Anda di halaman 1dari 2

KAMU

Aku mengenalnya sejak lama. Walau dia tidak mengenalku. Aku juga mengenalnya hanya
sebatas nama. Dia temannya temanku. Temanku pernah bercerita tentangnya kepadaku. Sejak
itu aku mengenalnya.

Namanya Renha. Renha terkenal dengan kepintarannya dalam Subyek Matematika. Dia anak
kelas sebelah kelasku.

Selasa, pagi, mungkin 07:10, aku dengan seragam kotak-kotak merah menaiki tangga demi
tangga. yang mana kelasku berada di lantai 3. Betapa lelahnya, namun untungnya ada
temanku, Ben, yang juga menemaniku menaiki tangga .
Tak kusangka, kami bertemu di tangga. Aku dengan si Ben dan dia dengan 4 orang
temannya. Aku sudah melihatnya dari bawah tangga. Tapi dia tidak melihatku saat aku
melihatnya. Lucunya, aku dengan penuh usaha mengupayakan ia melihatku saat aku
melihatnya. Setelah menundukkan kepala, aku dengan berani menegakkan kepala dan melihat
ke atas tangga. Ternyata di atas sana, ia juga sedang melihatku. Anehnya, belum lama kami

bertatapan aku langsung memalingkan wajah. Padahal itu momen yang kutunggu.

Aku mengenal Rendra semakin dekat ketika kelas kami sama-sama mengikuti kegiatan
rekoleksi dari sekolah. Temanku yang sering bercerita tentangnya, ternyata satu kelompok
dengannya. Ketika itu, aku mengatakan “wow, kalian sekelompok lagi” lantas Rendra saat itu
heran. Tergambarkan dari wajahnya yang sedikit bertanya-tanya.

Hari terakhir rekoleksi, aku ingin ke dapur untuk mengisi air minum. Aku melihat ada lelaki
di dekat meja makan yang sedang mengambil air minum dari dispenser. Namun tidak
kuperhatikan lebih. Aku memajukan langkahku. Hingga aku sampai di dapur. Lalu aku
tertegun. Ketika melihat air minum masih di dalam galon yang terisi penuh. Aku memutar
badan. dan ternyata Rendra tepat di sana. Ternyata ia juga yang berada di depan dispenser
tadi.

Lalu dia tetap berdiri di tempatnya dengan cangkir di tangan tanpa berkata apapun.

“Bisa bantuin gak?” Tanyaku sambil mengarahkan ia ke galon itu. Dia diam saja. Namun
langsung bergerak, membantuku. Saat kami menuangkan air, tubuh kami begitu dekat.

Ia mengisikan airku dahulu. Lalu kubantu ia mengisi punyanya.

“Makasih ya” ucapku. “Ya” katanya


Lalu kami keluar dari dapur. dengan aku yang memimpin jalan. Lalu kami berpisah arah.

Aku tidak tahu singkatnya kisah kami berdua itu, begitu melekat di otakku selepas dari
rekoleksi.

Pertemuan pagi itu membuatku lebih semangat memulai hari itu. Aku selalu permisi ke toilet,
agar melewati kelasnya. Berharap ia juga melihatku saat itu. Aku juga sering main ke
kelasnya, dengan banyak alasan yang sebenarnya tidak begitu penting. Tapi tetap saja, aku
berusaha.
Perlahan aku tidak sadar aku dibutakan oleh dirinya. Padahal ia hanya diam di tempat, tanpa
suatu pergerakan pun. Tanggapanku tentang aku dan dia tidak terdefinisikan. Aku tidak jatuh
cinta, namun aku selalu teringat padanya.

Baru kusadari aku hanya jatuh hati pada kisah kami di dapur yang tidak seberapa itu.

Banyak pertemuan setelah itu, namun tidak ada sesuatu yang jelas. Pertemuan yang singkat
tanpa tujuan. Bagiku, perasaan berlebihan ini harus dihapuskan.

Esoknya ku tahu ia sedang menyukai perempuan di kelasku. Aku baru tahu. Awalnya
menyakitkan bagiku. Namun bisa kuterima. Banyak pertemuan tanpa arti, banyak perkenalan
tanpa menyatukan namun dengan perpisahan.

Anda mungkin juga menyukai