Anda di halaman 1dari 23

CASE REPORT SESSION

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Oleh:
Githa Permata Sari 2040312026
Nadiya Ulfa Mawardi 2040312051

Preseptor:
dr. Linda Efanita, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RS AHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021

2
1. BAB 1
PENDAHULUAN

1. 1.1 Latar Belakang


Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks esofagus
merupakan suatu kondisi terjadinya refluks isi lambung ke dalam esofagus dan
menyebabkan timbulnya gejala klinis. Refluks dapat terjadi pada keadaan normal dan
biasanya berkaitan dengan keadaan tertentu seperti berbaring setelah makan atau pada
saat muntah. Saat terjadi refluks, mukosa esofagus dan refluks akan berkontak, maka
esofagus akan segera berkontraksi agar kontak tersebut tidak berlangsung lama.1
GERD adalah salah satu penyakit yang sering terjadi. Sekitar 10-20% orang
dewasa di negara-negara Barat, perkiraan prevalensi di Amerika Utara 18.1% -
27.8%, dan sekitar 5% orang dewasa di Asia mengalami gejala GERD pada setiap
minggunya. Sekitar setengah dari seluruh orang dewasa akan melaporkan adanya
gejala refluks pada suatu waktu tertentu. Prevalensi munculnya gejala GERD
mengalami peningkatan sekitar 4% setiap tahunnya, seiring dengan peningkatan
terjadinya obesitas.2,3
Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia mendapatkan hasil bahwa
prevalensi GERD di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo mengalami peningkatan
dari 5.7% pada tahun 1997 menjadi 25.18% pada tahun 2002. Penelitian ini juga
mendapatkan bahwa GERD lebih banyak terjadi pada wanita dan usia rerata yang
terkena yaitu 48 tahun. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Tarigan dan
Pratomo pada tahun 2016 di RSUD dr. Saiful Anwar Malang mendapatkan hasil
bahwa usia terbanyak yang mengalami GERD yaitu lebih dari 40 tahun. Pada
penelitian ini didapatkan hasil berbeda dibanding penelitian sebelumnya, pasien yang
dominan mengalami GERD dominan laki-laki yaitu 37 orang dari 57 orang total
sampel (64.9%).4
Beberapa faktor risiko terjadinya GERD adalah usia tua, indeks massa tubuh
yang berlebihan, merokok, kecemasan atau depresi, dan aktivitas fisik yang kurang.
Selain itu, kebiasaan makan juga diduga berpengaruh terhadap terjadinya GERD, hal
ini termasuk keasaman suatu makanan, waktu makan, dan ukuran makanan yang
dikonsumsi. Hal lain yang diduga berpengaruh terhadap GERD adalah tidur. Aktivitas
fisik diduga dapat bersifat protektif terhadap GERD.5
Diagnosis GERD biasanya didasarkan pada gejala klasik seperti rasa tidak

3
nyaman seperti rasa terbakar (heartburn) di daerah epigastrium. GERD merupakan
masalah kesehatan yang penting karena sering dikaitkan dengan penurunan kualitas
hidup dan morbiditas yang signifikan. Pengobatan GERD yang berhasil dikaitkan
dengan peningkatan kualitas hidup, penurunan rasa nyeri, peningkatan fungsi sosial,
dan kesejahteraan emosional.5

1.2. Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan


mengenai GERD.

1.3. Batasan Penulisan

Batasan penulisan referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,


etiologi, faktor risiko, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
tatalaksana, dan komplikasi GERD.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan referat ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk pada
beberapa literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Efusi pleura merupakan kondisi di mana terdapat akumulasi cairan berlebih pada rongga
pleura yang disebabkan oleh meningkatnya produksi atau berkurangnya absorpsi cairan
pleura.Cairan biasanya bersumber dari pembuluh darah atau pembuluh limfe, kadang
juga disebabkan karena adanya abses atau lesi yang didrainase ke rongga pleura. Efusi
pleura merupakan manifestasi dari banyak penyakit, mulai dari penyakit paru sampai
inflamasi sistemik atau malignansi.1
2.2 Epidemiologi
Efusi pleura merupakan manifestasi dari penyakit lain yang mendasari, maka angka
insidennya sulit untuk untuk ditentukan. Masih sedikit penelitian dan survey yang telah
dilakukan. Namun, beberapa studi menuliskan bahwa estimasi prevalensi efusi pleura
adalah 320 dari 100.000 kasus di negara industri di mana persebaran etiologi tergantung
dari prevalensi penyakit yang mendasarinya.1,2
Di Indonesia, belum ada data nasional yang menggambarkan prevalensi efusi pleura.
Namun, beberapa studi telah dilakukan oleh beberapa rumah sakit. Hasil catatan medis di
RS Dokter Kariadi Semarang jumlah prevalensi penderita efusi pleura untuk wanita
66,7.% dan laki-laki 33,3%. Studi lain di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2011
dengan 136 kasus menunjukan prevalensi wanita 34,6% dan laki-laki 65,4%.2
2.3 Klasifikasi
Berdasarkan jenis cairannya, efusi pleura dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efusi
pleura transudatif dan eksudatif.
a. Efusi Pleura Transudatif
Efusi pleura transudatif dengan konsistensi cairan yang berair/watery dan difus
disebabkan oleh beberapa kombinasi dari peningkatan tekanan hidrostatik atau
berkurangnya tekanan onkotik kapiler
b. Efusi Pleura Eksudatif
Efusi pleura eksudatif disebabkan oleh proses lokal yang mengakibatkan perubahan
pada pembentukan dan penyerapan cairan pleura
2.4 Etiologi
a. Neoplasma
b. Kardiovaskuler seperti CHF, perikarditis, dan emboli paru.
c. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit.
d. Trauma
2.5 Patofisiologi
Pada keadaan normal, terdapat 10-20 ml cairan pleura yang tersebar secara tipis di antara
pleura viseral dan parietal yang berfungsi untuk memfasilitasi pergerakan paru-paru
dengan dinding thoraks. Cairan yang masuk ke cavitas pleuralis berasal dari pembuluh
sistemik pada pleura parietalis dan keluar melalui stoma dan limfe pleura parietalis.
Pleura adalah membran yang relatif permeabel sehingga cairan yang terkumpul di dalam
paru-paru juga dapat melewatinya menuju ke cavitas pleuralis. Akumulasi cairan pleura
akan terjadi apabila terlalu banyak cairan yang masuk atau terlalu sedikit cairan yang
keluar dari cavitas pleuralis.
2.6 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menjadi acuan untuk mengevaluasi awal efusi
pleura. Tanda dan gejala bervariasi tergantung pada penyebabnya seperti dispnea, batuk,
dan nyeri dada pleuritik. Gejala tambahan seperti demam, ortopnea, atau arthralgia
bersamaan dapat memberikan petunjuk etiologi yang mendasarinya dan dapat membantu
mempersempit diferensial diagnosis. Riwayat perjalanan, riwayat pekerjaan sebelum dan
saat ini, penggunaan obat, riwayat operasi sebelumnya (seperti bedah bypass arteri
coroner; CABG), keganasan, tempat tinggal, dan paparan asbes sebelumnya juga dapat
menimbulkan efusi pleura.
Presentasi klinis khusus yang muncul biasanya meliputi berkurangnya bunyi
nafas, redup pada perkusi thoraks, dan penurunan fremitus taktil pada area efusi pleura;
Temuan ini umumnya hanya terjadi pada efusi yang lebih besar dari 300 mL. Petunjuk
lain pada pemeriksaan fisik meliputi distensi vena leher, edema perifer, pembesaran
ventrikel kanan atau trombosis vena dalam, stigmata penyakit hati stadium akhir,
kelainan bentuk sendi, atau sinovitis. Setiap temuan ini dapat membantu mempersempit
diagnosis banding dan perencanaan pengujian tambahan
Radiografi dada biasanya merupakan studi pencitraan pertama yang dilakukan
ketika mengevaluasi efusi pleura. Foto posteroanterior umumnya akan menunjukkan
adanya efusi pleura ketika ada sekitar 200 ml cairan pleura, dan foto lateral akan
terinterpretasi abnormal ketika terdapat sekitar 50 ml cairan pleura. Ultrasonografi
thoraks juga memiliki peran yang semakin penting dalam evaluasi efusi pleura karena
sensitivitasnya yang lebih tinggi dalam mendeteksi cairan pleura daripada pemeriksaan
klinis atau radiografi toraks. Karakteristik yang juga dapat dilihat pada USG dapat
membantu menentukan apakah terjadi efusi sederhana atau kompleks. Efusi sederhana
dapat diidentifikasi sebagai cairan dalam rongga pleura dengan echotexture homogen
seperti yang terlihat pada sebagian besar efusi transudatif, sedangkan efusi yang
kompleks bersifat echogenic, sering terlihat septasi di dalam cairan, dan selalu eksudat.
Thorakosintesis diindikasikan untuk efusi pleura baru yang tidak tau
penyebabnya.Pemeriksaan laboratorium analisis cairan pleura, penampilan makroskopis
cairan pleura harus diperhatikan saat dilakukan thoracentesis, karena dapat menegakkan
diagnosis. Cairan bisa sifatnya serosa, serosanguineous (ternoda darah), hemoragik, atau
bernanah. Cairan berdarah (hemoragik) sering terlihat pada keganasan, emboli paru
dengan infark paru, trauma, efusi asbes jinak, atau sindrom cedera jantung. Cairan
purulen dapat dilihat pada empiema dan efusi lipid.
Karakterisasi cairan pleura sebagai transudat atau eksudat membantu
menyingkirkan diagnosis banding dan mengarahkan pemeriksaan selanjutnya. Kriteria
yang paling umum digunakan untuk membuat diferensiasi ini adalah kriteria Light.
Efusi dianggap eksudat jika beberapa kriteria berikut ini dipenuhi
● Protein total / total protein serum cairan pleura > 0,5
● LDH / Serum LDH Cairan Pleura > 0,6
● LDH Cairan Pleura > 2/3 batas atas normal untuk serum LDH (> 200
IU)

2.7 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan pada efusi pleura ganas (maligna) adalah paliasi atau
mengurangi gejaladan menangani penyakit yang mendasari.. Penatalaksanaan efusi
pleura pada keganasan tergantung dari beberapa faktor, antara lain penyakit dasar, jenis
sel stadium, luas penyakit, tampilan dan angka harapan hidup. Pilihan terapi harus
tergantung pada prognosis, kejadian efusi berulang, dan keparahan gejala pada pasien.
Terapi dengan torakosentesis dan aspirasi cairan menjadi prosedur pertama dalam
penatalaksanaan yang berguna dalam menangani gejala sesak napas. Torakosentesis
mempunyai efek terbatas. Thorasentesis terapeutik berulang sesuai untuk pasien dengan
prognosis buruk. Lebih dari 98% kasus efusi pleura ganas yang berhubungan dengan
kanker paru akan kambuh dalam 30 hari pasca torakosentesis pertama.
Pleurodesis adalah pilihan tindakan pada pasien-pasien efusi pleura karena
keganasan yang mengalami perbaikan setelah dilakukan thorakosentesis dan terjadi re-
ekspansi paru yang baik pada radiografi dada pasca tindakan. Sampai saat ini kombinasi
tindakan drainase dan pleurodesis dengan agen sklerosan merupakan tindakan efektif
untuk menangani efusi pleura karena kegansan
Tirah baring bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena peningkatan
aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dispneu akan semakin
meningkat pula.

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari Efusi Pleura didasarkan pada klasifikasi jenis Efusi Pleura
yang terjadi, yaitu Transudat dan Eksudat. Berikut merupakan diagnosis banding dari
Efusi Pleura :
Transudat
Congestive Heart Failure
Sirosis Hepatis
Sindrom Nefrotik
Emboli Paru
Myxedema
Sarcoidosis
Eksudat
Malignansi
(Metastasis Pleura, Kanker Paru, Ca
Mammae)
Infeksi pada Rongga Pleura
(Parapneumonia karena Pneumonia,
Empiema, Tuberculosis)
Penyakit Rheumatik
(Rheumatoid Arthritis, Systemic
Lupus Erythematosus)

● Komplikasi
o Infeksi
o Fibrosis Paru
o Empiema
o Sepsis
● Prognosis
Prognosis pasien dengan efusi pleura sangat erat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya, namun secara umum makin parahnya efusi pleura juga telah diketahui
berhubungan dengan prognosis yang buruk. Hal ini ditunjukkan mortalitas efusi pleura
bilateral sebesar 26% yang lebih tinggi 4 kali lipat dibandingkan tingkat mortalitas efusi
pleura unilateral sebesar 5.9%.Efusi akibat keganasan yang responsif terhadap
kemoterapi, seperti limfoma, kanker payudara, umumnya memiliki survival lebih baik
dibandingkan kanker paru atau mesothelioma. Semakin rendah pH cairan pleura, maka
semakin parah dan prognosis semakin buruk
BAB 3
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama/Kelamin/Umur : Tn. W /Laki-laki /69 tahun
b. Pekerjaan/ Pendidikan : Wiraswasta
c. Alamat : Jl. Ujung Bukit Baruah, Tarok Dipo, Guguk Panjang,
Bukittinggi, Sumatera Barat
d. No MR : 55.10.59
e. Tanggal Masuk RS : 12 April 2021

2. Keluhan Utama:
Pasien laki-laki usia 69 tahun datang ke IGD RSUP Dr. Mdjamil Padang dengan keluhan
utama lemah letih yang semakin meningkat sejak satu hari SMRS.

3. Riwayat Penyakit Sekarang:


● Pasien mengeluhkan lemah letih sejak satu minggu SMRS dan semakin meningkat sejak
satu hari SMRS.
● Pasien mulai merasakan perut mulai membesar sejak satu tahun yang lalu.
● Mual muntah sering dirasakan pasien sejak satu tahun yang lalu dan semakin meningkat
sejak tiga bulan yang lalu.
● Perut terasa penuh sejak tiga bulan yang lalu.
● Sesak nafas sejak tiga bulan yang yang lalu. Sesak nafas dipengaruhi oleh cuaca panas.
Sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi ataupun makanan.
● Pucat pada pasien disadari oleh keluarga sejak tiga bulan yang lalu.
● Pasien mengeluhkan sariawan sejak dua bulan yang lalu.
● Nyeri sendi dirasakan pasien sejak dua bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan nyeri di
seluruh sendi.
● Pasien merasakan kedua ujung jari tangan kesemutan sejak seminggu yang lalu
● Sakit kepala sejak dua hari yang lalu. Sakit kepala dirasakan di seluruh kepala. Keluhan
yang dirasakan di seluruh kepala.
● Perdarahan gusi ada. Perdarahan spontan dan berhenti sendiri.
● Bintik kemerahan tidak ada
● Pembesaran KGB tidak ada
● Nyeri dada tidak ada
● Nafsu makan menurun tidak ada
● Demam tidak ada
● Batuk tidak ada
● BAK normal dengan frekuensi minimal 3x sehari berwarna kuning. Tidak berdarah,
tidak nyeri dan tidak berbusa
● BAK normal dengan frekuensi minimal 1x sehari konsistensi keras - lunak berwarna
kuninh kecoklatan. Tidak berdarah dan tidak berlendir.
● Riwayat transfusi ada sebnayak 5 unit RBC dan 1 unit leukosit
● Pasien dikenal dengan ALL sudah dilakukan BMP tanggal 1 Februari 2021 dengan
kesimpulan gambaran sumsum tulang sesuai dengan ALL
● Pasien sudah dilakukan kemoterapi sebanyak 7x dengan regimen Vancristin secara IV 2
mg dan Predinison secara oral 60 mg/m2

4. Riwayat Penyakit Dahulu:


● Riwayat penyakit jantung ada
● Riwayat hipertensi tidak ada sebelumnya.
● Riwayat diabetes mellitus tidak ada.
● Riwayat asma tidak ada
● Riwayat keganasan tidak ada

5. Riwayat Penyakit Keluarga


● Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.
● Tidak ada riwayat hipertensi, DM, dan penyakit jantung.

6. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


● Pasien seorang wiraswasta
● Pasien sudah memiliki satu orang istri namun sudah bercerai
● Pasien tinggal dengan keluarga di rumah permanen
● Pendidikan terakhir pasien tamatan SD
● Riwayat merokok ada sebanyak 1 bungkus/hari
● Riwayat konsumsi minuman beralkohol tidak ada
● Riwayat terpapar pestisida tidak ada
7. PemeriksaanFisik
Tanda Vital
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Frekuensi Nadi : 97 kali/menit
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,8OC
Tinggi Badan : cm
Berat Badan : kg
BMI : m2

Pemeriksaan Sistemik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-), sianosis
(-), spider nevi (-) pada dada, telapak tangan dan kaki pucat (-), turgor baik, pertumbuhan
rambut normal.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula, supraklavikula,
infraklavikula, aksila, dan inguinalis.
Kepala
Bentuk normochepal, simetris, deformitas (-), rambut berwarna hitam beruban, lurus,
tidak mudah dicabut.
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+).
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum tidak deviasi dan tulang-tulang dalam
perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung
(-), sekret (-).
Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), nyeri tekan processus
mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-),
stomatitis (-), bau pernafasan khas (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada, JVP (5-2)
cmH2O, kaku kuduk (-).
Thorax :
Paru-paru
I : Statis : Dada asimetris, bagian kiri mencembung dari kanan
Dinamis : Pergerakan dada sisi kiri tertinggal dari sisi kanan
P : Fremitus sisi kiri menurun dari sisi kanan
P:
Anterior kiri : Perkusi redup setinggi RIC V
Anterior kanan : Perkusi sonor seluruh lapang paru
Posterior kiri : Perkusi redup setinggi RIC IV
Posterior kanan : Perkusi sonor setinggi RIC IV - VI
A: Suara napas paru bagian kanan bronkovesikuler, paru bagian kiri melemah mulai
setinggi RIC V, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis tidak teraba
P : batas atas RIC II sinistra, batas jantung kanan linea parasternalis dextra, batas
jantung kiri RIC V linea midclavicularis sinistra
A: Bunyi Jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : distensi (-)
P: Nyeri tekan (-), Nyeri Lepas (-),
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
P: timpani
A: BU (+) normal
Alat kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas atas : nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi
normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-) pada tangan kiri, turgor kembali lambat (-),
eritema palmaris (-), sianosis (-), Flapping tremor (-)
Ekstremitas bawah : nyeri sendi (-), gerakan terbatas, edema (-) pada kedua tungkai,
jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), akral pucat (-),
sianosis (-).

8. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap (11-1-2021)
Hb : 11,4 gr/dl
Leukosit : 4.840 /mm3
Eritrosit : 4.100/ µl
Trombosit : 266.000 /mm3
Hematokrit : 35%
MCV : 85%
MCH : 28%
MCHC : 33%
Hitung Jenis
Basofil :0
Eosinofil :3
Neutrofil : 75
Limfosit : 17
Monosit :5
APTT : 24,9detik
PT : 10,1detik
LED : 23 mm
INR : 0,96detik
D-dimer : 3026 ng/ml
Total Protein : 6,2 g/dL
Albumin : 3,3 g/dL
Globulin : 2,9 g/dL
Bilirubin total : 0,5 mg/dL
Bilirubin direk : 0,3 mg/dL
Bilirubin indirek : 0,2 mg/dL
SGOT : 21U/L
SGPT : 15 U/L
Ureum darah : 9 mg/dL
Kreatinin darah : 0,4 mg/dL
Gula darah sewaktu : 88 mg/dL
Natrium : 138 mmol/L
Kalium : 3,2 mmol/L
Klorida : 107 mmol/L
Kalsium : 8,1 mg/dL
Kesan : - leukosit sedikit menurun dengan limfopenia, LED meningkat, D-dimer meningkat
- Total protein dan albumin menurun, globulin meningkat dan kalsium menurun
Pemeriksaan Rontgen Thorax

Kesan :Efusi Pleura Sinistra


9. Diagnosis Kerja
● Efusi Pleura Sinistra ec suspek malignancy
● Hiperkoagulable State
10. Diagnosis Banding
● Efusi Pleura Sinistra ec suspek TB

11. Rencana Terapi


● Diet makanan lunak 1700 kkal/ 02 3 lpm
● IVFD 8 jam/ kolf
● Azitromicin 1x 500 mg
● Paracetamol 3x 500 mg
● N acetyl sistein 3x 200 mg
● Zink 1x 20 mg
● Vitamin C 3x 50 mg
12. Pemeriksaan Anjuran
● Sitologi Cairan pleura
● USG thorax
● CT scan thorax
Follow Up pasien 14 januari 2021

S : sesak napas berkurang , demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada, BAB dan BAK normal

O : KU : sedang, Kesadaran CMC, TD 110/70, nadi 84x/menit, RR 20X/ menit,


Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Paru : suara napas kiri menurun
Jantung : S1, S2 reguler , murmur (-). Gallop (-)
Abdomen : supel , nyeri tekan (-), Bising usus (+)
Ekstremitas : hangat, udem (-)

A efusi pleura sinistra suspek malignancy


Hiperkoagulable state

P
● st/ Diet makanan lunak 1700 kkal/ 02 3 lpm
● IVFD 8 jam/ kolf
● Azitromicin 1x 500 mg
● Paracetamol 3x 500 mg
● N acetyl sistein 3x 200 mg
● Zink 1x 20 mg
● Vitamin C 3x 50 mg
BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien wanita usia 40 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 5
Januari 2021, pasien dirujuk dari Klinik Dokter Spesialis Penyakit Dalam..
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 2 minggu yang lalu, memberat 1 hari sebelum
masuk RS. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca atau makanan dan tidak disertai bunyi tambahan
seperti menciut. Saat sesak terjadi pasien lebih nyaman untuk berbaring ke arah kiri. Hal ini
dikarenakan ketika terjadinya penumpukan cairan, pasien akan cenderung berbaring ke arah sisi
yang sakit untuk mengurangi tekanan pada paru akibat akumulasi cairan yang terjadi sehingga
memudahkan ekspansi paru untuk mengurangi sesak.
Pasien juga mengeluhkan nyeri punggung kiri sejak 6 bulan yang lalu. Nyeri punggung
disertai sesak yang memberat ketika beraktivitas dan membaik ketika istirahat. Nyeri punggung
pada pasien dicurigai akibat adanya nyeri pleuritik yang terjadi pada pasien ketika bernafas.
Nyeri pleuritik merupakan nyeri yang terjadi diakibatkan adanya gesekan antara lapisan pleura
parietal dan viseral yang inflamasi sehingga menimbulkan rasa nyeri ketika inspirasi dan
ekspirasi. Nyeri pleuritik biasanya berkurang atau berhenti ketika menahan nafas. Sementara
sesak nafas yang dirasakan pasien dan memberat ketika beraktivitas tanpa disertai bunyi
tambahan terjadi karena refleks neurogenik paru dan dinding dada yang disebabkan penurunan
regangan (compliance) paru diakibatkan oleh gangguan pada ruang intrapleura akibat adanya
cairan sehingga pengembangan paru tidak maksimal, penurunan volume paru ipsilateral,
pendorongan mediastinum ke arah kontralateral, dan penekanan diafragma ipsilateral.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 2 minggu sebelum masuk RS, batuk berdahak
berwarna kehijauan dan sulit dikeluarkan. Batuk tidak berdarah. Pasien mengeluhkan penurunan
nafsu makan. Pasien mengalami penurunan berat badan 6 kg dalam sejak 4 bulan terakhir. Pasien
sulit BAB, biasanya 2-3 hari sekali. BAK tidak ada gangguan. Riwayat keringat malam
disangkal, riwayat konsumsi obat 6 bulan disangkal. Pasien sebelumnya sudah berobat ke Klinik
Dokter Spesialis Penyakit Dalam pada tanggal 26 Desember 2020 dan diberikan obat selama 10
hari, setelah obat habis nyeri punggung dan sesak nafas masih ada sehingga disarankan untuk
rontgen thoraks. Dari hasil pemeriksaan rontgen, pasien di diagnosis efusi pleura sehingga
dirujuk ke RSUP Dr. M. Jamil.
Pada pemeriksaan fisik paru, saat inspeksi statis ditemukan asimetris dimana pada dada
kiri terlihat lebih cembung dan inspeksi dinamis paru kiri tertinggal saat bernafas dibanding dada
kanan. Saat palpasi ditemukan taktil fremitus pada dada dan punggung kiri melemah
dibandingkan dada dan punggung kanan. Ketika perkusi anterior bagian kiri ditemukan suara
redup setinggi RIC V sedangkan bagian kanan ditemukan suara sonor diseluruh lapang paru dan
perkusi posterior bagian kiri ditemukan suara redup setinggi RIC IV sedangkan bagian kanan
ditemukan suara sonor di seluruh lapang paru. Saat auskultasi ditemukan suara nafas
bronkovesikuler pada bagian paru kanan dan suara nafas yang melemah di dada dan punggung
kiri, tidak ada ronkhi dan wheezing.
Dari pemeriksaan laboratorium diperoleh hasil kadar leukosit menurun dengan
limfopenia. Pada tanggal 12/01/2021 pasien telah dilakukan pungsi cairan pleura di linea
axillaris posterior RIC VII dan keluar cairan ± 600 mL yang bersifat serohemoragik. Pada hasil
rontgen toraks ditemukan perselubungan homogen pada lapang paru kiri. Pasien juga dilakukan
pemeriksaan BTA, namun karena sampel sputum kurang sehingga dianjurkan untuk pemeriksaan
ulang. Pasien sudah dilakukan thorakosintesis diagnostik dengan diambil sampel sebanyak 50
mL.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien diatas, dicurigai pasien mengalami gangguan pada
ruang intrapleura akibat adanya cairan sehingga membuat pengembangan paru tidak maksimal
dan muncul gejala sesak. Gangguan tersebut disebut efusi pleura yang dicurigai dikarenakan
adanya keganasan.

Keganasan dapat menyebabkan efusi pleura dengan beberapa mekanisme, namun secara
umum cairan yang terbentuk merupakan cairan eksudat. Cairan eksudat merupakan cairan yang
memenuhi satu atau lebih kriteria Light, seperti rasio protein cairan pleura terhadap protein
serum >0,5, rasio lactate dehydrogenase (LDH) cairan pleura terhadap LDH serum >0,6, dan
level LDH cairan pleura lebih besar dari 2/3 batas atas level normal LDH serum.

Mekanisme yang bertanggung jawab dalam pembentukan efusi pleura pada keganasan
adalah peningkatan permeabilitas membran atau dinding kapiler dengan atau tanpa kerusakan
vaskular dan obstruksi parsial atau lengkap saluran limfa pada rongga pleura. Peningkatan
permeabilitas pembuluh darah disebabkan karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh
infiltrasi sel kanker pada pleura parietal dan atau viseral. Teori lain menyebutkan peningkatan
permeabilitas terjadi karena gangguan fungsi beberapa sitokin, antara lain tumor necrosing
factor-a (TNF-a), tumor growth factor-ß (TGF-ß) dan vascular endothelial growth factor
(VEGF). Peningkatan permeabilitas permukaan pleura menyebabkan protein dan cairan lebih
mudah memasuki rongga pleura sehingga cairan yang terakumulasi memiliki kandungan protein
yang relatif tinggi.

Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosentesis berkali-kali. Efusi pleura karena keganasan biasanya unilateral, tetapi bisa juga
bilateral karena obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis dapat mengakibatkan
pengaliran cairan dari rongga pleura melalui diafragma. Keadaan efusi pleura dapat bersifat
maligna. Pemeriksaan fisik pada toraks menunjukkan hemitoraks yang terlibat efusi tampak lebih
cembung. Fremitus taktil pada palpasi bisa menurun atau tidak teraba akibat gangguan hantaran
getaran suara oleh cairan pleura. Pemeriksaan perkusi di bagian toraks yang terkena efusi
sebagian besar adalah pekak. Suara napas bisa menurun atau hilang saat pemeriksaan auskultasi
pada bagian yang terkena efusi karena gangguan transmisi suara napas dari paru ke dinding dada.

Pemeriksaan penunjang foto polos toraks merupakan pemeriksaan awal yang paling
penting dalam diagnosis pasien yang dicurigai efusi pleura. CT-Scan toraks juga dapat dilakukan
dan hasil lebih sensitif dibandingkan foto polos dalam mendeteksi pleura. Diagnosis radiologi
lain dapat dilakukan melalui USG dan MRI terutama untuk mendeteksi efusi pleura yang kecil.

Penatalaksanaan efusi pleura pada keganasan tergantung dari beberapa faktor, antara lain
penyakit dasar, jenis sel stadium, luas penyakit, tampilan dan angka harapan hidup. Tujuan
utama dalam penatalaksanaan efusi pleura adalah memperbaiki keluhan dan mengurangi cairan
dalam rongga pleura dan menangani penyakit yang mendasari. Banyak penderita yang
memerlukan penatalaksaan invasif untuk menghilangkan gejala seperti torakosentesis,
pleurodesis, bedah pintas pleuroperitonial, dan pleurektomi. Terapi dengan torakosentesis dan
aspirasi cairan menjadi prosedur pertama dalam penatalaksanaan yang berguna dalam menangani
gejala sesak napas. Torakosentesis mempunyai efek terbatas. Lebih dari 98% kasus efusi pleura
ganas yang berhubungan dengan kanker paru akan kambuh dalam 30 hari pasca torakosentesis
pertama.
Pada pasien ini telah dilakukan torakosentesis untuk mengurangi gejala sesak nafas
sekaligus evakuasi cairan pleura. Sebagai terapi terapeutik evakuasi ini bertujuan mengeluarkan
sebanyak mungkin cairan patologis yang tertimbun dalam rongga pleura, sehingga diharapkan
paru pada sisi yang sakit dapat mengembang lagi dengan baik, serta jantung dan mediastinum
tidak lagi terdesak ke sisi yang sehat, dan penderita dapat bernapas dengan lega kembali.
Pengeluaran cairan pleura dianjurkan tidak sekaligus (maksimal 1500 mL) karena akan terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan edema paru re-ekspansif. Komplikasi
lain adalah hematotoraks, pneumotoraks, emfisema subkutis, reflex vasovagal, hipotensi, gagal
jantung, dan infeksi sekunder.
2. DAFTAR PUSTAKA

1. Hooper, C. Lee, Y.C.G. Maskell, N. Investigation of a unilateral pleural effusion in adults:


British Thoracic Society pleural diseaseguideline 2010. Thorax. 2010;65(2):ii4-ii17.
2. Brashers, V. L. Alterations of Pulmonary Function. Dalam McCance, K. L. & Huether, S. E.

th
Pathophysiology : The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 5 Edition.
Elsevier Mosby; 2006:1205-1245.
3. Davies HE, Lee YCG. 2008. Pleural effusion, empyema, and pneumothorax. Di dalam :
Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editor. Clinical Respiratory Medicine. Philadelphia (US) :
Mosby Inc.Hlm 853-62.
4. Yataco JC, Dweik RA. 2005. Pleural effusions : evaluation and management. Cleveland
clinic journal of medicine, vol 72, No 10.
5. Halim H. Penyakit-penyakit Pleura. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006. hal. 1066–70.
6. Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. 2014. Principles of pulmonary medicine, sixth
edition. Philadelphia: Saunders.
7. Surjanto E, Sutanto YS, Aphridasari J, Leonardo. 2014. Penyebab efusi pleura pada pasien
rawat inap di rumah sakit. J Respir Indo; 34:102-8.
8. Ahmad Z, Krishnadas R, Froeschle P. 2009. Pleural effusion: Diagnosis and management.
Journal of Perioperative Practice; 19(8):242-247.
9. Kastelik J. 2013. Current management of pleural disorders. American Medical Journal;
4(1):110-121.
10. Syahruddin E, Hudoyo A, Arief N. 2009. Efusi pleura ganas pada kanker paru. J Respir
Indonesia; 29(4).
11. Stathopoulos GT and Kalomenidis L. 2012. Malignant pleural effusion, tumor– host
interactions unleashed. Am J Respir Crit Care Med; 186:487–492.
12. Light RW. 2013. Pleural diseases sixth edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
13. Zarogoulidis K, Zarogoulidis P, Darwiche K, Tsakiridis K, Machairiotis N, Kougioumtzi I,
Courcoutsakis N, et al. 2013. Malignant pleural effusion and algorithm management. J
Thorac Dis; 5(S4):S413-S419.
14. Burrows CM, Mathews WC. Predicting Survival in Patients With Recurrent Symptomatic
Malignant Pleural Effusions. CHEST. 2000;117(1):73–8.
15. Mehta AA, Satish A, Kallikunnel A, Mohamed S. The Pigtail Catheter for Pleural Drainage :
A Less Invasive Alternative to Tube Thoracostomy. J Curr Surg. 2016;6(2):52–6.

Anda mungkin juga menyukai