti menggunakan logika, analisis, dan
keterampilan (skills) lainnya untuk melakukan inkuiri terhadap fenomena secara
sistematik. Agar diterima, hasil temuan dan prosedur inkuiri harus diakui secara
publik (Welton and Mallan, 1988 : 66-67).

IPS SD diprogramkan dalam bentuk pelajaran Sejarah bersama-sama


Kewargaanegara (Citizenship) dengan alokasi waktu 3 jam pelajaran setiap
minggu, dan Ilmu Sosial (Social Sciences) sebanyak 3 jam pelajaram setiap
minggu sejak kelas III, IV, V, dan VI. Kemungkinan besar alasan pembagian
seperti ini dilandasi oleh pertimbangan, bahwa tiga tradisi besar IPS (Social
Studies) adalah good citizenship, social sciences, dan reflective inquiry.

Tema-tema IPS SD yang Perlu Mendapat Perhatian

Secara gradual, di bawah ini akan diungkapkan beberapa tema IPS SD yang perlu
mendapat perhatian kita bersama, antara lain :

(1) IPS SD sebagai Pendidikan Nilai (value education), yakni :


� Mendidikkan nilai-nilai yang baik yang merupakan norma-norma keluarga dan
masyarakat;
� Memberikan klarifikasi nilai-nilai yang sudah dimiliki siswa;
� Nilai-nilai inti/utama (core values) seperti menghormati hak-hak perorangan,
kesetaraan, etos kerja, dan martabat manusia (the dignity of man and work)
sebagai upaya membangun kelas yang demokratis.

(2) IPS SD sebagai Pendidikan Multikultural (multicultural eduacation), yakni


� Mendidik siswa bahwa perbedaan itu wajar;
� Menghormati perbedaan etnik, budaya, agama, yang menjadikan kekayaan
budaya bangsa;
� Persamaan dan keadilan dalam perlakuan terhadap kelompok etnik atau
minoritas.

(3) IPS SD sebagai Pendidikan Global (global education), yakni :


� Mendidik siswa akan kebhinekaan bangsa, budaya, dan peradaban di dunia;
� Menanamkan kesadaran ketergantungan antar bangsa;
� Menanamkan kesadaran semakin terbukanya komunikasi dan transportasi
antar bangsa di dunia;
� Mengurangi kemiskinan, kebodohan dan perusakan lingkungan.

Metode Pembelajaran IPS SD

Sesuai dengan karakteristik anak dan IPS SD, maka metode ekspositori akan
menyebabkan siswa bersikap pasif, dan menurunkan derajat IPS menjadi
pelajaran hafalan yang membosankan. Guru yang bersikap memonopoli peran
sebagai sumber informasi, selayaknya meningkatkan kinerjanya dengan metode
pembelajaran yang bervariasi, seperti menyajikan cooperative learning model, role
playing, membaca sajak, buku (novel), atau surat kabar/majalah/jurnal agar siswa
diikutsertakan dalam aktivitas akademik. Tentu saja guru harus menimba ilmunya
dan melatih keterampilannya, agar ia mampu menyajikan pembelajaran IPS SD
dengan menarik.

Penutup

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur program kurikulum KBK, yang


menyangkut pembelajaran IPS berikut pembagiannya menjadi Kewarganegaraan
(Citizenship) dan Sejarah serta Ilmu Sosial, masih belum jelas kerangka berfikir
berikut landasannya. Landasan permasalahan yang menyangkut kondisi
kemasyarakatan membebani IPS SD dengan tekanan-tekanan dalam bentuk
tuntutan keinginan dan harapan yang tidak sesuai dengan tingkat kematangan
fisik, mental, dan intelektual siswa SD, dan berada di luar jangkauan peraihannya.

Bagi guru, tekanan dan tuntutan melaksanakan program baru ini juga tidak kecil.
Mereka harus dipersiapkan agar mampu menyajikan ilmu sosial untuk jenjang
Sekolah Dasar dengan metode-metode pembelajaran yang beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Bruner, J. (1978). The Process of Educational Technology. Cambridge : Harvard


University.

Farris, P.J. and Cooper, S.M. (1994). Elementary Social Studies. Dubuque, USA :
Brown Communications, Inc.

Weton, D. A and Mallan, J.T. (1988). Children and Their World. Boston : Houghton
Mifflin Coy.
Saya Arief Achmad Mangkoesapoetra setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang
dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan
ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di
pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel
masing-masing dan belum tentu mencerminkan
sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan
Network.

     Home      Profil Metris      Artikel     FAQ     0pportunities

Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika di SD


oleh: Iwan Pranoto
Jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesha Sepuluh
Bandung 40132

Maret 1999
Abstrak
=======

Kita tentunya harus akui bersama bahwa kurikulum sekolah kita terutama matematika di SD tidaklah ideal. Permasalahan
utamanya bukanlah miskinnya materi pada kurikulum tersebut, tetapi justru sebaliknya. Kurikulum itu sangat gemuk.

Banyak pakar mengusulkan untuk menghapuskan materi pada kurikulum tersebut. Ini tentunya tidak secara otomatis
akan menyelesaikan masalah. Mungkin malahan melahirkan permasalahan baru yang lebih runyam.

Pada tulisan ini, kami mengajukan suatu langkah strategis selain dengan pemangkasan kurikulum. Langkah ini dapat
dimanfaatkan oleh para anak didik, guru, dan orang tua agar anak-anak kita mampu bernalar secara aktif, kreatif, dan
kritis melalui proses pembelajaran matematika yang bermutu.

1 Permasalahan dalam Pembelajaran Matematika


============================================

Pada dasarnya kita ketahui bersama bahwa matematika senantiasa ada pada semua kurikulum sekolah. Entah itu tingkat
Taman Kanak-kanak sampai tingkat Perguruan Tinggi, matematika senantiasa termasuk salah satu materi yang tercakup
dalam kurikulum. Perlukah anak-anak kita di SD belajar matematika? Untuk apakah kita belajar matematika?

Belajar matematika adalah sesuatu yang cukup. Ini merupakan suatu syarat kecukupan. Mengapa? Karena -ini untuk
menjawab pertanyaan kedua- dengan belajar matematika, kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif.
Pendapat ini didukung pendapat dari Dudley di [1]. Sekaligus pada saat yang sama, kita akan mengamati keberdayaan
matematika (power of mathematics) dan tentunya menumbuhkembangkan kemampuan learning to learn. Jadi, kecuali
untuk mendapatkan daya matematika itu sendiri sebagai alat penyelesai permasalahan dalam kehidupan nyata, kita
belajar matematika sebagai suatu wahana yang memfasilitasi kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan peningkatan
kepercayaan diri dalam bermatematika. Tentunya kemampuan bernalar yang dipunyai anak didik melalui proses belajar
matematika itu akan meningkatkan pula kesiapannya untuk menjadi lifetime learner atau pemelajar sepanjang hayat.

Pendapat bahwa seseorang yang belajar matematika akan menjadi pemelajar yang lebih baik bukanlah mitos. Pendapat
ini didukung dengan fakta yang dikemukakan di [3] bahwa sebanyak 83 persen siswa yang belajar Geometri dan Aljabar
di AS melanjutkan ke college. Ini jauh lebih tinggi
dibanding siswa yang tidak belajar hal itu, yaitu hanya 36 persen yang melanjutkan ke college. Perbedaan di atas lebih
mencengangkan lagi pada siswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Ternyata, perbandingannya 71 persen lawan 27
persen.

Sekarang, kurikulum matematika yang kita gunakan saat ini padat dengan materi. Guru terbebani dengan target untuk
menyelesaikan beban materi yang sangat besar. Jika ada dua guru bertemu, yang akan menjadi -bahan pembicaraan
adalah sampai di mana pembahasan materi di kelasnya.
Bukan mendiskusikan bagaimana menyampaikan suatu materi dengan menarik. Yang terakhir ini sudah tidak sempat lagi
diperbincangkan. Dan, tidak relevan dengan keadaan seperti sekarang.

Proses pembelajaran matematika yang disediakan di sekolah akibatnya tidak berjalan secara optimal. Mungkin jadi lebih
tepatnya, yang ada hanyalah proses pengajaran matematika, bukan pembelajaran. Dalam pelajaran matematika yang
seharusnya kita belajar bernalar, telah diubah menjadi pelajaran menghafal. Sangat aneh jika pelajaran matematika
diberikan dengan guru yang ceramah di depan kelas atau "berbicara" dengan papan tulisnya, sedangkan muridnya hanya
mencatat. Lalu, murid itu akan menghafal semua yang dicatatnya. Dan, pada saat ulangan nanti, murid itu cukup
"memuntahkan" kembali info yang dicatatnya atau ditelannya. Ini semua terjadi hampir di setiap kelas. Ini jelas
mengasingkan aktivitas bermatematika yang benar dengan pelajaran matematika.

Permasalahan lainnya yang perlu disinggung di sini adalah persepsi yang berkembang pada diri anak didik bahwa
matematika adalah sesuatu ilmu pengetahuan yang tidak ada manfaatnya. Ini
tentunya sangat menyedihkan. Matematika memang suatu ilmu yang abstrak. Mungkin pula sulit dicerna. Ini wajar.
Namun, kita sebagai guru haruslah senantiasa berupaya menunjukkan relevansi matematika dalam kehidupan nyata. Ini
suatu keharusan.

Dengan mekarnya persepsi tentang tidak relevannya atau tak bermanfaatnya matematika, motivasi belajar matematika
anak didik menjadi turun. Atau malahan menjadi hilang. Akibatnya,
banyak dari anak-anak kita itu menghafal matematika. Ini sangat mengasingkan kebermatematikaan yang benar dari
pelajaran matematika di SD.

Tidak cukup kita sebagai guru mengatakan bahwa materi dalam matematika itu akan dimanfaatkan kelak. Atau, lebih
parah lagi, kita janganlah menyatakan bahwa materi yang kita pelajari ini memang saat sekarang belum ada gunanya,
namun akan dimanfaatkan di masa mendatang. Jauh lebih baik jika kita berupaya menunjukkan keberdayaan matematika
dengan mengaitkannya pada permasalahan sederhana sehari-hari kita. Memang ini artinya mensyaratkan guru harus
belajar. Namun, bukankah memang seorang guru haruslah seorang pemelajar sepanjang hayat? Malah, kita sebagai orang
tua pun harus senantiasa belajar. Karena, memang hanya dengan belajar lah kita dapat survive. Selain itu, seperti kata
Sekretaris Pendidikan Amerika Serikat, Riley, di [3], bahwa

--almost every job today increasingly demands a combination of


theoretical knowledge and skills that require learning throughout
a lifetime.--

2 Strategi
==========

Dari paragraf-paragraf di atas, kita cermati bahwa:

1. belajar matematika untuk belajar bernalar;


2. belajar matematika untuk menghayati keberdayaan matematika;
3. kurikulum yang sekarang tidak menunjang dua butir di atas;
4. persepsi yang salah tentang matematika.

Sekarang, tentu saja kita dapat mengikis kurikulum yang ada sehingga tinggal, mungkin, sepertiganya. Ini mudah.
Namun, apakah kita dapat membayangkan apa yang akan diajarkan oleh
para guru kita? Apakah guru kita sudah siap mengisi waktu yang lowong tersebut? Kalau para guru kita belum siap untuk
berkreasi untuk merekacipta pelajaran untuk mengisi jam-jam yang lowong tersebut, anak-anak kita juga tidak akan
belajar dengan efektif. Waktunya banyak yang terbuang dengan percuma. Ini tentunya menjadi masalah yang runyam
pula.

Kami sendiri sangat setuju dengan perampingan kurikulum, namun demikian perampingan ini perlu penelaahan yang
seksama. Tidak dapat dikerjakan secara terburu-buru. Perlu masukan dari banyak pihak.

Dalam tulisan ini, kita coba melihatnya dari sudut lain. Kita coba berupaya meningkatkan proses pembelajaran
matematika dengan kurikulum yang ada. Artinya, kita perlu mencari peluang agar anak-anak kita tetap belajar
matematika yang mampu meningkatkan kemampuan bernalarnya, sekaligus meningkatkan apresiasinya terhadap
keberdayaan matematika.

Secara umum, strategi yang harus diambil guru dan juga orang tua adalah mengikuti materi yang dicanangkan pada
kurikulum. Itu kita ikuti. Hanya, metode pembelajaran yang diterapkan harus diubah. Atau malah harus dicari
alternatifnya. Ini penting, karena kita tidak ingin menimbulkan perbenturan yang rumit jika harus mengajarkan materi
yang berlainan dengan kurikulum yang telah ditentukan.
Dari setiap materi ajar yang diberikan di kelas, guru harus senantiasa merencanakan dengan rinci tentang pendekatan
yang akan diterapkan untuk memperkenalkan sampai menyampaikan materi ,
tersebut. Juga harus dipersiapkan ilustrasi-ilustrasi yang menunjang serta meningkatkan motivasi anak didik dalam
pembelajaran materi termaksud.

Sedangkan kita orang tua di rumah harus meluangkan waktu yang sangat cukup untuk anak-anak kita. Kita tidak cukup
melepaskan semua aktivitas belajarnya pada anak-anak kita atau pembantu rumah tangga kita. Malahan, kita harus
menjadi mitra dari guru di sekolah. Sekarang, bagaimana kita dapat bermitra dengan baik?

Peluang diskusi tentang materi ajar di ruang kelas saat ini sangat kurang. Ini seharusnya dapat dipenuhi di rumah.
Penyampaian informasi dari materi ajar itu mungkin secara umum diberikan di
kelas, namun demikian, pemahaman sampai analisis yang mendalam perlu dilakukan di rumah. Dan, di sini orang tua
mempunyai peran yang besar. Berikut ini diberikan beberapa ilustrasi materi ajar yang pasti sudah kita kenal semua dari
GBPP [2]. Di sini, kita akan melihat beberapa alternatif penyampaian materi ajar yang mungkin dicoba di kelas, serta
bahan diskusi yang perlu
dicoba kita semua di rumah.

2.1 Ilustrasi I
================

Satu materi ajar yang paling menonjol dalam pengajaran matematika di SD adalah berhitung. Dalam program pengajaran
kelas III caturwulan 3, misalnya, para siswa belajar perkalian

4 x 23 = 4 * (20 + 3) (1)
= (4x20) + (4x3) (2)
= 80 + 12 (3)
= 92 (4)

Materi ajar ini baik, karena siswa diajak untuk melihat penyederhanaan permasalahan. Namun, jika kita hanya
mengajarnya sebatas prosedur ini, maka anak didik kita tidak bernalar mengapa hal
ini boleh dilakukan. Kecuali itu, prosedur itu didapat anak didik karena diberitahu oleh gurunya. Sebaiknya, anak didik
itu mencari sendiri pola yang memberikan 'conjecture' atau dugaan bahwa memang diperbolehkan mengelompokkan
perhitungan tersebut. Jadi, sifat atau ide matematika itu berasal dari siswa itu sendiri.

Selain itu, para anak didik perlu diajak berdiskusi tentang matematika. Mereka perlu diajak berbahasa matematika untuk
memecahkan permasalahan. Untuk itu, materi ajar di atas dapat pula disampaikan dengan suatu modifikasi. Misalnya,
disampaikan dengan pertanyaan berikut

jika 4 x 22 = 88, maka 4 x 23 = (5)

Lalu kita dapat minta setiap anak menceritakan argumennya. Sedangkan kita orang tua yang menyediakan proses
pembelajaran di rumah juga dapat mengajukan bahan-bahan diskusi tersebut. Ini akan meningkatkan daya nalar anak-
anak kita.

2.2 Ilustrasi II
================

Siswa di kelas III pada caturwulan 3 belajar penjumlahan bilangan dari 0 sampai dengan 100. Mereka sering diminta
menemukan nilai uang logam kedua, jika uang logam pertama adalah Rp. 50,00 dan jumlah uang keseluruhan adalah Rp.
75,00. Atau, dalam pernyataan matematika, siswa diminta menemukan " titik-titik" , sehingga 50 + ...= 75. (6)

Jenis pertanyaan ini sangat standard. Jawabnya hanyalah satu. Para siswa hanya dapat menjawab benar atau salah.
Mereka tidak dapat mendiskusikan jawabnya secara kritis. Pernalaran
kreatif juga tidak mekar. Sangat lain jika kita kedepankan permasalahannya dengan cara lain. Misalnya, asumsikan kita
mempunyai dua buah uang logam di dalam kantung. Jika uang logam itu merupakan pecahan Rp.25,00, atau Rp. 50,00,
berapakah uang kita? Dengan cara inipara siswa belajar berpikir alternatif. Mereka sudah terbiasa dengan problem
solving. Selanjutnya, kita dapat mengajukan pertanyaan seperti: mungkinkah jumlah uang kita Rp. 25,00?

2.3 Ilustrasi III


=================

Siswa SD kita sangat kurang dikenalkan dengan estimasi. Padahal, kita tahu bahwa estimasi merupakan satu hal yang
sangat penting dalam matematika. Untuk ini, kita dapat mendiskusikan
misalnya: jika kita mempunyai 27 batang lidi dan setiap 5 batang lidi kita ikat, maka ada berapa ikat batang lidi? Anak
SD kelas dua sebenarnya sudah harus bekerja dengan jenis estimasi seperti
ini. Mereka harus sudah terbiasa dengan permasalahan seperti ini.

Yang perlu pula ditumbuhkembangkan di sini adalah " sense" dari bilangan pecahan. Misalnya, kita memberikan bujur
sangkar terbuat dari kertas putih pada tiap siswa yang sebagian telah
sengaja kita "kotori" dengan tinta. Selanjutnya, setiap siswa diminta untuk mengestimasi seberapa besar dari bujur
sangkarnya yang terkena tinta tersebut. Kegiatan ini juga akan meningkatkan kemampuan siswa dalam pengukuran.

Di sini, para siswa sebaiknya diajak berbahasa dengan menggunakan kata-kata matematika seperti " kira-kira" , " lebih
besar" , dan "lebih kecil".

3. Penutup
==========

Secara ringkas, para guru dan orang tua perlu berupaya agar anak-anak kita bernalar dalam pelajaran matematika. Mereka
dapat meningkatkan pernalaran kritis dan kreatif mereka melalui
proses belajar matematika. Untuk itu, guru dan orang tua perlu merancang bahan belajar dengan baik, sehingga anak-
anak kita, di samping menyerap materi ajar, mampu bernalar.

Dalam prosesnya, anak didik kita akan masuk dalam wacana dengan bahasa matematika yang tegas. Ini merupakan suatu
kesempatan yang baik bagi anak-anak kita untuk belajar berbahasa
dengan pernalaran yang benar dengan pengungkapan yang tepat. Jika para guru di kelas dan orang tua di rumah mampu
menyediakan proses pembelajaran matematika yang bermutu seperti di
atas, maka anak-anak kita akan mampu bernalar secara kritis, aktif, dam kreatif. Tentunya ini mengharuskan kita semua
untuk belajar secara berkelanjutan. Artinya, kita semua harus berupaya
menumbuhmekarkan masyarakat kita untuk menjadi masyarakat pemelajar sepanjang hayat.

Daftar Pustaka
==============

[1] Dudley, U., Is Mathematics Necessary?, The College Mathematics Journal, Vol. 28, No.5, 1997, 360-364.

[2] Kurikulum Pendidikan Dasar, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar, Mata
Pelajaran:Matematika, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.
[3] Riley, R. W ., The State of Mathematics Education: Building A Strong Foundation for the 21st Century, Notices of
the AMS, Apri11998, 487-491.
   

BACK

Copyright © 2006 www.sigmetris.com. All Rights Reserved.

     Home      Profil Metris      Artikel     FAQ     0pportunities

Cara Mengajar Operasi PEMBAGIAN

Pembagian adalah konsep matematika utama yang seharusnya dipelajari oleh anak-anak setelah mereka mempelajari
operasi penambahan, pengurangan dan perkalian. Biasanya operasi pembagian mulai diperkenalkan pada kelas tiga di
sekolah dasar hampir bersamaan dengan pengajaran Perkalian, tepatnya adalah Perkalian diajarkan terlebih dahulu baru
kemudian Pembagian dan kemudian keduanya akan diajarkan secara paralel. Para orang tua mungkin ingin memahami
bagaimana caranya mengajarkan ketrampilan pembagian ini secara benar kepada anak-anak mereka.

Metode untuk mengajarkan Pembagian pada tahap awal yang paling sesuai adalah dengan menghubungkan ke konsep
Pengurangan, yaitu dengan memandang pembagian sebagai pengurangan beruntun (24/4 = 6 artinya adalah 24 –4 –4 –
4 –4 – 4 –4 = 0). Karena dengan pendekatan pengurangan beruntun ini, si anak dapat menggunakan pemahaman yang
telah didapat selama mempelajari operasi pengurangan untuk selanjutnya digunakan mempelajari Pembagian. Cara
selanjutnya untuk mengajarkan operasi Pembagian adalah dengan memandang Pembagian sebagai Invers Perkalian
(20/5 = ?  ó 5 * ? = 20). Cara pengajaran Pembagian sebagai Invers Perkalian dilakukan setelah siswa telah memahami
operasi perkalian dengan cukup baik. Dengan kedua cara di atas diharapkan siswa mampu melihat hubungan yang erat
antara pembagian dengan ke tiga operasi dasar aritmatika yang lain.

Ada beberapa tahap untuk mengajarkan anak-anak mengenai konsep pembagian ini. Tahap-tahap ini bergantung pada
kemampuan (bukan pada umur) anak tersebut secara unik sehingga tidak dapat dipaksakan dalam proses pengajarannya.
Untuk memudahkan, cara pengajaran operasi pembagian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pengenalan pembagian,
tahap pembagian tradisional, tahap pembagian mental. Yang nantinya akan dibahas secara terinci satu demi satu.

1. Tahap Pengenalan Pembagian

Dalam tahap ini, diperkenalkan terlebih dahulu konsep Pembagian sebagai Pengurangan Beruntun dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya dengan menggunakan wadah telur (atau wadah lain yang dalamnya bersekat-sekat), dan
dengan menggunakan kelereng untuk mengajarkan operasi pembagian, misalnya 12/4. Langkah pertama adalah ambil
duabelas kelereng, dan meminta siswa untuk membilangnya. Kemudian ambil 4 (empat) kelereng dan di masukkan ke
dalam ruangan dalam wadah telur tersebut, ulangi terus hal ini dan letakkan dalam ruangan yang berbeda sampai
keduabelas kelereng tersebut habis (12 – 4 – 4 –  4 = 0). Jika hal ini telah selesai, maka hitunglah jumlah ruangan dari
wadah telur yang terisi 4 (empat) kelereng tersebut, yaitu sebanyak 3 (tiga) ruangan. Akhirnya siswa dijelaskan bahwa
jumlah ruangan yang terisi kelereng tersebut adalah jawaban dari soal pembagian 12/4, yang sama dengan 3.

Cara alternatif yang lain untuk mengajarkan operasi pembagian dengan menggunakan kertas berpetak dan pensil
berwarna. Misalkan untuk mengajarkan 12/4, di sini siswa diminta untuk mewarnai 12 (duabelas) kotak. Kemudian siswa
diminta memotong empat kotak-empat kotak sampai 12 (duabelas) kotak tadi habis. Hasil potongannya kemudian
dihitung jumlahnya, yang merupakan solusi dari masalah pembagian 12/4 tersebut, yang sama dengan 3 (tiga).
Selanjutnya untuk mengenalkan konsep Pembagian sebagai Invers Perkalian, susun ulang lagi tiga bagian dari empat
kotak - empat kotak tersebut sampai membentuk 12 (duabelas) kotak semula [3*4 = 12]. Proses pengajaran ini terus
dibolak-balik sampai siswa mengerti makna dari konsep Invers.

Sebagai Keterangan tambahan, cara mengajarkan fakta-fakta pembagian dapat menggunakan gambar-gambar benda
nyata dalam bentuk soal secara berulang-ulang. Selanjutnya sebagai keterangan notasi pembagi yang sering digunakan
adalah a/b atau a ÷ b ,dimana a disebut Pembilang / Yang Dibagi dan b adalah Penyebut / Pembagi.

2. Tahap Pembagian Tradisional

            Pada tahap ini tentunya dimulai dengan penulisan operator pembagian ( ÷ ). Yang menjadi masalah paling pokok
dalam mengajarkan operasi pembagian adalah mengajarkan Pembagian Dasar dengan penyebut (denominator) 1 (satu)
s.d 9 (sembilan) TANPA RESIDU terlebih dahulu. Baru kemudian Pembagian Dasar dengan penyebut (denominator) 1
(satu) s.d 9 (sembilan) dengan RESIDU.

a. Cara Mengajarkan Pembagian dengan pembagi 0 (nol), 1 (satu), 2 (dua) dan 3 (tiga)

1. Dibagi dengan bilangan 0 (nol)

Bilangan pembilang tidak akan dapat dibagi dengan bilangan 0 (nol) karena tidak mungkin untuk membuat 0 kelompok
dari sebuah bilangan.

2. Dibagi dengan bilangan 1 (satu)

Sembarang bilangan dibagi dengan bilangan 1 (satu), hasilnya adalah bilangan itu sendiri.
Jika kita membagi dengan bilangan 1 (satu) berarti akan mempunyai satu kelompok benda saja
maka semua benda akan termuat dalam satu kelompok tersebut

3. Dibagi dengan bilangan 2 (dua) dan 3 (tiga)


Contoh dari pembagian dengan Pembilang 2 (dua) dan 3 (tiga) sebagai berikut:

2 (Dua)
  0 ÷ 2 = 0  2 ÷ 2 = 1  4 ÷ 2 = 2  6 ÷ 2 = 3  8 ÷ 2 = 4
 10 ÷ 2 = 5  12 ÷ 2 = 6  14 ÷ 2 = 7  16 ÷ 2 = 8  18 ÷ 2 = 9

3 (Tiga)
  0 ÷ 3 = 0  3 ÷ 3 = 1  6 ÷ 3 = 2  9 ÷ 3 = 3  12 ÷ 3 = 4
 15 ÷ 3 = 5  18 ÷ 3 = 6  21 ÷ 3 = 7  24 ÷ 3 = 8  27 ÷ 3 = 9

Cara ini diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada

b. Cara Mengajarkan Pembagian dengan pembagi 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam)

Contoh dari pembagian dengan Pembilang 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam) sebagai berikut:

4 (empat)
0÷4=0  4 ÷ 4 = 1  8 ÷ 4 = 2  12 ÷ 4 = 3  16 ÷ 4 = 4
 20 ÷ 4 = 5  24 ÷ 4 = 6  28 ÷ 4 = 7  32 ÷ 4 = 8  36 ÷ 4 = 9
5 (lima)
 0 ÷ 5 = 0  5 ÷ 5 = 1  10 ÷ 5 = 2  15 ÷ 5 = 3  20 ÷ 5 = 4
 25 ÷ 5 = 5  30 ÷ 5 = 6  35 ÷ 5 = 7  40 ÷ 5 = 8  45 ÷ 5 = 9
6 (enam)
0÷6=0  6 ÷ 6 = 1  12 ÷ 6 = 2  18 ÷ 6 = 3  24 ÷ 6 = 4
 30 ÷ 6 = 5  36 ÷ 6 = 6  42 ÷ 6 = 7  48 ÷ 6 = 8  54 ÷ 6 = 9

Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada

c. Cara Mengajarkan Pembagian dengan pembagi 7 (tujuh), 8 (delapan), dan 9 (sembilan)

Contoh dari pembagian dengan Pembilang 7 (tujuh), 8 (delapan), dan 9 (sembilan) sebagai berikut:

7 (tujuh)
0÷7=0  7 ÷ 7 = 1  14 ÷ 7 = 2  21 ÷ 7 = 3  28 ÷ 7 = 4
 35 ÷ 7 = 5  42 ÷ 7 = 6  49 ÷ 7 = 7  56 ÷ 7 = 8  63 ÷ 7 = 9
8 (delapan)
0÷8=0  8 ÷ 8 = 1  16 ÷ 8 = 2  24 ÷ 8 = 3  32 ÷ 8 = 4
 40 ÷ 8 = 5  48 ÷ 8 = 6  56 ÷ 8 = 7  64 ÷ 8 = 8  72 ÷ 8 = 9
9 (sembilan)
0÷9=0  9 ÷ 9 = 1  18 ÷ 9 = 2  27 ÷ 9 = 3  36 ÷ 9 = 4
 45 ÷ 9 = 5  54 ÷ 9 = 6  63 ÷ 9 = 7  72 ÷ 9 = 8  81 ÷ 9 = 9

Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada
d. Cara Mengajarkan Pembagian Puluhan dengan Residu.(Cara Umum)

            Untuk mengajarkan Pembagian dengan Residu (atau Pembagian secara Umum) cara yang paling efektif adalah
dengan notasi Kurung Bagi (Division Bracket). Misalnya untuk soal 43 ÷ 7, sebagai berikut:

- Letakkan Pembagi/ Penyebut (7) sebelum notasi Kurung Bagi dan letakkan bagian yang Dibagi/ Pembilang  dibawah
notasi Kurung Bagi tersebut..

    ___

 7 ) 43

- Uji digit pertama dari yang Dibagi (4), yang lebih kecil dari 7 maka tidak bias dibagi dengan bilangan 7 untuk
mendapatkan hasil baginya. Kemudian pandang dua digit pertama dari yang Dibagi (43) dan tentukan berapa banyak 7
dapat membaginya. Dalam hal ini 42 memenuhi syarat tersebut (6*7 = 42). Selanjutnya letakkan 6 di atas Notasi Kurung
Bagi.

    __6_

 7 ) 43

Kalikan 6 dengan 7 dan letakkan hasilnya (42) dibawah yang dibagi (43).

    __6_

 7 ) 43

      42

Selanjutnya tarik garis bawah 42, dan kurangkan 42 ini dengan yang dibagi (43). Tuliskan hasilnya (43-42 = 1) dibawah
garis bawah tersebut.

    __6_

 7 ) 43

      42

         1

Karena hasil selisihnya (1) lebih kecil daripada Pembagi (7) maka selesailah proses pembagiannya. Dan bilangan 1 (satu)
ini adalah Residu dari pembagian di atas, solusi pembagian tersebut ditulis sebagai 6 1/7 atau dapat ditulis juga sbb:

  __6 R 1_

 7 ) 43
      42

         1

Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada.

e. Cara Mengajarkan Pembagian secara Umum

            Secara umum ketika Pembagi mempunyai digit lebih dari satu, prosedur pembagian tradisional adalah sama
dengan sebelumnya tetapi mungkin kita membutuhkan lebih banyak corat-coret untuk melakukan operasi perkalian
dalam langkah pendugaan (guessing) pada proses pembagian tersebut

                                            ______

Sebagai contoh akan dihitung 14 ) 7434  , dengan langkah-langkah sbb:

- Karena bilangan 7 dalam 7434 lebih kecil dari pada 14, maka dilihat bilangan 74. Untuk mencari berapa banyak
kelipatan 14 yang paling mendekati 74 terkadang harus melakukan beberapa langkah pendugaan. Cek sampai
mendapatkan kelipatan 14 maksimum yang masih lebih kecil dari 74.

2 × 14 = 28 5 × 14 = 70
4 × 14 = 56 6 × 14 = 84

Dari tabel perhitungan, dapat dilihat kelipatan 14 yang sesuai untuk mendekati 74 adalah 5, sehingga:

     _5____

14 ) 7434 

       70__

         434

- Ulangi langkah diatas, sekarang pandang angka 43 dari 434. Dan lakukan perkalian untuk menduga kelipatan dari 14
yang sesuai, sbb:

2 × 14 = 28 
3 × 14 = 42 
4 × 14 = 56

Dari tabel perhitungan, dapat dilihat kelipatan 14 yang sesuai untuk mendekati 43 adalah 3, sehingga:

     _53___

14 ) 7434 

       70__
         434

         42_

           14

- Ulangi langkah diatas, sekarang pandang angka 14, , dapat dilihat kelipatan 14 yang sesuai adalah 1, sehingga:

     _531__

14 ) 7434 

       70__

         434

         42_

           14

           14

             0

Karena sisa pembagian telah mencapai 0 (nol), maka proses pembagian telah selesai tanpa Residu.

Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada. Kemudian kita masuk ke dalam digit bilangan
yang lebih tinggi misalnya ratusan, ribuan dan seterusnya.

3. Tahap Pembagian Mental

Perhitungan Mental adalah cara menghitung dengan hanya menggunakan Otak manusia,
tanpa dengan bantuan peralatan yang lain. Dalam penelitian didapatkan kesimpulan bahwa
perhitungan mental ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, kecepatan merespon, ingatan dan
daya konsentrasi pada para praktisinya. 

Kunci utama dalam Pembagian secara mental adalah Ingatan (memori) dalam melakukan
Perkalian Mental yang sudah diluar kepala. Serta Visualisasi (visualization) dari proses
manipulasi operasi pembagian Berdasarkan cara memvisualisasinya, Pembagian Mental dapat
dibagi dalam dua kategori:

A. Visualisasi Langsung (Direct Visualization)

Di sini konsep Metode Horisontal mulai berperan secara dominan. Pengenalan Konsep Asosiasi
Posisi dengan menggunakan Notasi Pagar adalah esensial untuk menggunakan visualisasi
secara langsung ini. Kata ‘langsung’ di sini artinya adalah kita langsung bermain dengan konsep
abstrak dari Angka tanpa menggunakan peralatan bantuan.

Mula-mula siswa diajarkan menghitung pembagian dengan metode horisontal dengan Notasi
Pagarnya secara tertulis, selanjutnya mereka dilatih untuk membayangkan (memvisualisasi)
proses manipulasi yang telah dilakukannya. Perlu diperhatikan bahwa Operasi Pembagian
merupakan operasi yang paling sukar dibandingkan ketiga operasi dasar aritmatika yang lain
(pertambahan, pengurangan dan perkalian). Hal ini dikarenakan dalam proses pembagian
terdapat langkah Pendugaan (guessing), sehingga untuk melakukan proses pembagian yang
efektif tidak hanya sekedar menguasai prosedur pembagian saja tetapi siswa harus dapat
melihat POLA yang dapat memudahkan proses pembagian tersebut. Hal ini dapat diajarkan
melalui pelatihan yang intens dan berulang-ulang.

Contoh:

a. Cara mengajarkan Pembagian Mental yang Umum (sebagai contoh 837 ÷ 3)

Untuk melakukan proses pembagian secara efektif dibutuhkan kemampuan untuk menghitung
perkalian dengan cepat, yaitu mengalikan Pembagi (3) dengan bilangan dari 1 s.d 9.
[Perhatikan ini hanya merupakan penambahan yang berurutan, jadi jika perhitungan mental
telah dikuasai akan cepat dikerjakan]

Selanjutnya diajarkan bagaimana Notasi Pagar bekerja pada bilangan yang Dibagi (837),
perhatikanlah bilangan tersebut, mulai dari bilangan paling kiri yaitu 8 sampai dengan
bilangan paling kanan yaitu 7. Digit bilangan paling kiri yi 8 dapat didekati dengan 6 (3*2),
selanjutnya bilangan 3 dapat dibagi 3 (3*1), dan terakhir 7 dapat didekati dengan 6 (3*2)
sehingga notasi pagarnya dapat ditulis sbb:

(8 | 3 | 7) ÷ 3 = (8/3 | 3/3 | 7/3) = (2 | 1 | 2) + 201 / 3 = 212 + 201/3

Selanjutnya perhatikan bilangan residunya (201), dimana bilangan 20 dapat didekati dengan 18
(3*6) dan bilangan 1 tidak bias didekati lagi karena lebih kecil dibandingkan bilangan pembagi,
sehingga didapat:

212 + 201/3 = 212 + (20/3 | 1/3) = 212 + (6 | 0) + 21 / 3  = 272 + 21/3

Yang dapat langsung diselesaikan menjadi 272 + 21/3 = 272 +7 = 279

Jadi disini terdapat tahap-tahap manipulasi sebagai berikut:

1. Menyisipkan Notasi Pagar ke dalam Bilangan yang Dibagi (837) seoptimal mungkin

    (837)  = (8 | 3 | 7)

2. Selanjutnya melakukan operasi pembagian di dalam Notasi Pagarsehingga didapat:    


    (8/3 | 3/3 | 7/3)  = 212 + 201/3

3. Ulangi prosedur 1 dan 2 untuk bilangan residu yang dihasilkan sampai menghasilkan residu
yang kurang dari bilangan Pembagi

Sehingga didapat jawabannya adalah 279

KETERANGAN: Perhatikan pola perhitungan yang tetap konsisten untuk setiap soal yang ada
yaitu mulai dari Kiri ke Kanan

Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada sampai dapat
menghitung tanpa harus mencorat-coret pada kertas. Kemudian kita masuk ke dalam digit
bilangan yang lebih tinggi.

b. Cara mengajarkan Pembagian Mental yang Berpola (sebagai contoh 34170 ÷ 17)

Perhatikanlah bilangan yang Dibagi (34170), mulai dari bilangan paling kiri yaitu 3 sampai
dengan bilangan paling kanan yaitu 0. Dua digit bilangan paling kiri yi 34 dapat dibagi 17,
selanjutnya bilangan 17 dapat pula dibagi 17, sehingga notasi pagarnya dapat ditulis sbb:

(34 ||| 170) ÷ 17 = (34/17 ||| 170/17) = (2 ||| 10)

Sehingga hasilnya adalah (2 ||| 10) = 2010

Jadi disini terdapat tahap-tahap manipulasi sebagai berikut:

1. Menyisipkan Notasi Pagar ke dalam Bilangan yang Dibagi (34170) seoptimal mungkin

2. Selanjutnya melakukan operasi pembagian di dalam Notasi Pagar (34/17 ||| 170/17)

Sehingga didapat jawabannya adalah 2010

KETERANGAN: Perhatikan pola perhitungan yang tetap konsisten untuk setiap soal yang ada
yaitu mulai dari Kiri ke Kanan

Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada sampai dapat
menghitung tanpa harus mencorat-coret pada kertas. Kemudian kita masuk ke dalam digit
bilangan yang lebih tinggi.

B. Visualisasi Objek (Visualization with Object)

Biasanya objek yang digunakan disini adalah sempoa (abacus). Disini sempoa digunakan untuk
membantu proses visualisasinya, terutama digunakan bagi mereka yang belum mengetahui
konsep Asosiasi Posisi dan bagi mereka yang kesulitan untuk memvisualisasikan sesuatu yang
abstrak seperti Angka Desimal. Dalam kenyataannya cara Visualisasi dengan menggunakan
objek sempoa ini hanya sesuai untuk diajarkan pada anak-anak saja. Dan kurang sesuai untuk
diajarkan pada remaja atau orang dewasa karena umumnya remaja dan orang dewasa sudah
mempunyai konsep bilangan dan operasinya yang mapan dalam benaknya sehingga merasa
kesulitan/bosan harus belajar lagi menghitung bilangan dari awal dengan menggunakan
sempoa.

(Untuk mempelajari secara lengkap Metode Sempoa dapat dilihat pada


http://groups.yahoo.com/group/metode_horisontal/files/takashikojima1.pdf  )

Contoh:

a. Cara mengajarkan Pembagian Mental yang Umum (sebagai contoh 837 ÷ 3)

Disini terdapat tahap-tahap manipulasi sebagai berikut:

1. Tentukan batang bilangan 837 pada batang FGH dan 3 pada batang A.

2. Dekati bilangan 8 dari 837 dengan 6 (3*2), simpan kelipatannya (2) pada batang D.
Kemudian kurangi 8 dengan 6 (8-6=2) pada batang F. Selanjutnya pandang residu pada batang
FG (23), dekati bilangan 23 dengan 21 (3*7), simpan kelipatannya (7) pada batang E. Dan
Kurangkan 23 dengan 21 (23-21 = 2)

3. Selanjutnya pandang residu pada batang GH sekarang yang memuat bilangan  27, bilangan
ini akan habis dibagi dengan 3 (3*9 = 27). Simpan kelipatannya (9) pada batang F. Kurangkan
27 dengan 27 (27-27=0).

4. Karena residu sudah sama dengan nol maka proses pembagian selesai. Hasilnya adalah pada
batang DEF yaitu 279.

KETERANGAN: Perhatikan pola perhitungan yang tetap konsisten untuk setiap soal yang ada
yaitu mulai dari Kiri ke Kanan

b.  Cara mengajarkan Pembagian Mental yang Berpola (sebagai contoh 34170 ÷ 17)

Untuk kasus seperti ini Metode Sempoa tidak efisien karena harus melakukan langkah-
langkah perhitungan yang panjang. Padahal jika dikenali polanya, dapat dilakukan operasi
pembagian yang singkat dengan Metode Horisontal.

BACK

Copyright © 2006 www.sigmetris.com. All Rights Reserved.


http://www.sigmetris.com/artikel_5.html
VIRTUCLASS | DIGISOURCE | DIGILIB | FKIP | UNLA
Menu Utama
Home
Redaksi
Hubungi Kami

Menu Educare
Volume 1
Volume 2
Volume 3
Volume 4
Volume 5
Cari Artikel
 
Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan
Keterampilan Sosial
Ditulis oleh Erliany Syaodih   
Penulis: DR. Erliany Syaodih, Dra., M.Pd.
Langlangbuana. Saat ini beliau menjabat Sekretaris Program Pasca Sarjana Universitas
Langlangbuana).

Abstrak: Pelaksanaan pembelajaran kooperatif merupakan langkah implementasi dari


rencana pembelajaran kooperatif, berisi rincian dari prosedur pembelajaran. Sama
dengan pada prosedur ada empat langkah utama yang merupakan sintaks dari model
pembelajaran kooperatif hasil pengembangan, yaitu langkah: orientasi, eksplorasi,
pendalaman dan penyimpulan. Langkah Orientasi atau kegiatan awal pembelajaran
merupakan langkah untuk mendorong kelas memusatkan perhatian terhadap
pembelajaran; Langkah Eksplorasi atau kegiatan inti pertama, merupakan langkah
untuk mengajak dan mendorong siswa untuk mencari dan menemukan fakta,
pengetahuan, masalah dan pemecahan; Langkah Pemantapan atau kegiatan inti kedua,
merupakan langkah untuk memperdalam, memperluas, memantapkan, memperkuat
penguasaan materi dan kemampuan yang telah dicapai pada langkah eksplorasi; dan
Langkah Penyimpulan atau kegiatan akhir pembelajaran, merupakan langkah untuk
menyimpulkan atau merangkumkan dan menegaskan tentang apa yang telah dipelajari.

Kata Kunci: pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial, Student Teams-


Achievement Divisions, Teams-Games Tournament (TGT), Jigsaw.

A.    Pendahuluan

 Memasuki milenium ketiga dewasa ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada


permasalahan multi dimensi yang menyentuh berbagai tatanan kehidupan mendasar
manusia. Bukan hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, namun juga aspek sosial,
budaya dan ahlak. Krisis pada aspek sosial khususnya sudah sampai pada bentuk yang
cukup memprihatinkan. Penyimpangan perilaku sosial tidak hanya diperlihatkan oleh
para siswa tetapi juga para mahasiswa, bahkan orang dewasa dalam bentuk perilaku-
perilaku kekerasan, pemaksaan kehendak, pengrusakan, konflik antar kelompok serta
tawuran. Berbagai bentuk kemiskinan sosial juga banyak diperlihatkan, seperti miskin
pengabdian, kurang disiplin, kurang empati terhadap masalah sosial, kurang efektif
berkomunikasi serta kurang disiplin. Hal itu menunjukkan adanya permasalahan
pribadi dan sosial di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi (Supriadi, D. 1997: 48).

Pada kalangan siswa sekolah dasar dan menengah, seperti juga masyarakat pada
umumnya gejala masalah pribadi dan sosial ini juga tampak dalam perilaku keseharian.
Sikap-sikap individualistis, egoistis, acuh tak acuh, kurangnya rasa tanggung jawab,
malas berkomunikasi dan berinteraksi atau rendahnya empati merupakan fenomena
yang menunjukkan adanya kehampaan nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Sesungguhnya dalam menghadapi kondisi yang demikian, pendidikan dapat


memberikan kontribusi yang cukup besar. Pendidikan dapat memberikan kontribuasi
dalam mengatasi masalah sosial sebab pendidikan memiliki fungsi dan peran dalam
meningkatkan sumber daya manusia. Sumber daya manusia dapat menjadi kekuatan
utama dalam mengatasi dan memecahkan masalah sosial-ekonomi yang dihadapi, tetapi
juga dapat menjadi faktor penyebab munculnya masalah-masalah tersebut. Naisbitt
(dalam Fong 1999) menegaskan bahwa
priority, they are the keys to maintaining competitiveness
berkualitas, dengan pegangan norma dan nilai yang kuat, kinerja dan disiplin tinggi
yang dihasilkan oleh pendidikan yang berkualitas dapat menjadi kekuatan utama untuk
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Sebaliknya sumber daya manusia yang
tidak berkualitas, lemah dalam pegangan norma dan nilai, rendah disiplin dan kinerja
yang dihasilkan oleh pendidikan yang kurang berkualitas dapat merupakan pangkal dari
permasalahan yang dihadapi.

Meskipun begitu strategis kedudukan pendidikan untuk perubahan suatu bangsa namun
bangsa kita belum cukup optimis untuk mengandalkan posisi tersebut karena pada
kenyatannnya kondisi dan hasil pendidikan kita belum memadai. Kondisi tersebut
nampak dari kecilnya kemampuan sumber daya manusia Indonesia untuk berkompetisi
dengan bangsa lain. Data yang dipublikasikan oleh United Development Index (HDI)
sangat memprihatinkan karena dari tahun 1996 dimana posisi Indonesia berada pada
peringkat 102 terus menurun hingga pada tahun 2000 berada pada peringkat 109,
berada satu tingkat ditas Vietnam padahal negara – negara ASEAN lain berada pada
peringkat jauh di atas Indonesia..

Kondisi tersebut dipengaruhi banyak faktor. Dilihat dari latar belakang pendidikan
gambaran sumber daya manusia memang belum menggembirakan.Sebagian besar
angkatan kerja kita (53%) tidak berpendidikan, diantara yang berpendidikan 34 %
berpendidikan dasar, 11% berpendidikan menengah dan baru 2 % berpendidikan tinggi.
(Budiono, 1997). Dari segi kualitas, juga masih memprihatinkan,.sebagai indikator
beberapa perguruan tinggi ternama Indonesia (UGM,UI,UNDIP, UNAIR) misalnya,
menduduki peringkat di bawah 40 dalam urutan universitas berkualitas di Asia. (Asia
Week: 2000). Walaupun dari segi kebijakan (dalam bentuk UU, peraturan pemerintah)
sudah lengkap dan mengalami penyempurnaan namun tdak berarti ada keterjaminan
peningkatan kualitas pendidikan.

Persoalan pendidikan di Indoensia selayaknya dilakukan serempak pada seluruh


wilayah oleh semua pihak secara profesional, namun cara tersebut sangat sulit
dilakukan sehingga perlu ada prioritas. Tanpa mengurangi arti dan pentingnya jalur dan
jenis pendidikan lain, pendidikan dasar, khususnya pada tingkat sekolah dasar memiliki
posisi sangat strategis karena menjadi landasan bagi pendidikan selanjutnya.
Pendidikan dasar yang bermutu akan memberikan landasan yang kuat bagi pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi yang bermutu pula. Sekolah Dasar juga memiliki
populasi terbesar (sekitar 30 juta orang) dibandingkan dengan siswa SLTP dan SLTA.

Secara khusus, peranan pendidikan dasar bagi pengembangan anak dan remaja
dirumuskan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
nomor 23 tahun 2006, bahwa pendidikan dasar bertujuan: meletakkan dasar
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Tujuan tersebut dicapai melalui proses
pembelajaran dalam kelompok mata pelajaran: (1) Agama dan akhlak mulia, (2)
Kewarganegaraan dan Kepribadian, (3) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Estetika,
(5) Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan.

Baik tujuan pendidikan maupun kelompok mata pelajaran pada pendidikan dasar, pada
dasarnya diarahkan pada pengembangan pribadi siswa, kemampuan hidup
bermasyarakat dan kemampuan untuk melanjutkan studi. Ketiga aspek pengembangan
tersebut saling terkait dapat dibedakan tetapi sulit untuk dipisahkan. Semua mata
pelajaran yang diberikan pada Sekolah Dasar memberikan sumbangan terhadap
pengembangan ketiga aspek tersebut, tetapi bobotnya tidak sama.

Secara umum pengembangan pribadi lebih banyak berkenaan dengan penguasaan segi
agama dan akhlak mulia, kepribadian, estetika, jasmani, olah raga dan kesehatan.
Kemampuan kemasyarakatan banyak berkenaan dengan kewarganegaraan dan
kepribadian, sedang kemampuan melanjutkan studi banyak berkenaan dengan
penguasaan pengetahuan dan teknologi.

Semua mata pelajaran walaupun bobotnya berbeda-beda dapat berperan dalam


mengatasi atau mengurangi masalah dan perilaku penyimpangan sosial dan pribadi
tetapi mata pelajaran Ilmu pengetahuan Sosial dan Pendidikan Kewarganegaraan
memegang peran yang lebih besar. Kemampuan pribadi dan sosial berkenaan dengan
penguasaan karakteristik, nilai-nilai sebagai pribadi dan sebagai warga masyarakat
serta kemampuan untuk hidup bermasyarakat. Penguasaan karakteristik dan nilai-nilai
pribadi dan warga masyarakat banyak dikembangkan dalam Pendidikan
Kewarganegaraan, sedang kemampuan untuk hidup bermasyarakat banyak
dikembangkan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada jenjang pendidikan dasar memfokuskan kajiannya
kepada hubungan antar manusia dan proses membantu pengembangan kemampuan
dalam hubungan tersebut. Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikembangkan
melalui kajian ini ditujukan untuk mencapai keserasian dan keselarasan dalam
kehidupan masyarakat.

Pendidikan IPS sudah lama dikembangkan dan dilaksanakan dalam kurikulum-


kurikulum di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan ini tidak
dapat disangkal telah membawa beberapa hasil, walaupun belum optimal. Secara
umum penguasaan pengetahuan sosial atau kewarganegaraan lulusan pendidikan dasar
relatif cukup, tetapi penguasaan nilai dalam arti penerapan nilai, keterampilan sosial
dan partisipasi sosial hasilnya belum menggembirakan. Kelemahan tersebut sudah tentu
terkait atau dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama proses pendidikan atau
pembelajarannya, kurikulum, para pengelola dan pelaksanaanya serta faktor-faktor
yang berpengaruh lainnya.

Beberapa temuan penelitian dan pengamatan ahli memperkuat kesimpulan tersebut.


Dalam segi hasil atau dampak pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial atau IPS terhadap
kehidupan bermasyarakat, masih belum begitu nampak. Perwujudan nilai-nilai sosial
yang dikembangkan di sekolah belum nampak dalam kehidupan sehari-hari,
keterampilan sosial para lulusan pendidikan dasar khususnya masih memprihatinkan,
partisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan semakin menyusut.

Banyak penyebab yang melatarbelakangi mengapa pendidikan IPS belum dapat


memberikan hasil seperti yang diharapkan. Faktor penyebabnya dapat berpangkal pada
kurikulum, rancangan, pelaksana, pelaksanaan ataupun faktor-faktor pendukung
pembelajaran. Berkenaan dengan kurikulum dan rancangan pembelajaran IPS,
beberapa penelitian sebelumnya memberi gambaran tentang kondisi tersebut. Hasil
penelitian Balitbang Depdikbud tahun 1999 menyebutkan bahwa “ Kurikulum 1994
tidak disusun berdasarkan basic competencies
kurikulumnya banyak memuat konsep-konsep teoretis” (Boediono, et al. 1999: 84).
Hasil Evaluasi Kurikulum IPS SD Tahun 1994 menggambarkan adanya kesenjangan
kesiapan siswa dengan bobot materi sehingga materi yang disajikan dianggap terlalu
sulit bagi siswa, kesenjangan antara tuntutan materi dengan fasilitas pembelajaran dan
buku sumber, kesulitan manajemen waktu, serta keterbatasan kemampuan melakukan
pembaharuan metode mangajar (Depdikbud, 1999).

Dalam implementasi materi Muchtar, SA. (1991) menemukan IPS lebih menekankan
aspek pengetahuan, berpusat pada guru,mengarahkan bahan berupa informasi yang
tidak mengembangkan berpikir nilai serta hanya membentuk budaya menghafal dan
bukan berpikir kritis. Dalam pelaksanaan Soemantri,N. (1998) menilai pembelajaran
IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris
sehingga siswa kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal
menurut Sumaatmadja, N. (1996: 35) guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut
minat siswa karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran
IPS.

Selanjutnya Como dan Snow (dalam Syafruddin, 2001:3) menilai bahwa model
pembelajaran IPS yang diimplementasikan saat ini masih bersifat konvensional
sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan secara optimal. Dengan pembelajaran
seperti itu maka perbedaan individual siswa di kelas tidak dapat terakomodasi sehingga
sulit tercapai tujuan–tujuan spesifik pembelajaran terutama bagi siswa berkemampuan
rendah. Model pembelajaran IPS saat ini juga lebih menekankan pada aspek kebutuhan
formal dibanding kebutuhan riil siswa sehingga proses pembelajaran terkesan sebagai
pekerjaan administratif dan belum mengembangkan potensi anak secara optimal.

Berdasarkan hal-hal di atas nampak, bahwa pada satu sisi betapa pentingnya peranan
pendidikan IPS dalam mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan
sosial agar para siswa menjadi warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang
baik namun di pihak lain masih banyak ditemukan kelemahan dalam pembelajaran IPS,
baik dalam rancangan maupun proses pembelajaran. Untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut diperlukan penelitian berkaitan dengan pembelajaran IPS. Salah satu upaya
yang memadai untuk itu adalah dengan melakukan pengembangan model pembelajaran
yang mampu meningkatkan keterampilan sosial. Menggunakan model pembelajaran
keterampilan sosial diharapkan dapat ditingkatkan sasaran instruksional berupa
keterampilan sosial namun juga sasaran ikutan berupa pengetahuan IPS.

B.     Batasan dan Rumusan Masalah

 Penelitian ini diarahkan pada pengembangan model pembelajaran. IPS di sekolah


dasar. Pada jenjang tersebut kajian IPS bersifat umum, belum disajikan dalam bentuk
teoritis-konseptual. Kalaupun disajikan baru dasar-dasarnya saja dengan
pengorganisasian materi menggunakan model ”
ada terkandung aspek-aspek sejarah, geografi, ekonomi atau budaya dan politik tetapi
terintegrasi dalam tema-tema.

Keberhasilan pembelajaran IPS dipengaruhi banyak faktor, yaitu input, proses dan
output sebagai suatu sistem. Komponen input mencakup
instrumental input (masukan instrumental) dan
lingkungan). Komponen proses berkenaan dengan pembelajaran teori, pembelajaran
praktek, pengelolaan kelas, pemberian tugas dan latihan, bimbingan siswa, evaluasi
serta manajemen pembelajaran sedangkan komponen
perubahan positif atau perkembangan yang dicapai setelah melakukan proses
pembelajaran.

Dengan begitu banyaknya variabel yang melatarbelakangi dan mempengaruhi


keberhasilan pembelajaran maka untuk bahan dasar pengembangan model akan
digunakan beberapa variabel yang secara konseptual paling dominan memberi
kontribusi data dalam pengembangan model, khususnya pada studi pendahuluan.

Variabel-variabel yang secara khusus akan diteliti tersebut adalah komponen guru,
siswa, konteks atau lingkungan serta desian dan proses pembelajarannya. Pada
komponen guru, variabel yang akan diteliti dibatasi pada latar belakang pendidikan dan
latihan yang pernah diikuti, pengetahuan, keterampilan dan motivasi dalam
pembelajaran IPS. Dalam komponen siswa akan dibatasi pada motivasi belajar,
pengetahuan dan keterampilan dalam bidang sosial saat ini. Komponen konteks atau
lingkungan dibatasi pada sarana dan prasarana pembelajaran, media dan sumber belajar
yang ada. Pada komponen proses pembelajaran dibatasi pada model atau metode
pembelajaran yang digunakan, mencakup disain dan implementasinya.

 Mengacu pada Kurikulum Sekolah Dasar tahun 2004 dan sejalan dengan KTSP,
pendidikan IPS di sekolah dasar diarahkan pada penguasaan pengetahuan, nilai, sikap
dan keterampilan siswa sebagai warga negara Indonesia. Dengan sasaran yang sangat
luas tersebut, mengacu pada latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas
maka penelitian ini akan dibatasi pada penguasaan keterampilan sosial.

Penelitian dibatasi pada satu tingkat saja, yaitu kelas 5 Sekolah Dasar, dengan
pertimbangan bahwa dari sisi perkembangan kemampuan sosial,siswa sudah mampu
menjalin hubungan dengan teman sebaya karena pada usia tersebut ikiatan sebaya
sangat kuat. Pada tingkatan tersebut siswa juga sudah mendapatkan pelajaran IPS
minimal dua tahun sehingga dipandang cukup memiliki dasar umum pengetahuan,
sikap, nilai dan keterampilan sosial.

Berdasarkan latar belakang dan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, penelitian ini
difokuskan pada pengembangan model pembelajaran yang memberi kontribusi
memadai untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Secara khusus diarahkan
untuk a) menemukan model dan model desain yang memadai, b) model implementasi,
serta c) faktor pendukung, kelebihan dan hambatan dalam implementasi model
pembelajaran tersebut.

C.     Metodologi Penelitian
 Penelitian ini difokuskan pada pengembangan model pembelajaran dalam bidang IPS
yang diarahkan pada peningkatan keterampilan sosial siswa Sekolah Dasar.
Pengembangan suatu model pembelajaran terkait dengan segi dan aspek yang akan
dikembangkan ; pada mata pelajaran apa, segi atau aspek tersebut akan dikembangkan ;
pada siapa, jenjang dan jenis pendidikan mana serta bagaimana kondisinya?

Untuk mengakomodasi pertanyaan tersebut dengan karakteristik sebagaimana


digambarkan di atas maka digunakan metode penelitian dan pengembangan atau
Research and Development yang disederhanakan atas tahapan studi pendahuluan,
pengembangan dan uji validasi.

Penelitian dilakukan pada kelas lima Sekolah Dasar, mengambil lokasi di Kota
Bandung. Penentuan sampel pada studi pendahuluan menggunakan teknik
cluster random sampling berdasarkan lokasi kecamatan dan sekolah sehingga diperoleh
25 sekolah dengan variasi katagori kluster.

Pengembangan model pembelajaran dilakukan pada dua sekolah (satu SD negeri dan
satu SD swasta) untuk uji coba terbatas dan tiga sekolah (dua SD negeri dan satu SD
swasta) untuk uji coba luas sedangkan untuk uji validasi dilaksanakan pada enam
sekolah, yaitu tiga SD sebagai kelompok eksperimen dan tiga SD lain untuk kelompok
kontrol dengan variasi katagori baik, cukup dan sedang.

Pelaksanaan penelitian dilakukan atas tiga tahap, yaitu studi pendahuluan yang meliputi
studi kepustakaan dan survai, pengembangan model yang meliputi uji coba terbatas dan
uji coba luas serta pengujian hasil yang dilaksanakan melalui eksperimen. Pada tahap
studi pendahuluan data dikumpulkan menggunakan metode survai dengan tehnik
observasi, angket dan wawancara serta studi dokumenter. Tahap pengembangan
nmenggunakan metode penelitian tindakan yang dikembangkan atas kegiatan
penyusunan rencana, pelaksanaan, evaluasi dan penyempurnaan pembelajaran. Pada
tahap ini juga dilakukan evaluasi terhadap proses dengan cara observasi dan evaluasi
hasil berbentuk tes. Selanjutnya, pada tahap pengujian, dengan menggunakan metode
eksperimen pengumpulan data dilakukan dengan tehnik observasi berbentuk sekala
untuk menilai peningkatan keterampilan sosial siswa dan tes tertulis berbentuk pilihan
ganda untuk menilai hasil belajar dalam penguasaan materi (pengetahuan) IPS.

 Analisis data yang digunakan pada tahapan studi pendahuluan adalah analisis
deskriptif kuantitatif dan kualitatif.Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis
data angket utnuk dicari frekuensi dari setiap jawabannya sehingga diperoleh gambaran
kecenderungan umum kondisi dan potensi di lapangan. Data kualitatif dari hasil
wawancara, observasi dan studi dokumenter digunakan sebagai pelengkap data
sehingga diperoleh gambaran objektif dan menyeluruh tentang kondisi dan
implementasi pembelajaran IPS di sekolah.

 Data hasil observasi pada tahap pengembangan model dianalisis secara kualitatif.
Hasilnya dikomunikasikan dengan para guru untuk penyempurnaan rancangan dan
pelaksanaan pembelajaran selanjutnya.Data hasil berupa nilai tes IPS pada uji coba
terbatas dan luas dianalisis dengan uji t dengan menggunakan program SPSS versi 12.
Perolehan data kualitatif dalam bentuk skor nilai tes awal dan tes akhir keterampilan
sosial pada uji validasi diolah menggunakan uji t dengan SPSS versi 12 sehingga
terlihat perbedaan hasil antara keduanya pada masing-masing kelompok.

D.    Temuan Penelitian

1.      Model Pembelajaran yang Dihasilkan

 Model pembelajaran yang dihasilkan adalah Pembelajaran Kooperatif sebagai


pengembangan dari perpaduan Student Teams-Achievement Divisions (STAD) atau
Pembelajaran Peningkatan Prestasi Tim (PPPT); Teams-Games Tournament (TGT)
atau Pembelajaran Permainan Tim (PPT); Jigsaw atau Permainan Keahlian Tim (PKT)
dari Slavin dan Pembelajaran Kooperatif dari A.Lie. Perbandingan langkah-langkah
pembelajaran dari masing-masing model diilustrasikan sebagai berikut:

2.       Model Desain Pembelajaran

 Model desain pembelajaran menyajikan rencana pembelajaran dan prosedur


pembelajaran.

a.       Rencana pembelajaran

Rencana pembelajaran berisi komponen-komponen yang sama dengan rencana


pembelajaran sebagaimana digunakan di sekolah, yang biasa disebut rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), tetapi memiliki spesifikasi untuk mengajarkan tema
atau topik-topik IPS yang menekankan keterampilan sosial. Enam komponen dari
rencana pembelajaran tersebut.adalah:

1)      Tema/topik, berisi nama tema/topik yang akan diajarkan. Tema/topik tersebut
diambil dari kurikulum (silabus) IPS pada semester yang sesuai bagi pembelajaran
keterampilan sosial, bermakna dan dekat dengan kehidupan / keseharian siswa.

2)      Tujuan Pembelajaran, merupakan sasaran yang akan dicapai dalam pembelajaran.
Tujuan tersebut berisi rumusan kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh para siswa.
Tujuan pembelajaran terbagi dua, yaitu tujuan pembelajaran umum dan tujuan
pembelajaran khusus. Tujuan pembelajaran umum, berisi rumusan kompetensi dasar
berkenaan dengan topik yang akan diajarkan, sedang tujuan pembelajaran khusus,
berisi rumusan indikator-indikator dari topik yang akan diajarkan.

3)      Materi Pembelajaran, merupakan isi atau substansi bahan yang akan diajarkan,
yang menunjang penguasaan kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Materi
pembelajaran ini hanya memuat garis-garis besar bahan ajaran yang merupakan rincian
dari topik pembelajaran.

4)      Model Pembelajaran, berisi rumusan tentang model pembelajaran kooperatif


dengan variasi metode yang akan digunakan. Jenis metode yang digunakan dalam
setiap pertemuan tidak selalu sama, disesuaikan dengan topik dan kompetensi yang
akan dicapai. Metode-metode tersebut pada umumnya merupakan metode yang berisi
kegiatan yang mengaktifkan siswa (seperti bekerja dan diskusi kelompok, presentasi,
menanggapi, mengemukakan pendapat, memimpin), dalam berbagai kegiatan
kelompok, bersifat inkuiri atau diskaveri yang bermakna. Meskipun demikan tidak
berarti tidak boleh menggunakan metode yang bersifat ekpositori dan klasikal, kalau
diperlukan sesuai topik dan kompetensi yang akan dicapai metode-metode tersebut juga
dapat digunakan.

5)      Media dan Sumber Pembelajaran, berisi rumusan tentang media atau alat bantu
pembelajaran yang digunakan untuk membantu memperjelas atau mempermudah
penguasaan materi atau kompetensi yang ingin dicapai. Media pembelajaran dapat
menggunakan media yang sudah ada di sekolah atau diadakan oleh guru dan siswa.
Sumber pembelajaran dapat berupa buku, majalah dan bahan cetak lain, bahan
elektronik, orang atau nara sumber, dan sumber pembelajaran yang ada di lingkungan
masyarakat.

6)      Evaluasi Pembelajaran, merupakan kegiatan untuk mengukur dan menilai


pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Evaluasi ini meliputi evaluasi proses dan
evaluasi hasil pebelajaran. Evaluasi proses ditujukan untuk menilai perilaku atau
keterampilan sosial siswa dalam berbagai kegiatan pembelajaran, seperti bekerja dan
diskusi dalam kelompok kecil, kelompok sedang, kelompok besar dan dalam kelas.
Evaluasi hasil ditujukan untuk mengukur dan menilai tingkat penguasan siswa dalam
kompetensi dan materi yang dirumuskan dalam tujuan. Pengukuran menggunakan kuis,
tes obyektif dan uraian.

b.       Prosedur Pembelajaran.

Prosedur pembelajaran berisi langkah-langkah umum dan rincian singkat dari metode
atau kegiatan model pembelajaran kooperatif. Prosedur ini dibuat untuk membantu
mempermudah guru dalam menguasai dan melaksanakan langkah-langkah
pembelajaran kooperatif. Dalam prosedur ini ada empat langkah utama, yaitu langkah:
orientasi, eksplorasi, pendalaman dan penyimpulan. Langkah
pengenalan, dan pengkondisian; langkah
penjelasan, membaca bahan, bekerja atau berdiskusi kelompok, dan bekerja atau
diskusi antar kelompok; langkah
kelas, beriskusi kelas dan tes tertulis ; langkah
kesimpulan dan pemberian tugas.

3.      Implementasi Model Pembelajaran.


Pelaksanaan pembelajaran merupakan langkah implementasi dari rencana pembelajaran
kooperatif, berisi rincian dari prosedur pembelajaran. Sama dengan pada prosedur ada
empat langkah utama yang merupakan sintaks dari model pembelajaran kooperatif hasil
pengembangan, yaitu langkah: orientasi, eksplorasi, pendalaman dan penyimpulan.

a.      Langkah Orientasi atau kegiatan awal pembelajaran merupakan langkah untuk
mendorong kelas memusatkan perhatian
kegiatan:

1)      Curah pendapat, apersepsi atau menghubungkan materi baru dengan yang sudah
dikuasai.

2)      Pengkondisian kelas berisi penciptaan situasi, pemberian motivasi dan penjelasan
tentang langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan.

b.       Langkah Eksplorasi atau kegiatan inti pertama, merupakan langkah untuk
mengajak dan mendorong siswa untuk mencari dan menemukan fakta, pengetahuan,
masalah dan pemecahan. Dalam proses pencarian tersebut siswa berlatih
mengembangkan keterampilan berinteraksi, berpartisipasi, berkomunikasi. Kegiatan-
kegiatan utama yang dilakukan dalam langkah eksplorasi adalah:

1)      Siswa menyimak penjelasan dari guru tentang bahan yang

2)      Secara individual dan kelompok siswa membaca tentang topik yang akan
dipelajari..

3)      Bekerja kelompok: mengerjakan tugas, latihan, menjawab soal yang diberikan,
menyiapkan bahan untuk penyajian.

4)      Diskusi kelompok: mengemukakan pengetahuan atau pendapat, mengajukan


tanggapan, mempertahankan pendapat, memberikan penilaian.

5)      Bekerja antar kelompok: memadukan hasil pekerjaan kelompok,

6)      Diskusi antara kelompok: penyajian hasil kerja kelompok, kompetisi dalam
menganggapi, memberikan jawaban, siswa/guru memberikan penilaian, mengadakan
penyempurnaan.

c.      Langkah pemantapan atau kegiatan inti kedua, merupakan langkah untuk
memperdalam, memperluas, memantapkan, memperkuat penguasaan materi dan
kemampuan yang telah dicapai pada langkah eksplorasi. Kegiatan-kegiatan utama yang
dilakukan pada langkah ini meliputi:

1)      Kerja kelompok kelas: memadukan hasil kerja antar kelompok, mengadakan
penyempurnaan, menyiapkan bahan penyajian.

2)      Diskusi kelas: bergiliran atau berkompetisi memberi penjelasan dan tanggapan,
guru dan/atau siswa memberi penilaian.

3)      Melalui tanya-jawab guru mengajak siswa memadukan hasil kerja dan diskusi
kelas.

4)      Evaluasi dalam bentuk tes tertulis bentuk obyektif atau uraian.

d.      Langkah Penyimpulan atau kegiatan akhir pembelajaran, merupakan langkah untuk
menyimpulkan atau merangkumkan dan menegaskan tentang apa yang telah dipelajari.
Langkah penyimpulan berisi kegiatan:

1)      Guru menyimpulkan materi dan kemampuan yang telah dipelajari dan dilatihkan.

2)      Guru menegaskan pentingnya materi dan kemampuan yang telah dipelajari dalam
pendidikan dan kehidupan yang akan datang.

4.      Faktor Pendukung Model Pembelajaran

 Efektifitas pembuatan rancangan dan implementasi model pembelajaran ini sangat


didukung oleh berbagai faktor sebagai berikut:

a.      Guru, berkenaan dengan kemapanan guru dalam berbagai aspek, di antaranya
kualifikasi pendidikan, potensi dan kondisi, persepsi terhadap profesi dan tugas
mengajar serta kemampuan dan kecakapan menyelenggarakan serta mengelola
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik model pembelajaran.

b.      Siswa, berkenaan dengan karakteristik, potensi, minat, kemampuan dan


persepsinya terhadap pembelajaran kooperatif serta pelajaran IPS.

c.      Sarana-prasarana, sumber belajar, media dan alat bantu belajar, berkenaan dengan
ketersediaan, keberfungsian dan kreatifitas penyajian dan pemanfaatanya oleh guru.

d.      Ukuran, kondisi dan suasana kelas. Ukuran berkaitan dengan luas dan pemanfaatan
ukuran kelas; kondisi kelas berkenaan dengan penataan sarana dan prasarana di kelas
sehingga kondusif untuk pembelajaran kooperatif sedangkan suasana kelas berkenaan
dengan iklim belajar dan kegiatan kerjasama dalam pembelajaran.

e.      Waktu. Efektivitas implementasi model pembelajaran kooperatif membutuhkan


waktu yang memadai dengan pemanfaatan yang optimal dan bermakna.

5.       Kelebihan Model Pembelajaran yang Dihasilkan


 Model pembelajaran kooperatif hasil pengembangan memiliki kelebihan dibandingkan
dengan model pembelajaran biasa (ekspositori) dalam dua aspek yang menjadi sasaran
pembelajaran, yaitu penguasaan: keterampilan sosial dan pengetahuan.

Kelebihan dari model pembelajaran ini diperlihatkan oleh perbedaan tingkat penguasan
yang cukup berarti dari hasil tes akhir dibandingkan dengan hasil tes awal, baik dalam
aspek keterampilan sosial maupun pengetahuan IPS. Temuan tersebut diperkuat oleh
hasil analisis perbedaan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
Kelompok eksperimen atau yang menggunakan model pembelajaran kooperatif
memiliki tingkat penguasaan dalam aspek keterampilan sosial dan pengetahuan yang
lebih tinggi dan perbedaannya cukup berarti dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Dalam tes awal pasangan-pasangan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang
berarti, atau perbedaannya berarti tetapi jauh lebih kecil dibandingkan dengan pada tes
akhir.

a.      Penguasaan keterampilan sosial

1)      Setelah belajar dengan menggunakan model pembelajaran koperatif, penguasaan


keterampilan sosial lebih tinggi. Skor rata-rata (mean) hasil tes akhir lebih besar dan
berbeda secara signifikan dibandingkan dengan hasil tes awal.

2)      Perbedaan tersebut diperkuat oleh hasil uji perbedaan dengan kelompok kontrol.
Dalam setiap pasangan sekolah eksperimen dengan sekolah kontrol diperoleh hasil
bahwa skor rata-rata keterampilan sosial dari sekolah-sekolah kelompok eksperimen
lebih tinggi dari rata-rata skor sekolah kelompok kontrol, dengan perbedaannya sangat
berarti.

3)      Model pembelajaran kooperatif memberikan hasil lebih baik dalam pengembangan
keterampilan sosial, di antaranya karena menggunakan berbagai variasi kegiatan
pembelajaran kelompok sehingga banyak memberikan kesempatan untuk berlatih
keterampilan sosial. Hal itu berarti bahwa model pembelajaran kooperatif cocok
digunakan untuk pengembangkan keterampilan sosial.

4)      Adanya kecenderungan bahwa implementasi model pembelajaran kooperatif


memberikan dampak yang berragam (variatif) terhadap keterampilan sosial siswa,
terutama pada siswa dari sekolah kategori menengah. Dengan demikian model
pembelajaran kooperatif ini memiliki ”kelenturan medan” sehingga dapat digunakan
pada berbagai tingkat kemampuan siswa.

  Penguasaan pengetahuan

1)      Dalam aspek pengetahuan sebagai dampak pengiring dari pembelajaran aspek
keterampilan sosial, sekolah-sekolah yang menjadi kelompok eksperimen,
memperlihatkan perbedaan yang sangat berarti antara tes awal (pes test) dengan tes
akhir (post test).

2)      Perbedaan tersebut diperkuat oleh hasil uji perbedaan dengan kelompok kontrol.
Dalam setiap pasangan sekolah eksperimen dengan sekolah kontrol diperoleh hasil
bahwa skor rata-rata sekolah-sekolah dari kelompok eksperimen (yang menggunakan
model pembejaran kooperatif) hasilnya lebih tinggi dari skor rata-rata sekolah
kelompok kontrol (yang menggunakan model pembelajarn biasa), dan perbedaannya
sangat signifikan atau berarti.

3)      Penguasaan hasil belajar pada aspek pengetahuan lebih homogen dibandingkan
dengan dalam aspek keterampilan sosial.

4)      Tingkat heterogenitas pencapaian aspek pengetahuan cenderung lebih menonjol


pada kelompok eksperimen dibanding kelompok kontrol, hal itu menandakan bahwa
penggunaan model pembelajaran kooperatif cenderung memberi keragaman hasil
dalam aspek pengetahuan.

5)      Model pembelajaran kooperatif lebih unggul dari pembelajaran biasa karena para
siswa banyak melakukan variasi kegiatan dibandingkan dengan pembelajaran biasa.
Melalui berbagai variasi kegiatan belajar tersebut mereka melakukan pengulangan,
perluasan, pendalaman dan penguatan terhadap penguasaan materi pengetahuan yang
dipelajari, sedang dalam pembelajaran biasa yang bersifat ekspositori, siswa hanya
mengalami atau melakukan satu atau dua kegiatan belajar saja, sehingga tidak atau
kurang terjadi pengulangan, perluasan, pendalaman dan penguatan penguasaan.

6.      Hambatan dan Optimalisasi Pelaksanaan

 Ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan model pembelajaran


kooperatif.

Pertama, karena belum biasa guru tidak langsung dapat melaksanakan model
pembelajaran kooperatif secara efektif, mereka membutuhkan penyesuaian atau latihan
dalam pertemuan pertama, tetapi pada pertemuan berikutnya dapat lebih efektif.

Kedua, karena belum biasa para siswa juga membutuhkan waktu untuk menyesuaikan
diri dengan kegiatan yang baru. Guru dituntut untuk lebih meningkatkan disiplin
belajar terutama kebiasaan siswa berbicara dan bekerja lebih efisien.

Ketiga, kegiatan-kegiatan kelompok yang mengaktifkan siswa membutuhkan waktu


belajar yang relatif lebih lama. Masalah ini dapat diatasi dengan meningkatkan efisiensi
penggunaan waktu, penentuan target sasaran dan waktu untuk setiap kegiatan,
pengawasan dan perintah untuk segera mengakhiri sesuatu kegiatan dan berpindah ke
kegiatan lainnya.

Keempat, adalah kelengkapan media dan sumber. Masalah ini merupakan masalah
umum yang dihadapi oleh sekolah, dapat diatasi dengan meningkatkan kerjasama
dengan unsur pimpinan dan komite sekolah, dan peningkatan upaya guru
mengembangkan sendiri media dan sumber belajar.

7.       Beberapa Prinsip Dasar yang Ditemukan

 Berdasarkan berbagai pengamatan terhadap pembelajaran, mengkaji dan


menyimpulkan temuan-temuan, ditemukan beberapa prinsip dasar atau dalil yang dapat
dirumuskan berkenaan dengan model pembelajaran kooperatif.

a.      Belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan


keterampilan sosial siswa.

b.      Penguasaan materi pelajaran lebih meningkat dengan menggunakan pembelajaran


kooperatif.

c.      Pembelajaran yang menggunakan kegiatan kelompok yang bervariasi dapat


meningkatkan motivasi belajar siswa.

d.      Kegiatan berkelompok lebih efektif jika pengelompokkan dilakukan dengan


kegiatan yang kreatif.

e.      Penguasaan siswa dalam materi pelajaran meningkat melalui penggunaan kegiatan
pembelajaran yang mengaktifkan siswa.

f.        Siswa lebih cepat menyesuaikan diri dengan kegiatan pembelajaran bila didahului
dengan langkah orientasi.

g.      Wawasan pengetahuan siswa lebih luas melalui penggunaan kegiatan eksplorasi.

h.      Penguasaan pengetahuan siswa lebih kuat melalui kegiatan pendalaman dan
penguatan.

i.        Penyimpulan diakhir pelajaran memperkuat pengusaan siswa dalam materi yang
dipelajari.

E.     Rekomendasi

 Temuan-temuan dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak yang
berperan dalam pengembangan konsep, pengelolaan, dan pelaksanaan pendidikan,
khususnya pendidikan IPS, baik pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah,
maupun pendidikan tinggi.

1.       Untuk guru


Guru adalah pelaksana terdepan dari kurikulum dan pembelajaran. Guru-guru Sekolah
Dasar dapat menggunakan hasil-hasil dari penelitian ini untuk meningkatkan proses
dan hasil pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran IPS. Hasil-hasil dari studi
pendahuluan dapat dijadikan bahan perbandingan dengan kondisi yang ada di
sekolahnya, kemudian dijadikan titik tolak peningkatan mutu pembelajaran.

Guru-guru kelas V dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif yang


dikembangkan dalam penelitian ini di kelasnya. Untuk topik-topik yang sama dengan
topik yang dikembangkan dalam penelitian ini, rencana pembelajarannya dapat
langsung digunakan, dengan terlebih dahulu membaca dan memahaminya secara
cermat. Untuk topik-topik lain dalam pelajaran IPS di kelas V dapat langsung
digunakan dengan didahului oleh beberapa penyesuaian sejalan dengan tema atau topik
yang akan diajarkannya.

Model pembelajaran ini juga dapat digunakan di kelas IV dan kelas VI dengan
beberapa penyempurnaan sesuai dengan karakteristik dan tingkat kemampuan siswa.
Sebenarnya model pembelajaran ini juga dapat digunakan di kelas III, tetapi
membutuhkan perhatian guru yang lebih intensif di dalam pelaksanaanya, sebab siswa
kelas III kemampuannya masih terbatas, perhatiannya mudah goyah, keterampilan
bekerja samanya masih perlu dikembangkan, sehingga membutuhkan pengendalian,
pengawasan, dan bimbingan belajar yang lebih intensif.

Didahului dengan penyusunan rencana yang memadai dan sesuai dengan kontek serta
potensi siswa, efektifitas penerapan model ini terkait erat dan sangat didukung oleh
kemauan dan kemampuan guru untuk mengembangkan berbagai inovasi dan kreatifitas
dalam pembelajaran. Bentuk kreatifitas atau inovasi guru dapat dikembangkan dengan
mengembangkan berbagai variasi metode atau kegiatan, variasi pengelolaan sarana dan
prasarana yang ada atau dihadirkan di kelas, variasi media, prasarana atau alat bantu
belajar, pengkondisian tempat duduk, variasi pengelompokkan anak atau urutan
pembelajaran itu sendiri. Semakin kaya improvisasi guru kegiatan pembelajaran
semakin merangsang siswa untuk terlibat karena menarik dan tidak membosankan.

Pembiasaan penggunaan model pembelajaran kooperatif cukup meringankan tugas


guru karena memfokuskan pembelajaran pada kegiatan siswa. Dalam kondisi demikian
guru dapat mengoptimalkan berbagai kekuatan dan potensi siswa atau suasana di
sekitar siswa.

2.      Untuk Kepala Sekolah

 Kepala sekolah adalah pengelola dan sekaligus juga pemimpin di sekolah. Inovasi dan
upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan guru, harus diarahkan,
didorong, dibantu dan difasilitasi oleh kepala sekolah. Untuk membantu memfasilitasi
inovasi yang dilakukan guru, terlebih dahulu kepala sekolah harus menguasai model
atau acuan tersebut.
 Bentuk fasilitas utama dari kepala sekolah yang dibutuhkan dalam implementasi
model pembelajaran kooperatif berkenaan dengan dukungan saat
mengimplementasikan kurikulum sehingga guru merasa leluasa dalam
mengembangkan berbagai inovasi dan kreatifitas mengajar. Keterikatan sasaran hasil
sebagaimana menjadi kendala saat ini harus difahami secara proporsional sehingga
target guru mengajar tidak terbebani hanya pada satu sasaran.

Dukungan kedua berkenaan dengan ketersediaan, kecukupan serta keberfungsian


berbagai sarana, prasarana serta sumber belajar karena efektifitas pembelajaran
kooperatif didukung oleh komponen tersebut. Semakin lengkap semakin memudahkan
guru dalam membangun pembelajaran kooperatif karena terbukti dengan contoh dan
alat bantu realita kemampuan kerjasama dan hasil belajar siswa relatif lebih efektif.

Model pembelajaran kooperatif dapat dijadikan salah satu contoh model dan juga acuan
oleh kepala sekolah dalam mendorong, membina dan memfasilitasi inovasi dan
peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran di sekolahnya. Dengan acuan model
pembelajaran kooperatif yang dihasilkan dalam penelitian ini, Kepala Sekolah dapat
mendorong penggunaannya pada topik lain di kelas V, pada tingkatan kelas lain di
sekolahnya atau menginformasikan keunggulannya kepada pada kepala sekolah lain
baik untuk pembelajaran IPS maupun mata pelajaran lain yang berkarakteristik materi
cocock dengan model ini.

3.       Untuk Dinas Pendidikan

Kepala sekolah hanya bertugas dan bertanggung jawab terhadap inovasi yang diadakan
di sekolahnya. Untuk inovasi dan peningkatan mutu pendidikan pada sekolah yang
lebih luas menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Pendidikan, tingkat kecamatan,
kota atau kabupaten dan tingkat propinsi.

Disamping memberi dukungan langsung untuk membantu mempermudah dalam


memfasilitasi berbagai kebutuhan belajar siswa, Dinas Pendidikan juga dapat
mensosialisaikan model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dalam penelitian
ini sebagai model dan acuan dalam pelaksanaan inovasi dan peningkatan mutu
pendidikan pada tingkat kecamatan, kota/kabupaten dan propinsi, khususnya dalam
pembelajaran IPS di kelas V. Model ini juga dapat digunakan pada kelas III, IV dan
kelas VI dengan beberapa penyesuaian.

4.      Untuk LPTK

 Keberadaan program studi Pengembangan Kurikulum pada tingkat pasca sarjana di


LPTK merupakan wadah yang sangat memadai untuk melakukan berbagai penelitian
berkenaan dengan model-model pembelajaran yang inovatif untuk berbagai sasaran
pembelajaran.. Mengefektifkan sarana penyusunan penelitian akhir dalam bentuk thesis
dan disertasi oleh siswa pasca, program studi maupun PPS dapat menghimpun temuan-
temuan tersebut sehingga terintegrasi sehingga menjadi produk ilmiah yang dapat
disosialisasikan kepada berbagai pihak terkait. Dengan cara ini maka tidak ada
kemandegan rantai informasi ilmiah kepada masyarakat.

 Secara khusus Model pembelajaran kooperatif yang dihasilkan dalam penelitian ini,
juga dapat menjadi masukan bagi perguruan tinggi yang melaksanakan pendidikan guru
(LPTK). Agar guru-guru memiliki kemampuan dalam melakukan Inovasi dan
pengembangan dalam pembelajaran, maka sebaiknya inovasi dan pengembangan yang
akan dilakukan di sekolah telah diberikan dan dilatihkan pada LPTK. Guru-guru yang
dihasilkan oleh LPTK sebaiknya telah memiliki kesiapan dalam melakukan inovasi.
Model pembelajaran kooperatif yang dihasilkan dapat menjadi salah satu model dan
acuan dalam pembekalan kepada para calon guru.

5.       Untuk Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini berkenaan dengan pembelajaran IPS di kelas V dengan fokus


pengembangan keterampilan sosial. Hasil penelitian menemukan bahwa model
pembelajaran yang cocok dan cukup efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial
di kelas V adalah pembelajaran kooperatif. Penelitian ini cukup terbatas, hanya
mengembangkan model pembelajaran bagi pengembangan keterampilan sosial di kelas
V. Masih terbuka kesempatan bagi para peneliti lain untuk meneliti hal lainnya, seperti
model: pembelajaran kooperatif pada kelas-kelas lainnya di sekolah dasar, sekolah
lanjutan pertama dan lanjutan atas, pembelajaran koopertif pada mata-mata pelajaran
lainnya, model pembelajaran lain untuk mengembangkan keterampilan sosial.

Keberhasilan implementasi model ini juga memerlukan berbagai dukungan, bukan


hanya kemauan dan kemampuan peneliti untuk menggali dengan tepat berbagai potensi
bacaan dan hasil penelitian sebelumnya, juga kemampuan melakukan atau
mengembangkan inovasi dan kreatifikas untuk model pembelajaran, kecukupan waktu
dan kemampuan untuk melakukan pendekatan, kerjasama serta pelatihan bagi para
guru sebelum mengimplementasikan model di sekolah yang dijadikan objek penelitian.
Dengan ketepatan pendekatan tersebut maka beberapa hambatan yang terjadi bisa
teratasi.

Adisukarjo, S. (2005). Horizon Pengetahuan Sosial 5 B. Jakarta: Yudhistira.


 Al. Muhtar,S. (2006). Pengembangan Berfikir dan Nilai dalam Pendidikan IPS.
Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
 Banks, JA. & Ambrose, A.C. (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New
York: Longman,Inc.
 Baar, Sarth and Shermis. (1978). The Nature of the Social Studies. Palm Spring
California: ETC Publications.
 Bell,B.(1993). Children’s Science,Constructivism and Learning in Science. Australia:
Dekin University.
 Bloom, B.S. (1976). Human Characteristicts and School Learning. New York: Mc
Graw-Hill Book.
 Boediono,M. et, al. (1990). Menyongsong Globalisasi: Loncatan Konseptua &
Kepemimpinan Intelektual. Mimbar Pendidikan. IX. Bandung: IKIP Bandung.
. .........., (1997). Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya
Media..
 Bogdan R. and Biklen, SK. (1992). Qualitative and Research for Education: An
Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn and Bacon.
 Cartledge, Cr. And Milburn, J. f. (1992). Teaching Social Skill to Children: Innovative
Approach. New York: Pergemon Press.
 Chaplin, J.R. & Messick, R.G. (1992). Elementary Social Studies: A Practical Guide.
New York: Longman.
 Chauhan, S.S. (1979). Innovation in Teaching –Learning Process. New Delhi: Vikas
Publishing House PVT,Ltd.
 Combs,M. L. & Slaby,D.A. (1977). Social Skill Training With Children.. New York:
Plennum Press.
 Djahiri, K. (1997). Membina PIPS, IPS dan PPS yang Menjawab Tantangan Hari
Esok, Jurnal Pendidikan E. Sosial I /1993. Bandung: Forum Komunikasi
FPIPS/PS Indonesia
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi SD
dan MI. Jakarta.
. .......... (1999). Hasil Evaluasi Kurikulum 1994 untuk SD. Jakarta. Pusat
Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Depdikbud
Daftar Pustaka dan Sumber Bacaan lainnya ada pada redaksi.
 
< Sebelumnya
[ Kembali ]

All Rights Reserved 2008 http://educare.e-fkipunla.net


Dikelola oleh Pusat Pengembangan dan Peningkatan Pembelajaran Elektronik.
FKIP Universitas Langlangbuana.

Anda mungkin juga menyukai