Anda di halaman 1dari 10

PELAKSANAAN LAND REFORM

JENIS PENGUASAAN TANAH DI DESA NGANDAGAN


Seperti umumnya pada desa-desa di Jawa pola penguasaan tanah di Desa
Nandagan didasarkan pada hukum adat yang telah membagi penguasaan tanah
(semuanya dalam bentuk sawah) menjadi tiga bentuk. Ketiganya adalah tanah -
yasan, tanah pekulen, tanah bengkok dan tanah buruhan. Pembagian tersebut
secara oomatis telah membentuk kelas sosial yang berbeda-beda menurut
kepemilikannya. Untuk mengetahuinya lebih lanjut maka akan dijabarkan secara
satu per satu tentang masing-masing jenis tanah tersebut.
Tanah yasan merupakan tanah kepemilikan pribadi yang dapat diturunkan
secara turun temurun dalam satu keluarga. Kepemilikan tanah ini didasarkan
bahwa seseorang yang diruntut garis keluarganya telah lebih dahulu mengelola
dan mengolah sebidang tanah tersebut sejak dahulu kala. Sehinga dapat dikatakan
bahwa orang tersebut atau mungkin salah seorang dari pendahulunya yang masih
memiliki hubungan keluarga inti, dulunya adalah yang pertama kali melakukan –
babat alas atau membuka hutan yang sekarang menjadi cikal bakal suatu desa. Hak
kepemilikan tanah yasan ini serupa dengan hak eigendom yang berlaku di Eropa.
Tanah pekulen yang oleh masyarakat Jawa disebut juga dengan anah
gogolan, sikepan, dan norowito merupakan tanah pertanian komunal milik desa.
Tanah tersebut dalam penggunaanya diatur oleh desa dengan cara hak garapnya
didistribusikan secara bergilir maupun tetap kepada masyarakat desa. Tanah
pekulen akan dibagi menjadibeberapa unit oleh desa, setiap unitnya terdiri dari
300 ubin. Unit-unit tersebut akan dibagikan kepada warga inti desa sehinga warga
yang menerimanya memiliki hak arap atas tanah kulian tersebut1. Warga yang
menerima tanah pekulen disebut sebagai kuli baku.
Adapun persyaratan bagi setiap calon yang ingin mendapatkan hak tanah
tersebut adalah harus memiliki keluarga, harus sudah memiliki rumah beserta
pekarangannya. Lalu masih ditambah dengan perolehan izin dari pemilik hak
garap tanah pekulen lainnya dan yang terakhir wajib melakukan kerigan atau kerja
wajib desa. Kerja tersebut bisa berupa ronda malam dan pembangunan inrastruktur
desa. Setiap. Tanah pekulen sudah dilengkapi oleh letter C dan Pajak Bumi
Bangunan, sehingga pnerimanya wajib membayar pajak atas tanah tersebut2.
Mereka yang sudah mendapatkan hak tanah pekulen tidak diperbolehkan
oleh hukum adat untuk menjual dan menyewakannya kepada orang lain dan tanah
tersebut harus dikerjakan sendiri. Tanah pekulen tidak dimiliki secara turun
temurun oleh penerima hak garapnya.
Jeinis yang ketiga adalah tanah bengkok, tanah tersebut diberikan kepada
perangkat desa sebagai bentuk “gaji” karena pengabdiannya kepada desa. Hampir
semua pamong desa di Jawa memperoleh gajinya dalam bentuk tanah bengkok ini.
Ukurannya pun juga bervariasi sesuai dengan tingginya jabatan, mulai dari lurah,
jajaran kepala urusan, kepala hansip, bagian urusan, hingga ketua RT/RW. Tanah
bengkok ini tidak dimiliki secara turun temurun dan akan dikembalikan ke desa
jika masa jabatan pemilik hak garanya sudah habis3.
Sementara itu yang terakhir adalah tanah (sawah) buruhan, tanah tersebut
merupakan pecahan dari tanah pekulen. Seorang kuli baku akan memecah
sawahnya dari per unitnya yang sejumlah 300 ubin dipecah lagi dengan 90 ubin
nya diberikan kepada penduduk yang tidak memiliki sawah garapan. Sebutan bagi
1
Windhiana H. Puridan Sulastriyono, “Tanah Pekulen Dalam Struktur Hukum Agraria Di Jawa”,
dalam Mimbar Hukum, Vol. 28, No. 3, 2016, hlm. 467-469.
2
Ibid.
3
Ahmad Nashih Luthfi, et.al., Kondisi Dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan Di Jawa Tengah
Dulu Dan Sekarang, (Yogyakarta: STPN Press, 2013), hlm. 101.
penerima sawah buruhan tersebut adalah buruh kuli. Sebagai kompensasi atas
pemberian tersebut maka buruh kuli akan mengerjakan sawah milik kuli baku
sekaligus menggantikan kerigan atau kerja wajib desa yang sebelumnya dilakukan
oleh kuli baku4.

PERMASALAHAN AGRARIA DI DESA NGANDAGAN


Terdapat 2 pokok permasalahan agrarian yang terjadi di Desa Ngandagan,
yang pertama adalah tentang status kepemilikan tanah pekulen yang dalam
perjalanannya sedikit demi sedikit telah lepas dari pengaturan redistribusi desa.
Lalu yang kedua adalah masalah pertambahan jumlah penduduk yang tidak
diimbangi dengan kepemilikan lahan pertanian yang merata. Kedua masalah
tersebut tidak hanya menimbulkn ketimpangan sosial, melainkan juga terjadinya
eksploitatif sosial bagi mereka yang lemah secara ekonomi.
Sebenarnya masalah ketimpangan sosial dalam pembagian tanah sudah
diperkirakan sudah terjadi sejak pembagian tanah pekulen. Pembagian tanah
pekulen yang diatur oleh desa tidak merata, ada yang setiap kuli baku memperoleh
satu unit (300 ubin), da nada pula yang lebih. Pembagian tersebut pada awalnya
didasarkan pada besarnya kontribusi calon penerimanya, namun terdapat juga
indikasi tentang pembagian yang jumlahnya didasarkan pada hubungan patronase
antara penerima dengan pemilik jabatan di desa yang membagikannya5.
Permasalahan agaria juga bertambah ketika undang-undang agrarian atau
Agrarische Wet diberlakukan untuk pertama kalinya di Hindia Belanda pada tahun
1870. Undang-undang tersebut telah menjamin hak kepemilikan tanah bagi para
petani yang menyewakan tanahnya kepada investor asing. Pada akhirnya undang-
4
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi, LAND REFORM LOKAL A LA NGANDAGAN:
Inovasi Sisem Tenuril Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. (Yogyakarta: STPN Press dan Sajogyo
Institute, 2010), hlm. 46.

5
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi , Ibid., hlm. 43.
undang tersebut telah membuat kepemilikan tnah pekulan menjadi lebih kuat,
kontrol yang dimiliki kuli baku atas tanahnya tersebut bahkan menyerupai kontrol
atas tanah yasan. Meskipun kuli baku tetap tidak bisa menjual belikan tanah
kulian-nya namun undang-undang tersebut telah memungkinkan kuli baku untuk
menyewakan tanahnya dalam jangka waktu ang lama.
Kepemilikan atas tanah pekulen semakin kuat ketika tanah tersebut
diwariskan secara turun temurun., hak pewarisan tersebut disebut sebagai erfelijke
individueel bezitrecht . Permasalahan bertambah pelik ketika kuli baku melanggar
aturan yang melarang untuk memperjual belikan tanah pekulen. Masyarakat Desa
Ngandagan dikenal suka berjudi dengan taruhan tanah, akibatnya adalah hamper
70% tanah di Desa Ngandagan dimiliki oleh orang yang berasal dari luar desa
tersebut6.
Ketika hrga tanah melambung tinggi yang telah menyebabkan akses
tanahbagi penduduk miskin semakin sulit hubungan antara kuli baku dengan buruh
kuli ikut terdampak. Penduduk miskin yang menggantungkan hidupnya sebagai
buruh di sawah buruhan telah semakin ketergantungan dengan tuannya (buruh
kuli) ini terjadi karena persaingan untuk mendapatkan tanah yang haranya naik
semakin hari semakin tinggi. Akhirnya terjadilah hubungan yang tak berimbang,
buruh kuli kini telah memiliki beban tambahan seperti mengurus rumah tangga
tuannya. Hal iniah yang disebut sebagai eksploitatif sosial bagi masyarakat
miskin7.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat di desa Ngandagan tidak
diimbangi dengan keterbatasan ekonomi sebagai akibat dari monetisasi ekonomi
pertanian telah menambah beban sosial kemiskinan bagi desa tersebut. Jumlah
persawahan yang hanya seluas 27% dari total luas desa sudah tak lagi mampu

6
Ahmd Nashih Luthfi, et.al., op.cit., hlm. 87.
7
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi , op.cit, hlm. 69.
menyediakan lahan untuk penduduk yang umlahnya semakin bertambah. Akibtnya
adalah banyak para warga atau petani yang tak memiliki sawah (tunakisma).
Mereka pada akhirnya bekerja psebagai buruh pada buruh kuli. Sementara itu
mereka yang tidak memiliki pekerjaan memilih untuk merantau keluar daerah atau
menjadi criminal di desa, istilah kriminal di Desa Ngandagan disebut sebagai
garong8.
Permasalahan-permasalahan yang tela disebutkan diatas merupakan
permasalahan yang bermula dari krisis agrarian dan telah merembet menjadi krisis
sosial-ekonomi di Desa Ngandagan. Lepasnya kontrol tanah komunal dari
pemerintah desa telah menempatkan kuli baku sebagai golongan yang mampu
mempertahankan kepemilikan “pinjaman” tanah sekaligus mempertahankan taraf
hidupnya. Sementara itu dinamika ekonomi yang terus berkembang dengan diiringi
pertumbuhan penduduk telah menimbulkan masalah ketimpangan dan eksplotasi
sosial. Dalam kasus ini yang kaya akan tetap dan semakin kaya, sementara yang
miskin dan lemah secara akes ekonomi kian hari semakin suram karena minimnya
peluang untuk menaikkan taraf hidupnya.

UPAYA REFORMASI AGRARIA DI DESA NGANDAGAN


Untuk menyelesaian persoalan agrarian dan sosial diatas lurah Soemotirto
mencoba mengatur kembali sistem pembagian tanah kulihan dan buruhan.
Tujuannya adalah agar semua warga desa yang semakin banyak jumlahnya bisa
memiliki akses terhadap anah (dalam hal ini sawah) secara merata. Namun terdapat
hal-hal yang harus dimaklumi oleh lurah Soemotirto. Hal-hal tersebut antara lain
adalah meskipun desa memiliki hak atas pengaturan tanah komunal, namun
kepemilkan sawah kulian telah menjadi paten milik kuli baku. Maka desa telah

8
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi , op.cit., hlm. 43-44.
kehilangan legitimasinya atas tanah tersebut, ini juga berarti bahwa tanah-tanah
kulian yang dimiliki oleh penuduk luar Desa Ngandagan tidak bisa diambil juga.
Dalam prosesnya lurah Soemottrto menggelar rapat dengan para pejabat-
pejabat desa lainnya untuk membicarakan persialan pemerataan tanah tersebut.
Dalam rapat yang dilakukan berkali-kali tersebut sempat tidak menemui jalan
keluar. Terdapat dua kubu yang pro dan kontra atas gagasan lurah tersebut. Mereka
yang kontra menanggap bahwa kebijakan tersebut telah melanggar hak milik tanah
pekulen. Sementara itu ereka yang pro beranggapan bahwa kebijakan tersebut
harus segera dijalankan dengan sarat harus mengatur ha katas kpemilikan tanah
pekulen dan tanah buruhan. Karena jika hanya difokuskan pada penataan tanah
buruhan maka pembagiannya tetap saja tidak akan merata9.
Pada tahun 1947 lurah Soemotirto dengan berbagai pertimbangan akhirnya
memutuskan untuk melakukan reforma agrarian tanpa menyentuh hak tanah
pekulen yang telah menjadi hak tetap banyak warganya . Jadi reformasi agraria ini
difokuskan pada perubahan tata kepemilikan tanah buruhan. Dalam reforma
agrarian ini desa mencoba untuk mengambil alih kontrol atas tanah buruhan
sehingga tanah tersebut menjadi tanah komunal.
Prosesnya dimulai dengan mambagi tanah buruhan yang sebelumnya
didapatkan dari hasil pecahan tanah pekulen. Jika sebelumnya kuli baku
menyisikah hak garap 90 ubin tanahnya untuk diberikan kepada 1 keluarga yang
tidak memiliki tanah (tunakisma) maka stelah reformasi agrarian jumlah
pembagian terseut dibagi oleh desa. Ukuran 90 ubin tersebut dibagi menjadi dua
dengan masing-masingnya adalah 45 ubin, pembagian ini dilakukan agar dalam 90
ubin trsebut dapat digunakan oleh 2 keluarga. Langkah ini diambil mengingat

9
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi , ibid., hlm. 70-71.
semakin bertambahnya jumlah penduduk Desa Ngandagan yang tidak diimbangi
dengan ketersediaan akses terhadap lahan pertanian10.
Karena hak garap atas tanah buruhan dimiliki oleh desa maka desa lah yang
memiliki wewenang untuk menentukan siapa saja yang pantas untuk mendapatkan
tanah tersebut. Karena itulah buruh kuli berada langsung dibawah tanggung jawab
desa, mereka tidak diwajibkan untuk mengabdi kepada kuli baku dan sebagai
gantinya maka merekaharus melakukan kerigan atas mereka sendiri. Kuli baku
dalam hal ini juga tidak lagi dibebankan dengan kerigan atas tanah pekulennya
karena ia telah diberikan kewajiban untuk menyerahkan 90 ubin tanah pekulennya
untuk 2 keluarga tunakisma. Pajak tanah tetap diberlakukan kepada kuli baku
dengan tidak mengurangi jumlahnya, jadi yang dibayarkan adalah keseluran
termasuk 90 ubin tanah ang sudah diberikan wajib untuk tunakisma11.
Untuk buruh kuli sama sekali tidak dibebankan pajak atas tanah buruhan,
karena mereka hanya memiliki hak garap atas nama pemilik tanah pekulen.
Persyaratannya pun juga masih tetap, boleh diwariskan namun tidak boleh
diperjual belikan, disewakan, dan juga digadaikan.
Namun kuli baku juga diberi kesempatan untuk mendapatkan tanah buruhan
dengan ukuran yang sama, dengan syarat mereka juga harus mau melakukan
kerigan atas kompensasinya. Sehingga kuli baku masih memiliki kesempatan
untuk mengelola tanah yang lebih luas setelah memberikan 90 ubin wajibnya
kepada desa sebagai tanah buruhan. Ini bisa digunakan untuk antisipasi jika
terdapat kuli baku yang hanya memiliki satu unit sawah pekulen sementara dia
memiliki tanggungan keluarga yang besar. Karena satu unit tanah ersebut sudah
harus terbagi dengan tanah buruhan dan pastinya membutuhkan tambahan tanah
lagi12.
10
Ahmad Nashih Luthfi, et.al., op.cit., hlm. 82-83.
11
Ahmad Nashih Luthfi, et.al., ibid.
12
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi ,op.cit., hlm. 77.
Untuk mencoba meningkatan kepemilikan tanah bagi warga desanya, lurah
Soemotirto juga membebankan wajib bayar pajak bumi dan penyisihan tanah
buruhan bagi para pemilik tanah pekulen yang berasal dari desa lain. Hanya saja
mereka tidak diberikan akses untuk memperolehtanah buruhan seluas 45 ubin
beserta dengn larangan kerigan nya. Ini dimaksudkan agar orang yang berasal dari
luar desa tersebut tidak memiliki tambahan akses tanah lebih luas lagi. Sehingga
akibatnya banyak warga dari luar desa yang melepaskan tanah peulen nya kepada
pemerintah desa. Dampaknya adalah kepemilikan tanah bagi warga desa
Ngandagan sendiri naik menjadi 44% pada tahun 196013.
Selain menata pembagian tanah buruhan untuk menciptakan kesejahteraan
para petani tak bersawah, Soemotirto juga menata tenaga kerja agrria. Soemotirto
dalam reformasinya sealing menghendaki kesetaraan kepemilikan tanah juga
menghendaki agar tanah yang sudah setra tersebut dikerjakan sendiri oleh
pemiliknya. Maka untuk itu penggunaan tenaga kerja buruh dalam mengerjakan
sawah pertanian dihapuskan.
Untuk mnggantikan penghapusan tersebut Soemotirto mengenalkan sistem
grojogan atau tukar menukar tenaga kerja. Cara kerjanya dalah semisal
sekelompok petani A akan bekerja sebagai pemanen padi di swah milik petani B.
Jika sudah selesai dalam beberapa hari, missal 3 hari, maka untuk selanjutnya
petani B dengan kelompoknya akan bekerja memanen sawah milik petani A.
Beginilah sistem tukar menukar itu menggantikan sistem pekerjaan buruh. Namun
jika sawah yang dikerjakan adalah sawah yang luas, maka pembayarannya
dikombinasikan dengan sistem bawon14. Untuk menghindari ketimpangan maka

13
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi. Ibid., hlm. 80.
14
Sisem pembayaran yang diambil dari hasil panen, dimana setiap hasil panen yang didapatkan
maka 1/5 nya adalah milik pekerja yang memanen.
pemilik sawah yang luas akan menambah pekerjaan penggantinya kepada petani
pemilik lahan sempit dengan cara membuka ladang di lahan kering15.
Setelah seluruh rga memiliki kesetaraan dalam hal akses sawah, Someotirto
mencoa untuk mengurangi ketimpangan atas kepemilikan luasan lahan pertaian.
Cara yang ditempuhnya adalah dengan melakukan perluasan lahan pertanian
melalui pemanfaatan lahan kering kurang subur yang sebelumnya masih
bebrbentuk hutan dan semak belukar. Tanah yang digunakan adalah tanah guntai
seluas 10 hektar milik mantan Ndoro Siten atau Asisten Wedana Kecamatan
Pituruh bernama Dwi Purnohardjo.
Cara pemanfaatan tanah guntai tersebut adalah dengan teap menggunakan
sistem tukar menukar tenga kerja. Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa
petani yang memiliki lahan luas akan membayar hutang kerjanya kepada petani
pemilik sawah sempit dengan membuka ladang pertanian baru di tanah kering.
Ladang peranian tersebut diarahkan oleh Soemotirto ke tanah guntai bekas milik
Ndoro Siten. Sehingga nantinya luas lahan pertanian Desa Ngandagan bertambah
dan diberikan kepada petani yang memiliki lahan sempit16.

DAFTAR RUJUKAN
Luthfi, Ahmad Nashih. et.al. 2013. Kondisi Dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan Di Jawa
Tengah Dulu Dan Sekarang. Yogyakarta: STPN Press.
15
Ahmad Nashih Luthfi, et.al., op.cit., hlm. 84.
16
Mohammad Sholihuddin, Amad Nashih Lutfi ,op.cit., hlm. 87
Sulastriyono Puridan, H Widhiani. “Tanah Pekulen Dalam Struktur Hukum Agraria Di Jawa”,
dalam Mimbar Hukum. Vol. 28, No. 3, 2016.

Sholihuddin, Muhammad. Luthfi, Ahmad Nashih. 2010. LAND REFORM LOKAL A LA


NGANDAGAN: Inovasi Sisem Tenuril Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964.
Yogyakarta: STPN Press dan Sajogyo Institute.

Anda mungkin juga menyukai