PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islam pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu
tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (minal-mahd ila> al-lahd).
Islam juga memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan
meneliti segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad
alam raya ini dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan
yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya.
Dalam pandangan Islam tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya
mendapatkan porsi yang sama dalam menuntut ilmu (pendidikan). Bukan
hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh
Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga.
Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan melalui jalan
kehidupan dunia ini.
Berbicara tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
tentang kegiatan belajar mengajar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
dunia pendidikan itu sendiri. Belajar mengajar memiliki peran yang sangat
penting karena tanpa itu proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan
moderen sulit untuk diwujudkan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari belajar dan mengajar?
2. Ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar
mengajar dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian dari belajar dan mengajar.
2. Untuk mengetahui Ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang
kewajiban belajar mengajar dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama.
1
BAB II
PEMBAHASAN
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 2001), 433.
4
Dengan demikian, karena objek ontologi seluruh ilmu tersebut adalah ayat-
ayat Allah, maka sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah
dan harus diabdikan untuk Allah. Manusia hanya menemukan dan
memanfaatkan ilmu-ilmu itu. Maka pemanfaatannya harus ditujukan untuk
mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT.
2. Q.S Al-Ghasiyah Ayat 17-20
ِ َو َما َكانَ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ لِيَ ْنفِرُوا َكافَّةً ۚ فَلَوْ اَل نَفَ َر ِم ْن ُكلِّ فِرْ قَ ٍة ِم ْنهُ ْم طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الد
ِّين
َم إِ َذا َر َجعُوا إِلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم يَحْ َذرُونDَُْولِيُ ْن ِذرُوا قَوْ َمه
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.”(Q.S. At-Taubah [9] : 122)
Tafsir Mufradat
Berangkat perang = نفر – ينفر: لينفروا
= لوال: فلوال
Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang
disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila hal itu terjadi di masa yang akan
datang. Tapi laula juga berarti kecaman atas meninggalkan perbuatan yang
disebutkan sesudah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila
hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa
juga laula, itu berarti perintah mengerjakannya.
= Kelompok besar الفرقة: فرقة
= Kelompok kecil الطآئفة: طآئفة
= تفقه – يتفقه: ليتفقهوا
Berusaha keras untuk mendalami dan memahami suatu perkara dengan
susah payah untuk memperolehnya.
= Menakut-nakuti أنذر – ينذر: لينذروا
7
maupun perempuan yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan atau
hati dalam seluruh situasi dan kondisi.8
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa objek dzikir adalah Allah,
sedangkan objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam.
Ini berarti pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan kepada kalbu,
Sedang pengenalan alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir. Akal
memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia
memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu dapat
dipahami sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui
Ibn ‘Abbas,
10
M. Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm.
635
11
M. Quraish Shihab, Volume. 10, Op. Cit, hlm. 464-465
11
َم َعكَ ۚ َوهَّللا ُ يُقَ ِّد ُر َك تَقُو ُم أَ ْدن َٰى ِم ْن ثُلُثَ ِي اللَّ ْي ِل َونِصْ فَهُ َوثُلُثَهُ َوطَائِفَةٌ ِمنَ الَّ ِذين
َ َّك يَ ْعلَ ُم أَن
َ َّإِ َّن َرب
ض يَ ْبتَ ُغونَ ِم ْن فَضْ ِل هَّللا ِ ۙ َوآخَ رُونَ يُقَاتِلُونَ فِي ِ ْى ۙ َوآ َخرُونَ يَضْ ِربُونَ فِي اأْل َرDٰ ض َ ِْم ْن ُك ْم َمر
ۚ هَّللا َ قَرْ ضًا َح َسنًاDصاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوأَ ْق ِرضُوا
َّ الD َما تَيَ َّس َر ِم ْنهُ ۚ َوأَقِي ُمواDيل هَّللا ِ ۖ فَا ْق َر ُءوا
ِ َِسب
َ َو َما تُقَ ِّد ُموا أِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ِم ْن خَ ي ٍْر ت َِجدُوهُ ِع ْن َد هَّللا ِ هُ َو َخ ْيرًا َوأَ ْعظَ َم أَجْ رًا ۚ َوا ْستَ ْغفِرُوا هَّللا َ ۖ إِ َّن هَّللا
}20{َغفُو ٌر َر ِحي ٌم
Artinya:
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri
(shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui
bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang
yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah;
dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al-Qur’an dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja
yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di
sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.
Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Muzzammil [73]: 20)
Kesimpulan hukum yang diperoleh dari surah Al-Muzzammil ayat 20 di
atas memang ditemui perbedaan. Menurut Imam Syafi’i–sebagaimana
disebutkan dalam Hasyiyah Ash-Shawi–, ayat ini menandakan perubahan
hukum shalat malam yang awalnya wajib menjadi sunah, bagi Nabi
Muhammad juga bagi umatnya.
Sedangkan menurut Imam Malik, perubahan hukum shalat malam menjadi
sunah hanya berlaku bagi umat Rasulullah saja. Sedangkan bagi Nabi
Muhammad Saw., hukum shalat malam masih tetap diwajibkan, tetapi hanya
ketika beliau sedang di rumah atau tidak sedang berpergian. Adapun alasannya
sudah dijelaskan dalam pembahasan tafsir surah Muzzammil bagial awal surah.
Allah mengetahui bahwa ketika Nabi Muhammad menjalankan shalat
tahajud, tidak selamanya beliau melaksanakannya secara penuh setiap
13
malamnya. Dalam artian dimulai dari permulaan hingga akhr malam. Nabi
Muhammad terkadang menjalankan shalat malam kurang dari dua pertiga
malam, kadang juga setengah malam, bahkan juga menjalankannya sepertiga
dari keseluruhan waktu malam. Begitu juga yang dilaksakan oleh umat beliau.
Melalui redaksi “alima an sayakunu minkum…”, memberikan gambaran
kepada kita akan pengetahuan Allah. Sesungguhnya Allah Swt. mengetahui
bahwasanya sebagian hambanya-Nya ialah orang-orang yang memiliki uzur
untuk menjalankan shalat malam.
Di antara orang yang mengalami uzur ialah orang yang sedang menderita
sakit jasmani maupun rohani, sehingga menjadikannya tak mampu
menjalankan shalat malam. Kemudian orang yang berjalan di muka bumi untuk
mencari karunia Allah, berupa rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan
hidup keluarganya. Juga orang yang turut serta dalam peperangan membela
agama Allah. Selain itu, termasuk di dalamnya juga orang yang tersibukkan
untuk menuntut ilmu dan silaturrahmi.
Terdapat fakta menarik dalam ayat ini, sebagaimana dikemukakan oleh
Imam Ahmad bin Muhammad Ash-Shawi. Menurut beliau, disandingkannya
redaksi orang-orang yang berperang atau berjihad (mujahidin) dan orang-orang
yang mencari rezeki halal (muktasibina lil mali al-halali) ialah sebuah isyarat
bahwa derajat mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan
kebutuhan keluarga itu dapat disejajarkan dengan derajat orang yang berjihad
di jalan Allah Swt.
Kalimat perintah “faqra’u ma tayassara minal qur’an” atau “faqra’u ma
tayassara minhu”, secara tekstual memang menunjukkan perintah untuk
membaca Al-Qur’an sesuai kadar kemampuan pelakunya, seringan mungkin
tidak malasah. Tetapi terdapat perbedaan, apakah lafal tersebut menunjukkan
perintah shalat dengan kadar bacaan Al-Qur’an meski pun ringan, atau perintah
membaca Al-Qur’an secara bebas, baik di luar maupun ketika shalat.
Di antara ulama yang menafsirkan bahwa redaksi tersebut menunjukkan
perintah untuk shalat malam, meski dengan bacaan Al-Qur’an yang ringan
ialah Imam Ibnu ‘Asyur. Beliau melandaskan penafsirannya pada aturan shalat
yang terdapat rukun untuk membaca ayat Al-Qur’an. Karena apabila sebuah
rukun ditinggalkan, berakibat pada tidak sahnya shalat.
14
Akan tetapi ulama ahli tafsir memiliki pemahaman yang berbeda terkait
kadar ringan yang dimaksud dari redaksi tersebut. Disebutkan dalam Tafsir
Mafatihul Ghaib, ada ulama yang menafsirkan bahwa kadar ringan ini setara
dengan seratus ayat. Apabila tidak mampu, maka bisa dikurangi menjadi lima
puluh ayat. Begitu pun terus turun kadarnya hingga setara dengan ayat-ayat
pendek, sesuai dengan kadar kemampuan yang melakukan.
Sedangkan Prof. M. Qurais Shihab memberikan kesimpulan tengah-tengah,
bahwa Allah memerintahkan kepada seluruh manusia supaya jangan sampai
meninggalkan membaca Al-Qur’an dalam sehari semalam. Meski sedikit, tetap
perlu diusahakan untuk membaca Al-Qur’an, baik di dalam maupun di luar
shalat.
Ayat ini juga menjelaskan tentang alternatif bagi umat Nabi Muhammad
yang tak mampu menjalankan shalat malam, yakni terdapat pada lafal
“waqridhullaha qardhan hasanan”. Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, lafal
tersebut memiliki tiga bentuk penafsiran, yakni dimaknai dengan “sedekah”,
dimaknai dengan “zakat”, maupun dimaknainai dengan “segala amal baik yang
berhubungan dengan harta”.
Tetapi jika merujuk penuturan Prof. M. Quraish Shihab, ayat ini
menunjukkan alternatif bagi orang-orang yang tak mampu menjalankan shalat.
Yaitu dengan cara memperbanyak sedekah. Meski beliau menjelaskan lebih
lanjut bahwa alangkah lebih baiknya apabila kita mampu melaksanakan shalat
malam sekaligus mampu bersedekah.
7. QS. Muhammad Ayat 24
ب أَ ْقفَالُهَا
ٍ فَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ آنَ أَ ْم َعلَ ٰى قُلُو
Artinya :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati
mereka terkunci?” (Muhammad [47]: 24)
Bahkan pada hati mereka terdapat kunci yang menutupnya. Karena itu, hati
mereka terkunci mati. Tiada sesuatu pun yang dapat menghidupkannya dapat
masuk ke dalamnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Yazid, telah menceritakan kepada
kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pada suatu
15
pernah putus asa hingga dakwahnya berhasil, sehingga banyak orang yang
memeluk Islam dimana-mana sampai beliau wafat, Islam tersebar luas ke
seluruh penjuru dunia, keberhasilan dakwah beliau dilanjutkan oleh para
sahabat.
9. Q.S Asy-Syu’ara Ayat 214
َك اأْل َ ْق َربِين
َ َر َع ِشي َرتDْ َوأَ ْن ِذ
Artinya : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat”(Q.S. Asy-Syu’ara [26] : 214)
Dalam ayat ini, Allah s.w.t. memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk
member peringatan kepada kaum kerabantnya yang terdekat dan agar bergaul
dengan orang-orang mukmin dengan lemah lembut. Imam Bukhari dan Imam
Muslim menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas r.a.,[1] bahwa ketika Allah
menurunkan ayat di atas, Nabi s.a.w. naik ke bukit Shafa lalu berseru, “Wahai
orang-orang, sudah pagi.” Lalu orang-orang berkumpul kepadanya, ada yang
datang sendiri dan ada yang mengutus utusannya. Kemudian Rasulullah s.a.w.
berpidato, “Wahai Bani Abdul Muththalib, wahai Bani Fihr, wahai Bani Lu’ay,
apa pendapat kalian jika aku memberitahu kalian bahwa di kaki bukit ini ada
seekor kuda yang hendak menyerang kalian, apakah kalian mempercayai aku?”
Mereka menjawab, “Ya, kami mempercayai anda.” Beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan azab yang sangat keras.” Abu
Lahab berkata, “Celakalah kamu untuk selama-lamanya! Apakah hanya untuk
ini kamu memanggil kami?” Maka Allah ta’ala menurunkan surat Al-Lahab, di
antaranya sebagai berikut:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan
binasa.”(Al-Lahab: 1)
Menurut Al-Maraghi, pemberian peringatan dalam surat Asy-Syu’ara’: 214
di atas, sifatnya adalah pemberian peringatan secara khusus, dan ini merupakan
bagian dari peringatan yang bersifat umum, yang untuk itulah Rasulullah s.a.w.
diutus.
Alquran Surat Asy-syu’ara:214 berisi perintah menjadikan keluarga
terlebih dahulu dalam arti sebagai objek pendidikan yang utama. Baru
kemudian kerabat jauh dan akhirnya seluruh manusia seperti yang dijelaskan
dalam hadits tadi. Selain itu Lingkungan keluarga merupakan lingkungan
17
pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga(orang tua)
dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan.
Di sini jelas, perintah menjadikan keluarga terdekat terlebih dahulu dalam
arti sebagai objek pendidikan yang utama. Baru kemudian kerabat jauh dan
akhirnya seluruh manusia.
Selain itu Adapun dasar operasional pendidikan yang harus kita ketahui
terdiri atas, Dasar historis, Dasar social, Dasar ekonomi, Dasar politik dan
administrative, Dasar psikologis , Dasar filosofis. Lingkungan keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan
keluarga(orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah
dominan, hal ini menunjukkan orangtua mempunyai kewajiban untuk
memberikan pendidikan kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari
siksa api neraka.
10. Q.S. Ali ‘Imran Ayat 79 dan 104
coba dibangun oleh kanjeng Nabi saat surat ini turun pada tahun ketiga hijrah
(al-Jabiri, 2004: 135-136).
Riwayat Ibn Abbas menceritakan perselisihan antara beberapa orang dari
suku Aus dan Khazraj yang berselisih paham sehingga masing-masing
mengambil senjata dan siap untuk adu pedang. Kejadian ini kemudian
disampaikan kepada Nabi SAW. Mendengar ini, beliau SAW kemudian
mendatangi mereka, lalu turunlah Surat Ali Imran ayat 101-103 (al-Wahidi:
1991, 120-121).
Pesan utama ayat ini adalah dorongan untuk adanya sebagian elemen dari
kelompok masyarakat yang pertama, menyeru pada kebaikan (khair).
Kedua, memerintah pada makruf. Ketiga, mencegah dari berbagai perkara
kejahatan (munkar). Ketiga elemen ini adalah prasyarat utama untuk
terbentuknya masyarakat yang beruntung.
Ayat ini seringkali dipahami sebagai landasan utama bagi setiap muslim
untuk menjalankan perintah amr ma’ruf nahy munkar, menyuruh pada
kebaikan dan mencegah kemungkaran. sebuah cara pandang yang
memunculkan fenomena saling mengingatkan antar sesama yang pada
dasarnya adalah nilai-nilai positif. Namun tidak jarang pula karena satu dan
lain hal, sikap ini sampai pada level cringe, nyebahi, dan kontraproduktif.
Perbedaan term khair dan ma’ruf telah banyak diulas para mufasir. Di sini
penulis ketengahkan uraian Prof Quraish Shihab yang
menyebutkan khair sebagai nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Al-Qur’an
dan Sunah. Sedangkan ma’ruf, sebagaimana akar katanya, adalah sesuatu yang
baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-
khair.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang
seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal
seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan
dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu
pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja
mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja,
sepanjang hayat manusia itu.
Kegiatan Belajar mengajar adalah kewajiban bagi setiap muslim, al-qur’an
menjelaskan tentang kewajiban belajar mengajar. Ada banyak ayat yang
menjadi dasar dan memberikan pedoman dalam kewajiban belajar mengajar.
B. Saran
Makalah yang kami susun semoga bisa membantu kita lebih memahami
tentang kewajiban belajar mengajar yang lebih mendalam. Mohon
permakluman dari semuanya jika dalam makalah kami ini masih terdapat
banyak kekeliruan baik bahasa maupun dalam pengetikan. Karena tiadalah
sesuatu yang sempurna yang bisa manusia ciptakan.
DAFTAR PUSTAKA