Anda di halaman 1dari 2

SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015

“Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire”
Local Wisdom and Cultural Sustainability

TESIS-TESIS STRATEGI KEBUDAYAAN

Mudji Sutrisno SJ.


Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca Sarjana UI, Budayawan

1. Istilah strategi sendiri sudah sempit fokus arah karena memuat arti langkah-langkah yang fisik
kelihatan, yang diambil untuk mencapai sasaran. Teknisnya berarti cara-cara dan taktik
pencapaian tujuan terutama untuk memenangkan perang. Maka bila disatukan dengan kata kunci
strategi kebudayaan, dimaksudkan tidak hanya teknis dan taktis cara-cara mencapai sasaran
tetapi langkah-langkah proses, yang bisa disebut metodologi (baca: pengetahuan tak hanya
kognitif tapi pula memuat unsur arif sebagai ‘logos’) tentang tahap-tahap, langkah-langkah yang
dirancang bahkan dirajut dengan maknanya untuk proses kebudayaan, yang tujuan akhirnya
adalah terbangunnya ranah hidup, sistem untuk hidup bersama dalam keadaban dan
kesejahteraan meski sadar keunikan masing-masing anggota warga masyarakat yang hidup
didalamnya.

2. Strategi kebudayaan sebagai proyeksi atau rancangan bangunan budaya manusia pertama-tama
harus ditopangkan pada primat yang suci, luhur manusia dengan harkatnya sebagai manusia.
Manusia-lah subyek atau pelaku yang memberi makna pada hidupnya. Dia-lah actor atau homo
significans (the signifying actor) dalam hidupnya. Dengan apa dan dari mana makna-makna itu?
Dari sistem makna (bila arti hidup sudah dirumuskan logis sistematis). Di dalam proses merajut
makna bersama sesama-sesamanya ketika rahim kearifan-kearifan hidup sukunya, membatinkan
dan memberinya kebijaksanaan kehidupan saat terus melangkah dari kebhinekaan Nusantara
menjadi keIndonesiaan yang satu atau ika dalam berbangsa dan bernegara.
Karena itu setiap orang Indonesia begitu lahir sebagai anggota sukunya atau identitas pra-
Indonesia, ia sekaligus dikonstruksi oleh rajutan nilai rahim lahirnya. Namun pada saat yang
sama, begitu lahir sebagai warga Indonesia, ia bersama-sama rekan-rekan sebangsanya
menenun yang baik (baca: yang berharga untuk pedoman perilaku); yang suci; yang benar dan
indah dalam proses menjadi Indonesia).

3. Tesis pertama dalam menjadi Indonesia dalam bingkai strategi kebudayaan adalah nilai-nilai
(baca: sebagai yang dipandang dan dihayati sebagai bermakna dan berharga untuk
melangsungkan hidup) terbaik, tersuci, paling benar dan paling indah misalnya dari ke Jawaannya
semasa Nusantara atau dari keMinangan, keBatakannya, harus menjadi kontribusi untuk
keIndonesiaan. Pada tesis pertama ini sejarah kultural kita dalam menjadi Indonesia merumuskan
strategi puncak-puncak kebudayaan daerah itulah Indonesia. Kritik langsung terhadap tesis ini
adalah sentralisasi dan apa ukuran puncak kebudayaan daerah. Terbukti ketika sudah dibakukan
dalam rumusan hukum dan ‘dibekukan’ dalam formalisasi legal, kita lupa medekonstruksinya
karena terjebak pada pemahaman kebudayaan sebagai kata benda dan bukan kata kerja.
Tesis kedua pengalaman menjadi Indonesia merupakan lawan kritis terhadap sentralisasi atau
rumusan besar puncak-puncak tadi. Karena tempatnya beradu ada dalam dikotomi teori besar
yang dilawan teori kecil, maka pertanyaan gugatnya adalah siapa yang berwenang merumuskan
perjalanan budaya sebagai strategi? Para teoretikus besar atau pakar-pakar ataukah setiap
subyek yang menghayati hidup sebagai rakyat kecil, orang kecilpun berhak merumuskannya?
Itulah jasa cultural studies yang kalau kita tajamkan dalam penalaran dialektika tesis puncak-
puncak kebudayaan daerah untuk pusat versus antithesis tiap manusia itu berhak memaknai
hidupnya dan hidup yang diberi arti oleh setiap orang itulah kebudayaan. Pengalaman sejarah kita
dari Nusantara menjadi Indonesia sebenarnya mampu mengendapkan dialektika itu dalam wujud-
wujud sintesis budaya. Artinya, watak Jawa positif yang bertemu dalam perkawinan antar suku
atau dalam mengelola pemerintahan akan mencatat sintesis ambil positifnya Dwi Tunggal
kepemimpinan nasional Jawa dan non Jawa. Atau Soekarno dan Hatta; Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla dan kini Jokowi dan Kalla. Pengalaman mengIndonesia kita juga
mencatat rumusan olah kebudayaan dalam kekayaan kemajemukan suku, religi, golongan-
golongan yang bhineka lalu diproses menjadi tunggal ika yang selalu berketegangan antara
kesatuan yang dimaknai sempit negatif sebagai keseragaman dan kemajemukan yang ditafsir

7 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE
SEMINAR NASIONAL SCAN#6:2015
“Finding The Fifth Element… After Water, Earth, Wind, and Fire”
Local Wisdom and Cultural Sustainability

euforia mendekati anarki karena kemerdekaan individu untuk bertanggung jawab selalu punya
batasannya yaitu hak hidup sesamanya atau orang lain.
Tesis ketiga menghayati kebudayaan dalam strategi yang menaruh harkat manusia Indonesia
sebagai yang harus dihormati sebagai manusia titik (!), menaruh kita mencatat pasang surut
kearifannya dalam rumusan strategis dengan pola cross cultural fertilization, artinya dalam proses
saling memberi benih kehidupan yang menyuburkan berlangsung dari Nusantara menuju
Indonesia bahkan kini pasca Indonesia. Pasca Indonesia karena proses kultural semesta menjadi
kampung global dan tiap manusia dimanapun harus dihormati karena ia manusia dan tidak pernah
boleh dijadikan obyek. Dalam penghayatan dan mengalami proses lapangan di tesis ketiga inilah
ahli-ahli arkeologi, kebudayaan, sejarah dan ilmu-ilmu kemanusiaan dari sosiologi sampai ilmu-
ilmu sosial memberi kata-kata kunci prosesnya. Yang pertama, proses osmosis kultural ketika 2
kebudayaan bertemu lalu strategi penyerapannya mengambil yang positif dan meresapkan serta
memberi wajah baru untuk tujuan survival. Contohnya, candi Prambanan itu Jawanisasi Hindu-
kah atau Hindunisasi Jawa? Seperti pula penelitian-penelitian yang masih terus subur mengenai
tafsir proses budaya Borobudur dalam Budhisme tantrayana-kah atau atau arupadhatu puncak
moksa setelah olah hening tahap kamadhatu, rupadatu?
Tesis keempat merupakan endapan rangkuman yang mencoba menjawab pertanyaan mengapa
isme-isme (baca: kekuatan-kekuatan budaya religi dan kolonialisme ekonomi) yang masuk dalam
dialog-dialog budaya tanpa kekerasan kekuasaan bisa bertransformasi memberi daya hidup untuk
merawat hidup dan melangsungkannya dari Nusantara menjadi Indonesia? Sementara ‘isme-
isme’ yang dengan senjata kekuasaan untuk mengalahkan dan mencari rempah-rempah di
Nusantara berakhir dalam perang bengis penaklukan-penaklukan? Tesis ini digarap alm. Umar
Kayam untuk pidato sumbangan pikiran guru besar di Universitas Gadjah Mada tahun 1990.
Rangkuman tesisnya sebagai berikut:
“Saat Nusantara dengan serat-serat kekayaan budayanya mempunyai waktu untuk dialog damai
dengan budaya lain, secara hidup dan tanpa dominasi kekuasaan, maka Nusantara bertumbuh
sehat. Namun ketika pemaksaan dan kolonialisme menjeratnya, maka terjadilah wajah Indo dalam
budayanya”.

4. Strategi kebudayaan membutuhkan ranah budaya. Saya mengambil preskripsi dan deskripsi
Raymond Williams karena sampai saat ini mampu menengahi teori besar versus teori kecil
kebudayaan. Ia dalam “The Long Revolution, 1965”, menuliskan ranah konsep sebagai ranah
pertama kebudayaan. Ranah konsep ini merupakan ruang atau wilayah manusia memproses
penyempurnaan diri yang diacu dan tertuju pada makna pokok universal tertentu. Didalamnya,
dideskripsi kehidupan dan tata acuan makna universal yang terus dihidupi, termasuk sistem
keyakinan akan arti hidup. Kedua, kebudayaan sebagai ranah catatan dokumentasi praksis
kehidupan yang dihayati sebagai teks yang mencatat struktur imajinasi, pengalaman dan
pemikiran manusia. Ranah ketiga kebudayaan adalah ranah rumusan kemasyarakatan
kebudayaan sebagai penanda jagad hidup tertentu yang didalamnya dibuat kajian-kajian budaya
sebagai usaha untuk mengonstruksi perasaan dalam adat, kebiasaan dan struktur mentalitas
yang dipakai untuk menghayati kehidupan. Karena kebudayaan merupakan tata acuan nilai-nilai
hidup perjalanan bermartabat bagi anak-anak dari ‘rahimnya’, baik individu maupun komunitas
maka strategi kebudayaan yang merupakan visi perubahan, panduan arah perkembangan budaya
yang dipetakan (dibuat peta), diteliti dan dipelajari wujud-wujud tesis-tesis sejarahnya dalam kerja-
kerja budaya dan dibuat langkah-langkah ke depannya agar proses budayanya menjadi
transformasi keadaban atau peradaban. Langkah-langkah itu bisa ditapaki melalui:
a. Mengolah, merawat hormat pada kemajemukan identitas suku, religi, dan penyusun-penyusun
berharkat manusia-manusianya untuk terus mencintai kebhinekaan sebagai proses menjadi
Indonesia lalu mencari wujud-wujud bahasa politis, hukum, sosial ketatanegaraan dalam
mewujudkan terus menerus isi format Negara demokratis dan pasti hukum (rule of law). Untuk
itulah bahasa sistemik, konstruksi praxis kebijakan sampai pemerian rinci teknis harus tetap
bersumber pada ruh makna kebudayaan.
b. Proses menjadi Indonesia sebagai transformasi mentalitas melalui proses pendidikan harus
menjadi kesadaran tugas bersama terus agar kearifan hidup menjadi ruh dan panduan
menterjemahkan rasionalitas tujuan peradaban dalam praxis pengembangan ilmu, teknologi
dan bukannya ‘menggeber’ melulu rasionalitas instrumentalis.
c. Kesejahteraan dan keadilan merupakan batu uji pengukuran pencapian praxis transformasi
kebudayaan dalam bahasa sosial, ekonomis pemerataan dan bahasa hukum keadilan bagi
warga masyarakat.

8 FINDING THE FIFTH ELEMENT… AFTER WATER, EARTH, WIND, AND FIRE

Anda mungkin juga menyukai