Anda di halaman 1dari 4

NAMA : NURLILA GIONTE

NIM : 1011417301

KELAS : J Semester 6

TUGAS : Hukum Pidana Internasional

Soal

1.Bagaimana pendapat anda mengenai tragedi trisaksi dan semangi dalam perspektif hukum
pidana internasional?(sertakan teori atau data pendukung argument)

2.Mengapa hingga saat ini kejahatan agresi belum diatur secara jelas dalam statuta?

3.Apakah pernah ada pengadilan ad hoc di indonesia? Jika ada pengadilan ada hoc apa saja yang
pernah dibuat?jika tidak ada,apa alasannya

4.Bagaimana mekanisme peradilan di pengadilan HAM dan HOC dari tahap penyelidikan hingga
putusan?

Jawaban:

1. Tragedy trisakti dan tragedy semanggi merupakan peristiwa di beberapa waktu silam
yang sama-sama merupakan peristiwa penembakan dan menewaskan banyak mahasiswa
dan banyak juga menjadi korban terluka. Peristiwa ini merupakan pelanggarn berat
HAM,jika kedua peristiwa ini di hubungkan dalam perspektif hukum pidana internasional
maka ini akan di kategorikan pada kejahatan genosida dimana dalam statuta roma bagian
2 yaitu: juridiksi hukum yang dapat diterima dan di terapka
PASAL 6:
Genosida
Setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan
seluruhnya atau untuk sebagian suatu kelompok nasional,etnis,rasa tau kegamaan seperti
mislanya:
Membunuh anggota kelompok tersebut secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan
atas kelompok tersebut yang akan di perhitungkan akan menghancurkan kekehancuran
fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian
Memaksakan tindakan-tindakan yang di maksud untuk mencegah kelahiran dalam
kelompok tersebut.
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
Dari penjelasan statuta ini maka peristiwa itu termasuk di dalam kategori kejahatan
genosida yang merupakan dalam lingkup kejahatan internasioanal.

2. Kejahatan ageresi belum di atur secara jelas dalam stuta karena belum ada kesepakatan
soal definisi mengenai kejahatan agresi tersebut.kejahatan agresi baru akn di bicarakan
lagi pada saaat di lakukan peninjauan kembali terhadap statute setelah tujuh tahun masa
berlakunya (pasal 123 (1), yaitu menjelang akhir tahun 2010. Pada saat itu mahkamah
akan melakukan upaya amandemen terhadap statuta, termasuk di dalamnya
mendifinisikan keejahatan agresi dan menetapkan kondisi-kondisi di mana mahkamah
menjalankan jurisdiksi berkenan dengan kejahatan agresi tersebut (pasal 5 ayat 2).

3. Di Indonesia pernah ada pengadilan AD HOC pada masa pemeritahan BJ. Habibie yang
di sebut dengan Pengadilan HAM ad hoc yaitu penagdilan untuk mengadili pelaku
pelanggaran berat HAM dalam peristiwa jajak pendapat di Timor Timur. Melalui
pengadilan tersebut beberapa pelaku pelanggaran berat HAM pada peristiwa tersebut
telah diputus bersalah dan mendapatkan hukuman . Pengadilan HAM ad hoc ini telah
berkerja selama lebih kurang 5 tahun dan dibubarkan setelah semua terdakwa selesai
diproses. Dibentuknya pengadilan khusus HAM dan proses yang berlangsung di
Pengadilan HAM ad hoc untuk Timor Timur dan Kasus Tanjung Priok cukup
memberikan harapan akan perbaikan penghargaan terhadap HAM. Namun harapan
tersebut semakin lama semakin memudar karena pemerintah tidak melakukan hal yang
sama terhadap peristiwa pelanggaran HAM lainnya. Salah satu kasus pelanggaran HAM
yang terjadi pada awal gerakan reformasi dan sampai saat ini masih belum
memperlihatkan penyelesaian hukum yang benar adalah kasus penculikan dan
penghilangan paksa para aktivis yang terjadi sejak akhir 1997 sampai pertengahan 1998.
4. MEKANISME PERADILAN DI PENGADILAN HAM ad HOC DARI TAHAP
PENYIDIKAN HINGGA PUTUSAN :
 Penyelidikan pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia atau lazim disingkat Komnas HAM. Komnas HAM dapat membentuk
tim adhoc untuk kepentingan tersebut yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur
masyarakat. Penyelidikan itu sendiri memberikan wewenang pada penyelidik
untuk antara lain melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa
yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut
diduga terdapat pelanggaran HAM berat. Penyelidik bisa pula memanggil pihak
pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar
kesaksiannya. (Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pengadilan HAM).
 Dalam hal Komnas HAM berpendapat terdapat bukti permulaan yang cukup telah
terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat maka kesimpulan tersebut diberikan
pada penyidik. Penyidik dapat mengembalikan hasil penyelidikan pada penyelidik
bila kurang lengkap dan terdapat waktu untuk melengkapi hal tersebut yaitu 30
hari sesuai Pasal 20 UU Pengadilan HAM.
 Penyidik itu sendiri dalam pelanggaran HAM berat adalah Jaksa Agung. Jaksa
Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan
atau masyarakat terkait pelanggaran HAM berat. Penyidikan wajib diselesaikan
90 hari terhitung sejak tanggal hasil peneylidikan diterima dan dinyatakan
lengkap oleh penyidik serta dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan HAM
(perpanjangan pertama 90 hari dan kedua 60 hari). Bila tidak diperoleh bukti kuat
dari hasil Pakuan penyidikan maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan oleh Jaksa Agung. Bila keluarga korban maupun korban pelanggaran
HAM berat tidak dapat terima atas penyidikan tersebut dihentikan, maka dapat
dilakukan pra peradilan sesuai Pasal 22 UU Pengadilan HAM
 Bila hasil penyidikan dapat diproses pada tahap selanjutnya, maka dilakukan
penuntutan pelanggaran HAM berat oleh Jaksa Agung. Untuk hal tersebut
dimungkinkan Jaksa Agung mengangkat penuntut umum adhoc terdiri unsur
pemerintah dan atau masyarakat sesuai Pasal 23 UU Pengadilan HAM. Komnas
HAM dapat meminta keterangan tertulis Jaksa Agung menyangkut perkembangan
penyidikan dan penuntutan perkara Pelanggaran HAM berat sesuai Pasal 25.
Kelima, perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM yang majelis hakimnya berjumlah lima orang terdiri dari dua orang hakim
pada Pengadilan HAM dan tiga orang hakim ad hoc sesuai Pasal 27 UU
Pengadilan HAM.

Anda mungkin juga menyukai