Anda di halaman 1dari 119

SKRIPSI

PERILAKU KONSUMTIF DI KALANGAN REMAJA

AKIBAT PENGGUNAAN PONSEL

Disusun Oleh :

PRIMADITA AQUARISTI KARUNIA PUTRI

04/180880/SP/180880

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2009
PERILAKU KONSUMTIF DI KALANGAN REMAJA

AKIBAT PENGGUNAAN PONSEL

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi dan Memenuhi Syarat

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Dalam Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Dengan Spesialisasi Ilmu Sosiologi

Disusun Oleh :

PRIMADITA AQUARISTI KARUNIA PUTRI

04/180880/SP/20771

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2009

i
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji dan disahkan di depan tim penguji Jurusan Sosiologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Hari : Rabu dan Kamis

Tanggal : 13 dan 14 Januari 2010

Tempat : Ruang Kantor Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta

Dosen Pembimbing,

(Dr. Partini, SU.)

Tim Penguji :

1. Dr. Partini, SU. -------------------------

Ketua Tim Penguji

2. Drs. Andreas Soeroso, M. Si. -------------------------

Penguji Pendamping I

3. Derajad SW, S. Sos, M. Si. -------------------------

Penguji Pendamping II

ii
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Primadita Aquaristi Karunia Putri

Nomor Mahasiswa : 04/180880/SP/20771

Angkatan Tahun : 2004

Jurusan : Sosiologi

Judul Skripsi : PERILAKU KONSUMTIF DI KALANGAN

REMAJA AKIBAT PENGGUNAAN

PONSEL

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi, dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis atau diacu dalam naskah

itu dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab, dan saya bersedia

menerima sanksi apabila kemudian diketahui tidak benar.

Yogyakarta, Desember 2009

(Primadita Aquaristi Karunia Putri)

iii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa

yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta selalu melimpahkan

berbagai macam nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi yang berjudul PERILAKU KONSUMTIF DI KALANGAN REMAJA

AKIBAT PENGGUNAAN PONSEL. Penelitian ini berusaha mengkaji fenomena

perilaku konsumtif di kalangan remaja terhadap ponsel, yang digunakan sebagai

alat komunikasi sekaligus sebagai simbol prestise (gengsi) atau dapat dikatakan

pula bahwa remaja yang ada saat ini lebih cenderung untuk lebih mengkonsumsi

gaya hidupnya. Selain itu, penelitian ini juga berusaha mengkaji tentang

komunitas-komunitas yang pada akhirnya timbul dari pencitraan diri di kalangan

remaja dalam penggunaan dan pemilikan ponsel.

Penulis ingin menulis skripsi tentang perilaku konsumtif di kalangan

remaja akibat penggunaan ponsel berawal ketika penulis melihat bahwa saat ini

ponsel telah mejadi suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Terlebih

lagi ketika penulis melihat fenomena ponsel tersebut tidak hanya sekedar sebagai

alat komunikasi yang efisien saja di kalangan remaja. Cerita mengenai

pengalaman remaja selama menggunakan ponsel, terutama dalam hal pemilihan

ponsel yang akan mereka gunakan, membuat penulis ingin mengkaji lebih lagi

salah satu bahasan menarik yang berkaitan dengan permasalahan di penelitian ini,

yaitu meneliti tentang bagaimana perilaku konsumtif yang terjadi di kalangan

remaja, terutama apakah ada perbedaan perilaku konsumtif antara remaja di kota

iv
dan di desa, yaitu di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan SMA N 1 Sewon

Bantul. Selain itu peneliti juga mengkaji tentang apakah pencitraan diri terhadap

ponsel yang terjadi di kalangan remaja tersebut dapat menimbulkan suatu

komunitas baru. Di dalam permasalahan tersebut lalu terdapat pertanyaan tentang

mengapa remaja berperilaku konsumtif dalam penggunaan ponsel yang juga

dijadikan sebagai bentuk pencitraan diri di kalangannya. Selain itu muncul juga

pertanyaan tentang apakah pencitraan diri pada remaja tersebut dapat membentuk

suatu komunitas baru, terutama yang terbentuk di kalangan remaja.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini mungkin banyak

ketidaksempurnaan atau kesalahan yang ada, untuk itu penulis mengucapkan maaf

yang sebesar-besarnya. Dan penulis pun mengucapkan terima kasih atas segala

dukungan dari seluruh pihak yang telah banyak membantu dari proses awal

hingga akhir.

v
UCAPAN TERIMAKASIH

Sangat membahagiakan sekali rasanya dengan selesainya penulisan skripsi

ini, dan kini penulis ingin mengucapkan terimakasih pada pihak-pihak yang telah

bersedia membantu dan mendukung selama proses penulisan skripsi ini.

Terima kasihku yang terbesar aku ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa,

atas segala hal yang telah Dia berikan padaku dari awal kehidupanku hingga akhir

nanti. Kepada kedua orang tuaku Bapak Soeroso dan Ibu Titik Dhamayanti,

terima kasih atas segala yang telah kalian berikan padaku dan maaf atas segala hal

yang telah aku lakukan selama ini, aku sayang kalian. Untuk adikku tersayang

Gita Gustavia Nindya Putri, terima kasihku juga untuk segalanya dan semoga bisa

menjadi yang terbaik dalam hidupmu, aku sayang kamu. Untuk Mas

Mhentez..terima kasih atas seluruh rasa sayang dan cintamu padaku, waktu-

waktumu, dukunganmu dan apa yang kamu lakukan untukku..tetaplah berjalan

disebelahku hingga akhir nanti☺.

Kepada Ibu Dr. Partini, SU., sebagai Ketua Jurusan Sosiologi dan

pembimbing utama yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan

penelitian dan dengan sabar telah berkenan meluangkan waktu di tengah-tengah

kesibukannya untuk memberikan bimbingan dan masukan dari awal hingga akhir

penulisan skripsi ini. Kepada Bapak Drs. Andreas Soeroso, M. Si dan Mas

Derajad SW, S. Sos, M. Si, selaku dosen penguji yang telah banyak membantu

dan memberikan masukan selama penulisan skripsi. Terimakasih kepada dosen-

dosen Sosiologi atas segala ilmu dan ajaran yang telah diberikan selama ini.

vi
Kepada Mbak Sri, terima kasih atas bantuannya selama ini. Kepada pihak SMA

Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan SMA Negeri 1 Sewon Bantul, terima kasih

atas segala bantuan dan partisipasinya selama proses penelitian dan maaf jika

banyak kesalahan yang telah saya lakukan.

Untuk perempuan-perempuanku disana yang dengan setia selalu

menemaniku. Terima kasihku untuk Sosy , makasii yaa hun udah banyak banget

bantu aku, maaf aku duluan yah hun…kamu semangaaattt buat semuanya

hun..hajar semuanyaa!!. Untuk Hesti, hunii thanks juga buat segalanya, terutama

buat waktu yang selama ini udah kamu sediain buat aku..semangaaattt!!☺. Untuk

Opix, buk..big-big thank you buat kamu, makasii buat perbincangan-perbincangan

di warung kopi itu (hhaha..terima kasih juga buat orang-orang di mato yang gak

pernah bosen buat liat kita berdua ya buk!) dan udah jadi ‘tutor skripsi’ku selama

ini. Untuk Ika Ayu (aku tulis lengkap buk namamu yang mengandung sedikit

unsur lebih..☺), terima kasihku buk buat kamu..kamu telah banyak membantuku

dalam segala hal, terima kasih juga karena dari kamu aku belajar banyak hal

(terutama logika, walaupun kadang aku masih kesusahan menerapkannya di

hidupku dan jika berhasil aku terapkan pun cenderung sinis), tetap semangaat yaa

bukk!!. Untuk Dida, terima kasih juga untuk waktu di sela kesibukanmu(esp. at

Bengawan Coffee..edun yak, aku disana berasa yang punyaa coffeeshop, kapan

atuh bukk kesana lagii??☺), jangan kalah sama keadaan..semangaatt!!. Frida,

makasii yaa fred buat semuanya..kita harus sering ngumpul setelah aku lulus ini

dan sebelum kamu ma yang lain punya dunia baru sendiri-sendiri, miss you!.

Untuk Ayu, nyee..makasii yaa buat waktu-waktu yang kita (etong juga ikut masuk

vii
disini!☺) punya selama ini, kamu benar-benar perempuan futuristik yang aku

sayang nyee! (apalagi ‘buntut jaran’mu itu!!hhaha).

Untuk sahabat-sahabatku di Sosiologi 2004, terima kasih atas

kebersamaannya selama ini. Untuk Dian (si pengantin baru..kapan yo aku buk?),

Vina, Riri, Tante Yun, Lutfi, Nani, Abud, Arief Munandar, Adi, Alan, Iwan..ayoo

ngumpul lagii, kangen banget kayak dulu lagii!!. Untuk Uli, bukk thanks banget

yaa buat pinjaman bukunya..semua itu sangat membantu. Untuk Kukuh, Bimo dan

Avin, makasii yaa udah jadi ‘sisa teman’☺ di kampus dan kasih semangat aku

kemarin. Untuk Lolla, Eki, Toche, Nita, Tya, Nisa, Linda, Sari, Ria, Nuri, Intan,

Desi, Mere, Timbang, Firman, Antok, Ahmad, Wisnu, Arif, Ikhsan, Juanta dan

teman-teman yang lain, terima kasih sebesar-besarnya atas semuanya. Semoga apa

yang telah aku lakukan selama ini membawa membawa arti untuk kalian.

Yogyakarta, Desember 2009

viii
“Kita melakukan sesuatu dengan ikhlas akan menghasilkan

suatu hikmah, tetapi ketika melakukan sesuatu dengan

terpaksa maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak berguna,

karena semuanya berasal dari hati dan dengan hati itulah kita

dapat berpikir tentang hidup kita”

ix
Keluargaku, Bapak Suroso, Ibu Titik Dhamayanti dan Adikku

Gita Gustavia Nindya Putri..aku telah meyelesaikan sebuah

babak dalam hidupku, terima kasih untuk semuanya dan

aku minta maaf atas segalanya

Mas dan sahabat-sahabatku..terima kasih untuk segalanya,

kalianlah semangatku
x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iv

UCAPAN TERIMAKASIH .......................................................................... vi

MOTTO ........................................................................................................ ix

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................. xi

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiii

ABSTRAKSI ................................................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Perumusan Masalah .......................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 8

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 9

E. Tinjauan Teoritis ............................................................................... 9

F. Metode Penelitian ............................................................................. 29

G. Lokasi Penelitian .............................................................................. 30

H. Pemilihan Subjek Penelitian ............................................................ 31

I. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ............................................ 31

J. Analisis Data ..................................................................................... 32

xi
K. Sistematika Penulisan ....................................................................... 33

BAB II DESKRIPSI WILAYAH DAN SUBJEK PENELITIAN

A. Wilayah Penelitian ........................................................................... 35

B. Subjek Penelitian............................................................................... 49

BAB III PERILAKU KONSUMTIF TERHADAP PONSEL

SIMBOL PENCITRAAN DIRI REMAJA

A. Perilaku Konsumtif Dalam Penggunaan Ponsel ............................... 54

B. Ponsel Sebagai Simbol Pencitraan Diri Remaja ............................... 73

BAB IV KEMUNCULAN KOMUNITAS DARI PENGGUNAAN PONSEL

A. Perkembangan Teknologi Internet Dalam Ponsel ............................. 86

B. Komunitas Dalam Dunia Ponsel ....................................................... 89

BAB V

A. Kesimpulan ....................................................................................... 99

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Sekolah Kota Yogyakarta Tahun 2000

Tabel 2 Rekap Jumlah Sekolah Per Jenjang Pendidikan

Tabel 3 Data Pekerjaan Orang Tua Siswa SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta

Tabel 4 Data Kondisi Orang Tua Didik SMA N 1 Sewon

Tabel 5 Informan Berdasarkan Usia atau Umur

Tabel 6 Informan Berdasarkan Status Tempat Tinggal

Tabel 7 Informan Menurut Jenis Pekerjaan Orang Tua

xiii
ABSTRAKSI

Peneliti melakukan penelitian dengan judul PERILAKU KONSUMTIF


DI KALANGAN REMAJA AKIBAT PENGGUNAAN PONSEL ini
dilatarbelakangi oleh perkembangan teknologi dan modernisasi yang kian
membawa manusia pada suatu ketergantungan hidup dan dimana masyarakat
mulai terjebak di dalam lingkaran konsumerisme yang menjadikan masyarakat
sebagai masyarakat konsumsi.
Dengan latar belakang yang ada di atas, membawa peneliti pada
pertanyaan besarnya tentang hal tersebut. Pertama, mengapa remaja berperilaku
konsumtif dalam penggunaan ponsel yang juga dijadikan sebagai bentuk
pencitraan diri?. Dan yang kedua, apakah pencitraan diri pada remaja tersebut
dapat membentuk suatu komunitas baru?.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Dengan metode penelitian kualitatif ini
diharapkan dapat membantu peneliti dalam memahami seseorang atau individu
secara personal dan melihat pandangan individu tersebut dalam melihat sesuatu
hal. Sedangkan pendekatan fenomenologi sendiri digunakan oleh peneliti untuk
berusaha masuk ke dalam dunia konseptual subjek agar dapat memahami aspek
subjektif dari tindakan individu. Untuk memperoleh hasil yang baik dari
penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data pengamatan
(observation) dan wawancara (interview).
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa konsumerisme telah
masuk ke dalam kehidupan remaja di kota dan di desa, tetapi remaja di kota
cenderung lebih konsumtif dari pada remaja di desa karena untuk remaja desa
masih adanya kontrol sosial yaitu dari didikan keluarga. Selain itu juga terlihat
bahwa remaja kota menggunakan ponsel lebih cenderung fungsional, yaitu
mereka menggunakan ponsel karena tuntutan kebutuhan. Sedangkan remaja desa
menggunakan ponsel lebih cenderung pada struktural atau berdasarkan pada
pencitraan diri di lingkungannya. Konsumerisme dalam dunia ponsel tersebut juga
telah membentuk suatu komunitas baru, yaitu komunitas ponsel dengan adanya
teknologi GPRS. Untuk di lingkungan remaja kota, komunitas ponsel itu telah
terbentuk. Tetapi berbeda dengan di lingkungan remaja di desa, komunitas ponsel
tersebut belum terbentuk karena masih kurangnya introduksi tentang teknologi. Di
samping itu tidak menutup kemungkinan jika nantinya di lingkungan remaja desa
akhirnya terbentuk komunitas baru seperti yang telah terbentuk di lingkungan
remaja kota.

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan dunia terasa sangat cepat saat ini dengan terlihatnya

berbagai peningkatan yang ada di segala aspek kehidupan manusia, seperti

ekonomi, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Perkembangan

teknologi dan globalisasi tersebut selalu berjalan seiring dengan modernisasi yang

ada. Hampir di seluruh aspek kehidupan manusia terjadi modernisasi, tanpa

mengenal batas-batas lagi. Batas-batas territorial antar negara hanya sebuah

simbolisasi saja, sedangkan dunia ekonomi tidak mengenal adanya batas-batas

territorial, selain itu telah terjadi ekspansi ekonomi besar-besaran oleh para pelaku

kapitalis untuk menguasai pasar dunia.

Globalisasi sebagaimana dikatakan Roland Robertson dalam Globalitazion

Social Theory and Global Culture (1992), merupakan karakteristik hubungan

antara penduduk bumi ini yang melampaui batas-batas konvensional, seperti

bangsa dan negara. Dalam proses ini dunia telah dimampatkan (compressed) serta

terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai suatu kesatuan utuh.

Interdependensi menimbulkan proses globalisasi semakin kuat sehingga secara

tidak langsung dunia seolah-olah seperti suatu perkampungan besar (Dimyati,

2001). Globalisasi tersebut dirasakan oleh semua manusia dari segala lapisan

sosial masyarakat. Mulai dari perkotaan yang bisa dikatakan mudah untuk

mengakses segala hal hingga desa yang lebih kecil lingkupnya pun telah

1
2

merasakan efek-efek dari teknologi dan modernisasi di jaman globalisasi ini.

Efek-efek tersebut dirasakan sangat membantu hidup manusia menjadi lebih

mudah.

Pada jaman dulu manusia masih mengalami kesulitan dalam

berkomunikasi, terutama untuk berkomunikasi jarak jauh. Tetapi saat ini dimana

globalisasi dan modernisasi telah masuk ke dalam kehidupan manusia,

komunikasi menjadi mudah. Teknologi komunikasi telah berkembang dan

tersedia untuk membantu dan memudahkan manusia berkomunikasi, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Salah satu hasil dari modernisasi di jaman

globalisasi ini yang sangat membantu adalah telepon seluler (ponsel). Ponsel

merupakan alat komunikasi wireless yaitu komunikasi bergerak tanpa kabel yang

disebut dengan Mobile Device. Teknologi wireless ini telah berkembang pesat

dalam satu dekade terakhir ini. Prinsip dari komunikasi wireless ini menggunakan

kanal radio yang terpisah untuk berkomunikasi dengan cell site. Ponsel adalah

gabungan dari teknologi radio yang disatukan dengan teknologi komunikasi

telepon. Telepon sendiri pertama kali ditemukan dan diciptakan oleh Alexander

Graham Bell pada tahun 1876. Sedangkan komunikasi tanpa kabel (wireless)

ditemukan oleh Nikolai Tesla pada tahun 1880 dan diperkenalkan oleh Guglielmo

Marconi. Akar dari perkembangan digital wireless dan seluler dimulai sejak 1940

saat teknologi telepon mobil (Ahong, Sejarah Telepon Seluler dan Perkembangan

Teknologi Seluler, www. bagansiapiapi.net).

Perkembangan ponsel sangat cepat dan fungsinya pun bukan digunakan

sebagai fitur komunikasi saja. Mulai dengan tambahan-tambahan fitur seperti


3

kamera digital, radio, LCD berwarna dengan resolusi tinggi, ponsel menjadi

perangkat yang canggih dan pintar. Selain itu diciptakan dengan bentuk dan

ukuran yang cenderung kecil dan ramping. Ponsel yang awalnya hanya memiliki

fasilitas pengiriman teks pendek saja atau Short Message Service (SMS), namun

kini hampir semua ponsel memiliki dukungan multimedia, mulai dari

menampilkan foto, kamera digital, memainkan berbagai jenis file musik,

memainkan file video, bahkan mengedit dan mengolah klip video sehingga

pembuatan klip sederhana dapat dilakukan hanya dengan bantuan sebuah ponsel

saja (Oki Rosgani, Telepon Seluler Ulang Sejarah PC?, www.detikinet.com).

Dengan melihat perkembangan tersebut, fungsi ponsel mengalami suatu

pergeseran pemanfaatan. Yang tadinya hanya digunakan sesuai dengan fungsi

utamanya sebagai alat komunikasi jarak jauh, sekarang ponsel juga digunakan

sebagai suatu perangkat canggih yang membantu dan memudahkan kebutuhan

manusia.

Keberadaan ponsel hingga saat ini diterima dengan antusiasme tinggi oleh

semua masyarakat. Dapat dilihat pada realitas yang ada, bahwa hampir seluruh

lapisan masyarakat membutuhkan dan memiliki ponsel. Bahkan kini ponsel telah

menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat dipisahkan. Mulai

dari anak-anak hingga dewasa, tua-muda, baik masyarakat desa maupun kota

hampir semua memiliki. Menyinggung tentang masyarakat desa dan kota, perlu

diketahui pula tentang karakteristik yang dimiliki yang nantinya untuk

membedakan mereka di masyarakat luas.


4

Masyarakat desa memiliki ciri-ciri dalam hidup bermasyarakat, yang

biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi

tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan

masyarakat desa di Jawa. Namun dengan adanya perubahan sosial religius dan

perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik

tersebut sudah “tidak berlaku”. Berikut ini sejumlah karakteristik masyarakat

desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang

selama ini masih sering ditemui. Antara lain adalah : (1) sederhana, (2) mudah

curiga, (3) menjunjung tinggi “unggah-ungguh”, (4) guyub atau kekeluargaan, (5)

lugas apa adanya, (6) tertutup dalam hal keuangan, (7) adanya perasaan “minder”

terhadap orang kota, (8) menghargai orang lain, (9) jika diberi janji, akan selalu

diingat, (10) gotong-royong, (11) demokratis, dan (12) religius. Karakteristik-

karakteristik tersebut, pada saat ini tidak bisa digeneralisasikan bagi seluruh warga

masyarakat desa. Ini disebabkan oleh adanya perubahan sosial religius yang

begitu besar pengaruhnya dalam tata kehidupan masyarakat pedesaan (Prayudi,

seorang Staff UII). Selain itu didukung dengan adanya beberapa permasalahan

yang terjadi di pedesaan, antara lain adalah kurangnya peran serta pemerintah

secara nyata dalam ‘mengurus’ kepentingan dan kebutuhan masyarakat pedesaan,

wilayah tempat tinggal mereka yang terisolasi baik terhadap dunia luar maupun

terhadap akses-akses yang seharusnya mereka nikmati sebagai fasilitas negara

terutama akses akan sumber daya terlebih pendidikan, sehingga berdampak pada

pertumbuhan dan kemajuan desa menjadi relatif lambat. Mereka pun

berpandangan sempit bahwa pendidikan bukanlah segalanya. Hal ini


5

menyebabkan mereka mengalami krisis motivasi dan keinginan akan kebutuhan

pendidikan yang berujung pada rendahnya kualitas dan kuantitas pendidikan di

tingkat masyarakat pedesaan.

Sedangkan masyarakat kota memiliki beberapa karakteristik, antara lain

adalah : (1) heterogenitas sosial, (2) hubungan yang ada sekunder, (3) kontrol

sosial kurang, (4) toleransi sosial kurang, (5) struktur sosial kota diferensiasinya

luas, (6) mobilitas sosial, (7) ikatan yang terjadi secara sukarela, (8)

individualisasi, (9) segregasi keruangan, (10) kota bersifat besar, (11) kota

mengenal pembagian kerja yang luas, dan (12) kota mengarahkan hidup pada

kemajuan. Sehingga sangat berbeda dengan yang terjadi di kota, peran serta

pemerintah secara nyata dalam ‘mengurus’ kepentingan dan kebutuhan

masyarakatnya dapat lebih mudah tersampaikan, wilayah tempat tinggal mereka

yang mudah terjangkau terhadap dunia luar maupun terhadap akses-akses yang

seharusnya mereka nikmati sebagai fasilitas negara terutama akses akan sumber

daya terlebih pendidikan, sehingga berdampak pada pertumbuhan dan kemajuan

kota yang menjadi relatif lebih cepat dari pada desa. Hal ini juga terjadi pada

penyebaran informasi tentang trend ponsel khususnya. Dan nantinya akan

berkembang suatu pernyataan bahwa masyarakat daerah akan lebih terlambat

untuk mengetahui informasi terbaru dari pada masyarakat kota.

Kehadiran ponsel telah merubah kehidupan manusia. Dengan adanya

ponsel, jarak yang selama ini dituding menjadi permasalahan tidak lagi

menghalangi. Perkembangan dunia ponsel telah menghantarkan beberapa

fenomena yang semakin tampak dirasakan oleh masyarakat, didukung pula


6

dengan kebutuhan manusia akan komunikasi yang semakin bertambah. Sehingga

ponsel saat ini telah menjadi suatu kebutuhan pokok bagi siapa pun. Manusia

mengkonsumsi ponsel dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi. Tetapi

selain itu mereka mengkonsumsi ponsel juga sebagai simbol status sosial, karena

diharapkan dengan memiliki ponsel seseorang akan dianggap “lebih” di

lingkungannya. Dalam hal ini dapat dikatakan mereka juga mengkonsumsi gaya

agar mendapatkan pengakuan di lingkungannya (eksistensi diri). Begitu pula yang

terjadi dalam dunia ponsel di kalangan remaja. Masa remaja adalah masa

pencarian identitas diri dan ingin mendapatkan pengakuan atas eksistensi dirinya

di dalam lingkungannya. Dalam masa ini, remaja cenderung untuk selalu

mencoba-coba dengan segala identitas yang ada dan yang nantinya akan terlihat

dari tingkah laku dan cara mereka berpikir.

Sebagian besar remaja zaman sekarang merasa dirinya sangat tergantung

pada ponsel, karena kehadiran ponsel sangat membantu kemudahan hidup mereka

terutama komunikasi. Seperti dikatakan dalam www.mediaindonesia.com dalam

artikel yang berjudul Gangguan Emosi Ponsel Mania, bahwa :

“Tingkat adiksi remaja terhadap ponsel makin menjadi. Ada semacam tekanan yang
muncul di kelompok usia remaja untuk terus berhubungan melalui ponsel. Kecenderungan itu
tidak hanya menegaskan simbol konsumerisme, tapi juga berpengaruh buruk pada kondisi emosi.
Sebuah penelitian baru yang dilakukan oleh Gaby Badre MD PhD dari Akademi Sahlgren di
Gothenburg, Swedia dan dipresentasikan pada pertemuan tahunan ke-22 Associated Professional
Sleep Societies (APSS) menunjukkan bahwa kecanduan menelepon menyebabkan gangguan tidur,
sering letih dan gelisah. Fenomena itu bukan semata karena menelepon di malam hari sehingga
terlambat tidur. Remaja merasakan tekanan dari kelompoknya untuk tetap terhubung dan
terjangkau setiap waktu. Mereka mulai menggunakan telepon seluler terlalu dini dan menjadi
tergantung. Ada kemungkinan hubungan antara penggunaan ponsel secara intensif dan kebiasaan
yang merugikan kesehatan seperti merokok dan penggunaan alkohol.”

Selain itu disebutkan juga oleh Sandy Tias, seorang mahasiswa

Universitas Negeri Bangka Belitung, dalam tulisannya yang berjudul Handphone


7

Bagi Kehidupan Remaja (www.ubb.ac.id) bahwa : Satu hal yang tidak dapat

dihindari adalah teknologi pasti menghadirkan efek samping yang memengaruhi

kehidupan manusia. Sekecil apa pun, teknologi pasti memiliki sifat “memaksa”,

membuat manusia menjadi tergantung padanya. Beberapa orang mengaku

ketergantungannya pada ponsel telah mencapai taraf yang tinggi. Kendati

demikian, sifat “memaksa” itu sangat relatif tentunya. Di tempat-tempat yang jauh

dari hingar-bingar perkotaan yang dibalut kemajuan teknologi, mungkin saja

masyarakatnya masih belum mampu membayangkan wujud ponsel. Tapi

kemajuan peradaban manusia yang beriring dengan berkembangnya kebutuhan

hidup, telah memaksa kehadiran ponsel dalam kehidupan manusia. Kehadirannya

telah mengubah pola hidup manusia. Ponsel menjadi pemeran penting yang

membentuk gaya hidup seseorang dan juga masyarakat.

Sejak pertama hadir 20 tahun silam, ponsel memang tak bisa dilepaskan

dari gaya hidup. Keberadaan ponsel selalu dilekatkan dengan simbol status sosial

ataupun menjadi ikon kalangan tertentu. Contohnya seperti DynaTac, ponsel

buatan Motorola yang populer pada tahun 80-an di Amerika Serikat. Ponsel ini

merupakan ponsel pertama buatan Amerika, langsung menjadi simbol kalangan

atas yang ada disana. Harganya mencapai Rp 25 juta pada saat itu,

memperlihatkan bahwa ponsel tersebut hanya kalangan terbatas saja yang mampu

memiliki. Ponsel tersebut segera menjadi ikon kaum hippie dan parisienne (jetset)

di Amerika Serikat, sebagai simbol kalangan, kelompok atau komunitas yang

dinamis, kaya, dan ekslusif. Hal ini menjadi sebuah prestise yang tinggi, karena

bagi mereka memiliki DynaTac adalah suatu kewajiban dan masalah harga yang
8

tinggi pun tidak dihiraukan. Kejadian seperti contoh di atas dapat membawa

manusia pada perilaku konsumtif.

Hingga saat ini teknologi memang sangatlah penting untuk manusia, tetapi

apakah dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan fungsi ponsel tersebut

akan membawa perubahan dalam kehidupan sosial, terutama di kalangan remaja,

dan apakah terjadi pola konsumsi yang lebih pada kalangan remaja dalam

penggunaan ponsel ini? Begitu banyak hal menarik yang terjadi dari fenomena

keberadaan ponsel ini, terutama di kalangan remaja. Oleh karena itu, penulis ingin

membuat penelitian dengan judul “Perilaku Konsumtif di Kalangan Remaja

Akibat Penggunaan Ponsel”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Dengan penjelasan asal masalah di atas dapat diambil garis besar

perumusan masalah adalah sebagai berikut : mengapa remaja berperilaku

konsumtif dalam penggunaan ponsel yang juga dijadikan sebagai bentuk

pencitraan diri? dan apakah pencitraan diri pada remaja tersebut dapat

membentuk suatu komunitas baru?.

C. TUJUAN PENELITIAN

Dalam setiap kegiatan penelitian selalu mempunyai tujuan tertentu. Seperti

penelitian lain penenlitian ini juga mempunyai tujuan secara umum sebagai

berikut :
9

1. Memberikan deskripsi tentang perilaku konsumtif di kalangan remaja,

khususnya remaja yang tinggal di kota dan di desa.

2. Mengetahui perbedaan perilaku konsumtif yang terjadi di kalangan remaja

yang tinggal di kota dan di desa.

3. Mengetahui bagaimana remaja menjadikan ponsel sebagai simbol identitas

dan pencitraan diri sebagai bentuk eksistensi di lingkungannya.

4. Mengetahui apakah pencitraan diri tersebut dapat membentuk suatu

kelompok atau komunitas baru di kalangan remaja.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Memperkaya materi kajian studi tentang pencitraan diri dengan

penggunaan simbolisasi benda-benda tertentu sebagai suatu identitas diri

di kalangan remaja.

2. Dapat digunakan dengan maksud penelitian sejenis dalam skala lebih luas

dan mendalam, serta dapat dikembangkan dalam skala lebih baik di masa

yang akan datang.

E. TINJAUAN TEORITIS

E. 1 Introduksi Teknologi

Modernisasi adalah suatu persoalan yang harus dihadapi oleh masyarakat.

Setiap manusia dalam masyarakat sangat sulit untuk lepas dari pengaruh

modernisasi yang melanda dunia saat ini. Modernisme dianggap sebagai sebuah

keharusan bagi negara terbelakang untuk dapat mengejar ketertinggalannya


10

dengan negara maju. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara barat

menggunakan pendekatan modernisme. Pembangunan seringkali diartikan sebagai

suatu usaha untuk mencapai keadaan yang telah direncanakan yang

diartikulasikan dalam bentuk sistem ekonomi dan struktur masyarakat barat. Tak

salah apabila pembangunan dengan konsep modernisme dianggap sebagai proses

westernisasi. Pola pembangunan ini semakin berkembang pesat dengan dukungan

investasi kapitalis (Slamet Widodo, Masyarakat Samin Di Tengah Arus

Modernisasi ; Transformasi Pertanian Pasca Revolusi Hijau, http://learning-

of.slametwidodo.com/?s=sosiologi).

Perkembangan dunia terasa sangat cepat saat ini dengan terlihatnya

berbagai peningkatan yang ada di segala bidang. Wacana ekonomi global yang

dikendalikan oleh sistem kapitalisme lanjut menjadi sebuah tempat perlombaan

kecepatan, persaingan, kepanikan, dan kegilaan dipertunjukkan. Wacana budaya

global yang dikuasai oleh nilai-nilai budaya Amerika, menjadi sebuah ruang

display tempat ketelanjangan, kegairahan dan ketidakacuhan dipamerkan. Wacana

komunikasi global yang dikendalikan oleh system komunikasi digital

(cyberspace), menjadi sebuah panggung ekstasi komunikasi, kegilaan fantasi, dan

bom informasi dipertontonkan (Piliang, 2004).

Wallerstein, salah satu pemikir penting tentang globalisasi sejak abad

kelimabelas mengatakan bahwa globalisasi adalah suatu proses pembentukan

sistem kapitalis dunia. Masyarakat-masyarakat di dunia memainkan perannya di

dalam sistem kapitalisme dunia tersebut sebagai konsekuensi dari tempatnya


11

dalam pembagian kerja sistematik yang mendunia (the world-systemic division of

labour). (Dimyati, 2001).

Globalisasi ini sendiri selalu berjalan seiringan dengan perkembangan

teknologi yang ada. Semakin berkembang suatu teknologi, maka globalisasi akan

terus berkembang dan sistem kapitalis akan terus bermain. Kemajuan teknologi

sebagai media untuk menuntun pola hidup dan kebudayaan telah mengkondisikan

manusia pada sebuah ruang penjara elektronik dan penjara rumah apalagi dengan

berkembangnya teknologi televisi. Media massa ini pada akhirnya tidak bisa

disalahkan total karena media adalah pembentuk kesadaran sosial yang pada

akhirnya menentukan persepsi manusia terhadap dunia dan masyarakat tempat

mereka hidup. Di sisi lain, rayuan dari media tidak berhenti pada kebenaran tanda,

melainkan beroperasi melalui pengelabuan dan kerahasiaan, maka ia menjadi

sebuah wacana yang menenggelamkan identitas diri ke arah identitas yang

dibangun berdasarkan citraan dan rayuan-rayuan semata. Dengan situasi dan

kondisi seperti ini, manusia harus siap dengan segala perubahan yang muncul

akibat modernisasi yang terus berkembang.

Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan, baik secara cepat maupun

lambat dan disengaja maupun tidak. Perubahan sosial adalah normal dan

berkelanjutan, tetapi menurut arah yang berbeda di berbagai tingkat kehidupan

sosial dengan berbagai arah perubahan (Lauer, 1997). Menurut Horton dan Hunt

perubahan sosial merupakan perubahan dalam segi struktural sosial dan hubungan

sosial. Suatu perubahan sosial adalah suatu perubahan pada lembaga-lembaga

sosial yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-


12

sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat

(Soekanto, 1987). Perubahan sosial tersebut pun menimbulkan terjadinya

perubahan budaya dalam masyarakat.

Kebudayaan dalam masyarakat akan selalu berubah-ubah, tergantung dari

perkembangan masyarakat itu sendiri, dan yang mempengaruhi kebudayaan salah

satunya adalah teknologi. Dengan berkembangnya teknologi dalam suatu

masyarakat maka kebudayaannya pun akan semakin maju. Hal lain yang dapat

merubah kebudayaan adalah industri. Industri disini mempunyai pengertian luas,

tidak hanya sebatas memproduksi barang tetapi juga memproduksi citra tentang

suatu hal, baik itu citra dari suatu barang ataupun citra seseorang. Industri citra

tersebut menjadi komoditas baru bagi masyarakat posmo yang sangat menyenangi

keindahan (Bre Redana, 2002).

Industri merupakan penerapan cara-cara yang kompleks dan canggih

terhadap suatu proses produksi. Disini teknologi sangat bermain dan memiliki

peranan penting. Industri sendiri adalah salah satu sektor penting dalam

pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Wadah

industri adalah masyarakat, disini industri berproses di dalam masyarakat

(Soekanto,1987). Industri dan masyarakat saling berhubungan erat, keberadaan

industri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara sosiologis industrialisasi

membawa perubahan dengan adanya suatu industri di suatu daerah. Industri

tersebut membawa perubahan pada masyarakat sekitarnya baik secara langsung

maupun tidak langsung, baik perubahan yang menuju ke arah membangun

ataupun yang menyebabkan kemunduran.


13

Industrialisasi adalah suatu inovasi, yang merupakan suatu gagasan,

praktek atau objek yang dianggap baru oleh seseorang, sekelompok orang atau

bahkan oleh masyarakat sebagai unit adoptif. Industrialisasi merupakan suatu

proses inovasi bagi pihak yang menerima atau yang mengalaminya karena

terdapat nilai-nilai baru. Suatu inovasi baru dalam masyarakat adalah hal penting

bagi industri, terutama dalam hal desain produk. Sebuah desain produk dapat

memberikan kemampuan diferensiasi bagi industri sebagai salah satu kelebihan

dalam bersaing, karena dapat memberikan preferensi bagi konsumen melalui

keberagaman desain (fungsi dan atribut produk), hal ini menjadi kata kunci dalam

wacana kapitalisme mutakhir dalam membangun identitas gaya hidup (Subandy,

2004). Melalui inovasi desain ini produsen dapat terus menarik perhatian

konsumen agar tetap mengkonsumsi produknya. Sama halnya seperti yang terjadi

dalam dunia ponsel, produsen berlomba untuk mengeluarkan desain teknologi

ponsel terbaru yang semakin canggih demi menarik perhatian konsumennya agar

tetap terus mengkonsumsi. Hal ini juga sekaligus membuat konsumen, yaitu

masyarakat, mengalami ketergantungan untuk membentuk identitas gaya

hidupnya dengan memiliki ponsel. Agar masyarakat tetap mau mengkonsumsi

suatu produk tersebut maka dibuatlah suatu rekayasa budaya oleh pelaku kapitalis.

Media massa (televisi) menjadi perantara utama dan yang paling ampuh dalam

mempengaruhi nilai-nilai masyarakat (Piliang, 1994), melalui televisi tersebut

gaya hidup “wah” atau gaya hidup glamour ditampilkan dan mengiming-imingi

masyarakat dengan segala kemudahan.


14

E. 2 Konsumerisme

Pada perkembangan kapitalisme, dalam teori-teori sosial muncul

posmodernisme. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh

dengan simbol dan citra, termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi,

maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang

tersebut. Kajian terhadap konsumsi masyarakat posmodern dipaparkan oleh dua

tokoh posmodernis, yakni Mike Featherstone dan Jean Baudrillard. Berbeda

dengan dua zaman sebelumnya atau juga dalam pandangan Featherstone, di mana

konsumsi menjadi sumber diferensiasi masyarakat. Justru posmodernitas menurut

Baudrillard mengaburkan kelas dan status sosial. Bahkan Baudrillard menyatakan

era posmodern sebagai “matinya yang sosial”, siapa pun yang bisa merayakan

konsumsi tanpa memandang kelas dan status sosial. Konsumsi memberikan

identitas tertentu tanpa memandang batas-batas sosial. Featherstone menjelaskan

budaya konsumen dengan membaginya ke dalam tiga tipe (Chaney, 2006: 67)

yaitu pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Kedua,

konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih sosiologis

mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik konsumsi

merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial. Pandangan

ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat

munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan

estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode,

estetisasi bentuk, dan gaya hidup.


15

Jean Baudrillard melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi

kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan

masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam pandangan

Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus

membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme. Praktik-praktik konsumsi

selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat dan menjadi cara pandang yang baru

bagi masyarakat, seiring dengan terus berjalannya industri internasional dan

tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall. Bahkan dengan strateginya,

barang konsumsi disesuaikan dengan pengalaman dan pandangan filosofis

masyarakat setempat (fordisme). Munculnya strategi fordisme tersebut terus-

menerus menempatkan masyarakat dalam lingkaran konsumerisme (Chaney,

2006).

Di era kapitalisme ini mode of production kini telah digantikan oleh mode

of consumption (Baudrillard 1967 dalam Hidayat, 2002). Konsumsi inilah yang

kemudian menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek, yakni

objek konsumsi yang berupa komoditas. Sistem-sistem objek menurut

Baudrillard, adalah sebuah sistem klasifikasi yang membentuk makna dalam

kehidupan masyarakat kapitalisme lanjut. Melalui objek-objek itulah seseorang

dalam masyarakat konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya. Menurut

Baudrillard, fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada manfaatnya,

melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang

disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media (Baudrillard, 1969:

19 dalam Hidayat, 2002). Apa yang kita beli, tidak lebih dari tanda-tanda yang
16

ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi, yang membedakan pilihan pribadi

orang yang satu dengan yang lainnya. Tema-tema gaya hidup tertentu, kelas dan

prestise tertentu adalah makna-makna yang jamak ditanamkan ke dalam objek-

objek konsumsi. Dengan kata lain, objek-objek konsumsi kini telah menjelma

menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku

masyarakat. Dalam kondisi seperti inilah kemudian lahirlah sebuah masyarakat

yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang menjadikan konsumsi sebagai

pusat aktivitas kehidupan, dengan hasrat selalu dan selalu mengkonsumsi.

Masyarakat ini disebut sebagai masyarakat konsumer. Masyarakat konsumer

menyikapi objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar

memiliki manfaat (nilai-guna) dan harga (nilai-tukar), namun lebih dari itu ia kini

menandakan status, prestise dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol).

Di era konsumerisme, kebutuhan dilandasi oleh nilai-nilai prestise, life

style dan citraan dari pada nilai utilitas. Logika yang mendasarinya bukan

kebutuhan (need), melainkan logika hasrat (desire) yang dikondisikan seakan

menjadi kebutuhan yang tiada hentinya. Budaya konsumerisme terutama muncul

setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal

sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati

posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani

produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen. Baudrillard melihat

kebutuhan tersebut bagai sebuah jaring laba-laba, "Apapun yang mengalir melalui

mereka (konsumer), apa pun menarik mereka bagai magnet, akan tetapi mengalir

melalui mereka tanpa meninggalkan bekas apa-apa". Hal ini dapat kita lihat pada
17

sekelompok masyarakat tertentu yang mempunyai budaya konsumsi berlebihan.

Adanya hasrat yang didukung oleh kebutuhan dalam fenomena apapun yang ada

misalnya, memposisikan subjek yang dikuasainya ke dalam tanda, simbol, atau

nilai-nilai yang bersifat tumpang tindih bahkan tampak kontradiktif dari realitas

yang sebenarnya (Baudrillard, 2004).

Sikap konsumtif ini sendiri adalah bagian dari konsumerisme. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumerisme adalah paham atau gaya hidup

yang menganggap barang-barang sebagai untuk kebahagiaan, kesenangan, dan

sebagainya. Sedangkan konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen

(consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas

pasar bagi konsumen (akhir). Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer

(Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi

publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang

berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. (JJ Amstrong, Budaya

Konsumerisme, http://www.indowarta.com/index.php).

Dunia ini sekarang didominasi dorongan untuk mengkonsumsi. Konsumsi

memang adalah sebuah kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Tapi

pada zaman ini konsumsi menjadi kebutuhan yang menggila. Dalam masyarakat

komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju

aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005).

Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang

banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal,


18

bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana

membangun gaya hidup. Konsumsi tidak lagi dipahami hanya sekadar memenuhi

kebutuhan dasar manusia, tetapi juga berhubungan erat dengan pemuasan unsur-

unsur simbolik manusia, yang berarti untuk peningkatan status, prestise, kelas,

dan simbol sosial tertentu. Identitas diri di lingkungan sosial diperebutkan dan

dibentuk oleh produk-produk melalui citra-citra tertentu yang ditawarkan lewat

berbagai media massa. Citra sendiri adalah sesuatu yang tampak oleh indra, akan

tetapi tidak memiliki eksistensi substansial (Piliang, 2004), sedangkan pencitraan

diri diartikan sebagai proses bagaimana seseorang memperoleh citra atau

pandangan dari masyarakat mengenai dirinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa

identitas manusia modern adalah identitas yang dibangun oleh proses konsumsi

dan proses komoditi dari citraan dan bujukan media massa, untuk pencitraan diri

di lingkungannya. Seperti yang telah dikatakan di atas sebelumnya bahwa Jean

Baudrillard mengganggap masyarakat penghobi konsumsi ini sebagai masyarakat

konsumer (consumer society), yaitu masyarakat yang memperlakukan praktik

konsumsi sebagai bagian utama hidupnya. Sehingga konsumerisme berhasil

menciptakan kebutuhan baru di masyarakat. Pada kondisi ini, orang

mengkonsumsi barang bukan lantaran butuh secara fungsional, melainkan karena

tuntutan prestige (gengsi), status, maupun sekadar gaya hidup (life style). (Sigit

Kurniawan, Perang Melawan Konsumerisme,

http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=67)

Konsumerisme hadir tidak tanpa media, yaitu melalui iklan baik yang

terang-terangan maupun iklan terselubung. Media massa memiliki peran strategis


19

dalam hubungan produk dan konsumen. Media berfungsi sebagai medium yang

menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen. Iklan adalah

jalan yang membuat jembatan itu benar-benar berfungsi sebagai penghubung. Dan

bahkan saat ini iklan telah membidik langsung masyarakat, tanpa adanya proses

penyaringan. Seperti dikatakan Jean Baudrillard, proses konsumerisme bisa

membuat masyarakat kehilangan daya kritis. Masyarakat tidak lagi bisa

membedakan antara "ingin membeli" dan "harus membeli" atau batasan need dan

want menjadi tidak jelas. Menurut Baudrillard, ini tidak terlepas dari peran media

massa, yang terus-terusan menyebar imajinasi-imajinasi kepada khalayak luas.

Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak benar-benar dipengaruhi

kekuatan imaji atau kesan yang diproduksi iklan dan TV. Motivasi membeli tidak

lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhan riil, tetapi karena

otoritas lain di luar dirinya yang "memaksa" membeli (www.lampungpost.com).

Lewat majalah maupun televisi, masyarakat disuguhi tiada henti beragam iklan

yang akhirnya memaksa kita untuk mengkonsumi produk yang diiklankan itu.

Gencarnya iklan dari sebuah produk seakan melampaui realitas objek yang

diiklankan, sehingga objek tersebut tampak mengontrol subjek, bukan subjek

yang mengontrol objek. Terbentuklah budaya konsumerisme, dimana produk-

produk tersebut menjadi satu medium untuk membentuk personalitas, gaya, citra,

gaya hidup dan cara diferensiasi status sosial yang pada gilirannya menjadi

penopang dunia realitas yang pada dasarnya semu. Peran media sebagai corong

realitas yang pada dasarnya semu itu juga tidak bisa dilepaskan. Saat itulah

rekayasa realitas terjadi di berbagai dimensi kehidupan yang berperan utama


20

merayu manusia untuk memilih, membeli dan mempunyai. Sementara itu, pusat-

pusat pembelanjaan seperti mal, hipermarket, semakin merebak di berbagai kota.

Masyarakat terus berlomba-lomba untuk memuaskan hasrat konsumsi mereka.

Ditambah dengan iming-iming melalui pemberian diskon atau pun fasilitas kredit,

masyarakat semakin berlomba membeli produk yang ditawarkan meskipun sadar

keuangan dan kondisi ekonomi tidak proporsional.

Situasi yang terlihat seperti gambaran di atas biasa disebut sebagai

perilaku konsumtif. Suatu perilaku dikatakan konsumtif jika perilaku tersebut

bersifat penghambur-hamburan kekayaan semata tanpa dilandasi pertimbangan

atas asas kemanfaatan atau asas prioritas (Wasis, 1997). Dari definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku seseorang dalam

menggunakan uangnya secara berlebihan tanpa pertimbangan asas manfaat dan

prioritas untuk mencapai kepuasan maksimal. Kata konsumtif ini biasanya

digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai

uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi

kebutuhan pokok. Perilaku konsumtif diartikan salah sebagai suatu wujud dari

keberhasilan dari golongan berada dan yang mampu meningkatkan status

sosialnya di dalam masyarakat. Padahal sebenarnya hal tersebut justru membuat

seseorang mengalami kesulitan dalam pengaturan keuangannya. Karena mereka

menggunakan uangnya tidak dengan semestinya yang sesuai dengan asas manfaat

dan prioritas.
21

Dalam melakukan suatu tindakan, seseorang pasti memiliki motivasi atau

dengan latar belakang. Latar belakang itu dapat disebabkan oleh karena

kedudukan, kehormatan, status ataupun untuk menghindari hukuman (Homans).

Sehingga dapat dilihat disini bahwa adanya timbal balik atas apa yang dilakukan

seseorang. Timbal balik yang didapatkan itu pun tidak selalu berupa yang bersifat

ekonomis tetapi juga sosial. Perilaku konsumtif pun tidak hanya memberikan

timbal balik berupa barang yang dibeli saja, tetapi juga memberikan kepercayaan

diri, penghargaan dan kepuasan diri atas barang tersebut. Perilaku seseorang

dalam mengkonsumsi secara berlebihan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara

lain adalah faktor lingkungan sosial, motivasi untuk mengkonsumsi, dan faktor

keuangan. Faktor lingkungan sangat memberikan pengaruh besar bagi seseorang.

Budaya konsumtif ini pun melekat erat di kehidupan remaja sekarang.

Media majalah-majalah remaja sekarang pun sama saja seperti etalase toko. Isinya

lebih banyak memamerkan produk-produk untuk dijual. Kalangan yang dikatakan

masih dalam pencarian jati diri ini menjadi sasaran empuk dari pasar. Pasar

menawarkan gaya hidup dan tren tertentu pada remaja. Untuk memenuhi gaya

hidup itu, remaja didorong mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan.

Mereka suka gonta-ganti merek, mudah terbawa arus atau mengikuti tren yang

sedang berkembang di lingkungannya. Tren di kalangan remaja terjadi seiring

dengan perkembangan dunia ponsel yang telah menghantarkan beberapa

fenomena yang semakin tampak dirasakan oleh masyarakat.

Sejalan pesatnya teknologi ponsel ini, begitu banyak ponsel yang beredar

di pasaran semakin memanjakan konsumen untuk gonta-ganti ponsel. Tren inilah


22

yang telah menjalar di kalangan pengguna ponsel. Faktor penyebabnya adalah

produsen ponsel semakin gencar mengeluarkan ponsel dengan tipe-tipe terbaru

yang lebih modern dan didukung dengan adanya keinginan memenuhi kebutuhan

akan kepuasan diri, sehingga mau tidak mau konsumen pun mengkuti

perkembangan ponsel tersebut. Tren gonta-ganti ponsel ini disebabkan karena

konsumen merasa cepat bosan dengan ponsel yang dimilikinya dan ingin mencoba

teknologi dari ponsel keluaran terbaru.

Arus konsumerisme tersebut telah menyebabkan pola hidup boros, terlebih

lagi di kalangan remaja. Masyarakat, terutama remaja, tanpa daya di depan

tawaran konsumsi yang ada. Baudrillard menegaskan, kita tidak lagi mengontrol

produk (objek), tetapi kitalah yang dikontrol dan diatur oleh produk-produk tadi.

Kita dihanyutkan dalam ekstasi konsumsi dan gaya hidup dalam masyarakat

konsumer. Di dalam gelombang konsumerisme ini, Baudrillard menyebut orang-

orangnya sebagai ‘mayoritas diam,’ di mana masuk dalam jaringan laba-laba yang

menjaring dan mengkonsumsi apa pun yang ada di hadapan mereka (Yasraf Amir

Piliang, 1999). Konsumsi individu atas berbagai barang di sekitarnya adalah

bagian dari proses pengejawantahan identitas tersebut. Seseorang memilih untuk

memiliki, mempunyai atau membeli sesuatu seringkali tidak berawal dari

kehendaknya. Dengan demikian, kehidupan individu berlangsung pada latar

pencitraan dan image, bukan sesuatu yang riil. Sehingga kehidupan tidak lagi

sekedar bersandar pada realitas, namun lebih dari itu, hiperrealitas atau

melampaui realitas.
23

E. 3 Identitas dan Komunitas

Identitas dalam sosiologi dibahas dalam fenomenologi Schutz, yang

menganalogikan identitas individu sebagai seseorang yang sedang bercermin,

bayangan yang direfleksikan dari cermin itu sangat tergantung dari posisi mana

orang tersebut berdiri, dari sudut pandang itulah seseorang menginterpretasikan

objek lain yang sebenarnya hanya dapat dipahami dengan proses mengalami yakni

mengalami apa yang direfleksikan melalui obyek (dalam konteks itu adalah

sebuah cermin). Artinya, bagaimana seseorang memandang orang lain,

memandang masyarakat disekitarnya, sebenarnya menyerupai bagaimana cara

seseorang memandang dirinya yang dipantulkan oleh cermin

(sosiologibudaya@yahoogroups.com).

Definisi identitas menurut Barker (Cultural Studies Teori dan Praktik,

2004) adalah sebuah konstruksi diskursif yang berubah maknanya menurut ruang,

waktu, dan pemakaian. Identitas adalah suatu esensi, yang dapat dimaknai melalui

tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat

personal sekaligus sosial menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan orang

lain. Singkatnya, identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek

personal dan sosial, tentang kesamaan individu dengan sejumlah orang dan apa

yang membedakan individu dari orang lain. Identitas dapat dibedakan ke dalam

tiga kategori, yaitu : (1) Identitas yang bersifat given (ras, jenis kelamin, usia,

dsb); (2) Identitas yang bersifat pilihan (agama, ideologi, afiliasi politik, dan

profesi, gaya hidup, dsb); dan (3) Identitas yang terkait dengan pencapaian

(pemenang/pecundang, kaya/miskin, pintar/bodoh, dsb).


24

Butler berpendapat bahwa persoalan identitas sebenarnya bukan bersifat

normatif, melainkan lebih bersifat kategoris. Menurut Butler : identity constitutes

multiple categories, artinya tidak ada seorang pun yang ber-irisan dengan satu

komunitas saja untuk menentukan ‘siapa dia’, seseorang bisa berada di dalam

berbagai level komunitas yang berbeda-beda, sehingga membedakan pula apa

yang dia lakukan di dalam interaksinya. Sehingga dapat terjadi seorang individu

menyandang lebih dari satu identitas yang tidak hanya hidup bersama-sama, tetapi

juga saling bertentangan.

Dalam Democracy and Education, John Dewey melihat komunitas

terbangun dari ikatan-ikatan (commonalities) yang secara rumit saling terkait

melalui komunikasi. Dewey mengamati bahwa “masyarakat tidak terus ada karena

penyebaran, karena komunikasi, tetapi cukup layak jika dikatakan bahwa

masyarakat terwujud dalam komunikasi”. Ikatan-ikatan, dalam bentuk seperi

‘tujuan, kepercayaan, dan pengetahuan’ adalah keharusan bagi terbentuknya

komunitas dan terbangun melalui komunikasi. Dalam konsepsi Dewey,

komunikasi dan cara-cara di mana komunikasi dilakukan adalah krusial bagi

pembentukan komunitas, dan kita bisa menyimpulkan juga bahwa ‘kualitas’

komunikasi menyatu dengan kualitas komunitas tersebut. Dewey berpendapat

bahwa peran interaksi tatap muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa

digantikan. Ia mengamati bahwa komunitas, “dalam pengertian yang paling

mendalam dan kaya . . . harus selalu menyangkut hubungan tatap muka” dan ia

menemukan bahwa komunitas lokal adalah yang paling signifikan di antara

komunitas-komunitas lain. Meski karya ini ditulis tatkala bentuk-bentuk


25

komunikasi berperantara via media (mediated communications) baru mulai

menampakkan pengaruhnya pada masyarakat Amerika. Di tengah perkembangan

teknologi dan komunikasi berperantara, Dewey membayangkan bahwa “akibat

yang mereka (teknologi dan komunikasi berperantara) timbulkan terhadap

hubungan tatap muka sungguh besar dan terus-menerus, sehingga tidak berlebihan

untuk menyebut adanya ‘zaman baru hubungan manusia’. Dewey menganggap

sebagai prasyarat esensial bagi keberlangsungan komunitas adalah kesempatan

interaksi tatap muka.

Jika kita menggunakan pengamatan Dewey tentang komunikasi dan

komunitas untuk membantu kita mengevaluasi hilangnya rasa komunitas plural di

Indonesia, tampaknya pengembangan kembali komunikasi tatap muka antara

orang bukan hanya krusial untuk menunjukkan eksistensi komunitas, tetapi juga

merupakan unsur hakiki dari proses pembentukan kembali komunitas yang damai.

Ketika mengurai upaya-upaya pembangunan komunitas, kita akan menemukan

bahwa interaksi tatap muka harian antara anggota komunitas adalah salah satu

cara untuk memperkuat rasa komunitas dan menjamin bahwa anggota komunitas

sungguh-sungguh terikat dan tetap setia dengan rasa kemanusiaan bersama

mereka. Pemisahan wilayah tempat tinggal malah memberikan peluang penguatan

intoleransi, konstruksi dan kristalisasi stereotip yang merugikan, serta

dehumanisasi pihak lain. Selain itu Dewey menemukan bahwa pembentukan

komunitas haruslah secara suka rela dan berlandaskan pada nilai-nilai bersama,

dan bukannya “dipaksakan secara mekanis”. Sama halnya seperti fenomena

ponsel yang ada saat ini pun dapat membentuk suatu komunitas baru di dalam
26

masyarakat. Teknologi komunikasi ponsel ini dapat membentuk suatu komunitas

sendiri dari pergeseran fungsi yang terjadi di dalamnya, yang tadinya hanya

digunakan sebagai alat komunikasi jarak jauh yang dapat menjembatani manusia

untuk berinteraksi secara tidak langsung dan sekarang menjadi sebuah simbol

pencitraan diri manusia. Terlebih lagi di kalangan remaja, kadang jadi mudah

terbawa dengan fenomena atau tren yang berkembang. Tren gonta-ganti ponsel

membawa mereka pada dunia pencitraan demi suatu identitas atau pengakuan di

lingkungannya. Disini remaja mengharapkan adanya timbal balik yang di dapat

dengan mengkonsumsi ponsel tersebut, yaitu pengakuan atau citra diri yang

“lebih” dibanding orang-orang di sekitarnya. Bahkan ada pula yang menjadikan

ponsel ini sebagai identitas untuk masuk ke dalam sebuah komunitas, contohnya

seperti ponsel DynaTac yang telah dipaparkan sebelumnya, yang telah menjadi

identitas penting bagi komunitas yang dinamis, kaya dan eksklusif.

Berubahnya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat konsumen seiring

dengan proses globalisasi ekonomi yang terjadi di Indonesia, yang ditandai

dengan masuknya merek-merek dagang asing (brand) ke dalam negeri.

Masyarakat Indonesia sendiri tidak berdaya terhadap serbuan merek asing

tersebut, dikatakan oleh Subandy, bahkan ada kecenderungan tersendiri untuk

menggunakan merek-merek asing tersebut. Barang-barang tersebut menawarkan

gaya hidup “plus” bagi para konsumennya. Dengan kemasan yang lebih eksklusif

menambah kesan bahwa barang tersebut diperuntukkan bagi kaum kelas

menengah ke atas (Chaney, 2003). Merek-merek asing yang masuk ke Indonesia

itu banyak menawarkan gaya hidup dengan budaya selera seputar perkembangan
27

tren busana, pergaulan, shopping dan acara mengisi waktu luang yang semuanya

mengarah pada kesenjangan sosial dengan budaya barat sebagai kiblatnya

(Subandy, 2003). Menurut Chaney (1996), gaya hidup adalah pola-pola tindakan

yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya, gaya hidup membantu

memahami apa yang orang lakukan, atau dapat dikatakan bahwa gaya hidup

adalah bentuk khusus dari suatu pengelompokan status modern. Gaya hidup

merupakan ciri dari sebuah dunia modern (modernitas) dan bagian dari kehidupan

sosial sehari-hari dari dunia modern.

Menurut Douglas dan Isherwood (Featherstone, 1991), penggunaan benda-

benda mengekspresikan pengetahuan sosial karena, secara bersamaan

individualitas mensyaratkan adanya sumber daya kultural melalui

pengekspresiannya, sehingga konsumsi pribadi (gaya hidup) terhadap benda-

benda merupakan bagian dari budaya yang bisa dilihat. Melalui benda-benda yang

dikonsumsi, cara bicara, tingkah laku, gaya hidup, dan lainnya, seseorang dapat

memperoleh penghargaan dari lingkungannya atau memiliki status sosial yang

lebih di lingkungannya.

Weber mengatakan bahwa status sosial disini lebih mengarah pada prinsip-

prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Gaya hidup sendiri adalah

frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan

konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana dia

ingin dipersepsikan oleh orang lain. Sedangkan menurut Wijanarko, gaya hidup

sangat berkaitan dengan bagaimana individu membentuk image di mata orang

lain, berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya. Untuk merefleksikan


28

image tersebut, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu. Tujuan pemakaian

simbol-simbol status ini adalah memproyeksikan identitas seseorang agar

dipersepsi sebagai bagian dari kelas sosial tertentu.

Begitu pula dengan remaja, di masa transisi ini mereka cenderung untuk

selalu mengekspresikan diri untuk mendapatkan pengakuan di lingkungannya

dengan tujuan agar memperoleh pengakuan (eksistensi diri). Dan salah satu cara

yang mereka lakukan adalah mengikuti tren yang berkembang di lingkungannya.

Remaja dipaksa untuk mengikuti tren tersebut atas tuntutan lingkungan, tekanan

kelompok sebaya, dan adanya keinginan diri untuk diakui keberadaannya oleh

orang lain. Salah satu tren yang berkembang adalah tren gonta-ganti ponsel yang

telah menandakan bahwa telah terjadi perilaku konsumtif di kalangan remaja yang

ditandai dengan mereka mengkonsumsi ponsel untuk gaya hidup. Pada awalnya

ponsel merupakan barang mewah yang hanya dapat dimiliki oleh kalangan

tertentu, karena ini adalah teknologi baru yang biaya pembuatannya mahal.

Keberadaan ponsel ini telah membuat semua kalangan masyarakat, baik dari

bawah maupun atas, ingin memilikinya karena mampu memberikan citra yang

lebih dalam diri seseorang, terlebih lagi di kalangan remaja. Dengan demikian

uang menjadi lebih berkuasa disini, seseorang yang mempunyai uang yang lebih

akan lebih leluasa untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk hal yang bisa

memperkaya simbol statusnya atau yang dapat memberikan citra lebih bagi

dirinya. Disini dapat dilihat bahwa ponsel saat ini telah menjadi sebuah gaya

hidup sendiri.
29

F. METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif sendiri adalah metode penelitian

yang berdasarkan pada observasi terhadap responden baik dari bahasa tubuh,

perilaku, ungkapan atau ucapan responden sendiri. Sedangkan pendekatan

fenomenologi adalah dimana peneliti berusaha untuk bisa masuk ke dalam dunia

konseptual subjek agar dapat memahami aspek subjektif dari tindakan individu.

Fenomenologi berpendapat bahwa peneliti tidak mengetahui arti sesuatu bagi

subjek penelitian. Dengan tujuan untuk menggambarkan dan memahami arti dari

pengalaman individu tersebut (Lexy J. Maleong, 1999).

Dengan menggunakan metode pengumpulan data wawancara (interview)

dan pengamatan (observation) ini, peneliti menentukan jumlah responden 5 orang

dari masing-masing sekolah pada rencana awal. Jika data yang didapatkan masih

mengalami kekurangan, maka peneliti akan terjun kembali ke lapangan untuk

menambah data yang ada dengan mengambil beberapa responden lagi dan

melakukan pengamatan lebih lanjut untuk meyakinkan kembali data yang telah

diperoleh.

Peneliti memulai penelitian di SMA N 1 Sewon pada tanggal 18

September 2009, dengan mewawancarai 5 orang informan dan melakukan

pengamatan terhadap informan tersebut. Selain itu juga dilakukan pengamatan

terhadap lingkungan sekolah tersebut serta siswa-siswanya yang lain. Sedangkan

untuk SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, peneliti memulai penelitian pada

tanggal 17 Oktober 2009, dengan mewawancarai 5 orang informan dan


30

melakukan pengamatan terhadap informan serta indikator-indikator penting dalam

penelitian yang ada di sekitar lingkungan informan tersebut. Penelitian ini pun

dilakukan dalam beberapa kali pertemuan dengan informan, agar peneliti dapat

mengamati, membaca dan menganalisa apa yang dicarinya serta apa yang dicari di

lapangan. Penelitian ini pun berakhir pada tanggal 15 November 2009.

G. LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini mengambil lokasi di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta

dan SMA 1 Sewon Bantul dengan pertimbangan bahwa kedua sekolah tersebut

sebagai perbandingan tentang pola perilaku konsumtif di kalangan remaja, untuk

SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta yang letaknya di pusat kota dan SMA 1

Sewon Bantul yang letaknya di desa.

H. PEMILIHAN SUBJEK PENELITIAN

Populasi penelitian adalah anak remaja yang masih dalam jenjang

pendidikan Sekolah Menengah Atas. Teknik sampling yang digunakan adalah

purposive sampling (pengambilan sampel berdasarkan tujuan), yaitu dengan

mengambil beberapa orang informan yang dianggap penting dan memenuhi syarat

peneliti serta dapat memberikan informasi secara tepat dan dapat dipercaya. Dan

penulis memilih menggunakan metode tersebut karena dengan metode tersebut

peneliti dapat melihat motivasi perilaku konsumtif yang ada dan faktor-faktor

yang menyebabkan.

Sesuai dengan tujuan penelitian yang menjadi responden adalah :


31

1. Siswa di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan SMA 1 Sewon Bantul.

2. Remaja dalam rentang usia 15 – 18 tahun.

3. Memiliki handphone yang masih aktif digunakan.

I. SUMBER DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Untuk memperoleh hasil yang baik dari suatu penelitian, sumber dan

teknik pengumpulan data memiliki peranan penting dalam mengumpulkan

informasi jelas tentang fokus penelitian. Dengan digunakannya metode kualitatif

maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan

(observation) dan wawancara (interview). Ada dua jenis data yang diperoleh dari

penelitian, yaitu :

1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya yang berupa

kata-kata dan tindakan yang dikumpulkan melalui observasi langsung pada

subjek penelitian. Peneliti terlibat langsung di lapangan, mengamati gejala,

kondisi serta interaksi yang ada pada subjek penelitian. Hal tersebut berarti,

peneliti masuk ke dalam kehidupan subjek, mengikuti berbagai kegiatan

subjek serta melakukan pendekatan-pendekatan dengan subjek penelitian

untuk mendapatkan informasi yang jelas. Data primer ini juga dikumpulkan

melalui wawancara mendalam kepada subjek penelitian, dimulai dengan

wawancara informal sebagai pendekatan kepada subjek atau informan serta

wawancara formal yang berpedoman pada interviewguide.

2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain di luar

informan dan telah dipilih sesuai kebutuhan. Adapun data sekunder berupa
32

studi pustaka atau artikel-artikel yang ada di media massa yang berkaitan

dengan topik penelitian.(Maleong, 1999)

J. ANALISIS DATA

Pada keseluruhan proses penelitian, analisis data memiliki peranan

penting. Patton mendefinisikan analisis data adalah suatu proses pengaturan

urutan data, mengorganisasikan ke dalam sebuah pola, kategori, dan satuan uraian

dasar. Analisis data dilakukan setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul,

baik data primer maupun data sekunder yang nantinya akan menghasilkan data

yang bersifat deskriptif analistis, yakni data yang dinyatakan secara utuh dan

diperoleh secara langsung dari pedoman pertanyaan (interview guide). Miles dan

Huberman menyatakan bahwa analisis data kualitatif terdiri dari tiga jalur

kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu : reduksi data, penyajian data dan

penarikan kesimpulan yang disebut sebagai Interactive Model of Analysis. Ketiga

jenis jalur tersebut merupakan proses atau siklus yang interaktif.

Cara pengumpulan data yang biasa digunakan adalah wawancara dengan

menggunakan daftar (interview guide). Data yang diperoleh berupa catatan-

catatan yang berasal dari jawaban responden jadi sangat memungkinkan data yang

diperoleh sangat berlebihan dan tidak relevan atau sebaliknya. Data yang

diperoleh kemudian diseleksi, diatur, diurutkan, dikategorikan mana yang perlu

dan mana yang tidak diperlukan. Jika ada data yang tidak diperlukan maka data

tersebut akan direduksi dan jika ada data baru di lapangan maka akan segera

ditambahkan. Sedangkan jika data yang didapatkan dianggap kurang, maka


33

seorang peneliti harus segera kembali ke lapangan untuk mencari data lebih lanjut.

Dari seluruh data yang dapat itu nantinya adalah yang akan menjadi bahan analisis

untuk memperoleh kesimpulan dari sebuah penelitian yang dilakukan.

K. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahakan dalam memahami penelitian ini, peneliti membagi

sistematika penulisan dalam beberapa bab sebagai berikut :

Bab I : berisi beberapa hal seperti: latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, perspektif teoritis, dan langkah-langkah penelitian.

Bab II : berisi penjelasan tentang kondisi obyektif tentang SMA Muhammadiyah

2 yang terletak di Kota Yogyakarta dan SMA N 1 Sewon yang terletak di

Kabupaten Bantul, seperti profil sekolah, visi dan misi sekolah, perkembangan

sekolah, serta kondisi sekolah dan siswanya.

Bab III : menerangkan tentang pengalaman informan di masa remaja, terutama

pengalaman mereka dalam pemilikan dan penggunaan ponsel dan sikap yang

dipilih informan dalam konteks kehidupan pribadi ataupun hubungan sosial

mereka.

Bab IV : menerangkan tentang aspek dominan yang berpengaruh terhadap

perilaku konsumtif di kalangan remaja akibat penggunaan ponsel, khususnya

tentang penggunaan ponsel yang juga dijadikan sebagai bentuk pencitraan diri

serta pola-pola pencarian identitas yang terbentuk di kalangan remaja, dan

komunitas yang muncul dalam kehidupan sosial remaja dari penggunaan ponsel

tersebut.
34

Bab V : berisi kesimpulan hasil penelitian.


BAB II

DESKRIPSI WILAYAH DAN SUBJEK PENELITIAN

A. WILAYAH PENELITIAN

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di

wilayah Indonesia dan terletak di Pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa

Yogyakarta dibagian selatan dibatasi Lautan Indonesia, sedangkan di bagian

Timur Laut, Tenggara, Barat, dan Barat Laut dibatasi oleh wilayah Povinsi Jawa

Tengah yang meliputi : Kabupaten Klaten disebelah Timur Laut, Kabupaten

Wonogiri disebelah Tenggara, Kabupaten Purworejo di sebelah Barat, dan

Kabupaten Magelang di sebelah Barat Laut. Posisi D.I. Yogyakarta yang terletak

antara 7.33 - 8.12 Lintang Selatan dan 110.00 - 110.50 Bujur Timur, tercatat

memiliki luas 3.185,80 km2.

Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 wilayah kabupaten dan 1

wilayah kotamadya. Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari lima daerah

kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila dilihat bentang

alamnya secara makro, wilayah Kabupaten Bantul terdiri dari daerah dataran yang

terletak pada bagian tengah dan daerah perbukitan yang terletak pada bagian timur

dan barat, serta kawasan pantai di sebelah selatan. Kondisi bentang alam tersebut

relatif membujur dari utara ke selatan. Secara geografis, Kabupaten Bantul

terletak antara 0744'04" 0800'27" Lintang Selatan dan 11012'34" - 11031'08"

Bujur Timur. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, di

35
36

sebelah utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, di

sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, dan di sebelah selatan

berbatasan dengan Samudra Indonesia.

Kondisi perekonomian daerah Kota Yogyakarta adalah dari sektor

pariwisata dan sudah merupakan sebuah industri. Sebagi sebuah industri, sektor

ini banyak melibatkan sektor ekonomi lainnya, seperti sektor perdagangan, hotel,

dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, sewa dan jasa

perusahaan, serta sektor jasa-jasa. Kota ini merupakan tujuan wisata yang terkenal

yang didukung oleh perkembangan pertaniannya yang kuat dan juga produksi

yang berorientasi ekspor.

Sedangkan di Kabupaten Bantul, 99% dari masyarakatnya bergerak di

bidang industri kecil rumahan. Produk yang dihasilkan oleh jenis industri

semacam itu adalah cenderamata. Sektor industri memang bukanlah satu-satunya

sumber perekonomian daerah ini. Masih ada sumber lain yang tak kalah potensial,

yakni sektor pariwisata. Selain itu sektor pertanian juga masih menjadi andalan

utama pemasukan daerah ini. Sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup

dari sektor pertanian. Selain padi, tanaman palawija juga tumbuh subur di daerah

ini. Tanaman seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai dan kacang tanah mampu

menghasilkan ribuan ton tiap tahunnya.

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah tujuan wisata yang penting di

Indonesia setelah Bali. Kota ini dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa dengan

kerajaan bersejarahnya. Salah satu kekayaan lain dari Yogyakarta adalah sekolah.
37

Sejak bedirinya UGM tahun 1949, kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar.

Termasuk UGM, masih ada 47 perguruan tinggi lain, mulai dari tingkat akademi,

institut, politeknik, sekolah tinggi, maupun universitas dengan jumlah mahasiwa

mencapai 86.000 orang. Keberadaan sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi

tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat.

Terkenal sebagai kota Pelajar, tak heran bila fasilitas pendidikan banyak

didapati di kota Yogyakarta. Dan bahkan fasilitas pendidikan yang ada tersebut

banyak yang telah bertaraf internasional. Selain itu juga didukung dengan

fasilitas-fasilitas yang sangat memadai. Untuk kota Yogyakarta sendiri sebutlah

saja total SD ada 244, SMPN 16 buah, SMP Swasta 45 buah, SMA Negeri 18

buah dan SMU Swasta 63 buah. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di seluruh

wilayah kota Yogyakarta dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Untuk detilnya

dapat dilihat di tabel berikut :

Tabel 1 Jumlah Sekolah Kota Yogyakarta Tahun 2000


No. Kecamatan SD SMPN SMP SMAN SMA
Swasta Swasta
1 Mantrijeron 17 1 5 1 6
2 Kraton 15 1 1 0 2
3 Mergangsan 21 0 7 0 8
4 Umbulharjo 31 1 7 44 11
5 Kotagedhe 19 1 3 1 3
6 Gondokusuman 31 3 7 3 12
7 Danurejan 12 2 1 0 1
8 Pakualaman 6 0 1 0 1
9 Gondomanan 11 1 1 1 3
10 Ngampilan 11 0 2 0 1
11 Wirobrajan 15 0 2 1 4
12 Gedongtengen 11 1 2 1 2
13 Jetis 27 3 5 4 5
14 Tegalrejo 17 2 1 2 4
Jumlah 244 16 45 18 63
Sumber : Tim Penyusun NKLD Propinsi DIY
38

Dengan latar belakang kota pelajar seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, Kabupaten Bantul sendiri juga memiliki fasilitas pendidikan yang

tidak kalah dengan yang ada di kota. Bahkan beberapa sekolahnya pun menjadi

sekolah favorit atau sasaran utama para orang tua yang akan menyekolahkan

anaknya. Terlebih lagi bagi mereka, masyarakat kabupaten Bantul, yang ingin

anaknya menempuh pendidikan di sekolah yang berkualitas dan masih di daerah

yang terjangkau atau tidak terlalu jauh dengan tempat tinggalnya. Dan untuk

detail jumlah fasilitas pendidikan yang ada di kabupaten Bantul dapat dilihat di

tabel berikut :

Tabel 2 Rekap Jumlah Sekolah Per Jenjang Pendidikan

Jumlah Sekolah
No. Jenjang Pendidikan
Negeri Swasta Jumlah

1 Pra Dasar 18 67 85

2 Pendidikan Dasar 378 89 467

3 SLTP 55 47 102

4 SLTA 34 40 74

5 PLB

6 Pendidikan Tinggi 1 16 17

7 Lainnya 1 14 15

Jumlah Sekolah 487 273 760

Sumber : Profil Pendidikan Kabupaten Bantul

Dengan melihat tabel jumlah sekolah di Kota Yogyakarta dan Kabupaten

Bantul di atas, dapat dilihat bahwa sekolah-sekolah di Kota Yogyakarta memang


39

lebih banyak jumlahnya dan lebih banyak jenisnya, mulai dari jenjang pendidikan

pra dasarnya hingga jenjang pendidikan tertingginya. Selain itu sekolah-sekolah di

Kota Yogyakarta juga dianggap lebih bagus oleh masyarakat, karena lebih banyak

pilihan sekolah yang ada dan rata-rata fasilitas yang dimiliki pun dianggap lebih

mendukung dibanding dengan sekolah-sekolah yang ada di desa.

A. 1 SMA MUHAMMADIYAH 2 YOGYAKARTA

Muhammadiyah telah ikut berjuang dan berpartisipasi dalam merebut dan

mengisi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dengan berbagai cara,

diantaranya adalah keberadaan SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta sebagai salah

satu bentuk perjuangan Muhammadiyah dalam dunia pendidikan. SMA

Muhammadiyah 2 Yogyakarta ikut berpartisipasi dalam meningkatkan sumber

daya manusia agar memiliki kualitas seimbang dalam IMTAQ dan IPTEK

sehingga kecintaan kepada Ilahi dapat mendorong seseorang untuk berbuat yang

terbaik bagi dirinya sendiri, masyarakat serta bangsanya.

SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta ini berdiri sejak tanggal 2 Oktober

1950 di Jalan Kauman Nomor 44 Yogyakarta, tepatnya di rumah Bapak H.

Syarbini dengan dua kelas satu, jurusan A (Sastra) dan B (Ilmu Pasti) yang jam

masuknya siang hari. Setelah mengalami perpindahan lokasi sekolah, akhirnya

mulai tanggal 8 Januari 1976, SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta berlokasi di Jl.

Kapas No. 7 Semaki Yogyakarta, dengan kontak yang dapat dihubungi yaitu

(0274) 540937 dan faks (0274) 562545. Selain itu SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta ini merupakan wadah bagi pelajar yang tidak dapat tertampung di
40

SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Sampai saat ini SMU Muhammadiyah 2

Yogyakarta telah berkembang pesat, dengan didukung oleh para pengajar yang

profesional dibidangnya masing-masing dan dengan ketersediaan sarana dan

prasarana pembelajaran yang memadai akan mampu menghantarkan siswa-

siswanya meraih cita-cita.

Dalam perkembangannya, SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta mengalami

perkembangan status sekolah, yaitu :

Tahun 1950-1960 : Swasta penuh

Tahun 1961-1965 : Berbantuan Sp. MPKD No. 103/62 tanggal 30 Oktober

1962, No. 20/1964 tanggal 14 Maret 1965 – 31 Desember

1985 : bersubsidi SK Menteri PK RI No. 453/BS/B II

tanggal 24 Desember 1966 sejak Agustus 1965.

1 Januari 1985-2005 :Disamakan SK Mendikbud No. 007/C/Kep/1985, sejak

tanggal 20 Januari 1990, SK Mendikbud :

009/C/Kep/1990, dan sejak tanggal 3 April 1997 SK

Dirjen Dikdasmen No. 197/C7/Mn-Akr/1997.

2005-sekarang :Terakreditasi A

SMA Muhammadiyah 2 sendiri terletak di daerah tengah kota Yogyakarta.

Sehingga berbagai fasilitas umum sangat dekat dengan letak sekolah seperti

kantor pos, pusat perbelanjaan tradisional dan modern, rumah sakit, kantor PLN,

kantor PDAM, kantor TELKOM dan berbagai fasilitas umum lainnya. Hal ini

tentunya memudahkan siswa-siswanya untuk mengakses fasilitas-fasiltas tersebut,


41

yang kemudian berimbas pada cepatnya siswa SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal.

SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta sendiri memiliki visi dan misi yang

telah dijalankan sejak awal. Visi dari SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta adalah

terwujudnya generasi muslim berkualitas yang menguasai risalah Islamiyah dan

mampu mengimplementasikan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan

teknologi. Selain itu SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta memiliki beberapa misi

yang dijalankan. Pertama, mewujudkan kehidupan sekolah yang kondusif dan

islami sesuai dengan Al Quran dan As Sunah. Kedua, membentuk pribadi muslim

yang berahlakul karimah dan memiliki kepedulian sosial. Ketiga, menumbuhkan

semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Keempat, meningkatkan kualitas

kelulusan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang

berorientasi pada kecakapan hidup. Kelima, meningkatkan profesionalisme dan

penghargaan kerja guru dan karyawan. Keenam, meningkatkan sistem

pengelolaan sekolah yang dinamis, demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketujuh, meningkatkan kerja sama antar warga sekolah dengan instansi yang

terkait. Dan yang kedelapan, meningkatkan loyalitas guru, karyawan, siswa

sebagai kader dan penggerak persyarikatan Muhammadiyah

Visi dan misi tersebut di atas telah terlihat dari bentuk kegiatan pendidikan

dan fasilitas yang mereka miliki. Dari segi fasilitas, SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta menyediakan laboratorium bahasa Inggris, laboratorium ilmu

pengetahuan, ruang multimedia, laboratorium fisika, laboratorium biologi,

laboratorium kimia, laboratorium komputer, laboratorium Islam, perpustakaan,


42

masjid, klinik, bimbingan dan konseling, kantin dan auditorium . Semua fasilitas

tersebut diharapkan dapat menunjang kegiatan belajar dan mengajar seluruh

warga sekolah. Selain itu sekolah juga memiliki kegiatan di luar sekolah atau

biasa disebut dengan kegiatan ekstrakurikuler, antara lain adalah Hizbul Wathon

(HW), Pencak Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Phabama, Bhaskara Hiking

Club (HBC), Bhaskara Music Club (BMC), Bhaskara English Club (BEC),

Bhaskara Mubaliq Hijrah (BMH), futsal/sepak bola, computer, tilawah,

jurnalistik, bulu tangkis, fotografi, Palang Merah Remaja (PMR), Bhaskara Teater

Muha (Bhastema), bola basket dan bola volley. Dan dengan adanya kegiatan

ekstrakurikuler tersebut diharapkan dapat menemukan bibit-bibit unggul di

bidangnya dan siswa-siswanya pun dapat mengembangkan bakat-bakat yang

mereka miliki di kegiatan tersebut.

SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta telah berkembang dengan pesat dan

telah menjadi salah satu sekolah swasta favorit yang banyak dituju oleh para

orang tua siswa di kota Yogyakarta. Hal tersebut tidak luput karena didukung oleh

para pengajar yang profesional dibidangnya masing-masing dan dengan

ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai akan mampu

menghantarkan siswa-siswanya meraih cita-cita. Hingga saat ini, SMA

Muhammadiyah 2 Yogyakarta telah memiliki beberapa angkatan kelulusan dan

mereka pun rata-rata telah meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sekolah ini memiliki tiga tingkatan kelas yaitu kelas X, XI dan XII. Dan tiap

tingkatan kelas tersebut terdiri dari sembilan kelas. Untuk jumlah siswa, dari
43

pihak Bimbingan Konseling terus memantau setiap bulan dengan demikian akan

terlihat perkembangannya.

Untuk keberadaan orang tua siswa di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta

ini sangat beragam. Mulai yang berasal dari ekonomi rendah hingga yang

menengah ke atas. Mayoritas siswa SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta berasal

dari keluarga yang ekonominya berkecukupan bahkan lebih. Hal tersebut dapat

dilihat dari data tabel jenis pekerjaan orang tua siswa berikut :

Tabel 3 Data Pekerjaan Orang Tua Siswa SMA Muhammadiyah 2


Yogyakarta
No. Jenis Pekerjaan Jumlah (%)
1. Dosen 1,89
2. TNI Polri 1,79
3. PNS 31,83
4. Swasta 22,15
5. Dagang 2,89
6. Tani 2,49
7. Buruh 3,89
8. Pensiunan 4,99
Sumber : SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta

Dengan melihat latar belakang ekonomi keluarga siswa tersebut, dapat

dikatakan bahwa siswanya mendapatkan kemudahan dalam pemenuhan

keinginannya. Hal ini juga memberikan pengaruh bagi remaja untuk memiliki

pola perilaku konsumtif yang lebih dari kapasitasnya sebagai seorang pelajar yang

belum memiliki penghasilan sendiri.

A. 2 SMA NEGERI 1 SEWON BANTUL

Kabupaten Bantul memiliki salah satu sekolah unggulan yang memiliki

kualitas baik dan tidak kalah dengan sekolah-sekolah yang ada di kota, yaitu SMA

Negeri 1 Sewon. SMA Negeri 1 Sewon adalah salah satu sekolah favorit atau

salah satu sekolah yang banyak dituju oleh masyarakat di Kabupaten Bantul.
44

Sekolah ini sendiri terletak di Jalan Parangtritis Km. 5 Bangunharjo, Sewon,

Bantul, Yogyakarta 55187 dan kontak yang dapat dihubungi adalah (0274)

374459.

SMA Negeri 1 Sewon ditinjau dari letaknya sangat strategis sangat mudah

dijangkau. Sekolah mempunyai visi dan misi jauh kedepan memberikan layanan

bagi siswa agar siswa dapat meraih prestasi yang optimal,didukung dengan

peralatan dan fasilitas yang sesuai dengan tuntutan zaman seperti laboratorium

IPA ,laboratorium bahasa dan laboratorium komputer. Telah banyak prestasi dari

siswa baik secara akademik maupun non-akademik telah tertumpuk di sekolah,

menunjukan bukti bahwa dalam pengelolaan sekolah telah dilaksanakan secara

profesional. Sekolah terus berupaya agar lulusan berkualitas ditunjukkan semakin

meningkatnya jumlah lulusan yang diterima di perguruan tinggi negeri. Dilihat

secara akademik untuk menghadapai ujian dan masuk diperguruan tinggi telah

dilaksanakan program-program peningkatan mutu seperti tambahan jam pelajaran,

tes mingguan, uji coba. Hal ini dilakukan sekolah agar saatnya ujian anak-anak

mempunyai bekal yang cukup untuk mengerjakan soal baik secara nasional

maupun ujian sekolah.

Jarak SMA Negeri 1 Sewon dari Ibukota terhitung tidak terlalu jauh.

Sekolah ini terletak di salah satu daerah kabupaten di Daerah Istimewa

Yogyakarta, sehingga berbagai fasilitas umum yang terdapat di kota seperti kantor

pos, pusat perbelanjaan tradisional dan modern, rumah sakit, kantor PLN, kantor

PDAM, kantor TELKOM dan berbagai fasilitas umum lainnya masih mudah

dijangkau. Hal ini tentunya mendukung dan memudahkan sekolah serta siswa-
45

siswanya untuk mengakses fasilitas-fasiltas tersebut, yang kemudian berimbas

pada cepatnya masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal.

Tetapi tetap saja kecepatan untuk mendapatkan informasi tersebut tidaklah sama

dengan mereka yang ada di pusat kota. Dan bahkan mungkin saja masih terdapat

sedikit kendala-kendala dalam proses pengaksesannya.

Sekolah ini memiliki visi dan misi yang jauh ke depan dalam mengemban

tugasnya mendidik siswa-siswanya. Visi yang mereka pegang adalah “UNGGUL,

BERBUDAYA dan RELIGIUS”. Mereka memegang visi tersebut agar sebagai

pedoman siswa didiknya dalam menuntut ilmu. Diharapkan siswa-siswa didiknya

akan unggul dengan ilmu dan pengetahuan yang diperolehnya untuk masa depan,

tanpa meninggalkan budaya yang telah dimiliki dan tetap berpegang pada

agamanya sebagai pengontrol segala ilmu dan pengetahuan yang didapat untuk

bekal masa depannya nanti. Selain itu SMA Negeri 1 Sewon juga memiliki misi

dalam menjalankan kegiatan pendidikannya, yaitu mewujudkan sekolah yang

efektif, memberikan layanan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi,

mengedepankan intelektual berkesejajaran kecerdasan spiritual, kecerdasan

emosional dan sosial, dan menghasilkan output yang berdaya guna.

SMA Negeri 1 Sewon telah berkembang dengan pesat dan telah menjadi

salah satu sekolah negeri favorit di kabupaten Bantul. Hal ini tidak lepas dari

dukungan para pengajar yang profesional dibidangnya masing-masing dan dengan

ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai akan membantu

siswa-siswanya meraih cita-cita. SMA Negeri 1 Sewon juga memiliki potensi di

lingkungan sekolah ini sendiri yang diharapkan dapat mendukung program


46

sekolah guna kebaikan siswa-siswanya, diantaranya adalah sumber daya

pendidikan yang memadai, input siswa yang masuk dengan rata-rata NEM yang

cukup baik, dukungan orang tua siswa, baik dari sisi moril maupun materiil, dan

sarana dan prasarana di sekolah yang memadai.

Visi dan misi tersebut di atas telah terlihat realisasinya dari segala bentuk

kegiatan pendidikan dan fasilitas yang mereka miliki. Dari segi fasilitas, sekolah

menyediakan hotspot area, 3 buah laboratorium komputer, ruang multimedia,

laboratorium fisika, laboratorium biologi, laboratorium kimia dan laboratorium

bahasa. Semua fasilitas tersebut diharapkan dapat menunjang kegiatan belajar dan

mengajar seluruh warga sekolah. Selain itu sekolah juga memiliki kegiatan di luar

sekolah atau biasa disebut dengan kegiatan ekstrakurikuler, antara lain adalah

komputer, pleton inti, jurnalistik, paduan suara, basket, beladiri, sepak bola, drama

dan seni tari, nasyid, Karya Ilmiah Remaja (KIR) dan Palang Merah Remaja

(PMR). Dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler tersebut diharapkan dapat

menemukan bibit-bibit unggul di bidangnya dan siswa-siswanya pun dapat

mengembangkan bakat-bakat yang mereka miliki di kegiatan tersebut.

Hingga saat ini, SMA Negeri 1 Sewon telah memiliki beberapa angkatan

kelulusan dengan angka kelulusan yang baik dan mereka pun rata-rata telah

meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. SMA Negeri 1 Sewon

memiliki tiga tingkatan kelas yaitu kelas X, XI dan XII. Dan tiap tingkatan kelas

tersebut terdiri dari tujuh kelas.

Untuk keberadaan orang tua siswa di SMA Negeri 1 Sewon sangat

beragam. Mulai yang berasal dari ekonomi rendah hingga yang menengah ke atas.
47

Tetapi mayoritas terbanyak siswanya berasal dari keluarga yang ekonominya

rendah hingga menengah, dan untuk kalangan ke atas bahkan tidak banyak. Hal

tersebut dapat dilihat dari data tabel jenis pekerjaan orang tua siswa berikut :

Tabel 4 Data Kondisi Orang Tua Didik SMA N 1 Sewon

Jumlah Penghasilan/Bln Jumlah Tingkat Jumlah


Pekerjaan
(%) (Rp) (%) Pendidikan (%)

PNS 20 <200.000 5 SD 15

TNI/Polri 9 200.000-400.000 25 SLTP 28

Swasta 12 400.000-600.000 25 SLTA 22

Wiraswasta 15 600.000-800.000 30 D1,D2,D3,SM 20

Tani 12 800.000-1.000.000 9 S1 10

Buruh 24 >1.000.000 6 S2 5

Lain-lain 8
Sumber : SMA Negeri 1 Sewon

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kondisi orang tua siswa SMA N 1

Sewon mayoritas berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah.

Otomatis dalam pemenuhan segala kebutuhan pun mereka cenderung untuk benar-

benar memilah-milah dengan memperhatikan kebutuhan yang lain, asas prioritas

dan manfaatnya.

B. SUBJEK PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menampilkan 10 informan, yaitu dari SMA

Muhammadiyah 2 Yogyakarta sebanyak 5 orang dan dari SMA N 1 Sewon

sebanyak 5 orang. Masing-masing di antaranya mempunyai latar pendidikan,


48

lingkungan sosial masyarakat dan ekonomi yang berbeda. Jumlah ini ditetapkan

setelah informan diseleksi dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan.

Persyaratan tersebut antara lain adalah siswa yang terdaftar di SMA

Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan SMA Negeri 1 Sewon, memiliki usia remaja

yang dibatasi dengan rentang usia 15-18 tahun dan memiliki ponsel yang masih

aktif hingga saat ini. Dari kesepuluh informan tersebut 4 diantaranya berjenis

kelamin laki-laki dan 6 lainnya berjenis kelamin perempuan. Informan yang

dipilih juga berasal dari strata ekonomi yang berbeda, baik dari kelas bawah,

menengah maupun kelas atas.

Peneliti memiliki pendapat bahwa kesepuluh informan di atas telah

memenuhi syarat untuk dijadikan subyek penelitian karena latar belakang

informan sesuai dengan tujuan penelitian yang ada. Sedangkan data yang

didapatkan dari informan yang ada dilakukan secara teliti dengan wawancara

langsung dengan subyek penelitian dan observasi langsung oleh peneliti.

B. 1 Lokasi Tempat Tinggal Informan Penelitian

Penelitian tentang perilaku konsumtif di kalangan remaja akibat

penggunaan ponsel ini dilakukan di dua lokasi penelitian, yaitu di Kota

Yogyakarta yang tepatnya di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan di

Kabupaten Bantul yang tepatnya di SMA Negeri 1 Sewon. Informan dalam

penelitian ini tinggal di daerah sekitar lokasi penelitian, walaupun ada juga

informan yang tinggalnya di luar lokasi penelitian atau jauh dari lokasi penelitian.

Tempat tinggal informan dari SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta tidak

jauh dari jalan raya dan tempat-tempat strategis yang ada di kota. Selain itu masih
49

di daerah perkotaan, sehingga hal tersebut memudahkan mereka untuk mengakses

atau menikmati fasilitas-fasilitas umum yang ada di kota. Sedangkan informan

dari SMA Negeri 1 Sewon, tempat tinggal mereka rata-rata di daerah Kabupaten

Bantul dan bahkan dapat dikatakan masih di daerah desa yang jauh dari tempat-

tempat strategis yang ada. Sehingga menyebabkan mereka tidak terlalu mudah

untuk mengakses fasilitas-fasilitas umum yang ada karena mereka masih harus

menempuh jarak yang jauh.

B. 2 Umur dan Status Tempat Tinggal

Umur informan dalam penelitian ini berada pada jenjang usia antara 15

tahun hingga 18 tahun. Sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan, semua

informan adalah remaja yang masih bersekolah di lokasi penelitian tersebut dan

memiliki ponsel yang masih aktif digunakan. Berikut tabel yang menggambarkan

keadaan usia atau umur remaja yang menjadi informan dalam penelitian ini.

Tabel 5 Informan berdasarkan Usia atau Umur


No. Nama Usia
1. Lely 16
2. Dio 15
3. Rizki 15
4. Astrid 17
5. Yosi 17
6. Yogi 17
7. Nanang 17
8. Hikma 15
9. Hana 16
10. Asdi 17
Sumber : data primer

Tabel usia di atas sebagai data yang lebih spesifik tentang berapa usia

masing-masing ke 10 informan tersebut, untuk meyakinkan pembaca skripsi ini

agar dapat melihat gambaran sepintas tentang usia informan-informan tersebut


50

yang masih pada masa remaja, yaitu pada rentang usia antara 15 tahun hingga 18

tahun.

Dari penelitian didapatkan data bahwa ada 1 orang informan yang tidak

tinggal dengan orang tuanya tetapi dengan kerabatnya. Sedangkan informan yang

lain masih tinggal dengan orang tuanya. Data informan berdasarkan tempat

tinggalnya tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6 Informan Berdasarkan Status Tempat Tinggal


Tempat Tinggal
No. Nama Informan
Dengan Orang Tua Dengan Kerabat
1. Lely √
2. Dio √
3. Rizki √
4. Astrid √
5. Yosi √
6. Yogi √
7. Nanang √
8. Hikma √
9. Hana √
10. Asdi √
Sumber : data primer

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa status tempat tinggal juga

berpengaruh dalam keputusan seseorang menggunakan ponsel. Remaja yang

tinggal dengan orang tua menggunakan ponsel pastinya sebagai alat komunikasi

agar mudah dalam berhubungan. Terlebih lagi dengan remaja yang tinggal dengan

kerabatnya, ia pasti akan lebih membutuhkan ponsel sebagai alat komunikasi

dengan keluarga inti atau orang tuanya.

B. 3 Pendidikan Informan dan Mata Pencaharian Orang Tua

Pendidikan sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang.

Dengan pendidikan, seseorang dapat dengan lebih mudah memahami dirinya

sendiri dan apa yang ada di sekitarnya. Pola pikir, tingkah laku, pergaulan, mata
51

pencaharian hingga rasa percaya diri individu sangat dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan. Oleh karena itu tingkat pendidikan informan dalam penelitian ini

perlu diketahui. Dari 10 informan tersebut, semuanya masih menempuh jenjang

pendidikan sekolah menengah atas (SMA). Dengan mengetahui latar belakang

pendidikan informan dapat diketahui bagaimana pola pikir dan tingkah laku

informan terutama yang berkaitan dengan mengkonsumi ponsel. Serta bagaimana

informan menghadapi dan menyikapi situasi sebagai konsumen, terutama di

kalangan remaja, yang berada di tengah jaman modernisasi dan globalisasi yang

dituntut dengan segala tuntutan kemajuan teknologi dan iming-iming segala

bentuk prestige yang ada.

Selain itu mata pencaharian orangtua informan di sini juga bermacam-

macam. Berikut akan ditampilkan data karakteristik informan menurut jenis

pekerjaan orangtuanya.

Tabel 7 Informan Menurut Jenis Pekerjaan Orangtua


Jenis Pekerjaan Orang Tua
Nama
Ayah Ibu
Lely BUMN (Pertamina) Ibu Rumah Tangga
Dio Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Rizki Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Astrid Sudah meninggal PNS
Yosi Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Yogi Perangkat Desa Ibu Rumah Tangga
Nanang PNS Ibu Rumah Tangga
Hikma Wiraswasta Guru
Hana Petani Petani
Asdi Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Sumber : data primer

Tabel di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian orangtua informan

heterogen. Informan yang jenis pekerjaan orangtuanya adalah PNS dan

wiraswasta menunjukan jumlah yang relatif lebih banyak bila dibandingkan


52

dengan jenis pekerjaan orangtua yang lain. Sedangkan Ibu Rumah Tangga juga

menunjukkan jumlah yang relatif banyak dari keseluruhan jenis pekerjaan

orangtua informan yang ditampilkan dalam tabel di atas.


BAB III

PERILAKU KONSUMTIF TERHADAP PONSEL

SIMBOL PENCITRAAN DIRI REMAJA

A. Perilaku Konsumtif Dalam Penggunaan Ponsel

Ponsel sebagai alat komunikasi modern telah mengalami banyak

perkembangan pesat sejak awal kemunculannya. Hingga saat ini ponsel tidak

hanya dijadikan sebagai alat komunikasi saja, tetapi juga sebagai suatu perangkat

canggih yang membantu dan memudahkan kebutuhan manusia sesuai dengan

fitur-fitur yang ada di dalamnya. Selain sebagai alat komunikasi, kini fungsi

ponsel semakin berkembang menjadi sebuah sarana hiburan yang dapat digunakan

dimanapun dan kapanpun oleh si pemilik.

Ponsel pun bukan barang yang mewah lagi di kalangan masyarakat baik di

kota maupun di desa, terlebih lagi dikalangan remaja. Remaja sendiri adalah

kalangan yang paling besar keinginan untuk mengkonsumsinya. Mereka pun

kadang sangat mudah mengeluarkan uang, terlebih lagi untuk hal-hal yang

menyangkut tentang tren yang berkembang atau gaya hidup yang ada. Selain itu

saat ini juga didukung pula dengan para produsen ponsel yang terus mengeluarkan

produk-produk terbarunya dengan berbagai macam tipe dengan fitur-fitur terbaru

yang canggih maupun dengan harga yang sangat variatif dan semua orang pun

dapat menjangkaunya. Hal tersebut adalah strategi produsen untuk menarik

pasaran di masyarakat. Produsen dalam hal ini tidak hanya menyajikan produknya

saja semata-mata, tetapi juga adanya inovasi teknologi dan desain produk. Mereka

53
54

berusaha untuk membuat produknya tersebut menjadi suatu kebutuhan yang wajib

bagi konsumennya, dalam hal ini adalah kalangan remaja. Ada 2 jenis konsumen

menurut John Walker (dalam Life Ecstassy, 2004), yaitu yang pertama konsumen

yang membeli dan memakai produk dengan melihat fungsi sebagai hal yang

penting dan yang kedua adalah konsumen yang membeli dan memakai produk

berdasarkan maknanya.

Seperti pandangan yang dikatakan oleh Baudrillard bahwa konsumerisme

sebagai logika untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi

bukan lagi karena kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu

mereka. Disinilah remaja menjadi mangsa empuk bagi para produsen yang ingin

terus meningkatkan pasaran produknya. Dalam pandangan Baudrillard,

kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu

masyarakat dalam jerat konsumerisme. Praktik-praktik konsumsi yang ada

selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat dan menjadi cara pandang yang baru

bagi masyarakat, terlebih lagi remaja. Disini kegunaan dan manfaat suatu barang

atau benda tidak lagi terlalu penting. Suatu benda atau objek konsumsi kini lebih

terfokus pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang disebarluaskan

melalui iklan-iklan gaya hidup yang bermunculan di berbagai media dengan

bujukan yang sangat menjerumuskan orang untuk mengkonsumsi tanpa pikir

panjang lagi. Terlebih lagi jika sasaran pasar yang dituju produsen adalah remaja,

hal tersebut akan mudah sekali dilakukan.

Masa remaja sendiri adalah masa pencarian identitas diri dan ingin

mendapatkan pengakuan atas eksistensi dirinya di dalam lingkungannya.


55

Demikian pula dalam penggunaan ponsel di kalangan remaja, mereka cenderung

untuk mengkonsumsi ponsel dengan memilih tipe ponsel yang terbaru atau paling

canggih. Hal tersebut pun dilakukan dengan tujuan yang bermacam-macam, mulai

dari yang benar-benar memanfaatkan ponsel dengan semestinya dan bahkan

mungkin hanya untuk mengikuti tren ponsel yang berkembang di sekitarnya.

Ponsel ini tidak dapat lepas dari kehidupan remaja di setiap harinya

bahkan ponsel pun telah menjadi suatu tren atau gaya hidup sendiri. Sebagian

besar dari mereka sangat kesulitan jika tidak ada ponsel di dalam hidup mereka.

Alasan utama mereka memiliki ponsel pada awalnya adalah untuk mempermudah

komunikasi, tetapi seiring dengan berjalannya waktu penggunaan ponsel lebih

sebagai sarana hiburan atau untuk kesenangan saja, terutama di kalangan remaja.

Di samping itu pun juga ada yang memiliki keinginan untuk mengikuti tren atau

gaya hidup dengan memiliki dan menggunakan ponsel tersebut.

Penggunaan ponsel kini tidak hanya sebagai alat komunikasi saja bagi

remaja. Dengan melihat hal yang telah disebutkan di atas, penggunaan ponsel juga

merupakan simbol status sosial pemiliknya. Dengan memiliki ponsel maka

seorang remaja akan dianggap mengikuti mode, terlebih jika ponsel yang

digunakan adalah ponsel keluaran terbaru, menarik dan harganya yang masih

mahal. Bahkan ponsel tersebut pun kadang kurang dimanfaatkan secara optimal.

Begitu pula yang kebanyakan terlihat di kalangan remaja, mereka memilih ponsel

keluaran terbaru atau yang fitur-fiturnya bagus tetapi mereka hanya menggunakan

ponsel tersebut untuk SMS atau telepon saja. Dan bahkan fitur lain yang paling

sering digunakan hanyalah sebatas fitur koneksi internet online, fitur kamera dan
56

fitur musik. Dalam hal ini dapat dikatakan mereka mengkonsumsi ponsel sebagai

suatu gaya hidup agar mendapatkan pengakuan di lingkungannya (eksistensi diri).

Ketika seseorang mengkonsumsi sesuatu barang atau benda tanpa

dilandasi pertimbangan atas asas kemanfaatan atau asas prioritas seperti yang

telah dipaparkan di atas sebelumnya, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai

perilaku konsumtif. Sehingga mereka yang menggunakan ponsel hanya untuk

kesenangan semata atau sebagai simbol pengakuan (eksistensi diri) di

lingkungannya, dan bukan berdasarkan fungsi ataupun kebutuhan maka dapat

dikatakan sebagai perilaku konsumtif. Sama halnya seperti yang terjadi di

kalangan remaja, kebanyakan mereka sekarang menggunakan ponsel hanya untuk

sarana hiburan atau kesenangan saja. Sehingga kadang mereka tidak terlalu

memperhatikan antara mana yang kebutuhan dan mana yang kepentingan. Selain

itu mereka juga kadang tidak terlalu memperdulikan tentang bagaimana

kemampuan ekonomi keluarganya, baik keluarga yang tinggal di daerah kota

maupun di desa.

Sesuai dengan beberapa karakteristik masyarakat desa dan kota yang telah

disebutkan sebelumnya, maka disini dapat terlihat beberapa hal yang

membedakan antara pola perilaku konsumtif masyarakat kota dan desa, terutama

remajanya. Remaja yang tinggal di kota dan berasal dari keluarga yang memiliki

kemampuan ekonomi menengah ke atas tidak akan mengalami kesulitan dalam

memenuhi kebutuhannya untuk memenuhi gaya hidup yang menjadi tren di

masyarakat karena orang tuanya pun mendukung. Selain itu mereka juga

cenderung untuk lebih konsumtif di banding remaja yang tinggal di desa, karena
57

mereka telah didukung oleh segala hal kemudahan yang ada di kota seperti

kecepatan mendapatkan informasi tentang gaya hidup dan tren yang sedang

berkembang terutama tentang ponsel. Ini terlihat dari adanya tren gonta-ganti

ponsel dengan ponsel keluaran terbaru. Selain itu remaja yang tinggal di daerah

perkotaan pun lebih banyak dikuasai oleh kepentingan dan tidak memperdulikan

apa sebenarnya kebutuhan mereka.

Dan untuk remaja yang tinggal di desa, mereka lebih cenderung untuk

tidak terlalu konsumtif untuk penggunaan ponsel. Sebagian besar dari mereka

lebih mengutamakan fungsi dari suatu ponsel yang pada dasarnya adalah sebagai

alat komunikasi penting yang memudahkan mereka untuk berkomunikasi dengan

orang-orang di sekitarnya. Tetapi di samping itu ada juga di antara mereka yang

menjadikan ponsel sebagai tren atau gaya hidup. Biasanya hal itu terjadi pada

mereka yang berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke

atas. Sedangkan mereka yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menegah ke

bawah, harus mengontrol segala hal dalam upaya pemenuhan gaya hidup.

Sehingga biasanya remaja di kalangan ini lebih melihat suatu ponsel dari kualitas,

fitur dan keuangan yang ada.

Berikut akan ditampilkan pengalaman informan secara satu-persatu,

khususnya mengenai kehidupan mereka selama ini dari awal menggunakan ponsel

hingga saat ini.

Yosi

Yosi adalah salah satu siswi kelas XII di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi menengah
58

ke atas. Pekerjaan ayahnya adalah seorang wiraswasta, dan ibunya adalah seorang

ibu rumah tangga. Beban tanggungan orang tuanya sebanyak 3 orang anak.

Selama ini Yosi tinggal dengan orang tuanya, sehingga untuk masalah

keuangannya perbulan sudah ditetapkan oleh orang tuanya. Ia diberi uang kurang

lebih sebesar Rp 400.000,00 untuk tiap bulannya, dan pengeluaran rata-ratanya

tiap bulan pun tidak jauh dari jumlah uang sakunya tersebut yaitu sebesar Rp

300.000,00.

Yosi memiliki ponsel pertama kali pada saat duduk di kelas V di sekolah

dasar. Pada saat itu ia memakai ponsel dengan alasan karena teman-teman di

sekitarnya telah memiliki ponsel. Sehingga orang tuanya pun membelikan ponsel

yang digunakan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk mengetahui

keadaan dan kebutuhan anaknya sewaktu-waktu. Selain itu ia juga menggunakan

ponsel untuk kebutuhan lain seperti menanyakan tentang tugas-tugas sekolah dan

menghubungi teman-temannya, baik untuk urusan yang penting maupun hanya

sekedar mengobrol saja. Berikut ini cerita Yosi :

“Biasanya yang paling sering aku hubungi pake hp ini itu temen-temen,
kita biasanya cerita-cerita aja masalah tugas sekolah sampai curhat-curhat
gitu juga”, wawancara dengan Yosi pada tanggal 17 Oktober 2009.
Saat membeli ponsel Yosi lebih melihat desain luarnya terlebih dulu.

Apabila menurutnya desain bentuk dan warna ponsel tersebut dan itu menarik

baginya, maka ia pun tidak akan ragu untuk membelinya karena keluarga atau

orang tuanya pun mendukung dengan membebaskannya untuk memilih ponsel

mana yang ingin dibeli. Selain dari desain bentuk, ada fitur atau fasilitas lain dari

sebuah ponsel yang ia cari yaitu fitur kamera, koneksi internet dan musik. Dan

ponsel pilihannya pun adalah Sony Ericson yang menurutnya fitur kamera yang
59

ada bagus, cara pemakaiaannya pun mudah dan suara speaker ponsel tersebut juga

bagus karena ia ingin mendapatkan hasil suara yang bagus ketika mendengarkan

MP3 (fitur musik di dalam ponsel).

Ponsel bagi Yosi adalah alat komunikasi yang sangat penting karena ia

membutuhkan ponsel untuk memberi kabar ke keluarganya atau sebaliknya jika

terjadi segala hal, apalagi untuk urusan yang mendadak. Selain itu baginya ponsel

juga adalah salah satu alternatif hiburan yang sangat praktis dan efisien, karena

kita dapat menggunakannya dimanapun dan kapanpun.

Astrid

Astrid adalah salah satu siswi kelas XII di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah. Ayahnya dulunya adalah seorang wiraswasta, tetapi saat ini beliau

telah meninggal, dan ibunya adalah seorang PNS. Sehingga sampai saat ini hanya

ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Beban tanggungan orang

tuanya sebanyak 3 orang anak. Di kota Yogyakarta ini ia tinggal dengan

kerabatnya (neneknya), dan untuk masalah keuangannya perbulan sudah

ditetapkan oleh orang tuanya. Ia diberi uang kurang lebih sebesar Rp 300.000,00

untuk tiap bulannya, dan pengeluaran rata-ratanya tiap bulan pun tidak jauh dari

jumlah uang sakunya tersebut yaitu sebanyak Rp 280.000,00.

Astrid memiliki ponsel pertama kali pada saat duduk di kelas IV di

sekolah dasar. Pada saat itu ia memakai ponsel dengan alasan karena orang tuanya

membelikan ponsel sebagai alat komunikasi untuk mengetahui keadaan dan

kebutuhan anaknya kapanpun, contohnya saja memberi kabar pada orang tuanya
60

untuk menjemput jika jam sekolah telah usai dan tidak ada kegiatan lagi. Selain

itu ia menggunakan ponsel untuk menghubungi teman-temannya, baik untuk

urusan sekolah maupun urusan lainnya.

Pada saat membeli ponsel, ada dua hal yang penting bagi Astrid yaitu

merek dan fitur ponsel tersebut. Dan pilihannya jatuh pada ponsel Nokia E63,

dengan alasan bahwa ponsel tersebut sedang tren di masyarakat. Keluarga atau

orang tuanya pun memberikan kebebasan Astrid untuk memilih ponsel yang

dibeli. Selain itu ia juga memperhatikan fitur atau fasilitas yang ada, terutama

untuk fitur koneksi internet dan musik. Berikut ini cerita Astrid :

“Hp yang aku pake sekarang ini Nokia E63, soalnya hp yang keypad
qwerty ini lagi in banget sekarang. Udah gitu mama juga suka-suka aja
sama pilihan aku ini”, wawancara dengan Astrid pada tanggal 17 Oktober
2009.
Disini terlihat sekali bahwa Astrid adalah seorang remaja yang menggunakan

ponsel sebagai alat komunikasi dan juga sebagai gaya hidup. Karena ia sendiri

menyebutkan bahwa ia memakai ponsel pilihannya tersebut dengan alasan tren

yang sedang berkembang di masyarakat.

Rizki

Rizki adalah salah satu siswi kelas X di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah. Pekerjaan ayahnya adalah seorang wiraswasta, dan ibunya adalah

seorang ibu rumah tangga. Beban tanggungan orang tuanya sebanyak 2 orang

anak. Selama ini Rizki tinggal dengan orang tuanya. Dan untuk masalah

keuangannya, orang tuanya tidak memberikan uang dengan sistem bulanan,

sehingga Rizki bebas meminta uang ke orang tuanya jika memang ia merasa
61

membutuhkan. Sedangkan untuk pengeluarannya tiap bulan pun menjadi tidak

menentu, karena ia pun tidak pernah menghitung pemasukan dan pengeluarannya.

Rizki memiliki ponsel pertama kali pada saat duduk di kelas IV di sekolah

dasar. Pada saat itu ia memakai ponsel dengan alasan karena orang tuanya yang

membelikan ponsel tersebut, dengan maksud sebagai alat komunikasi saja,

contohnya seperti memberi kabar orang tuanya untuk menjemput jika jam sekolah

telah usai dan tidak ada kegiatan lagi. Selain itu juga digunakan untuk

menghubungi teman-temannya dan untuk keperluan sekolah.

Pada saat membeli ponsel, Rizki sangat mengutamakan fitur yang ada

dalam sebuah ponsel. Dan ia pun memilih Nokia, karena sudah terbiasa memakai

ponsel merek tersebut, pemakaiannya mudah dan fitur-fitur yang ada pun bagus

menurutnya. Fitur-fitur yang biasa digunakan Rizki antara lain adalah koneksi

internet, kamera dan musik. Berikut ini cerita Rizki :

“Aku lebih pilih Nokia karena aku udah kebiasaan pake itu, lebih gampang
pakenya. Udah gitu fiturnya juga lengkap banget buat aku, apalagi fitur
internet online-nya”, wawancara dengan Rizki pada tanggal 17 Oktober
2009.
Seperti yang telah diceritakan sepintas di atas, ponsel bagi Rizki adalah

sebuah sarana hiburan karena ia lebih banyak menggunakan ponsel untuk koneksi

internet online, fitur musik dan fitur kameranya. Sedangkan untuk komunikasi

pun biasanya ia hanya sebatas menggunakan SMS saja untuk yang paling sering.

Dio

Dio adalah salah satu siswa kelas X di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi menengah

ke atas. Pekerjaan ayahnya adalah seorang wiraswasta, dan ibunya adalah seorang
62

ibu rumah tangga. Beban tanggungan orang tuanya sebanyak 3 orang anak.

Selama ini ia tinggal dengan orang tuanya. Untuk masalah keuangannya, ia diberi

uang bulanan sebanyak Rp 450.000,00 dan rata-rata pengeluarannya tiap bulan

adalah sebanyak Rp 350.000,00.

Dio memiliki ponsel pertama kali pada saat duduk di kelas VI di sekolah

dasar. Saat itu ia memakai ponsel dengan alasan karena orang tuanya yang

membelikan ponsel tersebut. Dan rata-rata tujuan semua orang tua pun sama, yaitu

sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk mengetahui keadaan anaknya.

Selain itu digunakan untuk menghubungi teman-temannya, baik untuk urusan

sekolah maupun yang lainnya.

Saat pertama kali memilih ponsel Dio mengutamakan merek ponsel yang

akan dipilihnya. Dan pilihannya jatuh pada Nokia karena menurutnya

pemakaiannya sangat mudah bagi dirinya sendiri. Berikut cerita Dio :

“Kalo beli hape biasanya aku lebih suka Nokia, Nokia itu buat aku lebih
gampang aja pemakaiannya, gak ribet kayak yang lain”, wawancara
dengan Dio pada tanggal 17 Oktober 2009.

Selain itu ia juga mengutamakan fitur koneksi internet yang ada dalam sebuah

ponsel, karena baginya fitur tersebut adalah sarana hiburannya pada saat ia merasa

bosan dan untuk mengisi waktu luangnya.

Disini dapat kita lihat bahwa ponsel bagi Dio hanyalah sebagai sebuah

sarana hiburan di saat ia merasa bosan di waktu luangnya. Sedangkan untuk hal

lain seperti komunikasi pun ia jarang, karena biasanya ia hanya menghubungi

keluarganya untuk memberi kabar dan menghubungi teman-temannya, itu pun


63

juga hanya terbatas untuk masalah sekolah atau hanya untuk membahas hal-hal

kecil dengan temannya.

Lely

Lely adalah salah satu siswi kelas XI di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi menengah

ke atas. Pekerjaan ayahnya adalah seorang pegawai BUMN, dan ibunya adalah

seorang ibu rumah tangga. Beban tanggungan orang tuanya sebanyak 4 orang

anak. Selama ini Lely tinggal dengan orang tuanya. Ia diberi uang bulanan oleh

orang tuanya kurang lebih sebesar Rp 150.000,00 dan pengeluaran rata-ratanya

tiap bulan pun sama dengan jumlah uang bulanannya tersebut.

Lely memiliki ponsel pertama kali pada saat duduk di kelas VIII di

sekolah menengah pertama. Pada saat itu ia memakai ponsel dengan alasan

sebagai alat komunikasi dengan keluarganya. Selain itu juga digunakan untuk

menghubungi teman-temannya dan untuk keperluan sekolahnya.

Pada saat memilih ponsel, Lely sangat memperhatikan kualitas ponsel dan

fitur yang ada di dalamnya. Ia menginginkan ponsel dengan kualitas yang baik

serta awet. Dan pilihan ponselnya jatuh pada Nokia seri N70, karena di dalamnya

terdapat fitur video call dengan dual camera sehingga saat menelepon tidak hanya

mendengar suaranya saja tetapi kita juga dapat melihat orang yang kita telepon.

Lely mengaku sangat menyukai ponselnya ini karena ia dapat menghubungi ayah

dan kakaknya ketika ia merasa rindu. Berikut ini cerita Lely :

“Aku pilih N70 soalnya di hape ini ada fitur video call-nya. Jadi kalo aku
kangen sama papa juga kakakku, aku tinggal video call-an aja sama
mereka”, wawancara dengan Lely pada tanggal 17 Oktober 2009.
64

Disini terlihat sekali bahwa ponsel memiliki peran yang sangat penting

bagi Lely, terlebih lagi untuk menghubungi keluarganya baik yang ada di

dekatnya maupun yang jauh. Tetapi jika seandainya ponselnya mengalami

kerusakan ia mengaku bahwa itu bukan suatu masalah besar baginya, karena ia

tinggal mengatakan pada orang tuanya bahwa ponselnya rusak. Orang tuanya pun

menanggapinya dengan membawa ponsel Lely tersebut ke tempat reparasi ponsel

atau bahkan mereka membelikan Lely ponsel yang baru.

Yogi

Yogi adalah salah satu siswa kelas XII di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Ia berasal dari keluarga yang bertingkat ekonomi menengah.

Pekerjaan ayahnya adalah seorang perangkat desa di daerah tempat tinggalnya,

dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Beban tanggungan orang tuanya

sebanyak 2 orang anak. Selama ini Yogi tinggal dengan orang tuanya. Untuk uang

saku ia diberi uang secara bulanan oleh orang tuanya kurang lebih sebanyak Rp

300.000,00, sedangkan pengeluarannya tiap bulan pun rata-rata juga sebesar uang

bulanannya tersebut.

Yogi memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VIII di sekolah

menengah pertama. Alasan awal pemakaian ponsel pada saat itu karena sebagai

alat komunikasi orang tuanya untuk mengetahui keadaannya. Selain itu juga

digunakan untuk menghubungi teman-temannya, baik untuk keperluan sekolah

maupun hanya untuk sekedar berbincang-bincang.

Saat pertama kali membeli ponsel, Yogi sangat mengutamakan fitur-fitur

yang ada di dalamnya. Pilihan ponselnya jatuh pada Sony Ericsson P910i karena
65

menurutnya ponsel tersebut unik, pemakaiannya mudah dan fitur yang ada di

dalamnya sangat lengkap. Dan fitur-fitur yang sering digunakannya antara lain

adalah telepon, SMS, musik (MP3) dan koneksi internet.

Selain ponsel tersebut ia juga masih memiliki ponsel satu lagi yaitu Nokia

3315. Ia memilliki dua buah ponsel dengan alasan ponsel yang kedua sebagai

cadangan jika ponsel utama yang ia gunakan rusak atau hilang. Berikut ini cerita

Yogi :

“Aku sekarang punya hp dua, soalnya nanti takutnya kalo hp yang utama
ini rusak aku gak bisa aktifin nomer kan bingung juga. Makanya aku
punya hp satu lagi untuk cadangan aja”, wawancara dengan Yogi pada
tanggal 18 September 2009.
Dari wawancara tersebut dapat dilihat bahwa ponsel ini sangat penting sekali bagi

Yogi karena disebutkan bahwa ia lebih memilih memiliki ponsel dua buah untuk

cadangan nantinya jika ponsel utamanya tiba-tiba rusak, ia merasa akan sangat

kesulitan jika tidak ada ponsel. Ponsel yang dijadikan cadangan pun adalah ponsel

yang menurutnya telah terbukti keawetannya dan bukan ponsel yang lebih

canggih atau lebih mahal lagi.

Hana

Hana adalah salah satu siswi kelas XI di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

bawah. Pekerjaan ayahnya adalah petani dan ibunya adalah seorang ibu rumah

tangga, sehingga pendapatan keluarganya pun dapat dikatakan tidak menentu.

Beban tanggungan orang tuanya sebanyak 5 orang anak. Selama ini Hana tinggal

dengan orang tuanya. Untuk uang saku ia diberi uang secara bulanan oleh orang
66

tuanya kurang lebih sebesar Rp 200.000,00, sedangkan pengeluarannya tiap

bulannya rata-rata sebesar Rp 180.000,00.

Hana memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VIII di sekolah

menengah pertama. Alasan awal pemakaian ponsel pada saat itu karena sebagai

alat komunikasi dengan keluarga, teman-teman maupun dengan orang lain.

Hana memilih untuk membeli ponsel dengan mengutamakan kualitas yang

terjamin dan awet serta fiturnya. Pilihannya jatuh pada ponsel keluaran Nokia

karena baginya ponsel tersebut telah terbukti keawetannya dan banyak orang yang

menggunakan ponsel tersebut. Selain itu ia juga mengutamakan fitur-fitur yang

dimiliki oleh ponsel tersebut. Selain fitur olah pesan, fitur lain yang ia sukai

adalah musik (MP3). Karena ia gemar mendengarkan musik-musik kesukaannya

untuk hiburan di saat waktu luangnya. Berikut ini cerita Hana :

“Aku sih pilih hp yang biasa aja, soalnya aku butuh hp itu memang untuk
komunikasi sama orang-orang terdekat aku. Ini juga hp yang aku pake
cuma fitur musik aja yang aku utamain buat hiburan”, wawancara dengan
Hana pada tanggal 18 September 2009.
Dari hasil wawancara tersebut terlihat bahwa Hana menggunakan ponsel karena ia

memang membutuhkan untuk alat komunikasi yang penting dengan orang-orang

di sekitarnya. Ia bahkan tidak terlalu terbawa arus kalangan remaja lain yang

memilih ponsel dengan tipe-tipe terbaru atau lebih canggih.

Hikma

Hikma adalah salah satu siswi kelas X di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah. Pekerjaan ayahnya adalah wiraswasta, dan ibunya adalah seorang

guru. Beban tanggungan orang tuanya sebanyak 2 orang anak. Selama ini Hikma
67

tinggal dengan orang tuanya. Untuk uang saku ia diberi uang secara bulanan oleh

orang tuanya sebesar Rp 150.000,00, sedangkan pengeluarannya tiap bulannya

rata-rata sebesar Rp 100.000,00.

Hikma memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VII di sekolah

menengah pertama. Pada saat itu alasan utama menggunakan ponsel adalah

sebagai alat komunikasi dengan orang tuanya. Selain itu juga digunakan untuk

menghubungi teman-temannya dan untuk keperluan sekolahnya.

Saat memilih ponsel Hikma sangat mengutamakan kegunaan ponsel

tersebut yang pada dasarnya adalah alat komunikasi. Ia pun memilih ponsel

dengan tipe R306 karena menurutnya ponsel ini sangat praktis dalam

penggunaannya. Fitur yang ia utamakan pun hanyalah SMS karena menurutnya

dengan mengirimkan pesan tersebut lebih murah, praktis dan komunikasi yang

ada pun tersampaikan. Berikut ini cerita Hikma :

“Aku lebih suka hp yang simpel aja sih, kan aku pake hp itu buat
komunikasi jadi buat apa pake hp yang bagus tapi kalo gak bisa pake. Hp
yang aku punya sekarang ini juga enak banget, gampang cara pake-nya
trus udah gitu bentuknya simpel”, wawancara dengan Hikma pada tanggal
18 September 2009.

Disini terlihat bahwa Hikma benar-benar mengutamakan ponsel sebagai

alat komunikasi yang akan membantunya berkomunikasi dengan siapa pun

dengan mudah. Karena bagi dirinya komunikasi itu sangat penting dan ia tidak

terlalu mengutamakan fitur-fitur tambahan lain yang banyak digemari oleh remaja

lain.
68

Nanang

Nanang adalah salah satu siswa kelas XII di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah. Pekerjaan ayahnya adalah PNS dan ibunya adalah seorang ibu rumah

tangga. Beban tanggungan orang tuanya sebanyak 3 orang anak. Selama ini

Nanang tinggal dengan orang tuanya. Untuk uang saku ia diberi uang secara

bulanan oleh orang tuanya kurang lebih sebesar Rp 450.000,00, sedangkan

pengeluarannya tiap bulannya rata-rata sebesar Rp 300.000,00.

Nanang memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VIII di sekolah

menengah pertama. Alasan awal pemakaian ponsel pada saat itu adalah sebagai

alat komunikasi dengan keluarga, teman-teman maupun dengan orang lain.

Terutama pada saat itu ia banyak mengikuti kegiatan di sekolahnya dan tidak

menentu waktunya. Sehingga ia membutuhkan ponsel tersebut untuk memberi

kabar ke orang tuanya.

Menurut Nanang yang ia utamakan saat memilih ponsel adalah harganya.

Ia pun memilih ponsel dengan merek Nokia karena ponsel dengan merek ini telah

terkenal dan terbukti awet. Selain itu juga harganya pun terjangkau. Berikut ini

cerita Nanang :

“Waktu beli hp yang aku lihat pasti harganya dulu, soalnya aku juga belum
bisa beli hp yang mahal-mahal, kan masih dibeliin orang tua. Dan aku
pake hp ini juga yang penting bisa aku pake buat komunikasi sama semua
orang, jadi buat apa beli yang mahal-mahal”, wawancara dengan Nanang
pada tanggal 18 September 2009.
Saat ini Nanang memiliki dua buah ponsel karena ia memiliki dua buah nomor

yang memang sengaja dipilih karena kedua provider jaringan ponsel tersebut

murah tarifnya. Dan fitur ponsel yang sering ia gunakan adalah SMS karena
69

dengan fitur ini ia dapat menyampaikan kabar dengan mudah dan biayanya pun

murah.

Nanang sangat mementingkan komunikasi, apalagi sekarang dengan

adanya ponsel ia merasa lebih mudah dalam memberikan kabar ke orang lain

karena lebih efisien dan ia tidak perlu mendatangi orang lain untuk memberikan

kabar yang ada. Sehingga ponsel pilihannya pun memang ponsel yang

menurutnya telah sangat membantunya berkomunikasi dan tidak terlalu

mengutamakan fitur lain dalam sebuah ponsel.

Asdi

Asdi adalah salah satu siswa kelas XII di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah. Pekerjaan ayahnya adalah wiraswasta dan ibunya adalah seorang ibu

rumah tangga. Beban tanggungan orang tuanya sebanyak 2 orang anak. Selama ini

Asdi tinggal dengan orang tuanya. Untuk uang saku ia diberi uang secara bulanan

oleh orang tuanya kurang lebih sebanyak Rp 200.000,00, sedangkan

pengeluarannya tiap bulan pun rata-rata sebesar uang sakunya tersebut.

Asdi memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VI di sekolah dasar.

Alasan awalnya memakai ponsel pada saat itu karena ia sendiri memang ingin

memiliki. Ponsel tersebut ia gunakan untuk menghubungi keluarganya, teman-

temannya maupun pacarnya. Selain itu juga ia gunakan untuk menanyakan tugas

sekolah atau keperluan sekolah lainnya.

Ketika pertama kali membeli sebuah ponsel, Asdi mengutamakan desain

dan fiturnya. Ayahnya membebaskan untuk memilih ponsel yang akan ia gunakan
70

dan ayahnya pun sangat mendukung dengan tidak ragu untuk membelikan ponsel.

Ponsel pilihannya jatuh pada merek Nokia karena menurutnya merek tersebut

telah sangat lengkap dan terbukti awet. Fitur-fitur yang sering ia gunakan adalah

musik (MP3) dan koneksi internet online. Berikut ini cerita Asdi :

“Dulu waktu milih hp aku langsung suka sama hp-ku ini, soalnya menarik
aja waktu aku liat pertama kali. Langsung aja aku bilang sama ayah aku
mau hp itu. Di hp ini fiturnya juga udah lengkap banget buat aku, apalagi
aku suka online internet sambil dengerin lagu-lagu kesukaan aku”,
wawancara dengan asdi pada tanggal 18 September 2009.
Disini dapat kita lihat bahwa selain sebagai alat komunikasi, Asdi juga

sangat memperhatikan desain ponsel yang menarik agar ia tidak bosan dengan

ponselnya tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa ia memilih ponsel yang

menurutnya bagus agar dapat menarik perhatian orang lain yang melihatnya juga,

karena ponsel yang menarik itu biasanya adalah ponsel keluaran terbaru dengan

desain terbaru dan fitur-fitur yang bertambah canggih pula.

Dari wawancara di atas dapat diperoleh bahwa dari di antara ke 5 informan

dari SMA N 1 Sewon hanya 1 orang informan yang dapat dikatakan konsumtif,

terlihat dari latar belakang ekonomi keluarga menengah atas dan tipe pilihan

ponsel yang digunakan. Sedangkan ke 4 informan lainnya tidak konsumtif karena

mereka menggunakan ponsel benar-benar disebabkan oleh karena kebutuhan dan

latar belakang ekonomi keluarga yang menengah ke bawah. Terlihat dari pilihan

ponsel yang mereka gunakan masih tergolong ke dalam ponsel yang biasa, bukan

yang sedang menjadi tren atau bukan yang harganya mahal dan keluaran terbaru

dengan teknologi yang canggih. Sedangkan diantara ke 5 informan dari SMA

Muhammadiyah 2 Yogyakarta ada 3 orang informan yang konsumtif, terlihat dari

pilihan ponsel yang mereka gunakan yang rata-rata memilih ponsel dengan tipe
71

keluaran terbaru dengan teknologi canggihnya. Dan untuk ke 2 informan lainnya

tidak konsumtif, karena mereka memilih tipe ponsel yang digunakan berdasarkan

atas kebutuhannya, terlebih lagi dengan fitur-fitur yang ada dalam ponsel tersebut

sangat mereka butuhkan dan digunakan dengan maksimal. Walaupun untuk ke 5

informan dari SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta ini rata-rata berasal dari

keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas, tetapi yang terlihat di

lapangan tidak membuktikan bahwa semua informannya konsumtif.

B. Ponsel Sebagai Simbol Pencitraan Diri Remaja

Secara psikologis, masa remaja adalah masa transisi di mana seseorang

mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa, usia di mana anak tidak

lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada

dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Di masa

ini remaja mengalami proses pencarian identitas yang kuat yang dibarengi dengan

keinginan yang kuat akan pengakuan eksistensinya menjadi pemandangan yang

khas yang dapat temui dalam masa remaja. Selain itu di masa ini, seseorang juga

akan lebih memikirkan ulang jenis-jenis nilai tertentu yang harus diterima,

ditolak, maupun dipraktekkan dalam hidupnya. Dalam hal ini seseorang mulai

mencari identitas diri, keyakinannya sendiri, gaya penampilannya sendiri, nilai-

nilai dan perilakunya sendiri. Remaja di masa transisi ini cenderung untuk selalu

mengekspresikan diri untuk mendapatkan pengakuan di lingkungannya. Dan salah

satu bentuk tindakan yang mereka lakukan adalah dengan mengikuti tren yang

berkembang di lingkungannya saat itu. Remaja dipaksa untuk mengikuti tren


72

tersebut atas tuntutan lingkungan, tekanan kelompok sebaya, dan adanya

keinginan diri untuk diakui keberadaannya oleh orang lain.

Untuk mendapatkan pengakuan eksistensi dirinya, remaja membentuk

sebuah citra dalam dirinya untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain,

dengan cara mengkonsumsi citra yang ada melalui simbol-simbol. Simbol-simbol

tersebut bisa berupa penggunaan barang atau jasa serta gaya hidup tertentu yang

bisa meningkatkan status sosialnya, dalam hal ini simbol yang digunakan adalah

ponsel.

Ponsel dari awal kemunculannya hingga saat ini telah menjadi suatu

simbol status sosial bagi masyarakat. Dengan memiliki ponsel seseorang akan

dianggap berasal dari kalangan mampu karena pada awal kemunculannya, harga

sebuah ponsel dapat dikatakan sangat mahal dan hanya orang yang benar-benar

berasal dari golongan menengah atas saja yang bisa membelinya. Sehingga disini

sangat terlihat sekali bahwa ponsel dijadikan sebagai simbol status sosial untuk

mendapatkan pencitraan diri lebih di masyarakat.

Begitu pula yang terjadi di kalangan remaja, ponsel masih dianggap

sebagai simbol status sosial yang dapat memberikan citra lebih di lingkungannya.

Dengan memiliki ponsel keluaran terbaru maupun yang paling canggih, maka

mereka akan mendapatkan citra yang baik yang didapat dari ponsel yang mereka

miliki tersebut sebagai suatu simbol sosial. Semakin baru dan canggih tipe ponsel

yang digunakan seorang remaja, maka semakin tinggi juga status sosial yang ia

dapat dari lingkungannya. Remaja lain yang ada di sekitarnya rata-rata pasti

memandang bahwa ia berasal dari ekonomi menengah ke atas, tipe remaja modern
73

yang mengikuti tren atau gaya hidup yang ada. Disini dapat dilihat bahwa fungsi

ponsel sendiri telah berkembang atau telah mengalami pergeseran, tidak hanya

sebagai alat komunikasi tetapi juga bisa menjadi sebuah alat untuk memperkaya

simbol-simbol yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan status sosialnya.

Dengan demikian uang menjadi lebih berkuasa disini, seseorang yang mempunyai

uang yang lebih akan lebih leluasa untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk hal

yang bisa memperkaya simbol statusnya atau yang dapat memberikan citra lebih

bagi dirinya. Ini berarti mereka bersifat konsumtif seperti yang telah dijelaskan di

atas sebelumnya, karena tidak menggunakan barang sesuai dengan asas manfaat

ataupun asas prioritas.

Tetapi tidak di semua kasus remaja tersebut sebuah ponsel dijadikan

sebagai suatu simbol status sosial. Remaja yang tinggal di desa lebih cenderung

untuk tidak terlalu menganggap ponsel itu sebagai suatu simbol status sosial,

karena mereka memang menjadikan ponsel sebagai suatu kebutuhan untuk

berkomunikasi dan bukan sebagai suatu kepentingan atau kesenangan saja.

Walaupun beberapa remaja ada juga yang menjadikan sebagai suatu kepentingan

semata. Sedangkan remaja di kota lebih menjadikan ponsel sebagai suatu

kepentingan. Sehingga mereka memilih ponsel pasti dengan klasifikasi tertentu,

contohnya saja seperti mereka memilih ponsel yang sedang in saat ini atau sedang

menjadi tren di masyarakat.

Dari berbagai fenomena yang terjadi tersebut di kalangan remaja, berikut

akan digambarkan pengalaman masa remaja informan secara satu-persatu,

khususnya mengenai peran ponsel dalam kehidupan remaja sebagai suatu simbol
74

pencitraan diri, dan sikap yang dipilih oleh informan dalam menyikapi di

kehidupannya sebagai individu maupun di kehidupan sosialnya, terutama di

lingkungan remaja.

Yosi

Yosi adalah salah satu siswi kelas XII di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi menengah

ke atas, ia dibesarkan di keluarga yang dapat dikatakan telah berkecukupan.

Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, ia memiliki ponsel pertama kali pada

saat duduk di kelas V di sekolah dasar. Pada saat itu ia memakai ponsel dengan

alasan karena teman-teman di sekolahnya telah memiliki ponsel. Sehingga terlihat

sekali peran ideologi kelompok dan tekanan teman sebaya (peer group) sangat

mempengaruhinya pada saat itu. Ia merasa ada yang aneh ketika ia tidak memiliki

ponsel seperti teman-temannya saat itu. Berikut ini cerita Yosi :

“Waktu itu aku punya hp pertama kali itu kelas V SD, waktu itu aku udah
pengen banget punya hp karena teman-teman aku juga udah banyak yang
punya”, wawancara dengan Yosi pada tanggal 17 Oktober 2009.
Terlihat sekali bahwa lingkungan sekolah terutama teman-teman Yosi

sangat mempengaruhinya. Ideologi kelompok dan tekanan teman sebaya (peer

group) sangat memberikan dampak yang cukup efektif bagi ia saat itu. Melihat

teman-temannya memiliki ponsel, Yosi pun merasa bahwa ia juga harus memiliki

ponsel. Dan jika ia tidak mulai menggunakan ponsel saat itu, ia merasa seakan-

akan ketinggalan jaman dan kurang diterima di antara teman-temannya karena

belum memiliki ponsel.


75

Astrid

Astrid adalah salah satu siswi kelas XII di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi menengah

dan sangat berkecukupan. Sebelumnya telah diceritakan bahwa Astrid memiliki

ponsel pertama kali pada saat duduk di kelas IV di sekolah dasar. Pada saat itu ia

memakai ponsel dengan alasan karena orang tuanya membelikan ponsel sebagai

alat komunikasi untuk mengetahui keadaan anaknya.

Ponsel yang dimiliki oleh Astrid saat ini adalah Nokia tipe E63. Ia

memilih ponsel tersebut dengan alasan bahwa ponsel dengan model tersebut

sedang tren di masyarakat. Berikut ini cerita Astrid :

“Aku pengen banget kemarin punya hp yang keyped-nya qwerty, soalnya


lagi in banget sekarang”, wawancara dengan Astrid pada tanggal 17
Oktober 2009.
Dari wawancara dengan Astrid, dapat dilihat bahwa ia adalah seorang

remaja yang sangat mngikuti tren yang berkembang di masyarakat. Ini pun tidak

lepas dari peran media massa yang terus mengiklankan atau menawarkan tentang

produk ponsel terbaru tersebut yang memang sedang banyak digemari oleh

masyarakat, terlebih lagi di kalangan remaja.

Rizki

Rizki adalah salah satu siswi kelas X di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah, ia hidup di tengah keluarga yang berkecukupan. Rizki memiliki ponsel

pertama kali pada saat duduk di kelas IV di sekolah dasar. Saat itu ia memakai

ponsel karena orang tuanya yang membelikan ponsel tersebut untuk alat

komunikasi.
76

Rizki mengutamakan fitur atau fasilitas yang ada di dalam sebuah ponsel.

Ia Nokia karena ia sudah terbiasa memakai ponsel merek tersebut, pemakaiannya

pun mudah dan fitur-fitur yang ada pun bagus menurutnya. Fitur-fitur yang biasa

digunakan Rizki antara lain adalah koneksi internet, kamera dan musik. Berikut

ini cerita Rizki :

“Hp itu penting banget buat aku, selain alat komunikasi itu juga paling
sering aku pake buat kirim-kiriman lagu sama untuk foto-foto bareng
temen-temen”, wawancara dengan Rizki pada tanggal 17 Oktober 2009.
Seperti yang diceritakan di atas, ponsel bagi Rizki adalah sebuah sarana

hiburan atau atas kepentingan semata. Dengan memiliki ponsel tersebut ia tidak

merasa bahwa dirinya memiliki citra yang lebih, karena baginya masih banyak

teman-temannya yang memakai ponsel lebih bagus dari miliknya. Sehingga

baginya memiliki ponsel adalah sesuatu yang wajar di kalangan remaja.

Dio

Dio adalah salah satu siswa kelas X di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi menengah

ke atas, ia hidup dalam lingkungan keluarga yang sangat berkecukupan. Ia

menggunakan ponsel pertama kali saat kelas VI di sekolah dasar, dengan alasan

karena orang tuanya yang membelikan ponsel tersebut sebagai alat komunikasi.

Dio sangat mengutamakan merek ponsel yang dipilihnya. Ia menggunakan

Nokia karena pemakaiannya sangat mudah dan ponsel dengan merek Nokia ini

adalah salah satu merek bagus yang peminatnya banyak. Berikut ini cerita Dio :

“Pake hape Nokia itu gampang, udah gitu Nokia udah menang nama di
luar”, wawancara dengan Dio pada tanggal 17 Oktober 2009.
77

Dio disini menjadikan ponsel sebagai suatu kebutuhan, yaitu sebagai alat

komunikasi yang penting. Sedangkan untuk hal lain selain komunikasi pun ia

jarang, karena biasanya ia hanya menghubungi keluarganya untuk memberi kabar

dan menghubungi teman-temannya, itu pun juga hanya terbatas untuk masalah

sekolah atau hanya untuk membahas segala hal dengan teman-temannya.

Lely

Lely adalah salah satu siswi kelas XI di SMA Muhammadiyah 2

Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi menengah

ke atas. Ia hidup dalam keluarga yang sangat berkecukupan dalam segi materi,

sehingga apa yang inginkan hampir selalu dipenuhi oleh orang tuanya. Lely

memiliki ponsel pertama kali pada saat duduk di kelas VIII di sekolah menengah

pertama, dengan alasan sebagai alat komunikasi dengan keluarga dan teman-

temannya.

Lely sangat mengutamakan kualitas ponsel dan fitur yang ada di

dalamnya. Ia menginginkan ponsel dengan kualitas yang baik serta awet. Ponsel

yang ia gunakan saat ini adalah Nokia seri N70, karena di dalamnya terdapat fitur

video call dengan dual camera sehingga saat menelepon tidak hanya mendengar

suaranya saja tetapi kita juga dapat melihat orang yang kita telepon. Ia sangat

menyayangi ponselnya ini karena dengan ponselnya tersebut ia dapat mengobati

rasa rindunya dengan keluarganya yang jauh.

Penggunaan ponsel bagi Lely di sekolah tidaklah terlalu penting. Jika

sekolah pun ia justru tidak membawa ponsel, karena ia takut jika ponselnya hilang

dan itu juga dapat mengganggu sekolah menurutnya. Selain itu ponsel juga telah
78

menjadi hal yang umum di sekolahnya, karena hampir semua anak di sekolah

memilikinya. Berikut ini cerita Lely :

“Hp di sekolah malah bisa ganggu sekolah, udah gitu aku juga takut kalo
nanti hp aku malah ilang di sekolah”, wawancara dengan Lely pada
tanggal 17 Oktober 2009.

Disini terlihat bahwa Lely sangat mengutamakan ponsel sebagai alat

komunikasi bukan sebagai suatu simbol status sosial. Terlihat dari caranya

menggunakan ponsel yang hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan

keluarga dan teman-temannya. Selain itu ia juga tidak menggunakan ponsel saat

di sekolah.

Yogi

Yogi adalah salah satu siswa kelas XII di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Ia berasal dari keluarga yang bertingkat ekonomi menengah.

Walaupun seperti itu, ia tidak lantas dengan bebas dapat meminta apapun pada

orang tuanya. Orang tuanya pun juga mendidik untuk dapat membedakan mana

yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi kepentingan dalam hidupnya.

Berikut ini cerita Yogi :

“Orang tua sih pasti bakalan usahain ngasih kebutuhan anaknya kalo
emang penting, tapi aku sih masih mikir-mikir. Aku butuh hp buat
komunikasi dan itu penting. Jadi waktu milih hp aku juga harus benar-
benar milih hp yang bagus dengan harga yang terjangkau. Aku kasian juga
sama orang tua kalo harus beliin yang mahal banget”, wawancara dengan
Yogi pada tanggal 18 September 2009.
Yogi memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VIII di sekolah

menengah pertama, dengan alasan sebagai alat komunikasi dengan orang tua dan

teman-temannya. Ia sangat mengutamakan fitur-fitur yang ada di dalam sebuah

ponsel. Ia lebih suka dengan ponsel yang unik atau simple, pemakaiannya mudah
79

dan fitur yang didalamnya lengkap. Ia memiliki dua buah ponsel saat ini, dengan

alasan sebagai cadangan jika nanti ponsel utama yang ia gunakan itu rusak atau

hilang.

Dari wawancara tersebut dapat dilihat bahwa ponsel bagi Yogi

dimanfaatkan sebagai alat komunikasi yang penting dan sangat membantu dalam

kehidupannya. Walaupun di samping itu, ia juga memanfaatkan ponsel sebagai

salah satu hiburan alternatif yang sangat efisien. Baginya memiliki sebuah ponsel

saat ini adalah hal yang umum karena hampir semua orang memilikinya. Sehingga

ia pun tidak merasa bahwa ponsel itu sendiri sebagai salah satu simbol identitas

atau pencitraan diri, terutama bagi dirinya atau di kalangan remaja.

Hana

Hana adalah salah satu siswi kelas XI di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

bawah, ia pun di didik untuk dapat membedakan mana yang menjadi

kebutuhannya dan mana yang menjadi suatu kepentingan. Dengan memperhatikan

skala prioritas dan manfaat dari suatu barang atau benda.

Hana memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VIII di sekolah

menengah pertama. Pada saat itu ia menggunakan ponsel dengan alasan sebagai

alat komunikasi dengan keluarga, teman-teman maupun dengan orang lain. Ia

memilih untuk membeli ponsel dengan mengutamakan kualitasnya yang terjamin

dan awet serta fiturnya. Berikut ini cerita Hana :

“Hp ini buat aku penting banget, selain sebagai alat komunikasi juga aku
pake buat yang lain contohnya aja aku pake buat kalkulator kalo pas
pelajaran matematika atau untuk stopwatch gitu”, wawancara dengan Hana
pada tanggal 18 September 2009.
80

Dari hasil wawancara tersebut dapat kita lihat bahwa ponsel memiliki

peran yang sangat penting dalam hidup Hana. Ia tidak menjadikan ponsel sebagai

suatu simbol pencitraan dirinya. Karena baginya ponsel adalah alat komunikasi

jarak jauh yang sangat membantu kehidupannya. Selain itu juga memiliki fungsi-

fungsi sampingan yang lainnya, yang juga membantunya sehari-hari.

Hikma

Hikma adalah salah satu siswi kelas X di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah. Ia memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VII di sekolah

menengah pertama dengan alasan sebagai alat komunikasi dengan orang tua,

teman-teman dan orang-orang terdekatnya.

Hikma sangat mengutamakan kegunaan ponsel tersebut yang pada

dasarnya adalah alat komunikasi. Ia pun memilih ponsel dengan tipe R306 karena

menurutnya ponsel ini sangat praktis dalam penggunaannya. Fitur yang ia

utamakan pun hanyalah SMS karena menurutnya dengan mengirimkan pesan

tersebut lebih murah, praktis dan komunikasi yang ada pun tersampaikan. Berikut

ini cerita Hikma :

“Aku lebih suka hape yang simpel aja sih, kan aku pake hape itu buat
komunikasi jadi buat apa pake hape yang bagus tapi kalo gak bisa pake.
Hape yang aku punya sekarang ini juga enak banget, gampang cara pake-
nya trus udah gitu bentuknya simpel juga”, wawancara dengan Hikma
pada tanggal 18 September 2009.

Disini terlihat bahwa Hikma benar-benar mengutamakan ponsel sebagai

alat komunikasi. Dan ia pun sangat memaksimalkan dalam pemakaiannya,

terutama untuk berkomunikasi. Ia pun bukan tipe remaja yang menuntut untuk
81

selalu mengikuti perkembangan gaya hidup yang ada, terbukti dengan pemakaian

ponsel yang ia miliki sekarang. Ia membeli dan menggunakan suatu barang

dengan sangat memperhatikan asas manfaat dan prioritas yang ada. Selain itu ia

juga menganggap bahwa ponsel adalah barang atau benda yang tidak asing lagi di

masyarakat umum dan hampir dimiliki oleh semua orang.

Nanang

Nanang adalah salah satu siswa kelas XII di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah. Ia memiliki ponsel pertama kali saat duduk di kelas VIII di sekolah

menengah pertama dengan alasan sebagai alat komunikasi dengan keluarga dan

teman-temannya. Ia sangat mengutamakan harga dan merek dalam pemilihan

ponsel, dan ia pun memilih salah satu merek karena telah terbukti terkenal dan

awet. Dan di samping itu dengan harga terjangkau.

Kini Nanang memiliki dua buah ponsel karena ia memiliki dua buah

nomor yang memang sengaja dipilih karena kedua provider jaringan ponsel

tersebut murah tarifnya, terutama tarif SMS yang paling sering ia gunakan selama

ini untuk melakukan komunikasi dengan siapa pun. Berikut ini cerita Nanang :

“Aku sih biasa aja kalo liat teman-teman hp-nya bagus-bagus, aku
punyanya ya cuma kayak gini yang penting bisa dipake buat SMS dan
telepon itu aja”, wawancara dengan Nanang pada tanggal 18 September
2009.
Dari wawancara di atas terlihat bahwa Nanang sangat mementingkan

komunikasi. Sehingga ponsel pilihannya pun memang ponsel yang menurutnya

telah sangat membantunya berkomunikasi dan tidak terlalu peduli tentang masalah

fitur atau ponsel tersebut keluaran baru atau bukan. Dapat dikatakan bahwa
82

Nanang adalah remaja yang lebih memandang ponsel sebagai suatu kebutuhan

bukan suatu kepentingan, dengan tetap memperhatikan asas manfaat dan prioritas

yang ada.

Asdi

Asdi adalah salah satu siswa kelas XII di SMA Negeri 1 Sewon di

Kabupaten Bantul. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari ekonomi

menengah, mungkin hampir semua keinginannya maupun adiknya sebisa

mungkin dituruti oleh orang tuanya. Ia memiliki ponsel pertama kali saat duduk di

kelas VI di sekolah dasar, dengan alasan karena ia sendiri memang ingin memiliki

ponsel dan saat itu pun teman-temannya telah banyak yang menggunakan ponsel.

Ponsel ini sendiri ia gunakan untuk menghubungi keluarganya, teman-temannya

maupun pacarnya.

Asdi sangat mengutamakan desain dan fitur sebuah ponsel, karena bagi

dirinya dengan desain dan fitur yang menarik maka ia akan mendapatkan

kepuasan sendiri, walaupun harga ponsel tersebut nantinya cenderung mahal. Dan

disini pun bukan menjadi sebuah kendala besar bagi Asdi untuk memiliki ponsel

sesuai keinginannya karena ayahnya pun membebaskan dan mendukung ia untuk

memilih ponsel yang akan ia gunakan.

Bagi Asdi sendiri keberadaan ponsel sangat penting, karena ia merasa

kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya jika

tidak ada ponsel, terlebih lagi orang-orang terdekatnya. Untuk penggunaan ponsel

di sekolah, tidak terlalu penting baginya. Hal ini dikarenakan ponsel sendiri telah

menjadi barang yang sangat umum dan sudah biasa. Selain itu juga jika di sekolah
83

ia merasa bahwa ponsel ini hanya akan mengganggu proses belajar, bahkan

seringkali justru ponsel ini disalahgunakan dengan dipergunakan untuk

mencontek pada saat ujian sekolah. Berikut ini cerita Asdi :

“Hp itu penting buat aku, apalagi buat hubungi pacarku. Trus kalo di
sekolah sendiri sih nggak terlalu penting. Paling juga cuma buat online
atau malah buat nyontek”, wawancara dengan Asdi pada tanggal 18
September 2009.

Dalam kasus Asdi ini dapat dikatakan bahwa ia adalah remaja yang masih

menganggap bahwa ponsel ini sebagai suatu kepentingan. Ia tidak segan-segan

untuk meminta ponsel yang bagus dengan harga yang mahal kepada orang tuanya

karena yang penting ia merasakan suatu kepuasan, baik materiil maupun non-

materiil, dengan memiliki ponsel baru pilihannya tersebut.

Penggunaan ponsel pada remaja kota dan desa memiliki perbedaan sendiri.

Untuk remaja yang ada di kota, secara global lebih cenderung fungsional yaitu

mereka menggunakan ponsel atas dasar kebutuhan. Sedangkan remaja yang ada di

desa lebih cenderung struktural yaitu mereka menggunakan ponsel atas dasar

motif-motif tertentu, terutama sebagai simbol-simbol pencitraan diri di

lingkungannya. Tetapi kecenderungan tersebut juga tidak dapat dijadikan

indikator pasti bahwa remaja desa lebih struktural dan remaja kota lebih

fungsional.
BAB IV

KEMUNCULAN KOMUNITAS DARI PENGGUNAAN PONSEL

A. Perkembangan Teknologi Internet Dalam Ponsel

Ponsel merupakan produk teknologi yang semakin umum dengan

kehidupan sehari-hari manusia, dari kalangan apapun dan dari segala jenis umur.

Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya pengguna ponsel di Indonesia.

Meningkatnya pengguna ponsel ini menandakan bahwa ponsel tidak lagi dianggap

sebagai barang mewah. Konsumen pengguna ponsel telah menjadikan produk ini

sebagai salah satu kebutuhan hidup. Peningkatan jumlah pengguna ponsel ini pun

menyebabkan tingkat persaingan antar produsen ponsel semakin tinggi. Mereka

dituntut pintar memprediksi perilaku konsumennya untuk memenangkan pasar.

Oleh karena itu, vendor-vendor itu berlomba-lomba untuk mengoptimalkan

produk yang mereka hasilkan.

Teknologi komputer pun mulai masuk ke dalam sebuah ponsel. Kini

dalam sebuah ponsel terdapat dua hal penting yang saat ini digemari oleh

masyarakat kebanyakan. Satu berfungsi sebagai alat komunikasi suara, dan yang

lainnya berfungsi sebagai alat komunikasi data (modem). Terlebih lagi sejak

kehadiran teknologi GPRS sebagai sambungan koneksi internet melalui ponsel.

Tapi kebanyakan dari pengguna ponsel hanya memanfaatkan ponsel sebagai

medianya tanpa dikoneksikan ke komputer. Hal ini disebabkan oleh karena jika

ponsel digunakan sebagai modem pada PC/notebook, pengguna bisa terseret pada

biaya yang mahal sebab tarif dihitung per kilobyte data yang ditransfer.

84
85

Internet merupakan jaringan global, yang artinya semua pemakai atau

pengguna internet di seluruh dunia dapat saling terhubung dengan cepat. Internet

sendiri berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi dan komunikasi yang

digunakan hampir semua orang sebagai alternatif termudah dan tercepat. Internet

menghilangkan ‘jarak’ antar sesama manusia di planet bumi ini. Terutama di

kalangan remaja, dewasa ini mereka tidak asing lagi dengan istilah cakupan

internet, seperti e-mail, browsing, chatting, website, blog, dan sebagainya. Oleh

karena itu, internet sudah bukan lagi barang yang asing. Setiap saat mereka dapat

mengakses karena bermunculan warnet (warung internet) yang menyediakan jasa

pelayanan akses internet. Hal ini merupakan perkembangan yang

menggembirakan karena mereka dapat memperoleh informasi untuk memperluas

wawasan dalam berbagai bidang.

Dalam dunia pendidikan juga memanfaatkan teknologi internet, baik di

sekolah maupun lembaga formal dalam kegiatan belajar atau pembuatan tugas-

tugas sekolah atau kuliah. Melalui internet ini mereka dapat memperoleh

informasi yang di dalamnya hampir dapat dikatakan tidak ada batasnya, baik

informasi di bidang agama, seni, politik, pendidikan, maupun film bahkan situs

pornografi, kekerasan, rasialisme, maupun berita-berita lainnya.

Seiring dengan perkembangannya, teknologi internet mulai masuk ke

dalam ponsel. Produsen pun sangat menyadari bahwa mereka harus melakukan

inovasi baru dengan produknya agar konsumen tetap mengkonsumsi. Awalnya

yang menjadi fasilitas utama dari sebuah ponsel adalah layanan telepon dan SMS,
86

hingga akhirnya kini teknologi komputer atau internet telah masuk ke dalam

sebuah ponsel. Teknologi tersebut adalah pengaplikasian teknologi komputer

dalam sebuah ponsel dengan menggunakan teknologi GPRS. Dengan teknologi

GPRS ini, kita dapat melakukan hal-hal yang hampir sama seperti yang kita

lakukan koneksi internet di komputer, misalnya saja seperti membuka e-mail,

membuka website atau blog, browsing, chatting dan sebagainya.

Dalam penelitian ini pun dapat terlihat bahwa fitur yang paling sering

digunakan oleh remaja dari sebuah ponsel adalah fitur koneksi internet dengan

teknologi GPRS. Hampir setiap waktu luang yang ada mereka gunakan untuk

mengakses internet dari ponsel mereka untuk mengunjungi website atau situs

kesukaan mereka. Website atau situs yang sering dibuka di kalangan remaja

dengan menggunakan ponsel ini antara lain adalah situs jaringan pertemanan yang

sedang marak saat ini atau aplikasi chatting yang sangat banyak jenisnya. Selain

itu dari hasil wawancara yang didapat di lokasi penelitian, peneliti juga

menemukan bahwa selain sebagai alat komunikasi yang efisien, ponsel juga telah

membentuk suatu komunitas baru di kalangan remaja dan bahkan telah

berkembang semakin besar. Dan hampir semua remaja, terutama informan dalam

penelitian ini, memanfaatkan teknologi koneksi internet melalui ponsel ini.

Mereka menggunakan teknologi tersebut dengan tujuan sebagai hiburan di saat

mereka bosan atau di waktu luang mereka.


87

B. Komunitas Dalam Dunia Ponsel

Komunitas ada di seluruh lapisan sosial masyarakat. Seseorang tidak

hanya masuk di dalam satu komunitas saja, ia akan terlibat di beberapa komunitas

yang ada di lingkungannya. Sehingga ia akan banyak melakukan interaksi baik

langsung maupun tidak langsung dengan berbagai jenis orang. Demikian pula

yang terjadi di kalangan remaja. Remaja sebagai usia transisi yang cenderung

ingin diakui keberadaannya, pasti terlibat dalam beberapa komunitas yang ada di

lingkungannya. Karena bagi mereka dengan terlibat di beberapa komunitas

tersebut, keberadaan mereka akan diakui di kalangan remaja atau teman-

temannya.

Istilah “komunitas” sendiri berasal dari kata bahasa latin “communitas”

yang diartikan sebagai “persekutuan”. Victor Turner lebih suka menggunakan

kata latin “communitas” daripada community (masyarakat) dalam bahasa sehari-

hari. Komunitas lebih dilihat sebagai cara relasi sosial antar pribadi yang konkret

atau yang langsung. Hubungan yang terjadi adalah hubungan yang lain dengan

hubungan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-

hari di kalangan remaja terdapat beragam komunitas yang muncul dan

berkembang. Mulai dari yang ada di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah

hingga lingkungan bermain mereka.

Komunitas di kalangan remaja itu sendiri biasanya dijadikan sebagai

wadah atau tempat bagi mereka untuk pencarian identitas diri dan tempat bagi

mereka untuk melakukan komunikasi dengan orang lain, melakukan pertukaran

informasi, pengetahuan, gaya hidup, trend atau hal lain yang biasanya sedang
88

berkembang di kalangan remaja. Dan di dalam komunitas-komunitas itulah

nantinya remaja akan mulai memilih-milih identitas yang mereka anggap tepat

untuk dirinya.

Komunitas yang ada di kalangan remaja sangat beragam, bermunculan

seiring perkembangan individu dan perkembangan jaman yang ada. Pada dasarnya

perkembangan individu mengikuti pola perluasan ketergantungan antar dirinya

dengan orang lain. Dalam masa pertumbuhan seorang individu sejak anak-anak

lingkup pergaulan sosialnya akan semakin luas. Dari lingkup pergaulan rumah,

lalu ke lingkup pergaulan formal di sekolah, untuk selanjutnya diperluas dengan

adanya teman sebaya, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan teman

sekolah.

Lingkungan pergaulan sendiri sangat mempengaruhi pembentukan

identitas individu karena mereka berhubungan dengan banyak orang di dalam

kehidupannya. Lingkungan adalah area di mana seseorang bersosialisasi dan

berinteraksi dengan orang lain yang bisa mencakup lingkungan tempat tinggal,

lingkungan sekolah, maupun lingkungan kerja. Dari interaksi ini mengakibatkan

adanya pertukaran informasi atau komunikasi, pengetahuan, gaya hidup dan hal

lain yang dapat mempengaruhi pergaulan dalam bersikap dan bertingkah laku

seorang individu.

Teknologi koneksi internet yang ada dalam sebuah ponsel tersebut

dimanfaatkan oleh remaja untuk berselancar di dunia maya. Mereka kebanyakan

menggunakan teknologi koneksi internet dengan GPRS ini untuk membuka


89

website-website kesukaaan atau website-website yang sedang menjadi trend di

kalangan mereka, misalnya saja website atau situs jaringan pertemanan sosial.

Website atau situs pertemanan yang sedang marak saat ini adalah facebook

yang akun anggotanya telah mencapai jutaan orang di seluruh penjuru dunia.

Facebook ini diciptakan atas dasar agar siapapun dapat menemukan orang yang

dicarinya dengan mudah yaitu dengan memasukkan nama orang yang di carinya.

Bentuk tampilan dari facebook ini berupa data diri si pemilik akun dan foto-foto

yang menampilkan si pemilik. Selain itu si pemilik juga dapat saling berkirim

pesan maupun pesan dinding yang dapat di baca oleh semua orang. Pada awalnya

facebook mungkin hanya sebatas pada teman-teman yang dikenal saja oleh si

pemilik. Tapi lambat laun telah berkembang dengan sendirinya, siapa pun berhak

dan dapat mencari teman baru dengan facebook ini. Sehingga jaringan pertemanan

seseorang pun dapat bertambah semakin besar.

Selain facebook masih terdapat aplikasi chatting yang banyak digunakan

oleh orang-orang, terlebih di kalangan remaja. Diantara banyak aplikasi tersebut

yang paling kerap digunakan oleh remaja selain facebook, antara lain adalah :

1. eBuddy

Ebuddy adalah aplikasi media messenger yang mendukung banyak

aplikasi messenger populer seperti MSN, Yahoo!, AIM dan Google Talk.

Ebuddy dapat digunakan dalam berbagai jenis dan tipe ponsel. Jika

memiliki beberapa akun Messenger, nantinya tidak perlu menginstall


90

Yahoo Messenger, Windows Messenger, Google Talk, atau AIM satu

persatu, karena cukup menggunakan eBuddy untuk semua akun yang

dimiliki.

2. MXit

MXit adalah aplikasi messenger yang bekerja pada ponsel. Aplikasi ini

memungkinkan untuk mengirim dan menerima pesan teks ke dan dari

ponsel dan juga dari PC/komputer. Pesan-pesan ini dikirim dan diterima

via internet mobile, dan tidak melalui teknologi SMS standar.

3. Mig33

Mig33 adalah sebuah komunitas chatting untuk ponsel. Kelebihan dari

mig33 adalah terdapat menu chat room, mail, dan private chat. Selain itu

juga bisa melihat profil orang lain, mengupload foto dan mengedit profil

yang dimiliki. Fasilitas lain yang membuat mig33 semakin menarik adalah

menu ‘kick user’ yang dapat digunakan dalam chat room untuk mengusir

perusuh dalam chat room.

4. Yamee

Yamee adalah aplikasi ponsel yang menggantikan Yahoo Messenger di

PC/komputer. Aplikasi ini terhubung langsung dengan server YM. Tapi

kekurangan Yamee adalah hanya bisa online dengan satu akun saja dan

belum menggunakan bahasa Indonesia.


91

5. Yehba

Yehba adalah salah satu jenis aplikasi hanhphone berbasis java atau biasa

disebut J2ME. Fasilitas yang dimiliki YehBa adalah chatting, multi-user

chat, presence, group/broadcast messaging, low-bandwidth requirements,

customizable alerts and tones (nada chat), emoticons, message history, dan

PC style messaging.

6. YMTiny

YMTiny ini asli buatan Indonesia. Tampilannya sangat mirip dengan YM

di komputer. Selain itu YMTiny ini tidak boros pulsa. Fasilitas yang

dimiliki YMTiny adalah : settable message alerts, sound (midi), vibrate,

flash backlight, open IM window, bitmap fonts for consistent GUI, “smart

ping” maintains connection and minimizes bandwidth usage, receives

offline messages, new mail and typing notifications, set status and custom

status, view a friend’s status, show and hide offline friends, send and

receive BUZZ!!!, run in background and auto-restore, window and scroll

animations, stylus support, emoticons, dan data counter.

Website maupun aplikasi chatting tersebut telah membentuk suatu

komunitas yang sangat berkembang dengan cepat. Dengan adanya aplikasi

chatting tersebut di dalam ponsel telah menjadi alternatif hiburan baru bagi siapa

pun, terlebih lagi di kalangan remaja. Mereka dapat memperluas jaringan

pertemanan mereka di dunia maya ini dengan chatting, selain itu mereka juga
92

dapat melakukan percakapan secara tidak langsung karena harus melalui media,

dalam hal ini adalah ponsel. Biaya yang dibutuhkan pun sangat relatif murah. Hal

ini tentunya harus didukung oleh pilihan jenis ponsel tertentu yang memiliki

teknologi GPRS yang telah dijelaskan sebelumnya di atas. Dengan aplikasi

chatting tersebut, mereka dapat melakukan komunikasi setiap saat kapan pun,

dimana pun dan dengan siapa saja. Chatting murah dengan ponsel ini langsung

merebak di masyarakat, apalagi di kalangan remaja.

Dalam penelitian ini tidak seluruh informannya ikut atau masuk ke dalam

komunitas ponsel yang ada. Hanya beberapa remaja saja yang masih mengikuti

komunitas ponsel tersebut. Ada 5 orang informan, seperti Asdi, Hana, Lely, Dio

dan Rizki tidak masuk ke dalam komunitas ponsel yang ada karena ikut ke dalam

komunitas-komunitas tersebut karena memang tidak menyukai dan justru malah

merugikan dengan membuang uang saja menurut mereka. Berikut ini cerita Lely :

“Aku nggak pernah ikutan komunitas ponsel itu, soalnya buat aku nggak
penting sih. Udah gitu juga nggak ada untungnya, malah buang-buang
uang”, wawancara dengan Lely pada tanggal 17 Oktober 2009.

Disini terlihat bahwa mereka memang tidak terlalu menyukai komunitas ponsel

yang ada, terutama yang berasal dari dunia maya. Mereka lebih nyaman untuk

menggunakan ponsel yang mereka miliki benar-benar sebagai sarana komunikasi

dengan orang-orang yang mereka kenal atau sebagai hiburan saja.

Sedangkan 3 orang informan yang lain, seperti Astrid, Yosi dan Yogi

memang telah mengikuti komunitas ponsel yang ada. Mereka masuk ke dalam

komunitas ponsel tersebut dengan alasan karena pada saat itu memang sedang

menjadi trend di kalangan remaja, kebanyakan teman-teman di sekitarnya pun


93

juga menggunakan. Selain itu mereka juga menjadikan komunitas ponsel yang ada

tersebut sebagai suatu hiburan yang menyenangkan, karena dengan begitu mereka

dapat menambah teman yang banyak dan berasal dari berbagai daerah di dunia ini.

Berikut ini cerita Yogi :

“Aku memang ikut masuk ke dalam komunitas ponsel yang ada sekarang,
tapi itu juga cuma untuk hiburan aja. Aku juga bisa dapat banyak teman-
teman baru dari daerah lain dan juga bisa dapet informasi tentang segala
hal dari teman-teman baru itu. Walaupun mungkin memang agak mahal
pulsa yang aku pake buat online”, wawancara dengan Yogi pada tanggal
18 September 2009.

Disini terlihat bahwa mereka merasakan kepuasan diri dengan masuknya ke dalam

komunitas ponsel yang ada saat ini. Walaupun demi kepuasan itu mereka harus

mengalokasikan sebagian keuangannya untuk digunakan membeli pulsa. Selain

itu dalam komunitas ponsel ini juga terdapat interaksi yang terjadi di antara

penggunanya, baik interaksi langsung maupun yang tidak langsung. Contohnya

saja seperti sebatas chatting biasa melalui ponsel atau bahkan hingga bertatap

muka atau bertemu langsung.

Berbeda dengan 2 informan yang lain, yaitu Nanang dan Hikma, mereka

memang masuk ke dalam komunitas ponsel. Tetapi komunitas ponsel yang

mereka masuki adalah komunitas yang dibentuk oleh jaringan provider yang

mereka gunakan. Mereka memilih masuk ke dalam komunitas tersebut karena

tarif yang diberikan oleh jaringan provider tersebut lebih murah untuk

berkomunikasi. Berikut ini cerita Hikma :

“Aku ikutan IM3 Group soalnya kalo buat komunikasi jadi lebih murah
tarifnya”, wawancara dengan Hikma pada tanggal 18 September 2009.
94

Mereka memilih masuk ke dalam komunitas ponsel yang dipilih tersebut dengan

tujuan agar komunikasi yang mereka lakukan dengan orang-orang penting

disekitarnya berjalan dengan lancar dan lebih hemat. Tetapi di samping itu,

terdapat kerugian dengan masuk ke dalam komunitas ponsel yang dibentuk oleh

jaringan provider yang mereka gunakan. Kerugiannya adalah tarif yang ditetapkan

tersebut hanyalah berlaku dengan sesama jaringan provider yang mereka gunakan

dan juga terbatas bagi beberapa orang yang telah dimasukkan ke dalam grup

tersebut.

Dari wawancara-wawancara tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan

ponsel dengan teknologi GPRS untuk remaja di kota telah membentuk suatu

komunitas baru. Terbukti dengan ke 5 informan remaja kota yang ada, semuanya

menggunakan ponsel yang di dalamnya terdapat teknologi GPRS. Bahkan pilihan

ponsel yang mereka gunakan pun adalah tipe ponsel keluaran terbaru dengan

teknologi canggih dan harganya mahal untuk kalangan remaja yang pada dasarnya

mereka belum memiliki pendapatan atau pekerjaan sendiri. Sedangkan untuk ke 5

informan remaja desa yang ada, hanya 1 orang yang ikut masuk ke dalam

komunitas ponsel dengan teknologi GPRS. Sehingga disini komunitas ponsel

yang terbentuk di lingkungan remaja kota belum tentu terbentuk juga di

lingkungan remaja desa. Hal ini disebabkan masih kurangnya introduksi tentang

teknologi di lingkungan remaja desa. Disamping itu dalam penelitian ini juga

terlihat bahwa antara mereka, remaja kota dan desa, yang konsumtif maupun tidak

konsumtif juga mengikuti komunitas yang sama. Terutama komunitas yang


95

terbentuk di dalam dunia ponsel, seperti komunitas jaringan pertemanan maupun

komunitas chatting yang telah terbentuk.

Peneliti juga mendapatkan suatu hal baru dari penelitian ini. Terlihat

bahwa saat ini tempat-tempat bergaul atau hiburan di dunia nyata mulai tidak

nyaman dan aman, pergaulan di dunia maya menjadi subjek selanjutnya. Bahkan

kemungkinan hal tersebutlah yang menjadi sebab sebagai alasan utama remaja

mulai melirik komunikasi dengan teman-temannya melalui internet. Kebanyakan

remaja menggunakan internet untuk berhubungan dengan kawan-kawan

sekolahnya daripada orang asing. Selain itu juga terdapat sebuah pendapat pada

pertemuan tahunan Asosiasi Sains lanjutan Amerika di St. Louis, Missouri,

Cassell bahwa membatasi anak-anak yang mulai memasuki usia remaja di depan

komputer hanya akan mempersempit ruang geraknya di komunitas sosial. Disini

nantinya justru peran orang tua sangatlah penting, terlebih dengan rasa ingin tahu

remaja yang sangatlah besar dan mereka memasuki komunitas di dunia maya

tanpa adanya pendampingan. Bahkan banyak di antara remaja yang ada kaget

dengan kenyataan semu yang mereka dapatkan di dunia maya. Oleh karena itu,

orang tua harus terus mengingatkan potensi ancaman dan kejahatan yang dapat

berawal dari dunia maya ini, sebab interaksi yang terjadi di internet tidak

selamanya aman.
BAB V

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif dan

konsumerisme telah masuk ke dalam dunia remaja, terutama dalam

mengkonsumsi ponsel. Tetapi disini terdapat beberapa hal yang menjadi

perbedaan di antara keduanya. Untuk remaja desa, konsumerisme memang mulai

masuk tetapi masih terdapat kontrol sosial yaitu keluarga yang mendidik mereka

bahwa mengkonsumsi suatu barang itu harus dipikirkan dahulu dengan

pertimbangan segala hal, terutama latar belakang ekonomi keluarga. Karena

remaja sendiri belum memiliki pendapatan dan masih tergantung kepada orang

tua. Sedangkan untuk remaja kota, mereka cenderung untuk lebih konsumtif

karena rata-rata latar belakang ekonomi keluarganya berasal dari menengah ke

atas. Sehingga untuk pemenuhan kebutuhannya akan lebih mudah untuk

diwujudkan.

Disinilah terlihat teori Baudrillard yang melihat konsumerisme sebagai

logika untuk kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena

kebutuhan masyarakat, tetapi lebih cenderung pada pemuasan keinginan mereka.

Praktek-praktek konsumsi yang ada kini telah menjadi bagian dari gaya hidup.

Baudrillard juga berpendapat bahwa konsumsi yang ada saat ini lebih menjadikan

seluruh hal sebagai objek konsumsi. Melalui objek-objek ini seseorang dalam

masyarakat konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya. Fungsi utama

objek-objek konsumer tersebut bukan lagi pada kegunaan atau manfaatnya, tetapi

96
97

lebih pada fungsi sebagai nilai-nilai atau simbol-simbol. Kebutuhan masyarakat

lebih cenderung dilandasi oleh nilai-nilai prestise, life style dan citraan dari pada

nilai utilitas.

Perilaku konsumtif terhadap ponsel ini telah membentuk komunitas baru

di masyarakat, terutama dengan fitur teknologi GPRS yang ada. Salah satu

komunitas yang muncul akibat dari penggunaan ponsel yang marak di kalangan

remaja adalah komunitas ponsel, yaitu komunitas facebook dan komunitas

chatting maupun komunitas keremajaan lain yang ada di lingkungan sekitar

remaja tersebut. Untuk di lingkungan remaja kota, komunitas ponsel itu telah

terbentuk. Tetapi berbeda dengan di lingkungan remaja di desa, komunitas ponsel

tersebut belum terbentuk karena dari informan remaja desa yang ada hanya satu

orang yang menggunakan teknologi GPRS dan mengikuti komunitas ponsel yang

ada. Di samping itu tidak menutup kemungkinan juga jika nantinya di lingkungan

remaja desa pada akhirnya terbentuk komunitas baru seperti yang telah terbentuk

di lingkungan remaja di kota. Oleh karena itu, diharapkan nantinya ada penelitian

selanjutnya yang akan membahas tentang kelanjutan kemunculan komunitas baru

tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, Jean P., 2004, Masyarakat Konsumsi, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Barker, Chris, 2004, Cultural Studies Teori dan Praktik, Kreasi Wacana,

Yogyakarta.

Chaney, David, 2003, Lifestyles Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra,

Yogyakarta.

Dimyati, Khudzaifah-Kelik Wardiono, 2001, Problema Globalisasi : Perspektif

Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama, Muhammadiyah University

Press, Surakarta.

Ibrahim, Idi Subandy (Editor), 2004, Lifestyle Ecstassy Kebudayaan Pop Dalam

Masyarakat Komoditas Indonesia Edisi Kedua, Jalasutra, Yogyakarta.

Moleong, J. Lexy. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya

Moleong, Lexy J., 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Piliang, Yasraf Amir, 2004, Postrealitas, Jalasutra, Yogyakarta.

Redana, Bre, 2002, Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan Massa, LSPP,

Jakarta.

Soedjatmiko, Haryanto, 2008, Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi

dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris, Jalasutra, Yogyakarta dan

Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Remadja Karya, Bandung.


Situs :

www.bagansiapiapi.net, Ahong, Sejarah Perkembangan Telepon Seluler dan

Perkembangan Teknologi.

www.detiknet.com, Oki Rosgani, Telepon Seluler Ulang Sejarah PC?.

http://adln.lib.unair.ac.id

sosiologibudaya@yahoogroups.com.

www.lampungpost.com, diakses 21 Agustus 2009.

http://prayudi.staff.uii.ac.id/2008/09/22/karakteristik-masyarakat-desa/, Diakses

21 Agustus 2009.

http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=67, Sigit Kurniawan, Perang

Melawan Konsumerisme, diakses 21 Agustus 2009.

http://learning-of.slametwidodo.com/?s=sosiologi, Slamet Widodo, Masyarakat

Samin Di Tengah Arus Modernisasi : Transformasi Pertanian Pasca

Revolusi Hijau, diakses 21 Agustus 2009.

http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102%3Aopini&id=310

%3Abudaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333, JJ

Amstrong Sembiring, Budaya Konsumerisme, diakses 21 Agustus 2009.

www.mediaindonesia.com, Gangguan Emosi Ponsel Mania, diakses 9 September

2009.
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Handphone%20bagi%20Kehidupa

n%20Remaja&&nomorurut_artikel=373, Sandi Tias, Handphone Bagi

Kehidupan Remaja, diakses 9 September 2009.

http://sarwono.staff.uns.ac.id/2009/03/06/fenomenologi-dan-hermeneutika-4/,

diakses 12 September 2009.

http://m.indosat.com, diakses 12 September 2009.

http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=34, diakses 16

Oktober 2009.

www.smuha-yog.sch.id, diakses 16 Oktober 2009.

http://smasewon.net, diakses 31 Oktober 2009.

http://kupinet.com/index.php?action=printpage;topic=29.0, diakses tanggal 3

November 2009.

BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jalan Ring Road Barat Yogyakarta,

Telp (0274) 373322, Fax 2008-08-07, Updated: 25-5-2009.


LAMPIRAN
Interview Guide

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Sekolah/Kelas :

Alamat Yogyakarta :

Alamat Orangtua :

1. Apa pekerjaan orang tua anda? Berapa penghasilan orang tua anda dalam

satu bulan? Berapakah jumlah tanggungan orang tua anda di rumah?

2. Berapa rata-rata jumlah uang saku anda dalam satu bulan? Berapakah rata-

rata pengeluaran anda dalam satu bulan?

3. Apakah ponsel penting bagi anda? Mengapa?

4. Kapan pertama kali anda memiliki ponsel? Dan alasan apakah yang

mendorong anda untuk membeli ponsel saat itu?

5. Apakah yang anda lihat pertama kali saat membeli ponsel?

6. Apakah merek ponsel yang anda gunakan? Apa alasan anda memilih

merek tersebut?

7. Jika ponsel yang anda gunakan hilang atau mengalami kerusakan hingga

tidak dapat digunakan, apakah anda merasa kesulitan? Mengapa?

8. Berapakah jumlah ponsel yang anda miliki saat ini? Jika lebih dari satu,

ponsel tersebut digunakan untuk apa saja?

9. Berapa rata-rata pulsa yang anda gunakan dalam satu bulan? Berapa lama

pulsa tersebut habis?


10. Siapakah yang paling sering anda hubungi selama menggunakan ponsel

dan untuk urusan apa?

11. Apakah dengan adanya ponsel anda merasa kehidupan anda menjadi lebih

mudah atau sebaliknya? Mengapa?

12. Dari semua fitur atau layanan yang ada dalam ponsel yang anda miliki,

manakah yang paling sering anda gunakan? Mengapa?

13. Apakah bagi anda ponsel menjadi suatu suatu barang yang sangat penting

di sekolah? Mengapa?

14. Apakah semua teman-teman anda di sekolah memiliki ponsel? Apakah

lebih banyak yang menggunakan atau yang tidak menggunakan?

15. Seberapa seringkah anda menggunakan ponsel di sekolah? Dan digunakan

untuk apa saja?

16. Apakah dengan penggunaan ponsel di sekolah mengganggu kegiatan

belajar anda?

17. Apakah ada kepuasan tersendiri saat anda memiliki dan menggunakan

ponsel di sekolah (merasa lebih di antara teman-temannya di sekolah)?

18. Apakah anda masuk ke dalam kelompok atau komunitas yang terbentuk

dari keberadaan ponsel tersebut? Jika iya, kelompok atau komunitas

apakah itu?

19. Mengapa anda memutuskan untuk masuk ke dalam kelompok atau

komunitas tersebut (atas dasar apa masuk ke kelompok atau komunitas

tersebut)?
20. Apakah keuntungan dan kerugian yang anda rasakan dengan ikut

bergabung di kelompok atau komunitas tersebut?

21. Apa sajakah bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam kelompok atau

komunitas yang anda ikuti tersebut (bentuk kegiatan konkret yang ada

dalam kelompok)?

Anda mungkin juga menyukai