Anda di halaman 1dari 33

BST

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219057/Maret 2021


**Pembimbing : dr. Hendra Irawan, Sp. S, FINA

Meningioma

Oleh :
Khalil Khusairi MN, S. Ked*
G1A219057

Pembimbing:
dr. Hendra Irawan, Sp. S, FINA**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

i
ii
LEMBAR PENGESAHAN

Meningioma

Oleh:
Khalil Khusairi MN, S. Ked
G1A219057

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

Jambi, Maret 2021


Pembimbing

dr. Hendra Irawan, Sp. S, FINA


ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab karena
rahmatnya, tugas baca jurnal atau BST yang berjudul “ Meningioma ” ini dapat terselesaikan.
Tugas ini dibuat agar penulis dan teman – teman sesama koass periode ini memahami tentang
cara mendiagnosis dan pengobatan bell’s palsy di Pelayanan Primer. Selain itu juga sebagai
tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit saraf.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hendra Irawan, Sp. S selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam tugas
laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga tugas baca
jurnal ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Maret 2021

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Bell’s Palsy merupakan kelemahan wajah tipe lower motor neuron yang disebabkan
oleh gangguan idiopatik saraf fasialis, tanpa disertai penyakit neurologik lainnya. Saraf
fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 saraf yang terdiri dari 7000 serabut saraf motorik
untuk otot-otot wajah dan 3000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of
Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut
parasimpatik untuk kelenjar parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.
Sindrom ini pertama kali ditemukan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan
dokter bedah bernama Sir Charles Bell. Pasien yang terkena biasanya tidak dapat menutup
mata mereka. Penampilan wajah menjadi asimetris dan air liur menetes dari sisi mulut yang
lemah. Tergantung pada lokasi lesi, beberapa pasien mungkin mengeluh terdapat kebisingan
atau hilangnya sensasi rasa. Banyak penderita yang merasa takut terutama pada wanita karena
hal ini sangat mengganggu kosmetik. Sebanyak 71% pasien dapat sembuh tanpa pengobatan
dan dari 71% tersebut terdapat 84% pasien yang sembuh total atau mendekati pemulihan
normal. Sisanya akan mengalami persisten sedang, kontraktur wajah, atau sinkinesis.

1
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Pemayung, Muara Bulian, Batanghari
Pekerjaan : IRT
MRS : 18 Maret 2021

Daftar Masalah
N Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
O
1. Penurunan Kesadaran 20/03/2021
2.
3.
4.

Data Subjektif
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran sejak ±2 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Kronologis : Pada tanggal 18 maret 2021 pasien datang ke IGD RSUD Raden
Mattaher dengan keluhan penurunan kesadaran yang dirasakan semakin memburuk
sejak 2 hari sebelumnya. Pasien tampak mengantuk dan sulit dibangunkan. Riwayat
kejang (-), mual muntah (-), Bicara pelo (-), mulut miring (-). Pasien sebelumnya
pernah dirawat dengan keluhan serupa pada 1 tahun yang lalu. Pada 1 tahun yang lalu
pasien telah dilakukan ct-scan dan didapatkan gambaran tumor. Pasien disarankan
untuk tindakan operasi namun menolak. Pada 1 tahun yang lalu sebelum masuk
rumah sakit pasien serig mengeluh sakit kepala berulang.
 Faktor Memperberat : -
 Faktor Memperingan : -
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keluhan serupa (+) pada 1 tahun yang lalu
- Riwayat hipertensi (+)
- Riwayat TB (+)
- Riwayat Diabetes mellitus (+)

2
-
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)
- Riwayat penyakit hipertensi (+)
- Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat stroke (-)
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien adalah seorang IRT.
Data Objektif
1. Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Tanda Vital :
Kesadaran : Somnolen
GCS : E4M6V3 = 13
TD : 120/80 mmHg
HR : 84x/i
RR : 20x/i
Suhu : 36,5 ºC
SpO2 : 98 %

2. Status Internus
Kepala : Mata : CA-/-, SI -/-,
Pupil : Isokor, refleks cahaya (+)
Leher : Kelenjar thyroid tidak membesar, KGB tidak membesar,tidak ada
deviasi trakhea
Dada : Simetris, tidak ada retraksi
Jantung :Inspeksi : Ictus cordis tampak pada ICS V, 2 jarimedial LMC sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V, 2 jari medialLMC sinistra,
tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas SIC II LPS sinistra
Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra

3
Batas kanan atas SIC II LPS dextra
Batas kanan bawah SIC IV LPS dextra
Auskultasi :BJ I/II reguler, bising (-), gallop (-),murmur(-)
Paru :Inspeksi : Simetris, retraksi (-/-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan=kiri, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara
tambahanwhezzing(-/-),Ronkhi (+/+)
Perut :Inspeksi : Datar, deformitas (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tak teraba massa,hepar lien tidakteraba
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+)
Alat kelamin : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-)
3. Status Psikitus : Cara berpikir : Terganggu
Perasaan hati : Terganggu
Tingkah laku : Terganggu
Ingatan : Terganggu
Kecerdasan : Terganggu

4. Status neurologikus
A. Tanda Rangsang meningeal
a.Kaku kuduk :-
b.Brudzinsky 1 :-
c.Brudzinsky 2 :-
d.Brudzinsky 3 : -|-
e.Brudzinsky 4 : -|-

B. Tanda Rangsang Radikuler :


a.Laseque :>700/>700
b.Kontra laseque : -/-

4
c.Pattrick : -/-
d.Kontra Patrick : -/-
e.Kernig :>1350/>1350
C. Susunan Saraf Pusat
Kanan Kiri
 N. I (Olfaktorius)
Subjektif Baik Baik
Dengan Bahan Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan
 N. II (Optikus)
Visus Baik Baik
Lapangan penglihatan Baik Baik
Melihat warna Baik Baik
Fundus Okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 N. III (Okulomotorius)
Ptosis: Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/Endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil; besarnya: 3mm 3mm
Bentuknya bulat bulat
Reflek cahaya + +
Reflek konvergensi + +

 N. IV (Troklearis)
Pergerakan bola mata Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada
 N. V (Trigeminus)
Motorik
Otot Masseter Normal Normal
Otot Temporal Normal Normal

5
Otot Pterygoideus Normal Normal
Sensorik
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
 N. VI (Abdusen)
Pergerakan bola mata(lateral) Normal Normal
Diplopia Normal Normal
 N. VII (Fascialis)
Mengerutkan Dahi: Sulit dinilai Sulit dinilai
Menutup mata: Sulit dinilai Sulit dinilai
Memperlihatkan gigi: Sulit dinilai Sulit dinilai
Bersiul: Sulit dinilai Sulit dinilai
2/3 ant lidah Sulit dinilai Sulit dinilai
 N. VIII (Vestibulo-cochlearis)
Detik arloji Sulit dinilai Sulit dinilai
Suara berbisik Sulit dinilai Sulit
dinilai
Test Weber Sulit dinilai Sulit dinilai
Test Rinne Sulit dinilai Sulit dinilai
Nistagmus Sulit dinilai Sulit dinilai
 N. IX (Glosofaringeus)
Sensasi Lidah 1/3 belakang Sulit dinilai
Refleks muntah Sulit dinilai
 N. X (Vagus)
Arkus faring Simetris
Berbicara Normal
Gangguan menelan Normal
Reflek muntah Tidak dilakukan
Nadi Normal
 N. XI (Accesorius)

6
Memalingkan kepala + +
Mengangkat bahu + +
 N. XII (Hipoglosus)
Pergerakan lidah Sulit dinilai
Tremor lidah Sulit dinilai
Atropi papil Sulit dinilai
Disatria Sulit dinilai
D. Badan dan Anggota Gerak
a. Badan
Motorik Kanan Kiri
Respirasi Simetris Simetris
Duduk Normal Normal
Bentuk kolumna Normal Normal
Pergerakan kolumna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas (Proptopatik)
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Reflek
Reflek kulit perut atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek kulit perut tengah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek kulit perut bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Anggota Gerak atas
Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Normal Normal
Kekuatan 444 444
Tonus Normal Normal

7
Trofi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Fisiologis
Biseps Normal Normal
Triseps Normal Normal
Radius Normal Normal
Ulna Normal Normal
Hoffman-Tromner (+) (-)
c. Anggota gerak bawah
Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Normal Normal
Kekuatan 444 555
Tonus Normal Normal
Thermi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas (Proptopatik)
Taktil Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks fisiologis
Patella (+) (-)
Achilles (+) (-)
Refleks patologis
Babinsky (+) (-)
Chaddock (+) (-)
Rosolimo (-) (-)
Mendel-Bechtrew (-) (-)
Schaefer (+) (-)

8
Oppenheim (+) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Test Laseque (-) (-)
Test Kernig (-) (-)
Test Patrick (-) (-)
kontra Patrick (-) (-)
e. Koordinasi, Gait, Keseimbangan
Cara berjalan Tidak dilakukan
Test Romberg Tidak dilakukan
Disdiadokinesis Tidak dilakukan
Ataksia Tidak dilakukan
Rebound phenomen Tidak dilakukan
Dismteria Tidak dilakukan
f. Gerakan Abnormal
Tremor (-)
Atetosis (-)
Miokloni (-)
Khorea (-)
Rigiditas (-)
g. Alat Vegetatif
Miksi Kateter
Defekasi Normal
Gambar
Diagnosa
SOL Intrakranial ec Meningioma
Terapi
 Farmakologis :
1. IVFD NaCl 0,9 20 tpm
2. Dexametason 4 x 1
3. Ketorolac 3 x 1
4. Omeprazole 1 x 1

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Bell’s palsy adalah suatu penyakit gangguan nervus fasialis perifer, yang bersifat
akut, dan menyebabkan paralisis wajah unilateral dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi.Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang
anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.Penyakit ini secara signifikan
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kerusakan pada nervus fasialis dapat mempengaruhi
fungsi dan juga estetika. Berdasarkan penyebab patologis, paralisis nervus fasialis dapat
dikategorikan sentral atau perifer. Paralisisi sentral merupakan akibat dari kelainan sistem
neural di atas nukleus fasialis, sedangkan paralisis nervus fasialis perifer disebabkan oleh
kerusakan nukleus fasialis atau nervus fasialis itu sendiri.

3.2 Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa 11-40 orang per 10.000 penduduk terkena
Bell’s Palsy setiap tahunnya. Penderita terbanyak adalah masyarakat yang berusia antara 30
dan 45 tahun.
Di Indonesia belum ada data mengenai angka kejadian Bell’s palsy, penelitian
Supartono G pada tahun 1989 menemukan 115 penderita parese N fasialis perifer di Poli
Saraf RSHS selama 1 tahun. Mariva R pada tahun 2004 meneliti 103 kasus Bell’s palsy, dan
pada tahun 2006, Arifin R menemukan 136 kasus Bell’s palsy.
Bell’s Palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama.
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% leih tinggi dibanding non-diabetes. Pada
kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf
fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2%. Pada anak anak bell’s palsy lebih
sering pada musim dingin.

10
3.3 Anatomi
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil
(nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan
komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula
lakrimalis.Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara
lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf vestibulocochlearis menuju
meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1 centimeter (cm), dibungkus dalam
periosteum dan perineurium.
Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis yang terdiri dari 3 segmen yang
berurutan: labirin, timpani dan mastoid, Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea
dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin
ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering
menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang
terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan
ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam
foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar
lakrimal dan palatina.
Saraf korda timpani merupakan percabangan yang terletak di atas foramen
stylomastoideus, saraf korda timpani merupakan saraf yang paling besar diantara saraf
fasialis dan berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya
oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung
dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah.

11
Gambar 1. Skema dari Saraf Kranialis Ketujuh (fasialis).Cabang motorik ditandai dengan
garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai dengan garis warna jingga, dan cabangaferen
viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan garis putus-putus dan titik.c (diambil dari
Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH, Adam and Victor’s Principles of Neurology.
8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2009.)

12
Gambar 2. Perjalanan nervus fasialis (Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial
Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and
Neck Surgery, In Press.)

Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar sublingual dan


submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan sel dari neuron
gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf
intermedius ke traktus solitarius (Mc Caull et all, 2014). Setelah keluar dari foramen
stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi
m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori
eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis
kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus,
buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian
superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m.
orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma.

Gambar 3. Rangkaian nervus fasialis (dikutip dari Baehr,M, Frotscher, M, 2012, Duus
Topical Diagnosis in Neurology 5th ed. Thieme: New York)

13
Lokasi cidera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus
nervus VII. Cidera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di
bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan
fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonim. Lesi yang terletak antara ganglion
ganikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak
mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka
yang terjadi hanya paralisis fasial(wajah).

3.4 Etiopatogenesis

Penyebab dari penyakit Bell’s Palsy masih belum diketahui (idiopatik) tetapi diyakini
disebabkan oleh peradangan pada saraf wajah di ganglion ganikulatum, yang mengarah ke
kompresi, demielinisasi dan iskemia. 789. . Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab
dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi kelainan anatomi dan
herediter telah diduga menjadi penyebab. Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau
inflamasi saraf fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama
perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan
langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk
dekompresi bedah pada pengobatan Bell’s palsy. Pada pasien yang tidak mengalami
perbaikan dalam 3 bulan, perlu investigasi lebih lanjut khususnya pemeriksaan radiologi
untuk melihat abnormalitas kanal fasialis.
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf
melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan
bukan oleh kompresi pada kanal tulang. Suatu penelitian systematic review berdasarkan
Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang
berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo
dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya
antivirus dalam mengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya
penyebab Bell’s palsy yang lain. Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai
penyebab Bell’s palsy, terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.
Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance. Sejumlah
penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s
palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki
hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun.

14
Gambar 4. Kerangka teori etiologi bell’s palsy (dikutip dari Sjahrir H, 2014, Bell’s Palsy

3.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis biasanya berupa:
 Lemah pada otot wajah
 Gangguan untuk menutup mata
 Perubahan pengecapan
 Hiperakusis
 Numbness pada pipi atau mulut
Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang
perjalanannya menuju otot.
a. Lesi di foramen stilomastoideus
 Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan
gusi.
 Lipatan kulit dahi menghilang

15
 Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan
keluar terus-menerus. Hal ini karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu
muskulus orbikularis okuli terganggu.
b. Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah
ganglion genikulatum)
 Gejala dan tanda klinik seperti pada (a)
 Hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan)
 Salivasi di sisi yang terkena berkurang
 Hilangnya daya pengecapan pada lidah
c. Lesi di atas kanalis fasialis (melibatkan muskulus stapedius)
 Gejala dan tanda klinik (a), (b)
 Hiperakusis
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
 Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)
 Nyeri di belakang dan di dalam liang telinga
 Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka
 Ramsay Hunt adalah paralisis perifer yang berhubungan dengan herpes zooster di
ganglion genikulatum.
e. Lesi di daerah meatus akustikus internus
 Gejala dan tanda kliik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sabagai akibat
dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons
 Gejala dan tanda klinik sama dengan (e), disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus
trigeminus, nervus akustikus dan kadang-kadang juga nervus abdusen, nervus
aksesorius dan nervus hipoglosus.

3.6 Diagnosis
3.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada tidaknya
nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan
penyakit lain yang menyerupai. Peru ditanyakan keluhan khas pada pasien Bell’s palsy
adalah kelemahan atau paralisis komplit pada seluruh otot wajah sehingga pasien merasa
wajahnya perot. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi

16
wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang
progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang.

3.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pada Bell’s Palsy, dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan ciri dari gangguan
fungsi saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi pada saraf fasialis in
dapat dilihat dari penampakan pada pasien Bell’s palsy,yaitu: Paralisis pada setengah wajah
pada sisi yang terlibat, dimulai dari tidak terlihatnya kerutan pada dahi, tidak dapat menutup
mata dengan baik (lagophtalmus), tidak didapatkan lipatan nasolabial, dan ketika diminta
tersenyum maka bibir pada bagian lesi yang terkena tidak ikut tertarik (merot).
Lesi pada Sistem Saraf Pusat (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf
fasialis, namun terdapat perbedaan hsil pemeriksaan fisik dari lesi perifer, yaitu tidak
dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik
(lagophtalmus tidak dijumpai) serta disertai dengan defisit neurologis lainnya. Hal ini
dikarenakan Otot Orbikularis, frontalis, dan currogator diinervasi bilateral oleh saraf yang
keluar dari batang otak, sedangkan otot pada 2/3 bagian bawah wajah tidak,sehingga
terjadilah fenomena seperti hal ini.

17
Gambar 5. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear Dikutip dari:
Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bell’s palsy; Diagnosis and Management. American
Academy of Family Physicians. 76:997-1002

Pemeriksaan fisik lain yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa Bell’s Palsy adalah
pemeriksaan telinga, untuk menyingkirkan penyakit lain yang mungkin bisa menyebabkan
paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis mnedia yang aktif dan massa di kelenjar
parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan
bukan suatu Bell’s palsy. Meatus akustikus eksternus dari pasien harus diinspeksi dan
didapatkan terbebas dari adanya vesikel, injeksi ataupun gambaran eritema. Pasien dengan
Bell’s palsy mungkin didapatkan adanya penurunan sensasi nyeri barupa cubitan pada area
posterior dari aurikular. Pasien yang mengalami paralisis dari muskulus stapedius, dapat
mengalami hiperakusis. Hal ini dapat diperiksa dengan menggunakan stetoskop, dengan hasil
suara lateralisasi kearah lesi.
Selain itu pemeriksaan fisik pada pasien Bell’s Palsy juga dapat dititik beratkan pada
paralisis dari muskulus orbikularis okuli, dengan hasil yaitu pasien tidak pada menutup mata
secara sempurna pada sisi lesi, dan disertai dengan tidak adanya refleks dari air mata pada
pasien ini. Hal ini dapat menyebabkan penurunan produksi air mata yang meningkatkan
resiko abrasi kornea dan dry eye syndrome. Pasien juga mungkin didapatkan dengan refleks
kornea yang negatif pada sisi lesi, namun mata kontralateral akan tetap berkedip pada
pemeriksaan refleks kornea pada sisi lesi.

3.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang dalam
menegakkan diagnosanya. Namun, karena Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga
pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis
saraf kranialis. Selain itu, pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan bila dijumpai indikasi
tertentu. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging (MRI)
diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial setelah 1
bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda- tanda
paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan
atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang,
dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Sedangkan Pemeriksaan MRI dilakukan pada

18
pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk
mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis.
2. Pemeriksaan Elektromyography (EMG)
Pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian
tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan
negative-predictive-value (NPV) 96%.
3. Uji Schimmer
Menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian
bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter.
Berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf fasialis setinggi ganglion
genikulatum.

3.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan
perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi
yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral, kelainan tumor
apabila onset timbulnya penyakit muncul secara gradual dan disertai perubahan mental status
atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya, sklerosis multipel bila disertai kelainan
neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika, dan trauma bila terdapat fraktur os
temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.
Sedangkan kelainan perifer yang dapat menjadi diagnosa banding dari Bell’s palsy
adalah suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum
timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi, herpes zoster otikus atau
Ramsay Hunt Syndrome bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa
amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus
varicella-zoster, sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut,
dan kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata
kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral, dan Lyme disease.

3.8 Tatalaksana
Karena etiologi dari Bell’s palsy yang hingga saat ini masih belum dapat dijelaskan
dengan pasti, sehingga manajemen yang diberikan pada pasien dengan Bell’s palsy lebih ke

19
arah suportif terapi untuk dapat mencapai resolusi komplit dari penyakit ini, dan menurunkan
faktor resiko terjadinya sekuele pada kemudian hari.

Gambar 6. algoritma tatalaksana bell’s palsy (dikutip dari Almeida JR, Guyatt GH, Sud S,
2014, Management of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline, 186(12) Canadian Society of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery and Canadian Neurological Sciences Federation)

3.8.1 Terapi Non Farmakologis


a. Proteksi Mata
Proteksi mata dilakukan karena kelemahan nervus fasialis menyebabkan kegagalan
penutupan mata, dimana tanpa intervensi maka dapat menyebabkan ulserasi kornea, scar, dan
juga kehilangan pengelihatan. Intervensi didasarkan pada prognosis fungsi nervus fasialis

20
terhadap lagophthalmus. Untuk lagopghthalmus bisa ditambahkan air mata buatan, tetes mata
dan penutup mata untuk menjaga kelembaban dan mengurangi evaporasi dari air mata.

b. Masase otot wajah


Selain itu juga dapat diberikan masase otot yang dikerjakan secara halus dengan
mengangkat wajah keatas dan membuat gerakan melingkar. Rehabilitasi fasial juga
dilakukan, yang meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan
program pelatihan dirumah. Rehabilitasi fasial yang dilakukan pada pasien Bell’s palsy lebih
dikenal dengan Rehabilitasi kabat. Prinsip Rehabilitasi fisik kabat atau nama lainnya
proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) adalah suatu pendekatan latihan terapi yang
mengkombinasikan secara fungsional pola gerakan diagonal dengan teknik fasilitasi
neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan memperbaiki kontrol dan fungsi
neuromuscular.

Gambar 7. Cara Melakukan Rehabilitasi Fisik pada pasien Bell’s Palsy. Dikutip dari Syahrir
H, 2014 Bell’s Palsy: USU Repository)

3.8.2 Terapi Farmakologis

21
Untuk pengobatan secara farmakologis, dikarenakan etiologi dari Bell’s palsy yang
belum jelas, saat ini digunakan beberapa pengobatan yang berbeda, yaitu :
a. Terapi Kortikosteroid
Pemberiaan kortikosteroid golongan prednisolon, dan atau penggunaan antivirus dalam
memerangi Anti Virus Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) yang
merupakan dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bell’s palsy. Dosis
prednisolon yang digunakan adalah 1mg/kgbb/hari (maksimal 80mg/hari) selama 5 hari,
kemudian dilakukan tapering off 10mg/hari sampai pengobatan mencapai 10 hari. Pada jurnal
penelitian di India dikatakan bahwa pemberian steroid oral memiliki tingkat efektivitas paling
tinggi dibandingkan penggunaan antivirus dan kombinasi dari steroid oral dan antivirus tanpa
memandang derajat penyakit bell’s palsy ini. Steroid tidak hanya berguna untuk mempercepat
proses penyembuhan tapi juga meningkatkan kualitas hidup pasien seperti dalam kualitas
tidur dan juga menurunkan risiko terjadinya stroke karena insidensi stroke pada pasien
paralisis nervus fasialis adalah sebesar 2,02 kali dibandingkan populasi normal.
b. Terapi Anti Virus
Dalam pedoman AAO-HNS tahun 2013 dikatakan bahwa terapi bell’s palsy
menggunakan steroid oral dalam 72 jam kejadian bell’s palsy, sedangkan penggunaaan
antivirus pada pasien dengan gejala dan tanda bell’s palsy tidak dianjurkan karena prognosis
akan semakin buruk. Hal ini sejalan dengan pedoman dari Canadian Bell’s Palsy Task Force
yang merekomendasikan penggunaan steroid oral tanpa penggunaan obat antivirus meskipun
dalam pedoman ini terapi inisiasi dimulai dalam kurun waktu 48 jam serangan.
c. Terapi Hiperbarik
Pembengkakan nervus fasialis dapat menyebabkan status anoksia pada neuron, yang
dipercayai sebagai mekanisme dalam bell’s palsy. Inflamasi dan anoksia pada nervus fasialis
menyebabkan neuropraksia awal, yang nantinya akan diikuti oleh degenerasi wallerian.
Oksigen hiperbarik meningkatkan difusi oksigen di sekitar jaringan yang anoksik sehingga
memungkinkan memfasilitasi edema dan proses regenerasi. Dalam studi dibandingkan hasil
penggunaan terapi hiperbarik dan steroid setelah follow up 9 bulan didapatkan bahwa terapi
hiperbarik oksigen mendapat hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian steroid.
Bagaimanapun juga terapi hiperbarik juga ada risikonya yaitu dapat menyebabkan pecahnya
foramen rotundum, perubahan visus, dan sensasi kesemutan, serta dikontraindikasikan pada
pasien yang claustrophobia.

d. Terapi Stimulasi Elektrik

22
Dilaporkan dari beberapa penelitian bahwa tidak ada beda signifikan pada pasien yang
menjalani terapi stimulasi maupun tidak, namun terapi ini diyakini dapat mempengaruhi
regenerasi awal dari bell’s palsy, karena stimulasi elektrik dapat menyebabkan kontraksi pada
otot yang telah kehilangan inervasi. Ke depannya perlu ada penelitian lebih lanjut untuk
terapi ini.
e. Terapi acupuncture
Acupuncture telah digunakan untuk menerapi berbagai penyait di cina, namum
efikasinya belum dibuktikan dalam pengobatan berbasis bukti. Dari penelitian terpilih
didapatkan bahwa acupuncture dapat efektif atau memiliki efektivitas tinggi.

Gambar 8. Ringkasan Terapi untuk Bells Palsy (dikutip dari Almeida JR, Guyatt GH,
Sud S, 2014, Management of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline, 186(12)
Canadian Society of Otolaryngology – Head and Neck Surgery and Canadian
Neurological Sciences Federation)

f. Terapi Pembedahan

23
Selain pengobatan secara farmakologis dan non farmakologis,terdapat tempat untuk
pembedahan pada Bell’s palsy. Indikasi dilakukan pembedahan adalah dengan criteria
tertentu antara lain tidak ada penyembuhan, Bell’s palsy berulang, dan pemeriksaan
elektrodiagnosis menunjukkan kelainan.
Dekompresi melalui pembedahan dianjurkan sebagai terapi akut Bell palsy yang
didasari oleh hipotesis pembengkakan neuronal pada tulang temporal berperanan dalam
trauma kompresi saraf. Namun, masih sedikit data mengenai hal ini. Penanganan ini bersifat
invasif dan memiliki risiko kehilangan pendengaran yang permanen.

3.9 Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada bell’s palsy, namun hanya sekitar 5% penderita bell’s
palsy mengalami sekuel berat. Beberapa komplikasi yang sering terjadi:
1. regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis
seluruh atau beberapa muskulus fasialis,
2. regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),
ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak
sama dengan stimuli normal),
3. reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menyebabkan :
a. sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya
timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan
dahi saat memejamkan mata,
b. crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat
mengkonsumsi makanan, dan
c. clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba
(shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,
kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).

3.10 Prognosis
Bell’s Palsy memiliki prognosis yang baik. Setidaknya 70-90% pasien membaik tanpa
pengobatan, dan 90% mengalami perbaikan fungsi yang lengkap dengan pengobatan
kortikosteroid.
Indikator prognosis yang jelek pada Bell Palsy:

24
 Facial palsy yang komplit
 Tidak ada perbaikan dalam 3 minggu
 Usia > 60 tahun
 Nyeri berat
 Ramsay Hunt Syndrome (herpes zoster virus)
 Kondisi yang berhubungan (hipertensi, diabetes, kehamilan)
 Degenerasi yang berat dari N VII yang ditunjukkan melalui hasil elektrofisiologi.

25
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien datang ke datang ke Poli Saraf RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan
merasakan kaku pada wajah sebelah kanan. Hal ini terjadi karena paralisis nervus VII dextra
yang mempersarafi otot-otot wajah kecuali otot-otot yang terlibat dalam menyunyah. Pada
pemeriksaan fisik diketahui kesadaran compos mentis (E4M6V5) karena paralisis tidak
mengenai pusat kesadaran sentral, hanya melibatkan N. VII perifer. Pada pemeriksaan N. VII
didapatkan mata kanan pasien mengalami lagoftalmus, yaitu mata tidak dapat menutup
dengan sempurna. Kerutan dahi kanan menghilang karena terdapat kelumpuhan otot-otot dahi
kiri yang dipersarafi N. VII. Bila pasien menggembungkan pipi kemudian ditekan
menggunakan jari, penggembungan akan mudah untuk mengempes karena hal yang sama.
Bila pasien menyeringai, terlihat mulut mencong ke kiri, sudut mulut kanan menghilang dan
bila pasien diminta mengangkat alis maka yang sisi kanan tidak terangkat.Selain dari klinis
motorik dan sensorik wajah, diagnosa Bell’s Palsy diperkuat pada pasien ini dikarenakan
onset nya yang terjadi secara akut (<72 jam) dan keluhan yang bersifat progresif.
Pada kasus ini diketahui pasien memiliki kebiasaan mengarahkan kipas angin ke wajahnya
dalam waktu yg lama serta sering berkendara menggunakan motor tanpa menutup kaca helm. Faktor
terpapar angin kencang ke area wajah ini merupakan salah satu faktor risiko tertinggi kejadian Bell’s
Palsy. Beberapa referensi menyebutkan adanya hubungan antara suhu atau kelembaban dengan Bells
palsy, namun hal ini masih belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis. Proses inflamasi di nervus
fascialis ini dapat disebabkan karena adanya infeksi virus, diduga virus yang paling berperan adalah
Herpes Simpleks Virus tipe 1. Virus ini biasanya dormant di daerah ganglion geniculatum dan dapat
menyebabkan Bells Palsy bila virus ini tereaktivasi diikuti adanya proses inflamasi dan terjebaknya
virus kedalam saraf cranialis sehingga virus dapat masuk ke foramen di otak. Virus ini akan
menghancurkan sel sel ganglion pada saraf fascialis dan memicu timbulnya inflamasi. Inflamasi ini
menyebabkan peningkatan diameter nervus fascialis sehingga terjadi kompresi pada saraf fascialis.
Lama kelamaan kompresi ini akan menyebabkan kematian sel saraf atau terbentuk canal infark
sehingga menimbulkan kelumpuhan saraf fascialis.

Pemeriksaan penunjang untuk kasus Bell’s palsy adalah Elektromiografi (EMG).


EMG adalah sebuah tes yang dilakukan untuk merekam depolarisasi spontan pada otot dan
respon pada kontraksi volunter pada otot. EMG dapat membantu menilai tingkat cedera pada
saraf dan menilai kemungkinan pemulihan.
Untuk penatalaksanaan nya, pasien baru berobat setelah 5 hari pasca keluhaan awal Bell’s
Palsy pertama kali. Ini menandakan pasien terlambat berobat yang mana seharusnya Bell’s Palsy
harus di terapi sesegera mungkin dengan efek terbaik pengobatan di 3 hari pertama pasca onset (72
jam). Terapi yang diberikan yaitu prednisolon 60 mg selama 5 hari. Pemberian kortikosteroid berguna
untuk menekan proses inflamasi yang terjadi.Pasien juga diberikan mecobalamin 3x500 mg.
Mecobalamin atau methylcobalamin adalah bentuk aktif vitamin B12 yang membantu dalam sintesis
metionin dan S-adenosylmethionine. Methylcobalamin membantu dalam sintesis selubung myelin,
regenerasi saraf axonal dan bersifat neuroprotective dan merupakan terapi pilihan untuk neuropati
perifer

Pemberian antiviral untuk kasus Bell’s Palsy dapat diberikan dengan alasan bahwa
kemungkinan terjadinya Bell’s Palsy akibat dari HSV atau Varicella Zooster Virus
(VZV).Pengobatan dengan antivirus seperti asiklovir mungkin bermanfaat. Asiklovir dan

26
prednison digunakan secara kombinasi lebih efektif dibandingkan pemberian prednisone
tunggal. Asiklovir-prednison adalah kombinasi paling efektif jika sesegera mungkin
diberikan setelah timbulnya gejala.Antivirus tidak bermanfaat jika digunakan secara tunggal.
Obat antivirus yang dapat diberikan tergantung dari etiologinya. Antivirus tidak diberikan
pada pasien ini, karena pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya
infeksi.
Selain dari pemberian medikamentosa untuk terapi Bells Palsy dapat dilakukan juga
fisioterapi. Fisioterapi pada Bells Palsy berguna untuk memelihara fisiologi otot,
meningkatkan kekuatan otot wajah yang mengalami kelemahan, dan mengembalikan gerak
fungsional yang melibatkan otot-otot wajah, secara mengunyah, menutup kelopak mata,
mengangkat alis dan berkumur. Jenis fisioterapi yang dapat dilakukan untuk pasien Bells
Palsy berupa TENS (Transcutaneal Electrical Nerve Stimulation) dan massage otot wajah.
TENS merupakan metode memberikan stimulasi dengan listrik pada otot wajah yang titik
rangsangnya terletak pada kulit, berfungsi untuk meningkatkan kerja otot. Oleh karena
metode ini menggunakan listrik, tidak diperbolehkan untuk pasien melakukan metode
fisioterapi ini pada fase akut Bells Palsy karena dapat memperburuk keadaan inflamasi.
Metode TENS dilakukan setelah fase akut dari Bells Palsy selesai. Sementara metode
massage otot wajah dianjurkan untuk pasien melakukan massage ini di fase awal dari Bells
Palsy karena dapat memberikan efek relaksasi sehingga menurunkan spasme atau kekauan
dari wajah.
Komplikasi tersering yang mungkin timbul dari Bells Palsy adalah sindrom air mata
buaya atau crocodile tears syndrome yaitu keluarnya cairan air mata saat makan atau minum
pada pasien yang baru pulih dari Bells Palsy. Mekanisme ini dapat terjadi karena pada
periode pemulihan setelah cedera saraf wajah, serabut saraf saliva yang mengalami regenerasi
mengalami sinkinesis (associated movement) yang seharusnya ketika ada rangsang lapar dan
haus, akan menginervasi kelenjar saliva berbelok arah jadi menginervasi kelenjar lakrimal
sehingga klinis pada crocodile tears syndrome ini ketika pasien mendapat rangsang bau atau
rasa makanan, secara tanpa disadari air mata pasien akan keluar.

27
BAB V
KESIMPULAN

Bell’s Palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan
atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu sisi wajah. Beberapa keadaan yang dicurigai
menjadi penyebab Bell’s palsy yaitu: infeksi, kelainan anatomi, vaskuler, imunologi, dan
genetik.
Mekanisme terjadinya Bell’s Palsy masih belum diketahui pasti. Saat ini diduga
disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya gangguan
mikrosirkulasi di dalam saraf fasialis sehingga saraf kekurangan oksigen yang menyebabkan
gangguan fungsi saraf fasialis.
Manifestasi klinis yang terjadi adalah lemah otot wajah, gangguan untuk menutup
mata, perubahan sensasi kecap, hiperakusis, numbness pada pipi atau mulut. Terapi yang
diberikan meliputi kortikosteroid dan vitamin B12.
Bell’s Palsy memiliki prognosis yang baik. Setidaknya 70-90% pasien membaik tanpa
pengobatan, dan 90% mengalami perbaikan fungsi yang lengkap dengan pengobatan
kortikosteroid.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Almeida JR, Guyatt GH, Sud S, 2014, Management of Bell Palsy: Clinical Practice
Guideline, 186(12) Canadian Society of Otolaryngology – Head and Neck Surgery
and Canadian Neurological Sciences Federation
2. Baehr,M, Frotscher, M, 2012, Duus Topical Diagnosis in Neurology 5 th ed. Thieme:
New York
3. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral
nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victor’s Principles
of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2009. p. 1180-2
4. McCaul, J. a, Cascarini, L., Godden, D., Coombes, D., Brennan, P. a, & Kerawala, C.
J. (2014). Evidence based management of Bell’s palsy. The British Journal of Oral &
Maxillofacial Surgery, 52(5), 387–91. http://doi.org/10.1016/j.bjoms.2014.03.001
5. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranial nerves and
chemical senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous system: structure and
function. 6th Ed. New Jersey: Humana Press; 2005. p. 253.
6. Lee, C. D., Carnahan, R. M., & McPheeters, M. L. (2013). A systematic review of
validated methods for identifying Bell’s palsy using administrative or claims data.
Vaccine, 31, K7–K11. http://doi.org/10.1016/j.vaccine.2013.04.040
7. Luwis, H, Gaharu MN, 2012, Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayana
Primer, J Indon Med Assoc Vol 62 No 1, 62;32-7
8. Garg et al, Bell’s Palsy : Aetiology, Classification, Differential Diagnosis and
Treatment Consideration : A Review. 2012
9. Yang Zhao, Guodong Feng, Zhiqiang Gao, 2015, Advances in diagnosis and non-
surgical treatment of Bell's palsy, Journal of Otology, Vol 10 issue 1, Pp 7-12
10. Mohammed,A, Badee,S, 2013, The effect of prednisolone and/or acyclovir in relation
to severity of Bell’s palsy at presentation , EJENTA, Benha University: Egypt
11. Tiemstra, J. D., & Khatkhate, N. (2007). Bell’s palsy: diagnosis and management.
American Family Physician, 76(7), 997–1002. http://doi.org/10.1288/00005537-
197412000-00004

29

Anda mungkin juga menyukai