5
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi , Ibid., hlm. 43.
undang tersebut telah membuat kepemilikan tnah pekulan menjadi lebih kuat,
kontrol yang dimiliki kuli baku atas tanahnya tersebut bahkan menyerupai kontrol
atas tanah yasan. Meskipun kuli baku tetap tidak bisa menjual belikan tanah
kulian-nya namun undang-undang tersebut telah memungkinkan kuli baku untuk
menyewakan tanahnya dalam jangka waktu ang lama.
Kepemilikan atas tanah pekulen semakin kuat ketika tanah tersebut
diwariskan secara turun temurun., hak pewarisan tersebut disebut sebagai erfelijke
individueel bezitrecht . Permasalahan bertambah pelik ketika kuli baku melanggar
aturan yang melarang untuk memperjual belikan tanah pekulen. Masyarakat Desa
Ngandagan dikenal suka berjudi dengan taruhan tanah, akibatnya adalah hamper
70% tanah di Desa Ngandagan dimiliki oleh orang yang berasal dari luar desa
tersebut6.
Ketika hrga tanah melambung tinggi yang telah menyebabkan akses
tanahbagi penduduk miskin semakin sulit hubungan antara kuli baku dengan buruh
kuli ikut terdampak. Penduduk miskin yang menggantungkan hidupnya sebagai
buruh di sawah buruhan telah semakin ketergantungan dengan tuannya (buruh
kuli) ini terjadi karena persaingan untuk mendapatkan tanah yang haranya naik
semakin hari semakin tinggi. Akhirnya terjadilah hubungan yang tak berimbang,
buruh kuli kini telah memiliki beban tambahan seperti mengurus rumah tangga
tuannya. Hal iniah yang disebut sebagai eksploitatif sosial bagi masyarakat
miskin7.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat di desa Ngandagan tidak
diimbangi dengan keterbatasan ekonomi sebagai akibat dari monetisasi ekonomi
pertanian telah menambah beban sosial kemiskinan bagi desa tersebut. Jumlah
persawahan yang hanya seluas 27% dari total luas desa sudah tak lagi mampu
6
Ahmd Nashih Luthfi, et.al., op.cit., hlm. 87.
7
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi , op.cit, hlm. 69.
menyediakan lahan untuk penduduk yang umlahnya semakin bertambah. Akibtnya
adalah banyak para warga atau petani yang tak memiliki sawah (tunakisma).
Mereka pada akhirnya bekerja psebagai buruh pada buruh kuli. Sementara itu
mereka yang tidak memiliki pekerjaan memilih untuk merantau keluar daerah atau
menjadi criminal di desa, istilah kriminal di Desa Ngandagan disebut sebagai
garong8.
Permasalahan-permasalahan yang tela disebutkan diatas merupakan
permasalahan yang bermula dari krisis agrarian dan telah merembet menjadi krisis
sosial-ekonomi di Desa Ngandagan. Lepasnya kontrol tanah komunal dari
pemerintah desa telah menempatkan kuli baku sebagai golongan yang mampu
mempertahankan kepemilikan “pinjaman” tanah sekaligus mempertahankan taraf
hidupnya. Sementara itu dinamika ekonomi yang terus berkembang dengan diiringi
pertumbuhan penduduk telah menimbulkan masalah ketimpangan dan eksplotasi
sosial. Dalam kasus ini yang kaya akan tetap dan semakin kaya, sementara yang
miskin dan lemah secara akes ekonomi kian hari semakin suram karena minimnya
peluang untuk menaikkan taraf hidupnya.
8
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi , op.cit., hlm. 43-44.
kehilangan legitimasinya atas tanah tersebut, ini juga berarti bahwa tanah-tanah
kulian yang dimiliki oleh penuduk luar Desa Ngandagan tidak bisa diambil juga.
Dalam prosesnya lurah Soemottrto menggelar rapat dengan para pejabat-
pejabat desa lainnya untuk membicarakan persialan pemerataan tanah tersebut.
Dalam rapat yang dilakukan berkali-kali tersebut sempat tidak menemui jalan
keluar. Terdapat dua kubu yang pro dan kontra atas gagasan lurah tersebut. Mereka
yang kontra menanggap bahwa kebijakan tersebut telah melanggar hak milik tanah
pekulen. Sementara itu ereka yang pro beranggapan bahwa kebijakan tersebut
harus segera dijalankan dengan sarat harus mengatur ha katas kpemilikan tanah
pekulen dan tanah buruhan. Karena jika hanya difokuskan pada penataan tanah
buruhan maka pembagiannya tetap saja tidak akan merata9.
Pada tahun 1947 lurah Soemotirto dengan berbagai pertimbangan akhirnya
memutuskan untuk melakukan reforma agrarian tanpa menyentuh hak tanah
pekulen yang telah menjadi hak tetap banyak warganya . Jadi reformasi agraria ini
difokuskan pada perubahan tata kepemilikan tanah buruhan. Dalam reforma
agrarian ini desa mencoba untuk mengambil alih kontrol atas tanah buruhan
sehingga tanah tersebut menjadi tanah komunal.
Prosesnya dimulai dengan mambagi tanah buruhan yang sebelumnya
didapatkan dari hasil pecahan tanah pekulen. Jika sebelumnya kuli baku
menyisikah hak garap 90 ubin tanahnya untuk diberikan kepada 1 keluarga yang
tidak memiliki tanah (tunakisma) maka stelah reformasi agrarian jumlah
pembagian terseut dibagi oleh desa. Ukuran 90 ubin tersebut dibagi menjadi dua
dengan masing-masingnya adalah 45 ubin, pembagian ini dilakukan agar dalam 90
ubin trsebut dapat digunakan oleh 2 keluarga. Langkah ini diambil mengingat
9
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi , ibid., hlm. 70-71.
semakin bertambahnya jumlah penduduk Desa Ngandagan yang tidak diimbangi
dengan ketersediaan akses terhadap lahan pertanian10.
Karena hak garap atas tanah buruhan dimiliki oleh desa maka desa lah yang
memiliki wewenang untuk menentukan siapa saja yang pantas untuk mendapatkan
tanah tersebut. Karena itulah buruh kuli berada langsung dibawah tanggung jawab
desa, mereka tidak diwajibkan untuk mengabdi kepada kuli baku dan sebagai
gantinya maka merekaharus melakukan kerigan atas mereka sendiri. Kuli baku
dalam hal ini juga tidak lagi dibebankan dengan kerigan atas tanah pekulennya
karena ia telah diberikan kewajiban untuk menyerahkan 90 ubin tanah pekulennya
untuk 2 keluarga tunakisma. Pajak tanah tetap diberlakukan kepada kuli baku
dengan tidak mengurangi jumlahnya, jadi yang dibayarkan adalah keseluran
termasuk 90 ubin tanah ang sudah diberikan wajib untuk tunakisma11.
Untuk buruh kuli sama sekali tidak dibebankan pajak atas tanah buruhan,
karena mereka hanya memiliki hak garap atas nama pemilik tanah pekulen.
Persyaratannya pun juga masih tetap, boleh diwariskan namun tidak boleh
diperjual belikan, disewakan, dan juga digadaikan.
Namun kuli baku juga diberi kesempatan untuk mendapatkan tanah buruhan
dengan ukuran yang sama, dengan syarat mereka juga harus mau melakukan
kerigan atas kompensasinya. Sehingga kuli baku masih memiliki kesempatan
untuk mengelola tanah yang lebih luas setelah memberikan 90 ubin wajibnya
kepada desa sebagai tanah buruhan. Ini bisa digunakan untuk antisipasi jika
terdapat kuli baku yang hanya memiliki satu unit sawah pekulen sementara dia
memiliki tanggungan keluarga yang besar. Karena satu unit tanah ersebut sudah
harus terbagi dengan tanah buruhan dan pastinya membutuhkan tambahan tanah
lagi12.
10
Ahmad Nashih Luthfi, et.al., op.cit., hlm. 82-83.
11
Ahmad Nashih Luthfi, et.al., ibid.
12
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi ,op.cit., hlm. 77.
Untuk mencoba meningkatan kepemilikan tanah bagi warga desanya, lurah
Soemotirto juga membebankan wajib bayar pajak bumi dan penyisihan tanah
buruhan bagi para pemilik tanah pekulen yang berasal dari desa lain. Hanya saja
mereka tidak diberikan akses untuk memperolehtanah buruhan seluas 45 ubin
beserta dengn larangan kerigan nya. Ini dimaksudkan agar orang yang berasal dari
luar desa tersebut tidak memiliki tambahan akses tanah lebih luas lagi. Sehingga
akibatnya banyak warga dari luar desa yang melepaskan tanah peulen nya kepada
pemerintah desa. Dampaknya adalah kepemilikan tanah bagi warga desa
Ngandagan sendiri naik menjadi 44% pada tahun 196013.
Selain menata pembagian tanah buruhan untuk menciptakan kesejahteraan
para petani tak bersawah, Soemotirto juga menata tenaga kerja agrria. Soemotirto
dalam reformasinya sealing menghendaki kesetaraan kepemilikan tanah juga
menghendaki agar tanah yang sudah setra tersebut dikerjakan sendiri oleh
pemiliknya. Maka untuk itu penggunaan tenaga kerja buruh dalam mengerjakan
sawah pertanian dihapuskan.
Untuk mnggantikan penghapusan tersebut Soemotirto mengenalkan sistem
grojogan atau tukar menukar tenaga kerja. Cara kerjanya dalah semisal
sekelompok petani A akan bekerja sebagai pemanen padi di swah milik petani B.
Jika sudah selesai dalam beberapa hari, missal 3 hari, maka untuk selanjutnya
petani B dengan kelompoknya akan bekerja memanen sawah milik petani A.
Beginilah sistem tukar menukar itu menggantikan sistem pekerjaan buruh. Namun
jika sawah yang dikerjakan adalah sawah yang luas, maka pembayarannya
dikombinasikan dengan sistem bawon14. Untuk menghindari ketimpangan maka
13
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi. Ibid., hlm. 80.
14
Sisem pembayaran yang diambil dari hasil panen, dimana setiap hasil panen yang didapatkan
maka 1/5 nya adalah milik pekerja yang memanen.
pemilik sawah yang luas akan menambah pekerjaan penggantinya kepada petani
pemilik lahan sempit dengan cara membuka ladang di lahan kering15.
Setelah seluruh rga memiliki kesetaraan dalam hal akses sawah, Someotirto
mencoa untuk mengurangi ketimpangan atas kepemilikan luasan lahan pertaian.
Cara yang ditempuhnya adalah dengan melakukan perluasan lahan pertanian
melalui pemanfaatan lahan kering kurang subur yang sebelumnya masih
bebrbentuk hutan dan semak belukar. Tanah yang digunakan adalah tanah guntai
seluas 10 hektar milik mantan Ndoro Siten atau Asisten Wedana Kecamatan
Pituruh bernama Dwi Purnohardjo.
Cara pemanfaatan tanah guntai tersebut adalah dengan teap menggunakan
sistem tukar menukar tenga kerja. Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa
petani yang memiliki lahan luas akan membayar hutang kerjanya kepada petani
pemilik sawah sempit dengan membuka ladang pertanian baru di tanah kering.
Ladang peranian tersebut diarahkan oleh Soemotirto ke tanah guntai bekas milik
Ndoro Siten. Sehingga nantinya luas lahan pertanian Desa Ngandagan bertambah
dan diberikan kepada petani yang memiliki lahan sempit16.
DAFTAR RUJUKAN
Luthfi, Ahmad Nashih. et.al. 2013. Kondisi Dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan Di Jawa
Tengah Dulu Dan Sekarang. Yogyakarta: STPN Press.
15
Ahmad Nashih Luthfi, et.al., op.cit., hlm. 84.
16
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi ,op.cit., hlm. 87
Sulastriyono Puridan, H Widhiani. “Tanah Pekulen Dalam Struktur Hukum Agraria Di Jawa”,
dalam Mimbar Hukum. Vol. 28, No. 3, 2016.