Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islam pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu
tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (minal-mahd ila> al-lahd).
Islam juga memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan
meneliti segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad
alam raya ini dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan
yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya.
Dalam pandangan Islam tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya
mendapatkan porsi yang sama dalam menuntut ilmu (pendidikan). Bukan
hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh
Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga.
Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan melalui jalan
kehidupan dunia ini.
Berbicara tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
tentang kegiatan belajar mengajar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
dunia pendidikan itu sendiri. Belajar mengajar memiliki peran yang sangat
penting karena tanpa itu proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan
moderen sulit untuk diwujudkan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari belajar dan mengajar?
2. Ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar
mengajar dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian dari belajar dan mengajar.
2. Untuk mengetahui Ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang
kewajiban belajar mengajar dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Belajar dan Mengajar


Secara sederhana, belajar berarti berusaha mengetahui sesuatu, berusaha
memperoleh ilmu pengetahuan (kepandaian, keterampilan).1 Belajar adalah
sesuatu yang menarik karena sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
manusia selalu berusaha mengetahui sesuatu yang berada dalam lingkungannya
untuk menunjukkan eksistensi kemanusiaannya. Sedangkan mengajar
adalah memberikan serta menjelaskan kepada orang tentang suatu ilmu;
memberi pelajaran. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
belajar mengajar merupakan suatu aktifitas yang dikerjakan dalam rangka
memperoleh ilmu pengetahuan, sedangkan dalam proses itu sendiri ada
sipelajar yang menerima ilmu dan ada guru yang memberikan pelajaran. Maka
berbicara tentang belajar mengajar, tidak bisa dilepaskan dari ilmu
pengetahuan itu sendiri sebagai objek dari kegiatan ini.
Sejak awal kehadirannya, islam telah memberikan perhatian yang amat
besar terhadap kegiatan belajar dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini antara
lain dapat dilihat pada apa yang ditegaskan dalam al-Qur’an, dan pada yang
secara empiris dapat dilihat dalam sejarah. Yang dimakud dengan belajar
mengajar (pendidikan) dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan
yang bukan hanya berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal
dan nonformal. Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa
saja yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang
membutuhkan, dimana saja mereka berada, menggunakan sarana apa saja,
dengan cara-cara apa saja, sepanjang hayat manusia itu.2
B. Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Kewajiban Belajar
Mengajar
1. Q.S Al – Alaq 1-5
َ ‫} ٱ ْق َر ْأ َو َرب‬2{‫نس َن مِنْ َعلَ ٍق‬
‫} ٱلَّذِى َعلَّ َم‬3{‫ُّك ٱأْل َ ْك َر ُم‬ َ ٰ ِ ‫} َخلَ َق ٱإْل‬1{‫ِّك ٱلَّذِى َخلَ َق‬ َ ‫ٱ ْق َر ْأ ِبٱسْ ِم َرب‬
َ ٰ ِ ‫} َعلَّ َم ٱإْل‬4{‫ِب ْٱل َقلَ ِم‬
}5{‫نس َن َما لَ ْم َيعْ لَ ْم‬
1
Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), 28.
2
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, 35.
3

(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,


(2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
(3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
(4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam [1589]
(5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Dalam ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca atau mengkaji. Sebagai
aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai pemikiran
dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari Aqidah
Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.
Menurut Quraish Shihab, kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti
menghimpun, yang mana melahirkan makna lain seperti, menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik
teks yang tertulis maupun yang tidak. Wahyu pertama ini tidak menjelaskan hal
spesifik tentang apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki
ummatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi Rabbik, dalam artian
bermanfaat bagi manusia.3
Sementara kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan dan
teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga
dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa
peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.
Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa ada dua cara perolehan
dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena sebagaimana yang
telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia tanpa pena
yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas
dasar usaha manusia dan cara kedua adalah mengajar tanpa alat dan tanpa
usaha manusia. Meskipun berbeda namun keduanya bersumber dari satu
sumber yaitu Allah SWT.
Wahyu pertama ini dimulai dengan kata ( ‫رأ‬DDD‫إق‬ = membaca) yaitu
bentuk kata perintah atau ‫ل األمر‬DDD‫فع‬ yang merupakan perubahan dari kata
bentuk mudhari’ yang dibentuk dengan mengganti awalan katanya dengan

3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 2001), 433.
4

huruf alif.4 Menurut kaidah ushul al-fiqh,bahwa kata-kata dalam al-qur’an yang


dimulai dari kata perintah adalah merupakan kewajiban dari perintah iu
sendiri, al-ashl fi> al-amr lil wuju>b. Dari sini dapat dipahami bahwa perintah
belajar (membaca) merupakan sebuah kewajiban bagi ummat islam. Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر ْي‬
‫ضةٌ َعلَى ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم َو ُم ْسلِ َم ٍة‬
Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim dan muslimat.5
Menurut Al-Ghazali, hadith ini menerangkan bahwa sekurang-kurangnya
yang wajib bagi seorang muslim setelah mencapai akil baligh dan
keislamannya adalah mengetahui dua kalimat syahadat dan memaknai
maknanya, tidak wajib baginya untuk menyempurnakannya dengan penjelasan-
penjelasan terperinci.
Selain itu, menurut Abuddin Nata,6 wahyu pertama ini juga mengandung
perintah agar manusia memiliki keimanan, yaitu berupa keyakinan terhadap
adanya kekuasaan dan kehendak Allah, yang juga mengandung pesan ontologis
tentang sumber dari ilmu pengetahuan. Pesan membaca itu dipahami dalam
objek yang bermacam-macam, yaitu berupa apa yang tertulis seperti dalam
surah Al-‘Alaq itu sendiri dan yang tidak tertulis sperti yang terdapat pada
alam jagat raya dengan segala hukum kausalitas yang ada didalamnya, dan
dalam diri manusia.
Membaca (belajar) menjadi penting dan wajib karena dengan begitu
manusia dapat mengetahui hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam
menjalani kehidupannya. Masih menurut Nata, membaca ayat-ayat Allah yang
ada dalam al-Qur’an dapat menghasilkan ilmu-ilmu agama seperti Fiqih,
Tauhid, Akhlak dan sebagainya. Sedangkan membaca yang ada dijagat raya
dapat menghasilkan ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia dan sebagainya.
Selanjutnya dengan membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam diri manusia dari
segi fisiknya menghasilkan sains seperti ilmu kedokteran dan ilmu raga,
sedangkan dari tingkah lakunya dapat menghasilkan ilmu ekonomi, politik,
sosiologi, antropologi dan lain sebagainya.
4
Abdullah Abbas Nadwi, LearningThe LanguageOf The Holy Al-Qur’an (Belajar
Mudah Bahasa Al-Qur’an) (Bandung: Mizan, 1996), 186.
5
Al-Ghazali, Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh
Sang Hujjatul-Islam (Bandung: Mizan, 2003), 26.
6
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, 43.
5

Dengan demikian, karena objek ontologi seluruh ilmu tersebut adalah ayat-
ayat Allah, maka sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah
dan harus diabdikan untuk Allah. Manusia hanya menemukan dan
memanfaatkan ilmu-ilmu itu. Maka pemanfaatannya harus ditujukan untuk
mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT.
2. Q.S Al-Ghasiyah Ayat 17-20

ِ َ‫}واِلَى ْال ِجب‬


َ‫ال َك ْيف‬ ْ ۗ ‫} َواِلَى ال َّس َم ۤا ِء َك ْيفَ ُرفِ َع‬17{‫ت‬
َ 18D{‫ت‬ ْ ۗ َ‫اَفَاَل يَ ْنظُرُوْ نَ اِلَى ااْل ِ بِ ِل َك ْيفَ ُخلِق‬
}20{‫ت‬ ْ ۗ ‫ض َك ْيفَ ُس ِط َح‬ ِ ْ‫}واِلَى ااْل َر‬ َ 19{‫ت‬ ْ ۗ َ‫صب‬
ِ ُ‫ن‬
17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia
diciptakan,?
18. dan langit, bagaimana ia ditin ggikan?
19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Al-Maraghi mengatakan bahwa pada ayat 17 dipaparkan dalam
bentuk istifham (bertanya) yang mengandung pengertian sanggahan terhadap
keyakinan kaum kuffar dan sekaligus merupakan celaan atas sikap keingkaran
mereka kepada hari kebangkitan.
Sesungguhnya jika mereka yang ingkar dan ragu mau menggunakan
akalnya untuk memikirkan bagaimana perihal penciptaan unta, bagaimana
langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi
dihamparkan, niscaya mereka akan mengetahui bahwa semuanya diciptakan
dan dipelihara oleh Allah. Kemudian Allah mengatur dan memelihara
makhluknya dengan patokan yang serba rapi dan bijaksana.7
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada para
hambanya untuk memperhatikan kepada makhluk-makhluknya yang
menunjukkan kepada kekuasaan dan keagungan-Nya, “apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?” Unta dikemukakan karena dia
merupakan ciptaan yang menakjubkan, susunan tubuhnya sungguh memikat
dan unta itu sendiri mempunyai kekuatan dan kekokohan yang luar biasa. “Dan
langit bagaimana ia ditinggikan?” yaitu Allah meninggikan langit dari bumi ini
merupakan peninggian yang sangat agung. “Dan gunung-gunung bagaiman ia
7
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, tp.th.),
hal.162.
6

ditegakkan?” yaitu menjadikannya tertancap sehingga menjadi kokoh dan


teguh sehingga bumi tidak menjadi miring bersama penghuninya. “Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?” yaitu bagaimana dia dibentangkan, dipanjangkan,
dan dihamparkan.
Allah sengaja memaparkan semua ciptaan-Nya secara khusus, sebab bagi
orang yang berakal tentunya akan memikirkan apa yang ada disekitarnya.
Seseorang akan melihat unta yang dimilikinya. Pada saat ia mengangkat
pandangannya ke atas, ia melihat langit. Jika ia memalingkan pandangannya ke
kiri dan kanan, tampak di sekelilingnya gunung-gunung. Dan jika ia
meluruskan pandangannya atau menundukkannya, ia akan melihat bumi
terhampar.
3. Q.S At-Taubah Ayat 122

ِ ‫َو َما َكانَ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ لِيَ ْنفِرُوا َكافَّةً ۚ فَلَوْ اَل نَفَ َر ِم ْن ُكلِّ فِرْ قَ ٍة ِم ْنهُ ْم طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الد‬
‫ِّين‬
َ‫م إِ َذا َر َجعُوا إِلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم يَحْ َذرُون‬Dُْ‫َولِيُ ْن ِذرُوا قَوْ َمه‬
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.”(Q.S. At-Taubah [9] : 122)
Tafsir Mufradat
Berangkat perang  =     ‫ نفر – ينفر‬:   ‫لينفروا‬
=             ‫ لوال‬:     ‫فلوال‬
Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang
disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila hal itu terjadi di masa yang akan
datang. Tapi laula juga berarti kecaman atas meninggalkan perbuatan yang
disebutkan sesudah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila
hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa
juga laula, itu berarti perintah mengerjakannya.
=  Kelompok besar            ‫ الفرقة‬:      ‫فرقة‬
= Kelompok kecil          ‫ الطآئفة‬:   ‫طآئفة‬
=   ‫ تفقه – يتفقه‬:  ‫ليتفقهوا‬
Berusaha keras untuk mendalami dan memahami suatu perkara dengan
susah payah untuk memperolehnya.
=  Menakut-nakuti     ‫ أنذر – ينذر‬:   ‫لينذروا‬
7

= Berhati-hati    ‫ حذر – يحذر‬:  ‫يحذرون‬


Tafsir
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut
perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya,
bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan
menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan rukun
terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakkan sendi-se 1 ndi islam.
Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disyari’atkan
kecuali untuk menjadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan
dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.
Menurut riwayat Al Kalabi dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan,
“Setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai
Rasul dalam peperangan, maka tidak seorang pun diantara kami yang tinggal
untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan perang buat selama-lamanya.
Hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggallah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendirian”, maka turunlah wahyu, “‫وما‬
‫”كان المؤمنون‬
…‫وما كان المؤمنون لينفروا كآفة‬
Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya
mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar
menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardhu kifayah, yang
apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain,
bukan fardhu ‘ain, yang wajib dilakukan setiap orang. Perang barulah menjadi
wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengerahkan kaum mukmin menuju
medan perang. (Al Maraghi, 1987:84-85)
Menurut Al-Maraghi ayat tersebut memberi isyarat tentang kewajiban
memperdalam ilmu agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta
mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat
memberikan kemaslahatan kepada mereka sehingga tidak membiarkan mereka
tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui
oleh orang-orang yang beriman.  
8

4. QS. Ali-Imran ayat 191

ِ ْ‫ت َواأْل َر‬


‫ض َربَّنَا‬ ِ ‫ َوقُعُودًا َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكرُونَ فِي َخ ْل‬D‫الَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُونَ هَّللا َ قِيَا ًما‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
ِ َّ‫اب الن‬
‫ار‬ Dَ َ‫َما َخلَ ْقتَ ٰهَ َذا بَا ِطاًل ُس ْب َحان‬
َ ‫ك فَقِنَا َع َذ‬
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa
neraka.(Ali-Imran [3]:191).
Tafsir Mufradat

َ ‫ الَّ ِذينَ يَ ْذ ُكرُونَ هَّللا‬     = orang-orang yang mengingat Allah


  ‫قِيَا ًما‬ =  berdiri
  ‫ َوقُعُودًا‬  =   duduk
‫َو َعلَى ُجنُوبِ ِه ْم‬ =  berbaring
  َ‫َويَتَفَ َّكرُون‬ = dan mengingat
ِ ‫فِي خَ ْل‬ 
 ‫ق‬ =  penciptaan
‫ت‬ َ ‫ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬ =  langit
 ‫ض‬ِ ْ‫َواأْل َر‬  = dan bumi
  ‫َربَّنَا‬ =  ya tuhan kami
  َ‫َما خَ لَ ْقت‬ =  tiada engkau menciptakan
  ‫هَ َذا بَا ِطاًل‬ = ini dengan sia-sia
َ َ‫ُس ْب َحان‬
 ‫ك‬ =  Maha Suci Engkau
  ‫فَقِنَا‬  =  maka peliharalah kami
‫اب النَّار‬
َ ‫َع َذ‬ =  siksa api neraka
TAFSIR
Pada ayat 191 mendefinisikan orang-orang yang mendalam pemahamannya
dan berpikir tajam (Ulul Albab), yaitu orang yang berakal, orang-orang yang
mau menggunakan pikirannya, mengambil faedah, hidayah, dan
menggambarkan keagungan Allah. Ia selalu mengingat Allah (berdzikir) di
setiap waktu dan keadaan, baik di waktu ia beridiri, duduk atau berbaring. Jadi
dijelaskan dalam ayat ini bahwa ulul albab yaitu orang-orang baik lelaki
9

maupun perempuan yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan atau
hati dalam seluruh situasi dan kondisi.8
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa objek dzikir adalah Allah,
sedangkan objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam.
Ini berarti pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan kepada kalbu,
Sedang pengenalan alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir. Akal
memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia
memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu dapat
dipahami sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui
Ibn ‘Abbas,

‫تفكرافى اخلق والتتفكروافى اخا لق‬

“Pikirkan dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk Allah


jangan sekali- kali kamu memikirkan dan merenungkan tentang zat dan
hakikat Penciptanya, karena bagaimanapun juga kamu tidak akan sampai dan
tidak akan dapat mencapai hakikat Zat Nya.”
Orang-orang yang berdzikir lagi berfikir mengatakan: "Ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini semua, yaitu langit dan bumi serta
segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai hikmah yang mendalam dan
tujuan yang tertentu yang akan membahagiakan kami di dunia dan di akhirat,
sebagaimana disebar luaskan oleh sementara orang-orang yang ingin melihat
dan menyaksikan akidah dan tauhid kaum muslimin runtuh dan hancur. Maha
Suci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan bukan yang ditujukan
kepada Engkau. Karenanya, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang
telah disediakan bagi orang-rang yang tidak beriman. Ucapan ini adalah
lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah
dan mengakui kelemahan diri. Sebab itu bertambah tinggi ilmu seseorang,
seyogyanya bertambah pula dia mengingat Allah. Sebagai tanda pengakuan
atas kelemahan diri itu, dihadapan kebesaran Tuhan.9
Pada ujung ayat ini (“Maha suci Engkau! maka peliharalah kiranya kami
dari azab neraka”) kita memohon ampun kepada Tuhan dan memohon agar
8
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 308
9
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 251
10

dihindarkan dari siksa neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu serta


mudahkanlah kami dalam melakukan amal yang diridhai Engkau juga
lindungilah kami dari azab-Mu yang pedih.10
5. Al-Ankabut Ayat 19-20
‫}قُلْ ِسيرُوا فِي‬19{ٌ‫ق ثُ َّم يُ ِعي ُدهُ ۚ إِ َّن ٰ َذلِكَ َعلَى هَّللا ِ يَ ِسير‬ َ ‫ئ هَّللا ُ ْالخَ ْل‬
ُ ‫أَ َولَ ْم يَ َروْ ا َك ْيفَ يُ ْب ِد‬
D{‫ئ النَّ ْشأَةَ اآْل ِخ َرةَ ۚ إِ َّن هَّللا َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬ َ ‫ َك ْيفَ بَدَأَ ْالخَ ْل‬D‫ض فَا ْنظُرُوا‬
ُ ‫ق ۚ ثُ َّم هَّللا ُ يُ ْن ِش‬ ِ ْ‫اأْل َر‬
}20
19. dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya
(kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah
bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah
menjadikannya sekali lagi[1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.
[1147] Maksudnya: Allah membangkitkan manusia sesudah mati kelak di
akhirat.
Makna Mufradat
Dalam makna mufradat pada surat Al-Ankabut ayat 19 Kata (
‫ َروْ ا‬Dَ‫)ي‬ yarau terambil dari kata ra’a yang adapat berarti melihat dengan mata
kepala atau mata hati atau memikirkan atau memperhatikan.
ُ ‫)يُ ْب ِد‬ yubdi’u terambil dari kata bada’a. kata yang terdiri dari huruf-
Kata (‫ئ‬
hurufba’, dal’ dan hamzah, berkisar maknanya pada memulai sesuatu.
Sementara ulama membatasi kata (َ‫ق‬DD‫)ال َخ ْل‬ al-khalq pada
ْ ayat ini dalam
pengertian manusia. Ini karena mereka memaknai kata (Dُ‫ ُده‬D ‫)يُ ِعي‬ yu’iduhu atau
mengulanginya yakni mengembalikan manusia hidup kembali diakhirat setelah
kematiannya didunia ini.11
Sedangkan makna mufradat surat Al-Ankabut ayat 20 kata (َ‫أَة‬DD‫)النَّ ْش‬ an-
nasy’ yaitu kejadian. akhirat yang digunakan dalam ayat ini menunjukkan
terjadinya sekali kejadian.

10
M. Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm.
635
11
M. Quraish Shihab, Volume. 10, Op. Cit, hlm. 464-465
11

Penyebutan kata Allah pada firman-Nya: kemudian Allah menjadikannya


di kali lain- walaupun telah disebut nama agung itu ketika  berbicara tentang
penciptaan pertama kali, untuk menegaskan bahwa yang memulai penciptaan
yaitu Allah, Dia juga melakukan kejadian pengulangannya.
Perintah berjalan yang dirangkaikan dengan perintah melihat seperti

ِ ْ‫اأْل َر‬ ‫)فَا ْنظُرُوا‬, ditemukan sebanyak tujuh kali dalam Al-


firmannya (‫ ِسيرُوا‬ ‫فِي‬ ‫ض‬
Qur’an. Ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan
wisata ziarah.
Tafsir 
Dalam tafsir pada surat Al-Ankabut ayat 19 adalah Sebenarnya
menciptakan pertama kali, sama saja bagi Allah dengan menghidupkan
kembali. Keduanya adalah memberi wujud terhadap sesuatu, kalau pada
penciptaan pertama yang wujud belum pernah ada, dan ternyata dapat wujud
maka penciptaan kedua juga memberi wujud dan ini dalam logika manusia
tertentu lebih mudah serta lebih logis daripada penciptaan pertama itu.
 Dikali pertama Allah mampu menciptakan manusia tanpa contoh terlebih
dahulu. Maka kini setelah kalian menjadi tulang atau bahkan natu atau besi pun
Allah akan mampu. Bukankah menurut logika kalian lebih mudah menciptakan
sesuatu yang telah ada bahannya dan ada juga pengalaman melakukannya,
daripada menciptakan pertama kali dan tanpa contoh terlebih dahulu.
Kemudian tafsir surat Al-Ankabut ayat 20 adalah pengarahan Allah swt
untuk melakukan riset tentang asal-usul kehidupan lalu kemudian
menjadikannya bukti ketika mengetahuinya tentang keniscayaan kehidupan
akhirat. Dalam Al-Qur’an surat ini memberi arahan-arahannya sesuai dengan
kehidupan manusia dalam berbagai generasi, serta tingkat, konteks, dan sarana
yang meraka miliki. Masing-masing menerapkan sesuai dengan kondisi
kehidupan dan kemampuannya dan dalam saat yang sama terbuka peluang bagi
peningkatan guna kemaslahatan hidup manusia dan perkembangannya tanpa
henti.
6. QS. Al-Muzzammil ayat 20

  ‫َم َعكَ ۚ َوهَّللا ُ يُقَ ِّد ُر‬ َ‫ك تَقُو ُم أَ ْدن َٰى ِم ْن ثُلُثَ ِي اللَّ ْي ِل َونِصْ فَهُ َوثُلُثَهُ َوطَائِفَةٌ ِمنَ الَّ ِذين‬
َ َّ‫ك يَ ْعلَ ُم أَن‬
َ َّ‫إِ َّن َرب‬

ُ‫آن ۚ َعلِ َم أَ ْن َسيَ ُكون‬


ِ ْ‫َاب َعلَ ْي ُك ْم ۖ فَا ْق َر ُءوا َما تَيَس ََّر ِمنَ ْالقُر‬
َ ‫ر ۚ َعلِ َم أَ ْن لَ ْن تُحْ صُوهُ فَت‬Dَ ‫اللَّ ْي َل َوالنَّهَا‬
12

‫ض يَ ْبتَ ُغونَ ِم ْن فَضْ ِل هَّللا ِ ۙ َوآخَ رُونَ يُقَاتِلُونَ فِي‬ ِ ْ‫ى ۙ َوآ َخرُونَ يَضْ ِربُونَ فِي اأْل َر‬Dٰ ‫ض‬ َ ْ‫ِم ْن ُك ْم َمر‬
ۚ ‫ هَّللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا‬D‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوأَ ْق ِرضُوا‬
َّ ‫ ال‬D‫ َما تَيَ َّس َر ِم ْنهُ ۚ َوأَقِي ُموا‬D‫يل هَّللا ِ ۖ فَا ْق َر ُءوا‬
ِ ِ‫َسب‬
َ ‫َو َما تُقَ ِّد ُموا أِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ِم ْن خَ ي ٍْر ت َِجدُوهُ ِع ْن َد هَّللا ِ هُ َو َخ ْيرًا َوأَ ْعظَ َم أَجْ رًا ۚ َوا ْستَ ْغفِرُوا هَّللا َ ۖ إِ َّن هَّللا‬
}20{‫َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
Artinya:
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri
(shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui
bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang
yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah;
dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al-Qur’an dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja
yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di
sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.
Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Muzzammil [73]: 20)
Kesimpulan hukum yang diperoleh dari surah Al-Muzzammil ayat 20 di
atas memang ditemui perbedaan. Menurut Imam Syafi’i–sebagaimana
disebutkan dalam Hasyiyah Ash-Shawi–, ayat ini menandakan perubahan
hukum shalat malam yang awalnya wajib menjadi sunah, bagi Nabi
Muhammad juga bagi umatnya.
Sedangkan menurut Imam Malik, perubahan hukum shalat malam menjadi
sunah hanya berlaku bagi umat Rasulullah saja. Sedangkan bagi Nabi
Muhammad Saw., hukum shalat malam masih tetap diwajibkan, tetapi hanya
ketika beliau sedang di rumah atau tidak sedang berpergian. Adapun alasannya
sudah dijelaskan dalam pembahasan tafsir surah Muzzammil bagial awal surah.
Allah mengetahui bahwa ketika Nabi Muhammad menjalankan shalat
tahajud, tidak selamanya beliau melaksanakannya secara penuh setiap
13

malamnya. Dalam artian dimulai dari permulaan hingga akhr malam. Nabi
Muhammad terkadang menjalankan shalat malam kurang dari dua pertiga
malam, kadang juga setengah malam, bahkan juga menjalankannya sepertiga
dari keseluruhan waktu malam. Begitu juga yang dilaksakan oleh umat beliau.
Melalui redaksi “alima an sayakunu minkum…”, memberikan gambaran
kepada kita akan pengetahuan Allah. Sesungguhnya Allah Swt. mengetahui
bahwasanya sebagian hambanya-Nya ialah orang-orang yang memiliki uzur
untuk menjalankan shalat malam.
Di antara orang yang mengalami uzur ialah orang yang sedang menderita
sakit jasmani maupun rohani, sehingga menjadikannya tak mampu
menjalankan shalat malam. Kemudian orang yang berjalan di muka bumi untuk
mencari karunia Allah, berupa rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan
hidup keluarganya. Juga orang yang turut serta dalam peperangan membela
agama Allah. Selain itu, termasuk di dalamnya juga orang yang tersibukkan
untuk menuntut ilmu dan silaturrahmi.
Terdapat fakta menarik dalam ayat ini, sebagaimana dikemukakan oleh
Imam Ahmad bin Muhammad Ash-Shawi. Menurut beliau, disandingkannya
redaksi orang-orang yang berperang atau berjihad (mujahidin) dan orang-orang
yang mencari rezeki halal (muktasibina lil mali al-halali) ialah sebuah isyarat
bahwa derajat mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan
kebutuhan keluarga itu dapat disejajarkan dengan derajat orang yang berjihad
di jalan Allah Swt.
Kalimat perintah “faqra’u ma tayassara minal qur’an” atau “faqra’u ma
tayassara minhu”, secara tekstual memang menunjukkan perintah untuk
membaca Al-Qur’an sesuai kadar kemampuan pelakunya, seringan mungkin
tidak malasah. Tetapi terdapat perbedaan, apakah lafal tersebut menunjukkan
perintah shalat dengan kadar bacaan Al-Qur’an meski pun ringan, atau perintah
membaca Al-Qur’an secara bebas, baik di luar maupun ketika shalat.
Di antara ulama yang menafsirkan bahwa redaksi tersebut menunjukkan
perintah untuk shalat malam, meski dengan bacaan Al-Qur’an yang ringan
ialah Imam Ibnu ‘Asyur. Beliau melandaskan penafsirannya pada aturan shalat
yang terdapat rukun untuk membaca ayat Al-Qur’an. Karena apabila sebuah
rukun ditinggalkan, berakibat pada tidak sahnya shalat.
14

Akan tetapi ulama ahli tafsir memiliki pemahaman yang berbeda terkait
kadar ringan yang dimaksud dari redaksi tersebut. Disebutkan dalam Tafsir
Mafatihul Ghaib, ada ulama yang menafsirkan bahwa kadar ringan ini setara
dengan seratus ayat. Apabila tidak mampu, maka bisa dikurangi menjadi lima
puluh ayat. Begitu pun terus turun kadarnya hingga setara dengan ayat-ayat
pendek, sesuai dengan kadar kemampuan yang melakukan.
Sedangkan Prof. M. Qurais Shihab memberikan kesimpulan tengah-tengah,
bahwa Allah memerintahkan kepada seluruh manusia supaya jangan sampai
meninggalkan membaca Al-Qur’an dalam sehari semalam. Meski sedikit, tetap
perlu diusahakan untuk membaca Al-Qur’an, baik di dalam maupun di luar
shalat.
Ayat ini juga menjelaskan tentang alternatif bagi umat Nabi Muhammad
yang tak mampu menjalankan shalat malam, yakni terdapat pada lafal
“waqridhullaha qardhan hasanan”. Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, lafal
tersebut memiliki tiga bentuk penafsiran, yakni dimaknai dengan “sedekah”,
dimaknai dengan “zakat”, maupun dimaknainai dengan “segala amal baik yang
berhubungan dengan harta”.
Tetapi jika merujuk penuturan Prof. M. Quraish Shihab, ayat ini
menunjukkan alternatif bagi orang-orang yang tak mampu menjalankan shalat.
Yaitu dengan cara memperbanyak sedekah. Meski beliau menjelaskan lebih
lanjut bahwa alangkah lebih baiknya apabila kita mampu melaksanakan shalat
malam sekaligus mampu bersedekah.
7. QS. Muhammad Ayat 24
‫ب أَ ْقفَالُهَا‬
ٍ ‫فَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ آنَ أَ ْم َعلَ ٰى قُلُو‬
Artinya :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati
mereka terkunci?” (Muhammad [47]: 24)
Bahkan pada hati mereka terdapat kunci yang menutupnya. Karena itu, hati
mereka terkunci mati. Tiada sesuatu pun yang dapat menghidupkannya dapat
masuk ke dalamnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Yazid, telah menceritakan kepada
kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pada suatu
15

hari Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: Maka apakah mereka tidak


memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 24)
Maka seorang pemuda dari Yaman berkata, "Bahkan hatinya memang terkunci
hingga Allah sendirilah yang membukanya atau menguakkannya." Perihal
pemuda itu masih tetap berkesan di hati Umar r.a. hingga ia menjabat sebagai
khalifah, lalu Umar meminta bantuan darinya.
8. Q.S Al-Mudassir Ayat 1-7
َ َ‫} َوثِيَاب‬3D{ ْ‫} َو َربَّكَ فَ َكبِّر‬2D{ ْ‫} قُ ْم فَأ َ ْن ِذر‬1{ُ‫يَا أَيُّهَا ْال ُم َّدثِّر‬
}5D{ ْ‫} َوالرُّ جْ زَ فَا ْهجُر‬4D{ ْ‫ك فَطَهِّر‬
}7{ ْ‫} َولِ َربِّكَ فَاصْ بِر‬6D{‫َواَل تَ ْمنُ ْن تَ ْستَ ْكثِ ُر‬
Artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)
memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu, bersabarlah.”(Q.S. Al-Mudassir [74] : 1-7).
Dari ayat di atas tergambar bahwa seorang pengajar dalam mengajar harus
menghilangkan rasa takut yang ada dalam dirinya dalam memberikan
peringatan kepada masyarakat yang ada di sekitarnya, sebelum memberikan
peringatan pertama-tama seorang pengajar harus mengangungkan Tuhan,
memakai pakaian yang bersih, meninggalkan perbuatan dosa, memberi tanpa
harus memperoleh balasan, dan Bersabar.

Peringatkan kaummu terdapat pada kata (‫) انذر‬andzir. Mengagungkan tuhan


terdapat pada kata (‫) ربك‬rabbaka dan kata (‫) كبز‬kabbir. Memakai pakaian yang
bersih terdapat pada kata (‫) طهر‬thahhara. Meninggalkan perbuatan dosa
terdapat pada kata (‫) الزجز‬ar-rijz. Memberi tanpa harus mendapatkan imbalan
atau yang sering disebut dengan kata ikhlas terdapat pada kata( ‫) من‬manna.
Bersabar terdapat pada kata (‫) صبز‬shabr.
Surat ini menyuruh Nabi untuk berdakwah, memberi peringatan kepada
semua umat manusia. Dakwah beliau dimulai dengan cara sembunyi-sembunyi
selama 3 tahun hingga akhirnya beliau berdakwah secara terang-terangan
selama 10 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Beliau banyak
menghadapi rintangan ketika melaksanakan dakwahnya, tetapi beliau tidak
16

pernah putus asa hingga dakwahnya berhasil, sehingga banyak orang yang
memeluk Islam dimana-mana sampai beliau wafat, Islam tersebar luas ke
seluruh penjuru dunia, keberhasilan dakwah beliau dilanjutkan oleh para
sahabat.
9. Q.S Asy-Syu’ara Ayat 214
َ‫ك اأْل َ ْق َربِين‬
َ َ‫ر َع ِشي َرت‬Dْ ‫َوأَ ْن ِذ‬
Artinya : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat”(Q.S. Asy-Syu’ara [26] : 214)
Dalam ayat ini, Allah s.w.t. memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk
member peringatan kepada kaum kerabantnya yang terdekat dan agar bergaul
dengan orang-orang mukmin dengan lemah lembut. Imam Bukhari  dan Imam
Muslim menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas r.a.,[1] bahwa ketika Allah
menurunkan ayat di atas, Nabi s.a.w. naik ke bukit Shafa lalu berseru, “Wahai
orang-orang, sudah pagi.” Lalu orang-orang berkumpul kepadanya, ada yang
datang sendiri dan ada yang mengutus utusannya. Kemudian Rasulullah s.a.w.
berpidato, “Wahai Bani Abdul Muththalib, wahai Bani Fihr, wahai Bani Lu’ay,
apa pendapat kalian jika aku memberitahu kalian bahwa di kaki bukit ini ada
seekor kuda yang hendak menyerang kalian, apakah kalian mempercayai aku?”
Mereka menjawab, “Ya, kami mempercayai anda.” Beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan azab yang sangat keras.” Abu
Lahab berkata, “Celakalah kamu untuk selama-lamanya! Apakah hanya untuk
ini kamu memanggil kami?” Maka Allah ta’ala menurunkan surat Al-Lahab, di
antaranya sebagai berikut:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan
binasa.”(Al-Lahab: 1)
Menurut Al-Maraghi, pemberian peringatan dalam surat Asy-Syu’ara’: 214
di atas, sifatnya adalah pemberian peringatan secara khusus, dan ini merupakan
bagian dari peringatan yang bersifat umum, yang untuk itulah Rasulullah s.a.w.
diutus.
Alquran Surat Asy-syu’ara:214 berisi perintah menjadikan keluarga
terlebih dahulu dalam arti sebagai objek pendidikan yang utama. Baru
kemudian kerabat jauh dan akhirnya seluruh manusia seperti yang dijelaskan
dalam hadits tadi. Selain itu Lingkungan keluarga merupakan lingkungan
17

pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga(orang tua)
dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan.
Di sini jelas, perintah menjadikan keluarga terdekat terlebih dahulu dalam
arti sebagai objek pendidikan yang utama. Baru kemudian kerabat jauh dan
akhirnya seluruh manusia.
Selain itu Adapun dasar operasional pendidikan yang harus kita ketahui
terdiri atas, Dasar historis, Dasar social, Dasar ekonomi, Dasar politik dan
administrative, Dasar psikologis , Dasar filosofis. Lingkungan keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan
keluarga(orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah
dominan, hal ini menunjukkan orangtua mempunyai kewajiban untuk
memberikan pendidikan kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari
siksa api neraka.
10. Q.S. Ali ‘Imran Ayat 79 dan 104

ِ ‫اس ُكونُوا ِعبَادًا لِي ِم ْن د‬


‫ُون‬ َ ُ‫َاب َو ْال ُح ْك َم َوالنُّبُ َّوةَ ثُ َّم يَق‬
ِ َّ‫ول لِلن‬ َ ‫َما َكانَ لِبَ َش ٍر أَ ْن ي ُْؤتِيَهُ هَّللا ُ ْال ِكت‬
َ ‫هَّللا ِ َو ٰلَ ِك ْن ُكونُوا َربَّانِيِّينَ بِ َما ُك ْنتُ ْم تُ َعلِّ ُمونَ ْال ِكت‬
}79{ َ‫َاب َوبِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْد ُرسُون‬
Artinya : “ Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang
rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu
tetap mempelajarinya.”(Q.S. Ali-‘Imran [3] : 79)
Tafsir QS. Ali Imran (3) : 79. Muhammad Quraish Shihab mengatakan
dalam Tafsir Al Misbah:
“Tidak dapat diterima akal dan tidak akan sampai hati, seorang nabi yang
menerima wahyu dan ilmu pengetahuan dari Allah serta berbicara tentang
Allah, untuk meminta orang lain menyembahnya, bukan menyembah Allah.
Yang dapat diterima akal dan sesuai dengan kenyataan adalah bahwa nabi
meminta oang lain menyembah Allah subhanahu wa ta’ala, yang menciptakan
mereka, dengan penuh ketulusan sesuai dengan ilmu yang telah diajarkan dan
mereka pelajari dari kitab.”
18

Di dalam kitab Musnad —dan Imam Turmuzi seperti yang akan disebutkan


kemudian— disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah berkata:
"Wahai Rasulullah, mereka sama sekali tidak menyembahnya (para rahib dan
orang-orang Nabi ‫ﷺ‬ menyangkal, "Tidak demikian,
sesungguhnya mereka (para rahib dan orang-
orang haram dan mengharamkan atas mereka yang halal, lalu mereka (para
pengikutnya) mengikutinya.
Yang demikian itulah cara penyembahan mereka kepada orang-
orang Orang-orang yang tidak mengerti dari kalangan para rahib dan para
pendeta serta pemimpin-pemimpin kesesatanlah yang termasuk ke dalam
golongan orang-orang yang dicela dan dicemoohkan oleh ayat ini.
Lain halnya dengan para rasul dan para pengikut mereka dari
kalangan rasul kepada mereka.
Sesungguhnya yang mereka larang hanyalah apa-apa yang dilarang oleh Allah
subhanahu wa ta’ala, kemudian disampaikan kepada mereka oleh rasul–
rasul Allah yang mulia.
Semua rasul merupakan delegasi yang menghubungkan antara Allah dan
makhluk-Nya untuk menyampaikan risalah dan amanat yang diembankan
kepada mereka oleh Allah subhanahu wa ta’ala, lalu mereka menunaikan tugas
ini dengan sempurna, menasihati makhluk Allah, dan menyampaikan
kebenaran kepada makhluk-Nya.
Dِ ‫َو ْلتَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أُ َّمةٌ يَ ْد ُعونَ إِلَى ْالخَ ي ِْر َويَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
َ ِ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْال ُم ْن َك ِر َوأُولَئ‬
‫ك هُ ُم‬
َ‫ْال ُم ْفلِحُون‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(Q.S. Ali-‘Imran [3] : 104)
Tidak ada riwayat yang secara spesifik menujuk sabab nuzul pada ayat
tersebut. Tapi, ia ada hubungannya dengan ciri masyarakat yang, menurut
definisi Kontjaraningrat, disebut sebagai sekumpulan manusia yang saling
berinteraksi dengan ciri-ciri adanya interaksi, adat istiadat, kontinuitas waktu,
serta rasa identitas yang kuat yang mengikat semua warga. (Koentjaraningrat,
2009: 115-118). Dalam ciri sosial seperti itulah masyarakat baru yang sedang
19

coba dibangun oleh kanjeng Nabi saat surat ini turun pada tahun ketiga hijrah
(al-Jabiri, 2004: 135-136).
Riwayat Ibn Abbas menceritakan perselisihan antara beberapa orang dari
suku Aus dan Khazraj yang berselisih paham sehingga masing-masing
mengambil senjata dan siap untuk adu pedang. Kejadian ini kemudian
disampaikan kepada Nabi SAW. Mendengar ini, beliau SAW kemudian
mendatangi mereka, lalu turunlah Surat Ali Imran ayat 101-103 (al-Wahidi:
1991, 120-121).
Pesan utama ayat ini adalah dorongan untuk adanya sebagian elemen dari
kelompok masyarakat yang pertama, menyeru pada kebaikan (khair).
Kedua, memerintah pada makruf. Ketiga, mencegah dari berbagai perkara
kejahatan (munkar). Ketiga elemen ini adalah prasyarat utama untuk
terbentuknya masyarakat yang beruntung.
Ayat ini seringkali dipahami sebagai landasan utama bagi setiap muslim
untuk menjalankan perintah amr ma’ruf nahy munkar, menyuruh pada
kebaikan dan mencegah kemungkaran. sebuah cara pandang yang
memunculkan fenomena saling mengingatkan antar sesama yang pada
dasarnya adalah nilai-nilai positif. Namun tidak jarang pula karena satu dan
lain hal, sikap ini sampai pada level cringe, nyebahi, dan kontraproduktif.
Perbedaan term khair dan ma’ruf telah banyak diulas para mufasir. Di sini
penulis ketengahkan uraian Prof Quraish Shihab yang
menyebutkan khair  sebagai nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Al-Qur’an
dan Sunah. Sedangkan ma’ruf, sebagaimana akar katanya, adalah sesuatu yang
baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-
khair.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang
seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal
seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan
dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu
pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja
mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja,
sepanjang hayat manusia itu.
Kegiatan Belajar mengajar adalah kewajiban bagi setiap muslim, al-qur’an
menjelaskan tentang kewajiban belajar mengajar. Ada banyak ayat yang
menjadi dasar dan memberikan pedoman dalam kewajiban belajar mengajar.
B. Saran
Makalah yang kami susun semoga bisa membantu kita lebih memahami
tentang kewajiban belajar mengajar yang lebih mendalam. Mohon
permakluman dari semuanya jika dalam makalah kami ini masih terdapat
banyak kekeliruan baik bahasa maupun dalam pengetikan. Karena tiadalah
sesuatu yang sempurna yang bisa manusia ciptakan.
DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashruddin. 2011. “Metode Penafsiran Al-Qur`an: Kajian Kritis


Terhadap yang Beredaksi Mirip”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Taufiq Muhammad, Izzuddin. 2006. Dalil Anfus Alqur’an Dan Embriologi (Ayat-


ayat Tentang Penciptaan Manusia. Tiga Serangkai: Solo.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat
Bahasa: Jakarta.
Shihab, M Quraish. 2001. Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas berbagai
Persoalan Umat Mizan: Bandung.
Nadwi, Abdullah Abbas. 1996. LearningThe LanguageOf The Holy Al-
Qur’an (Belajar Mudah Bahasa Al-Qur’an). Mizan: Bandung.
Al-Ghazali, 2003. Mutiara Ihya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis
Sendiri Oleh Sang Hujjatul-Isla. Mizan: Bandung.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa.tp th Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-
Fikr)
Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Lentera Hati: Jakarta.
Hamka. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz IV. Pustaka Panjimas: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai