Anda di halaman 1dari 12

Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)

6 (2) (2020): 194-204 DOI: https://doi.org/10.24114/antro.v6i2.19043


Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal
of Social and Cultural Anthropology)
Available online http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/anthropos

Budaya Srawung sebagai Potret Toleransi Beragama dan


Bersuku untuk Meredam Konflik di Kota Semarang
Srawung Culture as a Portrait of Religious Tolerance and
Ethnicity to Reduce Conflict in the City of Semarang
Stefanus Wawan Setiawan1) & Rispritosia Sibarani2)
Magister Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia

Diterima: 07 Juli 2020; Direview: 10 Agustus 2020; Disetujui: 23 Agustus 2020

Abstrak
Tulisan ini mendeskripsikan dan menganalisa Budaya Srawung sebagai Potret Toleransi Beragama dan Bersuku
untuk Meredam Konflik di Kota Semarang. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini dikaji menggunakan teori Ruang Publik dari Jurgen
Habermas. Hasil penelitian, menunjukkan bahwa budaya Srawung menjadi jembatan kerukunan,
merekatkan tali persaudaraan, dapat meredam konflik antar umat beragama, serta bisa dijadikan
sebagai referensi solusi atas masalah konflik horizontal yang selama ini sering terjadi di negara ini.
‘Srawung’ adalah sebuah istilah Jawa yang mengandung arti kumpul atau pertemuan yang dilakukan
lebih dari satu orang atau kelompok, dengan adanya kebersamaan dan tidak mementingkan kelompok
agama yang berbeda, maka relasi dalam membangun kerukunan dan kebersamaan akan terjaga dalam
kehidupan masyarakat.
Kata Kunci: Budaya Srawung, Hegemoni Ideologi, Umat Beragama, Konflik Latent.

Abstract
This paper describes and analyzes Srawung Culture as a Portrait of Religious and Ethnic Tolerance to
Reduce Conflict in the City of Semarang. This paper uses a qualitative research method with a qualitative
descriptive approach. This research was examined using Public Space theory from Jurgen Habermas. The
results of the study showed that the culture of Srawung became a bridge of harmony, gluing together
kinship, could reduce conflicts between religious communities, and could be used as a reference solution
for the problem of horizontal conflicts that often occur in this country. 'Srawung' is a Javanese term that
means gathering or meeting conducted by more than one person or group, with togetherness and not
concerned with different religious groups, then the relationship in building harmony and togetherness will
be maintained in people's lives.
Keywords: Srawung Culture, Ideology Hegemony, Religious People, Latent Conflict.

How to Cite: Setiawan, S.W. & Sibarani, S. (2020). Budaya Srawung sebagai Potret Toleransi Beragama
dan Bersuku untuk Meredam Konflik di Kota Semarang, Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan
Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) 6 (2): 194-204.
*Corresponding author: ISSN 2549-1660 (Print)
E-mail: 752019015@student.uksw.edu ISSN 2550-1305 (Online)

194
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (2) (2021): 194-204

PENDAHULUAN budaya. Semarang dikenal sebagai kota


Realita aktual saat ini kehidupan multikultural, salah satunya dihuni oleh
antar umat beragama di Indonesia beberapa etnis yang berbeda-beda. Selain
menghadapi tantangan dan ancaman yang itu, keberadaan tempat ibadah dari
nyata terkait dengan adanya gerakan- masing-masing agama tersebar di kota
gerakan fundamentalisme Agama, Semarang. Beberapa Masjid, Gereja,
kekerasan, terorisme atas nama agama dan Klenteng, Pura, dan Vihara yang menjadi
dengan berbagai upaya kaum peninggalan pada masa lampau dan
fundamentalisme ingin menggantikan sampai saat ini dijadikan sebagai wujud
sistem hidup bernegara atas dasar ideologi dari kearifan lokal yang tetap dijaga agar
Pancasila. Inilah yang menjadi tetap lestari.
keprihatinan banyak orang dan menjadi Kondisi kerukunan antar umat
ancaman bersama, baik negara maupun beragama di Kota Semarang, yang secara
masyarakat Indonesia, khususnya warga umum cukup kondusif. Faktor pendukung
kota Semarang. kondusivitas tersebut antara lain;
Agama seringkali menjadi salah satu Masyarakat Kota Semarang yang
pemicu terjadinya konflik dalam heterogen dan lebih berpola pikir dagang
masyarakat. Melihat realita demikian, atau usaha bukan politis, adanya kegiatan
umat beragama terpanggil untuk dialog lintas agama dan kegiatan pagelaran
mengembangkan perspektif pluralis dalam seni budaya lokal Semarang. Di tengah-
kehidupan plural ini, untuk menjelaskan tengah kondusivitas itu muncul beberapa
persepektif pluralis maka perlu dijelaskan kasus yang menunjukkan adanya sentimen
juga secara garis besar sikap-sikap lain keagamaan yang mengganggu. Di awali
yang seringkali muncul dalam kehidupan persoalan Penolakan buka bersama tahun
yaitu sikap Eksklusivisme, Inklusivisme, 2016.
dan Pluralisme (Knitter, 2012). Rakyat Acara buka puasa dan sahur bersama
Indonesia dalam kehidupan mereka dalam rangka supaya bisa merajut
sehari-hari bersinggungan dengan orang- kerukunan dan persaudaraan lintas agama,
orang yang memiliki banyak perbedaan, bersama tokoh masyarakat, kaum duafa,
baik perbedaan suku, budaya, dan agama, buruh pabrik, panti asuhan, dan penyapu
John Titaley mengartikan Pluralisme jalan. Acara yang mengusung visi misi
sebagai suatu kenyataan bahwa dalam kerukunan dalam keberagaman di tolak
suatu kehidupan bersama manusia beberapa ormas Islam dan FPI, alasannya
terdapat keragaman suku, ras, budaya dan progam ibu Shinta Wahid berbuka
agama (Titaley, 2013). Dengan demikian bersama di halaman Gereja memicu
seperti yang di katakan oleh Djohan keresahan, merusak kondusifitas, dianggap
Effendi bahwa pluralisme merupakan cara merusak kerukunan dan toleransi, bahwa
pandang untuk saling menghargai acara tersebut melanggar aqidah
(apresiatif) dalam masyarakat yang keislaman. Pada akhirnya acara buka
heterogen yakni etnis, ras, agama dan puasa bersama Ibu Shinta Wahid batal
sosial untuk saling menerima, mendorong dilaksanakan di halaman Gereja Pudak
partisipasi dan pengembangan budaya Payung Ungaran, sebab harus di
tradisional serta kepentingan yang spesifik pindahkan dalam tempo sesingkat-
di dalam lingkungan kehidupan bersama singkatnya ke Balai desa Pudak Payung.
(Efendi, 2010). Semua ini harus terjadi sebagai sikap
Semarang sebagai ibu kota propinsi mengalah kepada FPI dan ormas-ormas
Jawa tengah, merupakan suatu potret yang menolak kegiatan tersebut (Wahid,
masyarakat majemuk, karena 2015). Apa yang terjadi mengenai
keanekaragaman etnis, agama, dan persoalan intoleransi di Semarang menjadi

195
Stefanus Wawan Setiawan & Rispritosia Sibarani, Budaya Srawung sebagai Potret Toleransi Beragama
dan Bersuku untuk Meredam Konflik di Kota Semarang

pelajaran untuk semua pihak. Inilah situasi mengutuk setiap tindak intoleransi yang
yang aktual mengenai persoalan agama terjadi di Kota Semarang maupun di luar
sangat sensitif dan potensi konflik antar Kota Semarang. Pelita aktif mengajak
agama tidak bisa dihindari, karena agama publik belajar merajut relasi persaudaraan
yang satu merasa dirinya paling benar dan dalam kebhinekaan dan menyuarakan
menganggap yang lain kafir. Langkah sikap yang membangun praktek
untuk mengatasinya sudah dilakukan, keagamaan terhadap isu sosial keagamaan.
melalui berbagai cara, antara lain Peran Persaudaraan Lintas Agama (Pelita),
keterlibatan unsur pemerintah dan unsur Forum Kerukunan Umat Beragama
masyarakat (organisasi kemasyarakatan (FKUB), Lembaga Kajian dan
misalnya ; Forum Kerukunan Umat Pengembangan Sumberdaya Manusia
Beragama (FKUB), Persaudaraan Lintas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Agama (Pelita), Lembaga Kajian dan (LAKPESDAM PBNU), dan Komunitas
Pengembangan Sumberdaya Manusia Gusdurian Semarang dan ormas
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama keagamaan yang lain patut diacungi
(LAKPESDAM PBNU), Komunitas jempol. Meski begitu, benih
Gusdurian Semarang). fundamentalisme, radikalisme, terorisme
Penelitian terdahulu dengan topik tidak akan pernah mati.
yang sama tapi hasilnya berbeda, dengan Penulis beranggapan bahwa hal
judul Agama Di Tengah Konflik Sosial, tersebut di atas dapat menjadi sebuah
Tinjauan Sosiologis Atas Potensi Konflik penelitan menarik untuk diteliti mengenai
Keberagaman Agama di Masyarakat (Kafid, budaya srawung sebagai sarana meredam
2015). Bahwa srawung bisa meredam konflik dan sebagai sarana perjumpaan
konflik atau hegemoni ideologi/budaya. antar umat beragama, dengan masyarakat
Ketika ada kasus Penolakan buka bersama di Semarang.
pada tahun 2016. Acara buka puasa dan
sahur bersama dalam rangka supaya bisa
merajut kerukunan dan persaudaraan METODE PENELITIAN
lintas agama, bersama tokoh masyarakat, Metode yang akan digunakan dalam
kaum duafa, buruh pabrik, panti asuhan, penelitian ini adalah kualitatif deskriptif
dan penyapu jalan. Acara yang mengusung yang bertujuan untuk menggambarkan
visi misi kerukunan dalam keberagaman di secara ringkas berbagai kondisi dan
tolak beberapa ormas Islam dan FPI, fenomena sosial yang terjadi dalam
alasannya progam ibu Shinta Wahid realitas sosial masyarakat yang menjadi
berbuka bersama di halaman Gereja objek penelitian (Bungin, 2011). Dasar
memicu keresahan, merusak kondusifitas, peneliti menggunakan metode penelitian
dianggap merusak kerukunan dan kualitatif adalah agar penelitian ini mampu
toleransi, bahwa acara tersebut melanggar memberikan gambaran yang jelas, terinci,
aqidah keislaman. Peristiwa mendalam dan ilmiah yang
menggegerkan tersebut menjadi motivasi menggambarkan kehidupan keagamaan
bagi pemuda lintas agama di Kota dan budaya Srawung. Penelitian yang
Semarang untuk membentuk organisasi digunakan dalam penelitian ini adalah
Persaudaraan Lintas Agama (Pelita). studi kasus yang bertujuan untuk
Organisasi ini terbentuk pada tanggal 20 mengetahui suatu kasus dari event
Juni 2016. socio-cultural. Srawung yang
Pelita muncul karena peristiwa merepresentasikan ruang publik di
penolakan sahur bersama di Gereja tengah masyarakat untuk saling
Bongsari pada tahun 2016 lalu. Organisasi bertoleransi dan menumbuhkan sikap
yang diketuai oleh Setiawan Budi ini saling menghargai satu sama lain.

196
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (2) (2021): 194-204

Informan yang diwawancara ditentukan dukungan terhadap apa yang disajikan


dengan cara Purposive Sampling, terutama dalam laporannya. Jadi, dengan
dari pemerintah setempat seperti pendekatan kualitatif deskriptif ini peneliti
Sumber data tentunya menggunakan mengkaji literatur yang ada dan
data primer dan sekunder. Data primer mengumpulkan data-data yang sesuai
yang berasal dari wawancara terjun berdasarkan tujuan penelitian dari
langsung ke lapangan menemui para masyarakat kota Semarang.
informan dan data sekunder yang
berasal dari dokumentasi yang dimiliki
oleh pihak kota semarang selaku
pelaksana event. Teknik pengumpulan
datanya menggunakan pemilihan kasus, HASIL DAN PEMBAHASAN
analisis data, perbaikan dan penulisan Hegemoni Ideologi/Budaya Yang
laporan. Kemudian dianalisis dengan Terjadi Di Kota Semarang
melakukan tahapan pengumpulan data, Agama pada satu sisi menciptakan
reduksi data, penyajian data dan ikatan bersama, baik antara anggota
penarikan kesimpulan (Creswell, 2013). masyarakat maupun dalam kewajiban-
Pengumpulan dari kegiatan kewajiban sosial yang membantu
wawancara dan mencari data-data mempersatukan mereka (Nottingham.
sekunder di kota Semarang kemudian 1993). Era Globalisasi sekarang, selain
dilakukan reduksi data dari hasil mendatangkan banyak masalah bagi umat
wawancara yang menjelaskan banyak beragama, juga menghadirkan banyak
hal diluar konteks penelitian. Validitas tantangan termasuk masih berlanjutnya
data menggunakan trianggulasi sumber, ketegangan, konflik, dan kekerasan di
dengan menanyakan kepada beberapa antara umat manusia. Fundamentalis,
pihak untuk mengklarifikasi kebenaran radikalisme, terorisme, keagamaan yang
informasinya. Di samping penelitian sering terjadi di tanah air kita bukan
melalui wawancara mendalam dan karena agama mengajarkan kekerasan,
obeservasi lapangan, peneliti juga melainkan lahir dari pemahaman iman
melakukan penelitian kepustakaan dengan keagamaan yang salah, dimana seseorang
menggunakan buku-buku atau literature, (oknum) menggangap agama lain sesat
jurnal, artikel dan tulisan ilmiah lainnya dan mengklain agama yang dianutnya yang
yang mendukung objek penelitian (Kaelan, paling benar. Agama dijadikan pemicu
2012). Dengan demikian, metode kualitatif percikan-percikan api yang dapat
dipilih oleh penulis untuk menyebabkan konflik horizontal
mendeskripsikan data temuan secara (Muchlisin, 2015).
komperhensif. Hasil penelitian lapangan Studi empirik hegemoni
dan obervasi serta penelitian kepustakaan ideologi/budaya yang terjadi di Kota
akan disajikan peneliti setelah melakukan Semarang dilakukan untuk
analisa yang mendalam dan kritis. menggambarkan persepsi umum
Penelitian kualitatif dilakukan dengan masyarakat tentang realitas keberagaman
karakteristik yang mendeskripsikan suatu agama, dengan fokus perhatian pada
keadaan yang sebenarnya, untuk itu proses dan dinamika munculnya sentimen
peneliti harus mendeskripsikan suatu keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
objek atau fenomena sosial yang Hegemoni ideologi merupakan
dituangkan dalam tulisan yang bersifat dominasi atau penguasaan satu pihak
naratif. Dalam penulisan penelitian dengan pihak lainnya secara sukarela dan
kualitatif berisi kutipan data yang berdasarkan kesepakatan. Banyak yang
diungkap di lapangan untuk memberikan berpandangan bahwa hegemoni memiliki
makna beragam meliputi bidang-bidang
197
Stefanus Wawan Setiawan & Rispritosia Sibarani, Budaya Srawung sebagai Potret Toleransi Beragama
dan Bersuku untuk Meredam Konflik di Kota Semarang

sosial dan kultur budaya dalam berbagai agama dalam kapasitas dan kontribusinya
aspek kehidupan masyarakat. Hegemoni terhadap dua hal yang saling bertolak-
dipandang sebagai penetapan makna yang belakang, perdamaian dan konflik, maka
bersifat sementara menyokong kelas menurut saya, hal itu tidak dapat
penguasa. Melalui hegemoni, ideologi dilepaskan dari dua faktor. Saya
kelompok dominan dapat disebarkan, nilai menyebutnya, data dan fakta. Di satu sisi,
dan kepercayaan dapat dipertukarkan. ada data bahwa perdamaian merupakan
Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi inti dari ajaran yang ditawarkan, tetapi di
atau indoktrinasi, hegemoni justru terlihat sisi lain ada fakta bahwa saat para
wajar, orang menerima sebagai kewajaran pemeluknya menegakkan idealisme yang
dan sukarela. Fungsi hegemoni diusung oleh agamanya, tidak jarang
dipergunakan untuk menunjukkan adanya terjadi konflik horisontal dengan pemeluk
kelas dominan yang mengarahkan “tidak agama lain atau sesamanya (Muchlisin,
hanya mengatur” masyarakat melalui 2015).
pemaksaan kepemimpinan moral dan
intelektual (Storey, 2003). Srawung sebagai Peredam Konflik di
Ide-ide yang didiktekan oleh Kota Semarang
kelompok dominan terhadap kelompok Salah satu penanganan untuk
yang didominasi diterima sebagai sesuatu meredam konflik adalah mengembangkan
yang wajar atau benar dan kemudian akan kearifan lokal budaya Jawa; srawung.
berubah menjadi suatu ideologi. Menurut Masyarakat memiliki budaya-budaya dan
Marx ideologi adalah semua sistem besar tradisi-tradisi lokal yang secara fungsional
yang memberikan orientasi kepada mampu menjaga situasi lingkungannya
manusia. Ideologi merupakan ajaran yang agar tetap harmonis, baik dengan sesama
menjelaskan suatu keadaan, terutama manusia maupun lingkungan. Tradisi-
struktur kekuasaan, sehingga orang tradisi lokal tersebut memiliki makna dan
menganggapnya sah. Ideologi merupakan nilai penting diantaranya sebagai acuan
ilusi atau kesadaran palsu yang tidak tingkah laku bagi masyarakatnya dalam
menggambarkan situasi nyata manusia menjalani kehidupan, termasuk
sebagaimana adanya. Ideologi menghadapi perbedaan-perbedaan dalam
menggambarkan realitas secara terbalik. berinteraksi dengan orang lain yang
Bukan berarti bahwa ideologi keliru dalam berbeda budaya. Tradisi-tradisi lokal
menggambarkan realitas, melainkan tersebut sesungguhnya merupakan
ideologi menggambarkaan realitas serta pengungkapan kearifan lokal (local
penafsiran yang dibalik. Apa yang tidak wisdom) dari suatu masyarakat dalam
baik dan tidak wajar dinyatakan menanggapi situasi lingkungannya.
sedemikian rupa sehingga tampak baik Budaya Srawung ini selaras dengan
dan wajar. Ideologi melayani kepentingan orientasi hidup masyarakat Jawa yaitu
kelas yang berkuasa karena memberi mencapai hidup yang harmoni Kerukunan
legitimasi kepada suatu keadaan yang dengan sesama manusia sebagai
sebenarnya tak memiliki legitimasi. lingkungan sosial, termasuk kerukunan
Dengan kritik ideologi, Marx umat beragama, menjadi bagian tujuan
mempertanyakan fungsi ideologi, hidupnya yaitu mencapai hidup yang
kenyataan tersembunyi apa yang berada di harmoni tersebut. Budaya Jawa ini sangat
belakang ideologi (Magnis-Suseno, 1999). menekankan kehidupan yang harmonis,
Hegemoni ideologi religius bisa terjadi damai dan rukun dalam bentuk sikap
karena perbedaan pendapat atau penghormatan, sikap rukun, toleransi, dan
perbedaan pijakan berkenaan definisi sebagainya menjadi acuan moral dan
agama. Saat orang berbicara mengenai

198
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (2) (2021): 194-204

tingkah laku dalam berhubungan disalahgunakan sebagai alat pemecah


antarumat beragama. belah.
Nilai-nilai budaya ini dikristalisasi Menurut, Adi Ekopriyono, sebagai
dalam bentuk Srawung. Srawung juga Direktur Eksekutif Budi Santoso
sebagai ajang penerapan dua kaidah yang Foundation. Srawung merupakan bagian
paling menentukan pola pergaulan dalam tata nilai dalam kesadaran orang Jawa.
masyarakat Jawa. Dua kaidah itu, menurut Melalui media bernama srawung itu, orang
sosiolog Clifford Geertz, adalah prinsip dapat mengungkapkan situasi batin atau
kerukunan dan prinsip hormat. Orang perasaan yang tidak mungkin
Jawa, menurut dua kaidah itu, selalu terungkapkan dengan komunikasi lewat
berusaha mencegah timbulnya konflik dan telepon, chatting ataupun video call. Segala
menghormati orang lain. Kata kunci dari jenis komunikasi digital itu tidak akan
keduanya adalah harmoni. Srawung bukan mampu menggantikan makna srawung
sekadar pertemuan secara fisik, melainkan yang sarat rasa. Wong Jawa iku nggone
mencakup segi-segi batiniah, yang dapat rasa-pangrasa.
mengungkapkan perasaan yang sulit Orang Jawa itu penuh pertimbangan
diungkapkan. perasaan, bukan sekadar pikiran. Dasar
Srawung sudah menjadi tradisi, adat rasa-pangrasa itu krenteg ing ati (niat dari
istiadat, yang turun-temurun dari generasi hati), bukan karep ing pikiran (kehendak
ke generasi masyarakat Jawa. Apa yang otak). Itu semua terengkuh dalam
dimaksud srawung? Srawung adalah srawung. Orang dapat curhat (curahan
sebuah istilah Jawa yang mengandung arti hati); ngudarasa tentang sesuatu yang
kumpul atau pertemuan yang dilakukan tidak mungkin terselesaikan tanpa tatap
lebih dari satu orang atau kelompok. muka. Orang Jawa percaya, dengan
Dalam tradisi masyarakat pedesaan, istilah srawung berbagai problem dapat dicarikan
‘srawung’ sudah akrab di telinga mereka, solusi secara bersama. Ana rebuk
karena hal itu merupakan media untuk dirembuk, ana nalar dinalar. Intinya kalau
saling bercerita tentang realitas ada masalah dibicarakan bersama, dicari
kehidupan. Srawung juga diartikan sebagai jalan keluarnya (suara Merdeka 2020).
kontak sosial, dimana satu sama lain Budaya seperti apa yang dibangun
bertemu, saling sapa dan ngobrol bareng dalam kegiatan srawung, sehingga
dengan waktu yang tidak sebentar dalam membangun kebersamaan dan toleransi
suasana keakraban di dalamnya. Tidak antar umat beragama. Dan membuat
hanya itu, “srawung’ dimaknai sebagai orang-orang membentuk keharmonisan?
pertemuan antara satu dengan yang lain Sebagaimana yang diutarakan oleh Romo
hingga muncul rasa, belajar dan mencari Aloys dalam wawancara dengan peneliti,
inspirasi dari orang lain. Sehingga semua beliau mengatakan bahwa Menurut
hal akan dibicarakan disitu, dari hal-hal pendapat Romo Aloys Budi Purnomo Pr,
isu-isu aktual di Indonesia, sampai sebagai Ketua Komisi Hubungan
membahas program-program kegiatan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan
tentang lingkungan hidup maupun aksi Agung Semarang. Beliau mengatakan.
sosial kemanusiaan. Terminologi srawung mengandung makna
Srawung adalah salah satu bentuk sebagai proses perjumpaan banyak pihak
interaksi yang dilakukan oleh masyarakat dalam semangat inklusif, inovatif, dan
dalam merawat toleransi hidup di Kota transformatif. Artinya srawung itu terjadi
Semarang. Dalam masyarakat majemuk, dalam sikap saling merangkul melalui
agama dapat menjadi faktor pemersatu, keterbukaan (inklusif), terus-menerus
sebagaimana juga dapat dengan mudah dalam suasana pembaruan (inovatif), dan

199
Stefanus Wawan Setiawan & Rispritosia Sibarani, Budaya Srawung sebagai Potret Toleransi Beragama
dan Bersuku untuk Meredam Konflik di Kota Semarang

memiliki daya ubah yang positif Semarang, melainkan di seluruh tempat.


(transformatif). Hingga nantinya dapat menyelesaikan
Srawung yang seperti itulah yang permasalahan yang sedang dihadapi
diharapkan mampu menjadi jalan untuk bangsa saat ini.” Tutur Hendrar Prihadi
mewujudkan peradaban kasih bagi dalam sambutannya.
masyarakat Indonesia yang sejahtera, Jadi semua akan menjembatani
bermartabat, dan beriman, apa pun agama perbedaan budaya yang ada di realita. Di
dan kepercayaannya (Kian, 2018). Senada masa kini dan masa depan kita akan
dengan Romo Aloys Budi Purnomo Pr, hal berusaha menempuh langkah-langkah
yang sama juga diutarakan oleh Yohanes terbaik, dengan mengambil pelajaran dari
Gunawan. Menurutnya, Srawung adalah apa yang terjadi di masa lalu, dan berusaha
sebuah istilah Jawa yang mengandung arti untuk mencari dan menggali pula berbagai
kumpul atau pertemuan yang dilakukan sumber dari agama-agama yang ada untuk
lebih dari satu orang atau kelompok. menghentikan konflik atau kekerasan dan
Dalam tradisi masyarakat pedesaan, istilah mewujudkan perdamaian. Memang benar
‘srawung’ sudah akrab di telinga mereka, bahwa tidak semua konflik di dunia ini
karena hal itu merupakan media untuk mempunyai basis keagamaan, tetapi
saling bercerita tentang realitas ternyata banyak sekali konflik terjadi atas
kehidupan. Srawung mengandung filosofi nama agama. Dari hari ke hari muncul
yang mendalam. Srawung tidak hanya berita: teror dan bunuh diri, penindasan,
dimaknai sebuah perjumpaan. Dari pertikaian dan peperangan atas nama
srawung itulah ada sebentuk rasa yang agama. Sesuatu yang menjadi relevan jika
muncul, yakni belajar, menimba inspirasi kita bertanya sebagaimana yang ditulis
(ngangsu kawruh). oleh Wim Beuken, “Apakah agama masih
Dengan demikian, srawung terus mengilhami orang-orang untuk
merupakan bagian dari tatanan nilai yang menggunakan kekuatan, melegitimasi
melekat secara khas dalam khazanah kekerasan dan kematian?” Bagaimanakah
kesadaran di kalangan masyarakat. Dalam sebenarnya relasi sosial-keagamaan dalam
srawung, masyarakat bisa saling ngudoroso kehidupan sehari-hari masyarakat
(curahan hati) atau menyampaikan Indonesia, mulai dari persepsi, pemaknaan
realitas yang terjadi di sekitarnya. Tidak agama beserta simbol-simbolnya, sampai
hanya apa yang ada dalam pikiran, tetapi dengan imajinasinya tentang sebuah
apa yang ada dalam perasaan mereka pun perdamaian. Agama muncul melalui
semua bisa diungkapkan Srawung juga potensi dua wajah baik yang
merupakan pengalaman-pengalaman batin mendamaikan, tetapi juga wajah sumber
yang kadang sulit dibahasakan, tapi terasa konflik (merusak), seperti kemunculan
di hati. fundamentalis agama yang sekarang ini
Dengan adanya srawung inilah kita lihat.
banyak permasalahan dalam realitas Dalam meredam konflik ini, budaya
kehidupan ini bisa dibicarakan, dicarikan srawung dan dialog menjadi pilihan
solusi secara bersama. Didorong atas alternatif yang ideal dalam penyelesaian
kerinduan ibu pertiwi Indonesia yang konflik antar umat beragama. Beberapa
damai dan penuh toleransi (Prihadi, 23 diskursus telah dilakukan dalam mencari
Mei 2019). Walikota Semarang sebuah format baru akan hal tersebut.
menuturkan bahwa manusia sebagai Salah satunya melalui diskusi-diskusi
makhluk sosial saling bergantung. intertektual antar umat beragama.
Interaksi sosial dimanapun menjadi suatu Menurut Prof John. A Titaley Th.D, Rektor
kebutuhan. “Srawung tidak hanya Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
dilakukan di kampus atau di Balaikota Salatiga menyampaikan hal tersebut dalam

200
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (2) (2021): 194-204

konferensi nasional I Forum Kerukunan Berita Media Online, offline, maupun berita
Umat Beragama (FKUB) di Semarang, dimedia masa lainnya, berita tentang
Sabtu (13/6/2015). persoalan agama masih terus di gaungkan.
Menurutnya, bangsa Indonesia Contoh berita terkini berkaitan dengan
dengan kekayaan agama warga negaranya, pluralisme dan dialog antar umat agama
rawan mengalami konflik jika situasi dalam upaya mengatasi konflik: Melalui
tersebut tidak dikelola dengan baik. “Kita artikel yang telah tayang
membutuhkan sebuah religiositas bersama. di Kompas.com dengan judul "Undang
Perlu keberagamaan yang menyatukan kita Tokoh Agama, Wakil Presiden Bahas
bersama yang beda agamanya ini,” John Antisipasi Konflik Sosial", Wakil Presiden
Titaley berpendapat bahwa Indonesia Ma'ruf Amin mengundang para tokoh dari
dengan kekayaan agama warga negaranya lintas agama membahas berbagai potensi
membutuhkan sebuah religiositas konflik sosial. Mereka berbincang di rumah
bersama. dinas Wakil Presiden, Menteng, Jakarta,
Keberagamaan yang menyatukan Selasa (26/11/2019). "Dalam pertemuan
mereka yang berbeda agamanya. ini semua sepakat untuk menjaga
Kebutuhan terhadap model keberagamaan kerukunan dan persatuan bangsa. Oleh
bersama ini tidak berarti bahwa bangsa karena itu majelis-majelis agama akan
Indonesia memerlukan agama baru. Dalam mengawal keutuhan ini, akan menjaga
keragaman agama yang dipeluk oleh supaya tidak terjadi konflik di masyarakat,"
bangsa Indonesia, kita memerlukan model ujar Ma'ruf usai pertemuan. Ia
keberagamaan yang menyatukan. mengatakan, dalam pertemuan tersebut
Fenomena konflik antar umat beragama juga dibahas potensi konflik yang muncul
harus ditangai, karena berdampak sangat dari pengalaman masa lalu. Beberapa di
negatif. Eksklusivisme agama adalah antaranya muncul akibat pernyataan yang
masalah yang harus diatasi oleh manusia menyinggung umat agama lain (kompas,
jika ingin hidup berdamai dengan sesama 2019).
lainnya (Titaley, 2013). Sikap toleransi yang ada hanya
Eksklusivisme agama ini selain berhenti pada level hubungan
mengancam kerukunan, juga mengancam kemanusiaan, dan belum menyentuh pada
demokrasi, dan ini wajar saja karena level kesadaran tentang keberbedaan
menurut Philip E. Hammond, setiap orang aspek keagamaan itu sendiri. Akibatnya,
cenderung berusaha untuk memberi muncul kegelisahan dan gesekan yang
makna dalam tindakan politiknya, menyebabkan ketidakbaikan hubungan
terutama dalam situasi pluralistik, antar umat beragama. Sehingga lahirlah
sehingga kehidupan politik pun tidak suatu prasangka atau kecurigaan-
dapat dihindari dari pengaruh agama. Oleh kecurigaan, bahkan bisa konflik.
sebab itu, ada konsep terbaru yang
dikembangkan oleh Charles Taylor dalam Srawung sebagai Potret Toleransi
diskursus demokrasi dan keragaman Beragama dan Bersuku
tuntutan HAM, yaitu Multikulturalisme: Habermas (Ibrahim, 2010)
perlunya penghargaan terhadap mengatakan bahwa ruang publik adalah
keragaman budaya yang ada dalam suatu semua wilayah kehidupan yang
masyarakat jika kelangsungan masyarakat memungkinkan untuk membentuk opini
itu masih ingin dipertahankan. Namun publik dan harus bebas dari dominasi.
pada bagian akhir uraiannya, dia juga Semua warga dapat memasuki ruang
sadar bahwa tantangan yang harus publik seperti ini. Masyarakat ada jaminan
dihadapi dalam upaya ini adalah sikap untuk berkumpul secara bebas dan
agama-agama yang ada terhadapnya. menyatakan secara bebas pula. Habermas

201
Stefanus Wawan Setiawan & Rispritosia Sibarani, Budaya Srawung sebagai Potret Toleransi Beragama
dan Bersuku untuk Meredam Konflik di Kota Semarang

mengatakan tentang ruang publik juga tindakan individu sepanjang tindakan itu
sebagai jejaring untuk komunikasi segala mempunyai makna atau arti subjektif bagi
tema dan berbagai sikap. Habermas punya dirinya dan diarahkan kepada tindakan
dua perspektif dalam Teori Public Sphere. orang lain. Suatu tindakan individu yang
Pertama, terdapat beberapa kelompok diarahkan kepada benda mati tidak
sosial yang berproses melalui media masuk dalam kategori tindakan sosial.
massa. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai
Pertukaran informasinya dilakukan tindakan sosial ketika tindakan tersebut
dengan cara diskusi dan sering benar-benar diarahkan kepada orang lain
memunculkan perdebatan. Perspektif (individu lainnya). Weber membedakan
yang kedua mulai muncul demokrasi masa tindakan sosial manusia ke dalam empat
yang mengubah segala peraturan ruang tipe (Tampake, 2014) Tindakan Sosial
publik yang awalnya untuk kaum elit Instrumental Berorientasi Rasional (Zwerk
sekarang dapat dinikmati oleh semua Rational): tindakan sosial yang dilakukan
kalangan. Public Sphere merupakan media seseorang didasarkan atas pertimbangan
untuk menyampaikan informasi, dan pilihan sadar, dan ekspektasiyang
pandangan atau pemikiran pada publik digunakan sebagai kondisi atau cara untuk
sehingga tercipta pandangan umum. meraih tujuan akhir yang telah
Srawung menjadi ruang publik baru yang diperhitungkan sebelumnya oleh sang
muncul di tengah masyarakat. Ruang aktor. 2) Tindakan Sosial Berorientasi Nilai
publik ini berfungsi untuk saling (Werk Rational): ditentukan oleh
berinteraksi dan menyampaikan keinginan yang sadar terhadap etika,
pendapatnya. Dibungkus dalam bentuk keindahan dan agama. 3) Tindakan Sosial
karnaval atau kirab, mereka bebas Afektif/Tindakan yang dipengaruhi emosi
berpendapat dan berkarya sesuai (Affectual Action): lebih didominasi
dengan kesepakatan. Hal ini dilakukan perasaan atau emosi tanpa refleksi
untuk mewujudkan perdamaian dan intelektual atau perencanaan sadar.
meredam konflik di tengah masyarakat. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak
Dengan komunikasi intens dapat rasional, dan merupakan ekspresi
menemukan akar masalah selama ini emosional dari individu. 4) Tindakan
yang terjadi. Untuk mencapai Sosial Tradisional/Tindakan karena
komunikasi yang efektif membutuhkan kebiasaan (Traditional Action): seseorang
keterbukaan, suasana saling mendukung, memperlihatkan perilaku tertentu karena
bersikap positif memahami orang lain dan kebiasaan yang diperoleh dari nenek
adanya pemahaman tentang kesetaraan. moyang, tanpa refleksi yang sadar atau
Dengan komunikasi membantu dalam perencanaan.
menyelesaikan perbedaan dan Berdasarkan pemahaman Weber
membangun kepercayaan serta rasa dapat dilihat bahwa tindakan Srawung
hormat. sosial masyarakat Semarang diarahkan
Tindakan sosial masyarakat, Weber kepada orang lain secara sadar,
melihat sosiologi sebagai sebuah studi berdasarkan kepada etika, keindahan dan
tentang tindakan sosial antar hubungan bahasa, dan itu berarti masuk ke tipe
sosial dan itulah yang dimaksudkan kedua, yaitu Tindakan Sosial Berorientasi
dengan pengertian paradigma definisi atau Nilai. Suatu tindakan akan dikatakan
ilmu sosial itu. Tindakan manusia sebagai tindakan sosial ketika tindakan
dianggap sebagai sebuah bentuk tersebut benar-benar diarahkan kepada
tindakan sosial manakala tindakan itu orang lain (individu lainnya). Namun,
ditujukan pada orang lain. Tindakan tindakan srawung sosial masyarakat
sosial menurut Max Weber adalah suatu Semarang bersifat kolektif, dan bukan

202
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (2) (2021): 194-204

individual. Oleh sebab itu, teori lain yang kolektif dalam mengembangkan kearifan
bisa dipakai adalah Teori Perilaku Kolektif lokal budaya Jawa; srawung, juga
Neil Smelser. mendapat dorongan atau support dari
Menurut Neil Smelser, konsepsi kalangan Tokoh agama, tokoh masyarakat,
Weber didasarkan pada sudut pandang tokoh budayawan, dan pemerintahan, kota
aktor atau individu, dan konsepsi ini tidak Semarang. Hendrar Prihadi menuturkan
dapat dipakai untuk memahami perilaku bahwa manusia sebagai makhluk sosial
kolektif. Maka, Smelser menitikberatkan saling bergantung. Interaksi sosial
penjelasannya terhadap perilaku kolektif srawung dimanapun berada menjadi suatu
pada faktor-faktor sosiologis. Smelser kebutuhan. Melalui budaya Srawung
menyebut empat komponen utama menjadi jembatan kerukunan, merekatkan
tindakan social (Tampake, 2014) yaitu: a) tali persaudaraan, mampu memelihara
Nilai-nilai (values) yang akan memberikan kerukunan, dan dapat meredam konflik
panduan terhadap perilaku sosial yang antar umat beragama.
disengaja. b) Aturan-aturan regulatif
(norms) yang mengatur pencapaian SIMPULAN
tujuan-tujuan perilaku sosial. c) Mobilisasi Budaya Srawung menjadi jembatan
individu untuk meraih nilai-nilai sebagai kerukunan, merekatkan tali persaudaraan,
tujuan tindakan sosial berdasarkan aturan- mampu memelihara kerukunan, dan dapat
aturan regulatif. Siapa yang akan menjadi meredam konflik antar umat beragama.
agen dalam mencapai atau mewujudkan Manfaat budaya srawung menjadi bagian
tujuan. d) Ketersediaan fasilitas situasional penting dalam menjalin relasi antar umat
yang dipakai oleh aktor sebagai cara untuk beragama antara lain, a) Mereduksi stigma
ketiga hal di atas, yang mencakup: dan kecurigaan-kecurigaan pemeluk lintas
pengetahuan terhadap lingkungan, agama dan umat lebih terbuka terhadap
kemampuan memperkirakan akibat dari perbedaan atau mengurangi jurang
tindakan, dan alat-alat serta ketrampilan. perbedaan dan supaya bisa saling
Berdasarkan empat komponen utama menerima dan tidak menimbulkan
tindakan sosial Smelser, yaitu: itu berarti perpecahan. Perbedaan tidak perlu dan
masuk ke tipe ketiga, yaitu Mobilisasi tidak boleh dilihat dan dijadikan sebagai
individu untuk meraih nilai-nilai sebagai “sumber konflik” pertentangan dan
tujuan tindakan sosial berdasarkan aturan- perpecahan, tetapi sebagai kekayaan dan
aturan regulatif. Di sini kita dapat melihat pendorong untuk kerukunan dan
peran Romo Aloys Budi Purnomo Pr, perdamaian serta kesatuan dan kerjasama
sebagai Ketua Komisi Hubungan bagi masyarakat kota Semarang. b)
Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Perjumpaan-perjumpaan srawung dan
Agung Semarang, dan tokoh muda dialog antar agama atau lintas iman
Setiawan Budi Ketua Persaudaraan Lintas (interfaith) diperlukan untuk menepis
Agama, Tokoh-tokoh ini sebagai agen narasi-narasi kecurigaan antar agama,
dalam mencapai atau mewujudkan tujuan bahwa agamaku yang paling baik dan
untuk merajut relasi persaudaraan dalam agamamu yang tidak baik. Perjumpaan
kebhinekaan dan menyuarakan sikap yang adalah bentuk memahami gagasan yang
membangun praktek keagamaan terhadap sama dalam menghayati eksistensi agama
isu sosial keagamaan. Perannya sebagai yang lebih inklusif dan humanis. Peran
tokoh Agama dan tokoh masyarakat cukup lembaga institusi pemerintahan yang
menonjol, dan juga menarik simpati mestinya menjadi tempat yang
banyak pihak. merepresentasi keberagaman, benar-
Dari hal inilah, akhirnya mengerti benar memberikan posisinya secara netral
bagaimana tindakan sosial atau perilaku dan nasionalis kepada Masyarakat. c)

203
Stefanus Wawan Setiawan & Rispritosia Sibarani, Budaya Srawung sebagai Potret Toleransi Beragama
dan Bersuku untuk Meredam Konflik di Kota Semarang

Supaya umat beragama perlu mewaspadai Liliweri, A. (2007). Makna Budaya dalam
konflik latent yang sewaktu-waktu dapat Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PT
LKIS Pelangi Aksara.
manifes (terjadi), dan umat memiliki Muchlisin, (2015). Komnas HAM peringatkan
kesadaran tanggungjawab dalam hal potensi konflik horizontal di Aceh Singkil.
mewujudkan toleransi, membina https://www.bbc.com/indonesia/berita_ind
kerukunan, dan mengadakan srawung onesia/2015/10/151013_indonesia_komnas
dengan agama-agama lain sebagai refleksi _gereja_singkil. Di akses 22 Mei 2020.
Muti‟ah, A, (2009). Harmonisasi Agama dan Budaya
terhadap pluralisme yang ada di kota di Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian dan
Semarang dengan saling menghargai dan Pengembangan Agama Jakarta.
menghormati dalam kehidupan berbangsa Nottingham, E.K. (1993). Agama dan Masyarakat:
dan bernegara sesuai dengan Pancasila Suatu Pengantar Sosiologi. Jakarta: Rajawali
dan UUD 1945 dan Indonesia bukan Press.
Rusnaini. (2013). Pendekatan Socio-Cultural
negara agama. Development Dan Socio-Political
Intervension Untuk Mengatasi Konflik Sosial
UCAPAN TERIMAKASIH Sebagai Upaya Memantapkan Ketahanan
Berterimaksih kapada Istri, anak- Wilayah Di Surakarta: Jurnal Ketahanan
anak serta lembaga Gereja Kriten Jawa- Nasional, 12 (2): 87-89.
Setiawan, A., (2015). Konsep Ruang Publik Menurut
Genuk, atas semua dukungan moril dan Jurgen Habermas.UIN, Yogyakarta.
materi selama menyelesaikan studi di Storey, J. (2003). Teori Budaya dan Budaya Pop:
Universitas Kristen Satya Wacana. Memetakan Lanskap Konseptual
CulturalStudies. Yogyakarta: CV. Qalam
DAFTAR PUSTAKA Yogyakarta.
Boty, M. (2017). Masyarakat Multikultural:Studi Sumaryanto, Y., (2009). Ruang publik jurgen
Interaksi Sosial Masyarakat Islam Melayu habermas dan tinjauan atas perpustakaan
Dengan Non Melayu Pada Masyarakat umum indonesia(Doctoral dissertation,
Sukabangun Kel. Sukajadi Kec. Sukarami Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu
Palembang. Palembang: JSA 1 (2): 10-20. Pengatahuan Budaya).
Casram. (2016). Membangun Sikap Toleransi Tampake, T, (2014). Redefinisi Tindakan Sosial dan
Beragama Dalam Masyarakat Plural. Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso
Bandung: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Salatiga: Fakultas Teologi UKSW.
Budaya, 1 (2):33-44. Titaley, J.A. (2013). Religiositas di Alinea Tiga:
Effendi. D., (2010). Pluralisme dan Kebebasan Pluralisme, Nasinalisme, dan Transformasi
Beragama, Yogyakarta; Interfide. Agama-Agama Salatiga: Satya Wacana
Effendy, R. (2010). Pendidikan Lingkungan, Sosial, University Press,
Budaya, dan Teknologi.Bandung: CV Maulana Wahid, A, (2015). “Kesantunan Imperatif dalam
Media Grafika. Interaksisantri Putra pada Madrasah Aliyah
Hastuti, F.E. (2008). Potensi dan Pengembangan Kelas X Mu’allimin Muhammdiyah
Kampung Etnik Arab Sebagai Aset di Kota Yogyakarta”, Jurnal Ling Tera, 4 (2), 209-
Surakarta: Surakarta. 221.
Ibrahim, (2010). Agama, negara, dan ruang publik Wasino. (2011). Multikulturalisme Dalam Perspektif
menurut habermas (catatan penting untuk Sejarah Sosial. Semarang: Seminar
pluralisme agama di indonesia), fisip‐ukim Multikulturalisme dan Integrasi Bangsa
maluku: jurnal badati, ii, (3): 1-10 dalam Pembangunan Kebudayaan dan
John. W.C. (2013). Penelitian Kualitatif & Desain Pariwisata.
Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://jateng.tribunnews.com/2016/11/05/melest
Kaelan, H. (2012). Metode Penelitian Kualitatif arikan-budaya-srawung.
Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, http://news.unika.ac.id/2018/11/srawung-
Filsafat, Seni, Agama, dan Humaniora. menuju-peradaban-kasih/
Yogyakarta: Paradigma. https://elsaonline.com/john-titaley-kita-
Khotimah, (2013). Toleransi Beragama. Jurnal membutuhkan-religiositas-bersama/
Ushuluddin Vol. 20 No. 2 https://nasional.kompas.com/read/2019/11/26/2
Knitter, P.F., (2012). Satu Bumi Banyak Agama, 2240851/undang-tokoh-agama-wapres-
Jakarta: BPK Gunung Mulia. bahas-antisipasi-konflik-sosial.
https://www.researchgate.net/publication/30694
3432

204
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology)
6 (2) (2021): 194-204

https://www.Sesawi.net/catatan tentang buka


puasa bersama Ibu Shinta Nuriyah Wahid di
Pudak Payung Ungaran /
https://www.suaramerdeka.com/news/opini/226
513-srawung
https://youtu.be/5w8VRjFODZ0. Link di YouTube
https://youtu.be/Da92G5Elmjg. Link di YouTube

205

Anda mungkin juga menyukai