Anda di halaman 1dari 21

TUGAS BESAR 2

KELAS KEWARGANEGARAAN UMB


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan
DOSEN PENGAMPU: Anton Kurniawan, SP., MM
MANFAAT OTONOMI DAERAH PEDESAAN

Disusun oleh:
Stella Angelica - 43218110099

AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa yang


melimpahkan kesehatan untuk menyelesaikan makalah untuk
memenuhi tugas Kewarganegaraan yaitu “Manfaat Otonomi Daerah
Pedesaan” ini sehingga dapat dibaca dan dimengerti.

Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu dalam bentuk materiil, spiritual, sumbangan pikiran atau
berupa apapun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat di kehidupan
masyarakat baik bagi para penulis maupun pembaca.

Dalam pembuatan Makalah ini, saya selaku penyusun yang


masih dalam tahap pembelajaran menyadari akan banyaknya
kekurangan atau kesalahan, maka dari itu kami mengharapkan
masukan dan saran ataupun koreksi demi perbaikan berikutnya.

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998,
banyaknya perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari
desentralisasi kekuasaan pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara
sungguh‐sungguh merealisasikan konsep otonomi daerah secara jujur, penuh
kerelaan dan konsekuen mengingat wacana dan konsep otonomi daerah memiliki
sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini. Menurut aspek
yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai
dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan
menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat
para penyelenggara pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi
daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum seringkas dan selugas
otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga
(Marbun, 2005:45).
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri
dari provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan
memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk
memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk lebih memajukan
daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah, peran aktif masyarakat
di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi tersebut. Otonomi
daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah yang mencoba
merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini,
diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi
ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi
pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga
muncul formulasi dan model pembangunan daerah yang efisien dan
terdesentralisasi.
Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan
di era Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama
kali diturunkan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan  UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat memberikan
keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan memanajemen potensi
yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah daerah.
Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan
bahwa:
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
Pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam
undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada
intinya adalah untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan
urusan Pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi
terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan
kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara
pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah.
Sungguhpun demikian, selama kurun waktu hampir satu dasa warsa pelaksanaan
otonomi daerah pasca Reformasi 1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi,
kewenangan dan tanggung jawab serta implementasi dari regulasi‐regulasi yang
telah ditetapkan.
Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada
dasarnya merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat
sering terjadi kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut
dikarenakan masih minimnya pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau
mungkin karena kurang siapnya baik itu masyarakat atau pemimpin daerah dalam
menjalankan proses otonomi daerah. Berangkat dari kenyataan‐kenyataan
tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna otonomi daerah,
baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi ketertarikan
penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat
judul “Otonomi Daerah di Indonesia Pada Masa Reformasi”.

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, terdapat
beberapa permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penulisan makalah ini.
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah “Bagaimana
Pelaksanaan Otonomi Daerah pada Masa Reformasi?”. Untuk memudahkan dan
mengarahkan dalam pembahasan, penulis mengidentifikasi beberapa
permasalahan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang munculnya Otonomi Daerah?
2. Bagaimana implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik, ekonomi
dan pendidikan pada masa Reformasi?
3. Bagaimana permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi
dalam otonomi daerah pada masa Reformasi?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan
makalah ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun yang menjadi
tujuan umumnya yaitu bermaksud untuk memperoleh informasi mengenai
pelaksanaan otonomi daerah pada masa Reformasi. Sedangkan tujuan khusus dari
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya Otonomi Daerah.
2. Untuk mengidentifikasi implikasi kebijakan otonomi daerah di bidang politik,
ekonomi dan pendidikan pada masa Reformasi.
3. Untuk menganalisis permasalahan dan upaya mengatasi masalah yang terjadi
dalam otonomi daerah pada masa Reformasi.

D. Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat, baik bagi penulis maupun yang membacanya. Bagi penulis
sendiri sebagai sarana untuk memperluas ilmu, wawasan serta pengalaman dalam
melakukan suatu penulisan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai landasan awal
untuk penulisan selanjutnya. Bagi pembaca dapat memberikan informasi
mengenai otonomi daerah yang terjadi di indonesia baik dalam bidang politik,
ekonomi maupun pendidikan pada masa era Reformasi. Bagi Jurusan Pendidikan
Sejarah, dapat memperkaya referensi tentang penulisan sejarah. Dan lebih luasnya
bagi Universitas Pendidikan Indonesia, sebagai pelengkap dalam memperkaya
khasanah keilmuan dan melengkapi kepustakaan karya tulis ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HAKIKAT OTONOMI DAERAH


Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian,
otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan dan kemandirian. Otonomi
daerah berarti kebebasan dan kemandirian daerah dalam menentukan langkah-
langkah sendiri (Widarta, 2001:2).
Sarundajang (1999:35) menyatakan bahwa otonomi daerah pada
hakekatnya adalah:
1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut
bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan Pemerintah (pusat)
yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan
mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah;
2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga
sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu
diluar batas-batas wilayah daerahnya;
3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan
kepadanya;
4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lain.
Dalam menyelenggarakan Pemerintahannnya dianut tiga asas yaitu:
a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu.
c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari Pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
Pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Menurut Muslimin bahwa otonomi diartikan sebagai Pemerintahan sendiri.

Sedangkan pengertian otonomi daerah menurut Fernandez adalah pemberian


hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah
tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan Pemerintahan dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan (Salam,
2004:89).
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
sedangkan daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. ASAS-ASAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH


Dalam pelaksanaan otonomi, dikenal tiga bentuk asas dalam
penyelenggaraan Pemerintahan daerah yakni :
1. Asas Desentralisasi
a. Menurut Rondinelli, desentralisasi merupakan sebagai transfer tanggng
jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari
Pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian Pemerintah
pusat, unit yang ada di bawah level Pemerintah, otoritas atau korporasi
publik semi otonom, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang
luas, atau lembaga privat non Pemerintah dan organisasi nirlaba (Rosyada,
2005:150).
b. Menurut M. Turner dan D. Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud
dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk
menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau
agen Pemerintah pustaa kepada beberapa individu atau agen lain yang
lebih dekat ke publik yang dilayani (Rosyada, 2005:151).

2. Asas Dekonsentrasi
Menurut Laica Marzuki, dekonsentrasi merupakan ambtelijke
decentralisastie atau delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan
kewenangan dari alat perlengkapan Negara di pusat kepada instansi bawahan,
guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan
melaksanakan tugas atas nama Pemerintah pusat.
Sedangkan menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan
dengan penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian
(ambtelijk). Kehadiran dekonsentarsi semata-mata untuk ”melancarkan”
penyelenggaraan Pemerintahan sentral di daerah. Penerapan asas dekonsentrasi
dalam penyelenggaraan Pemerintahan mendapat legitimasi yang kuat,
mengingat keberadaannya telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi
“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah
Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayahnya. (UU No. 32 Tahun 2004, ps 1 ayat 8).

3. Asas Tugas Pembantuan


Daerah otonom selain melaksanakan asas desentralisasi juga dapat
diserahi kewenangan untuk melaksanakan tugas pembantuan (medebewind).
Tugas pembantuan dalam Pemerintahan daerah adalah tugas untuk ikut
melaksanakan peraturan perundang-undangan bukan saja yang ditetapkan oleh
Pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah
tingkat atasnya.
Menurut Irawan Soejito (1981: 117), tugas pembantuan itu dapat
berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas
eksekutif (beschikken). Daerah yang mendapat tugas pembantuan diwajibkan
untuk mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan. Amrah Muslim
menafsirkan tugas pembantuan (medebewind) adalah kewenangan Pemerintah
daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari Pemerintah pusat atau
Pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Daerah terikat
melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk yang diperintahkan
atau diminta (vorderen) dalam rangka tugas pembantuan. Tugas pembantuan
dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam “terminal” menuju penyerahan
penuh suatu urusan kepada daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap
awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh.

C. LANDASAN OTONOMI DAERAH


Dari sisi sejarah perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah
telah dihadirkan berbagai Peraturan Perundangan yang mengatur penyelengaraan
mengenai Pemerintahan Daerah antara lain:
1. UU No. 1 tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih
menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan
tangan Pemerintahan Pusat.
2. UU No. 22 tahun 1948. Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih
menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala
daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi
alat Pemerintah pusat.
3. UU No. 1 tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat
dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi
juga masih alat Pemerintah pusat.
4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah
lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat
oleh Pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
5. UU No. 18 tahun 1965. Kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada
desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah,
sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.
6. UU No. 5 tahun 1974. Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah
terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah
sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas perbantuan.
7. UU No. 22 tahun 1999. Pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam
penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun


1945, kebijakan tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan yang cukup
mendasar. Perubahan dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat
otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah.
Otonomi daerah memberi keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah
tangganya sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa reformasi diberlakukannya UU
no. 22 dan 29 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dengan berbagai macam
perubahan dan kebutuhan, UU tersebut akhirnya direvisi menjadi UU no. 32 dan
33 tahun 2004 Pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur segala
urusan rumah tangganya masing-masing. Tuntutan bagi Pemerintah daerah untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki dengan menjalankan roda Pemerintahan
yang efektif dan efisien sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.
BAB III
PARADIGMA BARU OTONOMI DAERAH

A. Latar Belakang Otonomi Daerah


Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah
terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun Pemerintahan Orde Baru
menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan Orde
Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum
Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan.
Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi
alasan pertama bagi Orde Baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang
tumbuh dari rakyat. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam
mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama,
faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik
sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh
dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi
dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang
panjang.
Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah
telah menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan
demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen
dari segi perkembangan politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi
tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa
dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami
sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi, namun sebagai upaya
membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will)
penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi tumbuhnya
harapan bagi kemajuan daerah.
Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004,
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
melakukan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan
revisi, paling tidak ada dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32
tahun 2004) yakni, proses penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-
tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar pemilu. Padahal UU otonomi
daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan menyangkut tentang kualitas
pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU tersebut
disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu penyusunan revisi
tersebut anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29 September 2004
bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004,
Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No.
22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR
baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara de facto DPR pemilu 1999 sudah
kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan
kebijakan yang sangat krusial.
Tibalah saatnya Pemerintahan diuji kesungguhannya untuk menjalankan
amanat politik rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan
desentralisasi. Pasang surut desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur
kepentingan pusat dan daerah harus segera digantikan dengan penciptaan sistem
Pemerintahan di tingkat lokal yang demokratis.  Sehubungan dengan itu, maka
diperlukan upaya yang sistematis untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap
pelaksanaan desentralisasi yang berlangsung selama ini. Dibutuhkan indikator
desentralisasi yang membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas politik di tingkat lokal (political equality), mengedepankan
pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability), dan meningkatkan
akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan
masyarakat setempat (local responsibility). Selain harus tercermin dalam produk
kebijakan, indikator-indikator itu juga harus terimplementasi dalam praktek
desentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintahan lokal.
B. Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah di bidang Politik, Ekonomi dan
Pendidikan
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah
dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya
undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan
Pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya
perimbangan tugas fungsi dan peran antara Pemerintah pusat dan Pemerintah
daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan
yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk
memikul tanggung jawab penyelenggaraan Pemerintahan daerah. Dengan
demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri,
sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan Pemerintahan maupun
pembangunan daerahnya masing-masing. Adapun implikasi otonomi daerah
dalam beberapa bidang yaitu sebagai berikut :
1. Bidang Politik
Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa implikasi yang
luas diantaranya terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala
sesuatu yang menyangkut masalah kepegawaian masih tetap menggunakan
peraturan perundangan yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Pokok
Kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75 UU no.22 tahun
1999 yang menyatakan “ Norma, standar dan prosedur mengenai
pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji,
tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai
negeri sipil daerah, ditetapkan dengan perundang-undangan.
Akan tetapi daerah mempunyai wewenang yang luas, khususnya
propinsi, kabupaten, dan kota untuk membuat perencanaan kepegawaian yang
sesuai dengan kebutuhan pada waktu tertentu. Demikian pula daerah
mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pendidikan dan latihan
bagi aparat penyelenggara pemerintah daerah. Hal itu dinyatakan dengan tegas
pula dalam pasal 76 UU no.22 tahun 1999, yaitu “daerah mempunyai
wewenang untuk melakukan pengangkatan, pemberhentian, penetapan pensiun,
gaji tunjangan, dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan
sesuai dengan peraturan daerah berdasarkan perundang-undangan.
Tentu saja hal ini akan membawa implikasi yang sangat luas, terutama
yang menyangkut pola rekrutmen dan pembinaan. Hanya saja yang perlu
diperhatikan adalah mengingat potensi daerah berbeda satu sama lainnya maka
sudah seharusnya memperhatikan dimensi keadilan dan kesetaraan antara satu
daerah dengan daerah lainnya, jangan sampai menimbulkan diskrepansi sosial
yang membawa akibat gejolak sosial politik di daerah.
2. Bidang Ekonomi
Sektor perekonomian sangat sensitif apabila dihubungkan dengan
proses otonomi daerah. Pembangunan ekonomi suatu daerah seharusnya lebih
baik apabila diselenggarakan dengan konsep desentralisasi. Pembangunan
ekonomi adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu
lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan
kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya
perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989)
Dalam proses pengembangan ekonomi lokal, Pemerintah daerah
bersama dengan organisasi berbasis masyarakat mendorong dan merangsang
kegiatan yang dapat meningkatkan aktivitas usaha serta penciptaan lapangan
pekerjaan. Dalam pelaksanaan otonomoi daerah, pembangunan ekonomi lokal
(PEL) memiliki pengaruh besar terhadap suatu daerah. Hal ini tidak lain adalah
untuk penguatan daya saing ekonomi lokal untuk pengembangan ekonomi
daerah. Kemandirian dalam melakukan kegitan ekonomi dapat menambah
pendapatan asli daerah (PAD), selain itu tingkat pemberdayaan masyarakat
kecil juga dapat terlaksana.
Dengan adanya otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk lebih peka
dan bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus
mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya. Maka dari itu perlu
adanya tata kelola ekonomi daerah supaya terbentuk otonomi daerah yang baik.
Di negara kita maupun di berbagai macam daerah sering meneriakkan prinsip-
prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, partisipasi yang tidak lain hanya
menuju ke arah good governance. Seperti halnya otonomi daerah harus
memiliki tata kelola ekonomi yang baik, dengan mempertimbangkan fungsi
desentralisasi yang semakin kompleks khususnya di bidang ekonomi.
Ciri utama suatu daerah yang mampu menjalankan otonomi daerah
dapat dilihat dari kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan di
daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada Pemerintah pusat dengan
proporsi yang sangat kecil. Artinya kemandirian keuangan adalah hal yang
paling diutamakan dalam terwujudnya otonomi daerah. Dengan adanya
kemandirian tersebut, suatu daerah diharapkan mampu dalam pengumpulan
PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang menjadi bagian terbesar dalam mobilisasi
dana penyelenggaraan Pemerintahan daerah dan sudah sewajarnya PAD
dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pendapatan Asli
Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi
daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan
Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan
daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999
disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh Pemerintah daerah yang dapat
diukur dengan uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat
dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan
daerah terdiri Pendapatan asli daerah, yaitu:
a. Hasil Pajak Daerah. Menurut Davey ( 1988:118) Pemerintah daerah
memiliki wewenang untuk menjangkau sumber pajak di daerah yakni
melalui pemungutan langsung serta menetapkan tarif di daerah.
b. Hasil Retribusi Daerah. Pemerintah Daerah juga memiliki wewenang dalam
menetapkan retribusi daerah serta menarik retribusi dalam rangka
pemasukan daerah.
3. Bidang Pendidikan
Pada otonomi daerah banyak Undang-undang yang mengatur khusus
mengenai pendidikan salah satu undang-undang yang diimplementasikan
dalam pendidikan yaitu UU Nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, privatisasi Perguruan Tinggi Negeri dengan status baru BHMN
melalui PP no 60 tahun 2000 sampai UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang mengatur
konsep, sistem dan pola pendidikan juga kewenangan di sektor pendidikan
yang digariskan bagi pusat maupun daerah.
Desentralisasi pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi
dua jenis yaitu, pertama desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan
kedua desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan
yang lebih besar ditingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemerintah dari pusat ke daerah sebagai wujud dari
demokratisasi, kebijakaan yang dimaksud lebih pada kebijakaan pendidikan
dan aspek pendanaannya dari Pemerintah pusat ke daerah. Pada konsep kedua
lebih fokus terhadap pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat
manejemen sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
Adanya desentralisasi pendidikan bukan berarti Pemerintah pusat lepas
tangan atau tidak mencampuri urusan pendidikan. Pemerintah pusat masih
mempertahankan kewenangannya dalam dunia pendidikan yang terdapat pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 mengenai
kewenangan Pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi.
Kewenangan tersebut diantaranya berhubungan dengan standar kompetensi
siswa serta pengaturan kurikulum nasional, standar materi pelajaran pokok,
gelar akademik, biaya penyelenggaraan pendidikan, benda cagar budaya dan
kalender akademik.
Kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan memberikan dampak baik
positif maupun negatif. Daerah yang dapat memanfaatkan kondisi yang ada
tentu saja akan memberikan dampak positif dari otonomi daerah tersebut.
Fenomena muncul raja-raja kecil didaerah diakibatkan ketika kontrol
Pemerintah pusat tidak lagi berperan dalam pengambilan keputusan dan
pengawasan hal ini menjadi dampak negatif jika Pemerintah belum siap dalam
desentralisasi. Kebijakan desentralisasi ini kemungkinan akan menimbulkan
jurang pemisah antara daerah yang maju dan tidak. Pemerataan yang tidak
berhasil terlihat jelas dari kualitas pendidikan yang dihasilkan tiap daerah.
Kemungkinan yang terjadi karena tidak meratanya pendistribusian tenaga guru.
Daerah yang kaya akan jauh lebih banyak menyedot tenaga guru yang
berkualitas. Akhirnya daerah-daerah tertentu di Indonesia akan kelebihan guru
dan daerah yang lainnya kekurangan tenaga guru. Desentralisasi pendidikan
menentukan pula hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus
materi pembelajaran dibuat berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan
kondisi daerah. Perbedaan-perbedaan tersebut memberikan kemungkinan
terjadinya hasil belajar siswa.
Salah satu hasil dari desentralisasi pendidikan adanya implikasi konsep
manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada
sekolah-Sekolah Dasar dan Menengah di beberapa provinsi di Indonesia.
Desentralisai pendidikan menajadi suatu gagasan yang brilian namun juga
menjadi suatu tantangan bagi kita. Dalam bukunya Sam M. Chan dan Tuti
T.Sam yang berjudul Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, dituliskan:
Adapun tantangan yang harus diperhitungkan dalam pengimplementasian
kebijakan ini adalah munculnya individu-individu/lembaga-lembaga serakah
yang mencari kesempatan dalam kesempitan...( Sam, 2005:12).
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat


mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.
Pemberian otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat
serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pada hakikatnya tujuan otonomi
daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan rakyat.
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah
dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya
undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan
Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari beberapa aspek,
diantaranya adalah aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam Desentralisasi
politik adanya sebuah birokrasi yang muncul, dalam pendidikan otonomi daerah
menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk mengelola
pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan
kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Dalam bidang
ekonomi diharapkan munculnya kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan
potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya
tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah
dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah,
melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan
daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu
terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab. 
Adapun dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya
kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai
pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat,
serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dengan
daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan
yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-
permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari
otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

mailto:https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/download/143/pdf

mailto:http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/575

mailto:http://180.250.247.102/conference/index.php/knia/article/view/197

Anda mungkin juga menyukai