EKONOMI ISLAM
BAB 2
DAMPAK RIBA
• Terjadinya inflasi.
Inflasi adalah bertambahnya nilai mata uang tetapi tidak
diikuti oleh peningkatan harga barang dan jasa.1 Praktik riba
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
inflasi ini.2
1
Kamal Bakri dan Ahmad Mundir, Ilmu Ekonomi, hlm. 481. Bandingkan
dengan Dr. Ahmad Zaki Badawi, Kamus Istilah Ekonomi. Lihat pula
Ensiklopedia Encarta Dunia. Kata inflasi oleh para pakar ekonomi
diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan melambungnya permintaan
tetapi tidak diikuti oleh peningkatan kuantitas produk. Kata ini juga
diartikan sebagai peningkatan harga yang disebabkan oleh peningkatan
harga yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan namun tidak
diimbangi dengan peningkatan penawaran
2
Darwis Justiniya, Bunga, Laba, dan Alat Pendanaan Islami, hlm. 55.
Bandingkan dengan Muhammad Syihat al-Jundi, Alat Pendanaan dalam
• Terjadinya krisis ekonomi dan lambatnya pertumbuhan
ekonomi.
Henry Simon, seorang pakar ekonomi berkebangsaan
Amerika Serikat, menyatakan tentang krisis yang melanda
kebanyakan negara yang bermula pada tahun 1930 bahwa
penyebab terbesar terjadinya krisis keuangan ini adalah
munculnya bank-bank komersial yang berlebihan dalam
menyediakan alat tukar. Maka tak heran jika krisis terbesar
justru sering melanda bank-bank tersebut. Selain itu, negara-
negara yang memiliki banyak bank komersial harus terlibat
penuh dalam pengontrolan sirkulasi alat tukar tersebut.3
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bank komersial
tersebut sangat membahayakan sistem ekonomi. Semakin
gencar penawaran pinjaman maka nominal kapital akan
semakin melambung tinggi pula. Sedangkan membatasi
penyebaran pinjaman itu juga akan menyebabkan terjadinya
stagnasi. Tentunya hal ini akan membahayakan perencanaan
(planning) utama mereka, yaitu memfasilitasi aktivitas
pinjam-meminjam. Kant, seorang pakar ekonomi Inggris
terkenal, mengatakan bahwa riba merupakan sumber utama
penyebab terjadinya stagnasi yang menjangkiti negara-
neagara di dunia. Agar masyarakat bisa mengembangkan
Syariat Islam, hlm. 64. Lihat juga ‘Abdullah ‘Ibadi, Pandangan Syariat
tentang Bank Islam Modern, hlm.188.
3
Muhammad ‘Abdul Mun’im Jamal, Ensiklopedia Ekonomi Islam, hlm. 401.
ekonominya, hendaknya mereka mampu menetralisasi bunga
riba dalam setiap transaksi ekonomi hingga tingkat 0%.
Seorang pakar ekonomi Jerman mengatakan bahwa
pertumbuhan kapital bisa terhambat oleh nilai rata-rata suku
bunga. Jika nilai rata-rata suku bunga ini tidak ditekan maka
akan melemahkan pertumbuhan kapital di zaman modern.4
4
‘Abdullah ‘Ibadi, op.cit, hlm. 19.
murah. Inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan
sosial yang sangat tajam di antara mereka. Dengan demikian,
indeks ekonomi semakin memburuk di kalangan masyarakt
tersebut.
5
Mansur, Hirarki Ekonomi Islam, bahasan tentang Riba, (Kuwait: Baitut
Tanwil, hlm. 5.
larangan negara-negara yang menitipkan modalnya untuk
mengembangkan modal tersebut di daerah mereka sendiri.
Kami akan menunjukkan bahwa penanaman modal negara-
negara teluk Arab telah mencapai 3.000 milyar dolar AS
padah tahun 1990.
6
Saat itu harga petroleum (minyak bumi) per barel mencapai nilai US$ 240.
memanipulasi kondisi negara-negara maju Barat yang
sebenarnya. Seolah-olah mereka tidak mengalami keterpurukan
ekonomi, padahal kenyataannya adalah sebaliknya. Rahasianya
adalah karena mereka menuai panen kekayaan dari berbagai
aspek. Di antaranya adalah dengan menawarkan jasa untuk
berpartisipasi dalam pekerjaan sehingga mereka mendapat
kompensasi untuk mengeruk kekayaan dari mereka dengan barter
sesuatu yang tak mungkin bisa mereka penuhi. Misalnya,
penawaran utang dengan bunga yang tinggi oleh negara-negara
maju kepada negara-negara lain, yaitu negara-negara dunia
ketiga. Jadi, tampak jelas efek-efek destruktif terhadap
perekonomian yang ditimbulakn oleh riba negara-negara kaya
terhadap negara-negara lemah yang berutang. Mereka akan
menjadi korban atas sistem ini. Padahal seharusnya masayarakat
bisa menikmati harga yang melimpah dan memiliki ekonomi
yang kuat jika tidak terjerat riba utang tersebut.
7
Khalil Badri, Ensiklopedia Tokoh-tokoh Terkemuka, hlm. 71. Adolh Hitler
adalah seseorang pemimpin paham Nazi di Jerman. Ia juga komandan
tentara Nazi Jerman selama Perang Dunia Kedua. Ia lahir di Nimsa
kemudian berpindah ke Vietnam. Beliau pendiri Partai Buruh Nasional
Jerman. Beliau diangkat sebagai Ketua Departemen tahun 1933. Kemudian
ia menguasai Yugoslavia dan menyerang Polandia, sehingga meletuslah
Perang Dunia Kedua. Ia meninggal dunai setelah kalah dalam peperangan
tahun 1945.
8
’Afif Thabara, Ruh Agama Islam, hlm. 301.
Bab 3
Definisi Riba dan Pengertian
Riba Menurut Beberapa Mazhab
Definisi Riba
Setiap kata dalam bahasa Arab memiliki makna bahasa
(lughawi). Jika kata itu dimaknai secara syara’ maka disebut
syar’i atau bisa juga disebut dengan makna istilahi. Contoh kata –
kata dalam bahasa Arab adalah “shiyam dan shalat”, serta kata
“riba”. Shiyam secara bahasa diartikan “menahan”. Dalam istilah
syar’i dimaknai “menahan diri dari makan dan minum sejak
terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari disertai dengan niat
puasa”.19
9
I’anatu, at-thaliban, vol.II, hlm.369, catatan kaki Bujuirami, vol.III,hlm 15 dan
catatan kaki Qaliyubi, vol.II hal.209
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam mendenisikan
terminologi riba fadhl tersebut. Sebab masing-masing tokoh
memiliki alasan hukum yang berbeda-beda pula. Namun
demikian, secara global semua terminology yang dikemukakan
oleh para ulama fiqih tidak ada yang bertentangan. Mazhab
hanafi misalnya, mereka mensyaratkan dengan menggunakan alat
takar tertentu. Jika tidak menggunakan alat tersebut maka tidak
termasuk riba. Oleh karena itu, mereka membolehkan
menukarkan satu genggam beras dengan dua genggam meskipun
ada kelebihan. Tentunya pendapat ini berbeda dengan definisi
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa semua tambahan pada
salah satu barang yang sejenis adalah termasuk riba.
Sedangkan definisi riba nasiah yang telah disebutkan di
atas merupakan terminology yang tidak mewakili semua
pendapat empat mazhab. Meskipun kontennya saling berkaitan.
Bisa dikatakan bahwa definisi tersebut bertentangan dengan
pendapat –pendapat para tokoh empat mazhab. Perbedaan ini
terjadi disebabkan masing-masing tokoh memiliki alasan hukum
riba nasiah tersendiri. Menurut hanafi, misalkan, riba nasiah bisa
terjadi pada pertukaran dua barang yang sejenis, meskipun tidak
ada tambahan. Riba ini juga biisa terjadi pada semua barang yang
kadarnya tidak bisa diukur dengan alat ukur yang akurat.
Misalkan, seperti yang kita telah kupas dalam pembahasan riba
fadhl. Definisi terminology riba nasiah yang paling tepat menurut
mereka adalah penundaan waktu penyerahan kedua barang barter
yang sejenis, baik dengan ada kelebihan ataupun tidak.
Sementara itu, menurut mazhab maliki, riba nasiah bisa
terjadi pada semua jenis makanan, meskipun tidak ada kelebihan.
Kendati alas an hukum riba bagi mereka adalah jenis makanan
pokok dan tahan lama. Definisi riba nasiah paling lengkap
menurut mereka adalah penundaan penukaran pada salah satu
barang jenis makanan ketika terjadi akad jual-beli, baik dengan
barang yang sebagaiannya sejenis atau sejenis semua.
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, riba nasiah ada
syaratnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang
termasuk riba jenis ini adalah penundaan waktu penyerahan pada
salah satu barang barter dengan jatuh tempo yang tercatat ketika
akad. Definisi ini tidak ada kaitannya dengan model alas an
hukum, namun terkait dengan bentuk akadnya.
Menurut mazhab Hanafi, definisi di atas tetap dianggap
mewakili pendapat mereka tentang riba nasiah, mengingat bahwa
kezaliman pada riba nasiah ini lebih kecil dibandingkan dengan
riba fadhl. Mazhab ini juga tidak menyebutkan syarat tertentu.
Selanjutnya, kami akan membahas klasifikasi riba
menurut para ulama fiqih. Klasifikasi ini berkaisar antara dua
atau tiga macam, seperti yang telah disebutkan oleh mazhab
syafi’i. akan tetapi, ada di antara mereka yang menyebutkan jenis
riba lain, misalnya bujairimi dan mutawalli. Seperti yang
dikemukakan oleh Khatib Syarbini bahwa ada jenis riba lain yaitu
riba qiradh. Riba utang ini adalah tambahan bersyarat yang harus
dibayar oleh pengutang kepada pemberi pinjaman sebagai
imbalan atau kompensasi dari penundaan waktu pelunasan
pembayaran. Inilah yang dinamakan dengan riba utang.
Jika kita perhatikan, para ulama fiqih tidak berbeda
pendapat dalam pengharaman riba ini. Banyak sekali nash yang
menyatakan keharaman riba ini. Lantas kenapa kebanyakan
ulama fiqih tidak mencantumkan jenis riba ini?
Jawabannya bisa beraneka ragam, yaitu :
Pertama, para ulama fiqih yang tidak mencantumkan riba
utang dalam klasifikasi riba mereka, dengan alas an bahwa
mereka tidak mau mengklasifikasi jenis riba yang memiliki
makna umum yang mengandung makna riba utang. Akan tetapi,
mereka ingin menyebutkan riba yang spesifik, yaiitu riba yang
tertulis pada jual-beli. Riba ini diharapkan oleh para penulis
buku-buku fiqih bisa dibahas dengan menyebutkan hukum-
hukum tertentu dalam kajian-kajian fiqih secara khusus.
Selanjutnya, mereka memberikan istilah atau definisi khusus
tentang riba yang alas an hukumnya berbeda-beda diantara para
memisahkan pembahasan riba utang dalam bab tersendiri secara
terpisah, yaitu bab Utang (Qiradh).
Para ahli fiqih yang sengaja memisahkan riba utang dari
klasifikasi riba jual beli. Mereka beralasan bahwa riba utang ini
sebenarnya merupakan pembahasan tersendiri. Prinsip-prinsip
dasar riba utang ini berbeda dengan riba jual-beli yaitu :
• Riba utang ini bisa terjadi pada semua jenis harta, baik
ada tambahan ataupun tidak.
10
Syekh Zakaria Anshari, Komentar syarqawi terhadap Tuhfat at-
Thullab,vol.III,hlm 66
Padahal riba utang kebanyakan terjadi karena ada
kelebihan pada pengembalian. Sementara jual-beli barang
yang sejenis ataupun tidak dengan kelebihan dalam
konteks riba nasiah adalah dilarang.
• Kebanyakan keuntungan uang dari kelebihan atau kualitas
barang yang diterima oleh pemberi utang itu boleh
asalkan keuntungan itu tidak disyaratkan dalam akad
utang dan akad itu rterjadi ketika kondisi kejiwaan atau
mental pengutang sedang sehat.
11
Syarbini, Muhni al-Muhtaj,vol.II,hlm.21.
sama terdapat penundaan waktu. Sebab semuanya masih dalam
konteks tukar-menukar.
Ketiga, riba jual-beli merupakan terminology tersendiri
yang dikupas khusus oleh istilah syara’. Orang-orang arab tidak
mengenal terminology riba ini sebelumnya. Mereka hanya
mengetahui riba utang. Definisi riba secara istilah menurut ulama
fiqih merupakan hal yang baru.
Meskipun demekian, tetap saja riba utang menjadi salah
satu jenis rib. Bahkan ia merupakan bagian yang terpenting dari
semua jenis riba. Apalagi kalau kita telah mengetahui bahwa riba
inimerupakan asal dari riba jahiliah yang diharamkan oleh syara’
dan dipertegas oleh hadits. Pengharaman riba dalam konteks
inilah yang tidak terdapat perbedaan di antara ulama fiqih, dan in
berbeda dalam pengharaman riba ini (riba jual-beli).
Ternyata setelah kita perhatikan dengan teliti, klasifikasi
riba menurut para ahli fiqih ini hanyalah formalitas belaka,
berikut penjelasannya.
Riba Utang
Biaya tambahanan yang dibebankan kepada pengutang
ketika terjadi transaksi, baik berupa transaksi pinjam-meminjam,
jual-beli, sewa-menyewa, atau sejenisnya, adalah termasuk dalam
kategori riba. Inilah praktik riba jahiliah yang diharamkan oleh
Al-Quran dan dipertegas oleh As-Sunnah. Model riba utang ini
misalnya adalah seseorang meminjamkan sejumlah uang kepaa
orang lain. Kemudian pada suatu saaat pemberi utang menagih
utang tersebut. Akan tetapi, pihak pengutang belum bisa
melunasinya, padahal telah jatuh tempopembayaran. Selanjutnya,
pemebri pinjaman memeberikan tenggang waktu lagi dengan
kompensasi biaya tambahan yang akaan digabungkan dengan
jumlah utang pokok.
Mayoritas ahli fiqih tidak menyebutkan jenis riba ini
sebagian bagian dari jenis riba ini. Akan tetapi, mereka sepakat
atas keharamanny. Sebab praktik itu seperti menjual utang
dengan utang atau menjual keterlambatan membayar utang
dengan keterlamabatan utang juga. Ketika menjelaskan maksud
dari jual-beli utang dengan utang yang disepakati keharamannya
tersebut, Taqiyudin Subki, ‘Ali bin ‘Abdul Kafi menegaskan
dengan memeberikan contohnya, “Seseorang mem punyai
tanggungan utang kepada si fulan. Si fulan juga mempunyai
utang kepada pihak ketiga. Kemudian orang itu disuruh
membayarkan utang si fulan kepada pihak ketiga tersebut, namun
dalam bentuk dan kualitas utang yang berbeda.” Inilah jenis
praktik riba yang disepakati keharamannya oleh para ahli fiqih.
Sejatinya praktik ini tak ubahnya seperti orang yang menjual
utang dengan utang lain.12
12
Nawawi, al-Majim’,vol.VI.hlm.60-61
Muhammad bin Muflih bin Mufrij al-Muqadddsi
menejelaskan bahwa jual-beli penundaan waktu pembayaran
dengan “menjual sesuatu yang menjadi tanggungan pengutang
dengan harga tambah secara kredit”.
Riba utang ini dianggap sebagai salah satu jenis riba,
sebab riba ini terjadi pada jahiliah yang diharamkan oleh nash.
Riba jahiliah ini terjadi pada riba pinjaman dan utang. Perbedaan
antara riba pinjaman dengan riba utang adalah riba pinjaman
merupakan harta tambahan yang belum ditetapkan dalam akad.
Sedangkan riba utang merupakan harta tambahan yang telah
ditetapkan dalam akad. Riba utang sejatinya memang harta
tambahan yang dibebankan kepada pengutang, baik dalam bentuk
transaksi pinjaman-meminjam, jual-beli, atau transaksi lainnya.
Riba pinjaman dan riba utang in terjadi pada konteks harta yang
sama. Awalnya, harta itu dipinjamkan asalkan ada imbalan
tambahan yang disebut sebagai riba injaman. Kemudian harta
tanggungan yang dibebankan tersebut tidak bisa dibayarkan tepat
waktu oleh pengutang ketika jatuh tempo maka pemilik uang
menangguhkan kembali jatuh tempo pembayaran, dengan
kompensasi biaya tambahan karena ada penmabahan tempo
waktu yang disebut sebagai riba utang.
Terkadang kata “utang” diidentikan dengan “pinjaman”,
dan kata “pemberi utang” diidentikan dengan kata “pemberi
pinjaman”, dan sebaliknya. Demikian juga bisa dilihat dari aspek
penyebutannya. Harta yang dipinjamkan bisa disebut utang.
Sedangkan pemebri pinjaman juga disebut pemebri utang.
Sementara peminjaman bisa disebut pengutang.
Riba Jahiliah
Kita telah menyebutkan sebelumnya bahwa riba jahiliah
terjadi pada riba utang dan riba pinjaman. Maka tidak perlu lagi
menyebutkan riba jahiliyah ini sebagai pengganti terpisah dari
kedua jenis riba tersebut. Kami hanya akan lebih menfokuskan
kepada bukti bahwa riba jahiliah memang benar benar ada dan
terjadi di kalangan orang arab.
Muhammad bin Jarir dari Abu Ja’far ath-Thabari
meriwayatkan sebuah hadits tentang riba yang diharamkan oleh
Allah SWT, dari Muhammad bin Jabir, dari Abu al-Hajjaj, dia
bertutur “Pada masa jahiliah ada sesorang yang memiliki utang
kepada orang lain. Selanjutnya, pihak pemberi utang berkata
kepadanya, ‘Jumlah tanggungan utangmu adaa=lah segini dan
segini dan engkau boleh menunda pembayaran’ maka pengutang
pun menundanya.” Diriwayatkan oleh ath-Tabari juga dari
Qatdah bin Da’amah as-Sudaisi, “Riba jahiliah terjadi apabila ada
seorang yang melakukan transaksi jual beli suatu barang
kemudian dia memberikan tenggang waktu pembayaran kepada
pihak pembeli. Namun jika telah jatuh tempo dan si pembeli
belum bisa melunasi pembayarannya maka si penjual
memebrikan tambhaan tenggang waktu lagi tetapi bunganya juga
bertambah.13
Fakhrurrazi berkata “Riba nasiah-yang merupakan
terminologi baru dalam konteks riba jahiliah, selain sebagai
bagian dari riba jual beli-merupakan riba yang cukup dikenal di
kalangan jahiliah. Mereka membeikan pinjaman sejumlah uang,
kemudian mereka mengambil bunga dengan dengan jumlah
tertentu setiap bulan. Sementara nominal hutang pokok masih
terhitung utuh. Jika pengembalian bunga sudah selesai baru utang
pokoknya diambil juga. Akan tetapi, jika orang yang berytang
tersebut belum mampu melunasi utang pokok itu maka dia diberi
kesempatan dengan tenggang waktu lagi, tetapi dia harus
membayar biaya atau bunga tambahan. Demikian praktik riba
yang dilakukan pada masa jahiliah.14
Jashshash berkata, “Bentuk riba yang dipraktikan oleh
orang-orang Arab adalah meminjamkan utang dirham atau dinar
dalam tenggang waktu tertentu dengan kompensasi tambahan
bunga sesuai dengan kesepakatan.”15
Muhammad bin ‘Abdillah al-Husaini al-Alusi berkaya
“Berdasarkan riwayatyang tidak hanya satu orang, orang Arab
memungut riba dengan cara memberikan tenggang waktu
pelunasan utang. Jika telah jatuh tempo pelunasan utang, pemebri
13
Ath-thabari,Albayan’an Tawil Ayyil-Quan,vol.III,hlm.101
14
Fakhrur-Razi, Tafsir al.Kabir,volIV,hlm.93
15
Jashshash,Ahkam Al-Qur’an,vol.III,hlm.184
utang akana menawarka penundaan pembayaran lagi dengan
meminta kompensasi uang tambahan. Jika pengutang sepakat
maka terjadilah riba.” Riba akan semakin bertambah setiap ada
penambahan tempo waktu pelunasan. Akibatnya, orang yang
tidak mampu akan kehilangan uang habis-habisan. Oleh sebab
itu, praktik ini pun diharamkan.16
Berikut ini adalah bebrapa kutipan atau pertanyaan para
mufasir tentang faktor faktir yang menunjukan adanya praktik
riba jahiliah :
• Adanya persyaratan biaya tambahan dalam akad pinjaman
meminjam
Contohnya meminjamkan 80 asalkan dikembalikan 100.
Hal ini dikemukakan oleh Jashshash.
• Adanya biaya tambahan dari transaksi jual-beli yang
dibebankan kepada pembeli karena penundaan waktu
pelunasan
Jika telah tiba jatuh tempo, sementara pihak pengutang
belum mampu melunasi utangya maka pemberi utang menambah
bunga tambahan karena dia diberi tenggang waktu lagi. Hal ini
dikemukakan oleh Thabari dari Qatadah.
• Adanya biaya tambahan dari transaksi pnjam meminjam
yang dibebankan kepada peminjam.
16
Alusi,Ruh al-Ma’ani,vol,III,hlm.87
Jika telah jatuh tempo namun pihak pengutang belum bisa
melunasi utangnya maka pemberi pinjaman akan meminta
tambahan biaya karena dia memberikan tenggang waktu lagi. Hal
ini dikemukan oleh Mujahid, seperti yang dinukil oleh ath-
Thabari.
17
Khazin, Tafsir al-Khazin, vol. I, hlm. 301
18
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Al-Qur’an, vol. IV, hlm. 90.
tahun, dan jika binatang pinjaman sudah berumur empat tahun
maka menjadi lima tahun.19
19
Lihat bab Syarah Kitab al-Maidani, vol. I, hlm. 138.
Beliau menegaskan pendapatnya ini dengan menyebutkan
firman Allah swt.,
20
Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid, vol. II, hlm. 92
21
Jashshash, Ahkam Al-Qur’an, vol. II, hlm. 183
pinjam-meminjam, atau yang lainnya. Lebih lanjut
beliau berkata, “Para ulama bersepakat bahwa riba yang terjadi
pada jual-beli ada dua macam, yaitu penangguhan dan kelebihan,
kecuali yang diriwiyatkan dari ‘Abdullah bin’Abbas, putra paman
Nabi, yang menolak bahwa riba terjadi pada kelebihan.
Jenis riba yang lain dinamakan dengan riba utang, atau riba
penangguhan. Kita bisa temukan riba ini dalam pernyataan ar-
Razi ketika menafsirkan tentang riba jahiliah. Persamaan dari dua
jenis riba ini adalah sama-sama ada tenggang waktu. Akan tetapi,
tenggang waktu dengan kompensasi tambahan biaya ini lebih
terkenal dengan sebutan riba jahiliah.
22
Ibnu-Qayyim, I’lamul-Muwaqqi’in, vol. II, hlm. 154
Bab 5
Larangan dan Sanksi Riba
Larangan Riba
Sanksi Riba
Sanksi terhadap praktik yang dijelaskan oleh nash-nash
sungguh mengerikan. Penulis memeohon kepada Allah SAW.
agar terhindar dari praktik riba yang sangat membahayakan dan
menyebabkan sanksi yang sangat berat.
Sebelum menyebutkan nash-nash yang menyatakan sanksi
terhadap praktik riba ini, penulis ingin mengatakan bahwa riba
adalah mengambil harta tambahan dengan cara membantu
memenuhi kebutuhan pengutang. Adapun harta yang
ditangguhkan tanpa ada tambahan bukan termasuk dalam konteks
ini.
Imam Mawardi menjelaskan bahwa harta yang
ditangguhkan pembayarannya tanpa ada penambahan biaya
adalah termasuk dosa kecil. Sebab implementasi akad tersebut
kuarang benar. Transaksi tidak sah bisa bermula dari dosa kecil
tersebut. Peryataan Mawardi ini diungkap dengan tujuan
penundaan waktu itu tidak menyebabkan seseorang melakukan
kezaliman atau monopoli terhadap orang lain.
Jika salah satu dari ketiga syarat ini terdapat dalam transaksi
jual-beli maka terjadilah riba penambahan. Contohnya,
menukarkan 100 gram emas dengan 120 gram jenis emas yang
sama.
Sedangkan syarat-syarat terjadinya riba penangguhan
adalah sebagai berikut:
- Serah-terima barang yang diperjual belikan tidak
serempak.
- Serah terima kedua jenis harta yang diperjualbelikan
ditangguhkan.
Kesamaan jenis tidak menjadi syarat dari riba ini. Hal ini
ditunjukkan oleh pernyataan, “jika berbeda jenisnya maka
juallah sesuka hati kalian asalkan sama-sama tunai.” Jadi, syarat
terjadinya riba penangguhan ini adalah penyerahan barang yang
berbeda jenis tidak kontan.
Dengan demikian, jika kedua syarat tersebut di atas
terdapat dalam suatu transaksi maka terjadilah riba penangguhan.
Artinya, salah satu atau kedua barang yang akan ditukarkan atau
diperjual-belikan itu diserahkan kemudian atau ditunda.
Tetapi ada pengecualian, jika kita tidak mengetahui
kualitas emas, perak, atau barang lain. Sementara itu, kita
menginginkan transaksi jual beli barang yang berkualitas paling
unggul dengan barang berkualitas nomor dua maka jual-beli
semacam ini boleh ditangguhkan. Ini adalah dasar hukum yang
tidak dipertentangkan lagi. Tidak sedikit pokok syariah yang
menegaskan hal ini. Antara lain adalah syariah tentang jual-beli
pemesan dan jual-beli kredit. Jika ada yang menukarkan emas
secara kontan dengan gandum yang penyerahannya ditangguhkan
maka transaksi itu termasuk jual-beli pemesanan. Artinya,
transaksi ini adalah jual-beli yang ditangguhkan harganya. Dalam
hal ini, para ulama fiqih tidak berbeda pendapat.
Dengan demikian, tidak mungkin terjadi riba
penambahan ataupun penangguhan dalam tukar-menukar emas
dengan perak. Akan tetapi, kemungkinan bisa terjadi pada
pertukaran barang sejenis yang berkualitas sama serta memenuhi
syarat yang telah disebutkan di atas.
Jadi, riba penambahan ataupun riba penangguhan
terdapat pada transaksi tukar-menukar berikut, yaitu menukarkan
100 gram emas dengan 150 gram emas, sementara kedua barang
yang ditukarkan tersebut tidak sama-sama diserahkan secara
langsung saat itu juga. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
setiap kali terjadi riba penambahan maka pasti terjadi pula riba
penangguhan. Akan tetapi, transaksi yang terdapat riba
penangguhan belum mesti terjadi riba penambahan.