Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tindak Pidana Korupsi


Menurut Pasal 2 ayat (1) UU no. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Menurut OSCE_TEX Korupsi secara komersil didefinisikan sebagai penyalahgunaan
jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Namun, pemerintah adalah concet yang lebih luas yang
kita definisikan sebagai pelaksanaan otorisasi melalui tradisi dan lembaga formal dan informal
untuk kebaikan bersama. Pemerintahan meliputi proses pemilihan, pemantauan, dan penggantian
pemerintah. ini termasuk kapasitas untuk merumuskan kebijakan yang mengimplementasikan,
dan ini mengasumsikan rasa hormat bagi warga negara.
Selama ini, kosa kata ”korupsi” sudah sangat populer di Indonesia. Hampir semua orang
di negeri ini, baik dari rakyat di pedalaman, mahasiswa, pegawai negeri, pihak swasta, aparat
penegak hukum sampai pejabat negara pernah mendengarkata ”korupsi”. Asal kata korupsi
berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, dari bahasa Latin itulah turun ke banyak
bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris: Corruption (corrupt), dalam Bahasa Belanda :
corruptie, yang kemudian turun ke bahasa Indonesia menjadi “korupsi”. Secara harafiah, arti
dari ”korupsi” adalah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, dan sebagainya. Sedangkan dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia pengertian “korupsi” adalah “Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Sebagian besar pengertian korupsi dalam Undang-Undang tersebut dirujuk dari Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari Wet Boek Van Strafrecht (Wvs) yaitu
KUHP Negeri Belanda pada saat menjajah negara kita. Selanjutnya rumusan-rumusan delik
korupsi tersebut dimuat kembali dan dikembangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dipertegas lagi di dalam
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sampai saat ini Undang Undang
inilah yang berlaku dan dijadikan sebagai pedoman dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
di negeri ini. Bahwa suatu perbuatan telah dijadikan sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana
dalam suatu Perundang-undangan (kriminalisasi) sehingga perbuatan tersebut diancam dengan
pidana, menandakan bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang menimbulkan akibat yang
sangat merugikan, tidak saja bagi individu tertentu, tetapi juga masyarakat bahkan terhadap
negara. Demikian juga dengan korupsi. Perbuatan korupsi telah menimbulkan berbagai dampak
negatif antara lain sebagai berikut:
1) Korupsi menggerogoti keuangan negara, sehingga pertumbuhan perekonomian negara
menuju kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat.
2) Korupsi menurunkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah yang selanjutnya
berimplikasi pada merosotnya kewibawaan pemerintah di mata rakyat.
3) Korupsi menurunkan disiplin nasional, karena dengan adanya praktek kebiasaan korupsi
(suap), segala sesuatu yang telah ditentukan dengan prosedur menjadi dapat disimpangi.
4) Korupsi menyebabkan tidak meratanya tingkat potensi ekonomi dari masyarakat sehingga
masyarakat di lapisan bawah (grass root) akan terpicu untuk memiliki kecemburuan
sosial terhadap masyarakat kelas atas.
5) Korupsi akan membawa masyarakat untuk tidak percaya pada hukum karena segala
sesuatu akan dapat diselesaikan dengan uang pelancar (suap).
6) Korupsi akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, karena masingmasing
elemen bangsa akan saling curiga jika terdapat indikasi adanya penyimpangan dari
keuangan negara.
Melihat dahsyatnya dampak negatif akibat perbuatan korupsi tersebut, diperlakukan tekad
bulat dari Pemerintah Indonesia untuk dapat memberantas korupsi di negeri ini. Tekad bulat
untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut juga harus dipayungi secara yuridis yaitu
dengan dikeluarkannya Undang- Undang sebagai dasar pemberantasan tindak pidana korupsi.

2.1.1 Faktor-Faktor Penyebab Korupsi


Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut
berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-
pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang
untuk melakukan korupsi. Menurut Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi
ada dua hal yang jelas, yakni : Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak
dan sebagainya). Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi dilihat dari faktor
internal diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam
bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain:
1) Sifat tamak manusia.
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan
tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat
besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang
dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus;
2) Moral yang kurang kuat.
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain
yang memberi kesempatan untuk itu;
3) Penghasilan yang kurang mencukupi.
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan
hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya
dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan,
keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak
korupsi;
4) Kebutuhan hidup yang mendesak.
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalamisituasi terdesak dalam
hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan
pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
5) Lemahnya pendidikan agama dan etika.
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi
dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan
subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama
kurang diterapkan dalam kehidupan.

2.2 Undang-Undang KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Yang
dibuat melalui Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya
guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada :

a. Kepastian hukum
Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang
Komisi Pemberantasan Korupsi.
b. Keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif  tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
c. Akuntanbilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi
Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
d. Kepentingan umum
Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,
dan selektif.
e. Proporsionalitas
Asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang :
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar
negeri;
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan
keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening
yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara
tersangka dari jabatannya;
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi
yang terkait;
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian
lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau
dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup
ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk
melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani.
Tujuan dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah :
a. Untuk mewujudkan hukum dan keadilan bagi pencari keadilan sesuai dengan ketentuan
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Ketentuan
demikian menjadi dasar utama dalam pembentukan Pengadilan di Indonesia;
b. Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus didasarkan pada prinsip dasar
kekuasaan kehakiman yang independen seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009;
c. Sebagai bagian dari sistem hukum, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
untuk memenuhi kebutuhan adanya kepastian hukum untuk mendukung sistem hukum
lainnya;
d. Keselarasan dengan arah dan desain pembaharuan hukum dan peradilan di bawah
Mahkamah Agung. Bila tanpa adanya keselarasan, maka Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi akan berjalan di luar sistem yang ada dan akan diragukan efektifitasnya;
e. Hasil kajian yang komrehensif terhadap tingkat kebutuhan-kebutuhan di atas dengan
melibatkan berbagai pihak termasuk Mahkamah Agung dan masyarakat.
Sesuai dengan pasal 17 Nomor 46 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 155) tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya memeriksa dan memutus
tindak pidana yang penuntutannya diajukan oleh Penuntut Umum Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan atau oleh jaksa dan perkara-perkara korupsi yang dituntut oleh Penuntut
Umum non Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diadili oleh pengadilan konvensionalyaitu
Pengadilan Negeri biasa. Melalui proses seperti ini menimbulkan dua alur pemeriksaan tindak
pidana korupsi oleh Pengadilan. Alur pertama oleh Pengadilan Negeri biasa dan alur kedua oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai