Anda di halaman 1dari 5

MENDALAMI ATRAKSI DEBUS BANTEN SEBAGAI SEBUAH SENI DAN

KEBUDAYAAN NUSANTARA

Oleh:
Tiara Ramadanti
Mahasiswa Program Studi S-1 Televisi dan Film
Fakultas Seni Media Rekam
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
2017

A. Pendahuluan

1. Latar belakang
Debus adalah sebuah seni pertunjukan mengenai permainan kekebalan tubuh. Debus
menjadi bagian dari seni budaya masyarakat Banten. Kesenian ini banyak digemari oleh
masyarakat sebagai hiburan yang langka dan menarik di Banten. Debus berasal dari kata “dabus”
yang memiliki arti paku atau peniti, yakni suatu “permainan” senjata tajam yang ditikamkan ke
tubuh para pemainnya. Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-Madad,
Surosowan dan langitan.1 (Said, 2017, hlm. 122).
Seni debus memerlukan keyakinan yang kuat dan kepercayaan yang tinggi terhadap
keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dilakukan melalui latihan jasmani dan rohani. Seni ini
tumbuh dan berkembang sejak zaman Sultan Maulana Hasanuddin (Sultan Banten). Pada
dasarnyan seni debus dimiliki dan di pelajari oleh para laskar tentara Kesultanan Banten,
sehingga secara fisik tentara tersebut telah mahir menguasai ilmu debus. Dengan menguasai ilmu
tersebut membuat para laskar tentara Banten menjadi berani dalam berjuang mempertahankan
tanah airnya yaitu mengusir penjajah dari Nusantara. Pada tahun 1681 saat zaman Sultan Ageng
Tirtayasa, kesenian debus digunakan untuk menghibur para raja di Istana Surosowan di Banten.
Latar belakang dari penelitian ini yaitu untuk mengangkat seni budaya Banten yang
seiring waktu sudah mulai terlupakan dan memperkenalkan Seni Debus Banten yang sudah ada
sejak masa Kesultanan Banten ini. Karena seni debus ini merupakan kesenian dan hasil budaya
sosial masyarakat dan merupakan kearifan lokal atau local wisdom.

2. Rumusan Masalah
a. bagaimanakah sejarah kesenian debus di Banten?
b. apa saja atraksi dalam kesenian debus di Banten?

3. Tujuan
a. Untuk menjelaskan sejarah kesenian debus Banten

1
Muhammad Hudaeri, “Peran Kiai dan Jawara”, diakses dari http://www. nimusinstitute.com/peran-kiayi-dan-
jawara.
b. Untuk mengetahui atraksi dalam kesenian debus Banten

B. Pembahasan

1. Sejarah kesenian debus Banten


Debus lebih dikenal sebagai kesenian asli masyarakat Banten yang berkembang kira-kira
sejak abad ke 16-18. Debus dalam bahasa Arab berarti senjata tajam terbuat dari besi yang
mempunyai ujung runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dalam pespektif lain, debus berasal dari
kata gedebus, yaitu nama salah satu benda tajam yang digunakan dalam pertunjukan kekebalan
tubuh. Benda tajam tersebut terbuat dari besi, dan digunakan untuk melukai diri sendiri. Oleh
karena itu kata debus dapat diartikan sebagai tidak tembus. Debus adalah salah satu ilmu warisan
leluhur yang cukup dikenal hingga kepelosok Nusantara. Bahkan oleh sedulur yang sudah diakui
kepiawaiannya dalam keilmuan debus, atraksi memotong lidah, memotong anggota badan yang
lain juga sering kali dipertontonkan baik dalam negeri hingga ke mancanegara. (Ki Bayu: 2009.
Artikel).
Debus adalah kesenian asli masyarakat Banten yang diciptakan pada abad ke-16, yaitu
tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570) dalam rangka
penyebaran agama Islam. Agama Islam diperkenalkan ke Banten oleh Sunan Gunung Jati, salah
satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan
penaklukan Sunda Kelapa. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para
pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Apalagi, di masa pemerintahannya tengah terjadi
ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung
dalam VOC. Kedatangan kaum kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum
muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata, yaitu
terjadinya percampuran akidah dengan tradisi pra-Islam. Hal ini yang terdapat pada kesenian
debus. (Roesjan:1954)
Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Budaya dI Banten:menelisik tradisi debus dan
maulid, Said menungkapkan bahwa: “Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri sebenarnya ada
hubungannya dengan tarikat Rifaiah. Tarikat ini dibawa oleh Nurrudin Ar-Raniry ke Aceh pada
abad 16. Tarikat ini ketika melakukan suatu ritual sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan
yang tak terhingga karena “bertatap muka” dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam
berbagai benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi sederhananya adalah “la haula wala Quwwata
illa billah al-‘aliyy al-adzhim” atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Jadi kalau
Allah tidak mengijinkan pisau, golok, parang atau peluru sekalipun melukai mereka, maka
mereka tak akan terluka. Pada kelanjutannya, tarikat ini sampai ke daerah Minang dan di Minang
pun dikenal istilah Dabuih. Keyakinan kepada Allah model inilah yang menjadikan debus hingga
saat ini masih terus dikenal bahkan menjadi warisan budaya.”
Kesenian debus ini berkembang di daerah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang
terutama di Kecamatan Walantaka dengan tokohnya M. Idris. Sedangkan di Kecamatan Curug
1|Page
tokohnya Umor, di Kecamatan Cikande tokohnya H. Renam, dan di atan Ciruas tokohnya adalah
H. Ahmad. Debus pun meluas ke daerah Jawa Timur yang dikembangkan oleh K.H. Agus
Ghufron Arief di Pesantren Nurul Haq di kampung Penelah Surabaya. Debus sendiri merupakan
sebuah kesenian yang melibatkan doa-doa didalamnya yang diambil dari ayat suci Al-Quran
sebagai penangkal dan pelindung kekebalan tubuh.
Permainan debus merupakan sebuah kesenian yang dikombinasikan dari seni tari, seni
suara, dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Kesenian debus biasanya dipertunjukan
sebagai pelengkap upacara adat atau hiburan masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan
pembukaan gembung yaitu pembacaan shalawat dan lantunan puji-pujian kepada nabi
Muhammad, dzikir kepada Allah, diiringi dengan instrumen musik tabuh selama kurang lebih 30
menit. Acara selanjutnya adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara yang keras,
melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan.

2. Atraksi dalam kesenian debus Banten


Pelaksanaan permainan debus, kesenian debus yang sering dipertontonkan antara lain:
 Menusuk perut atau anggota tubuh lainnya dengan tombak dan benda tajam lainnya tanpa
terluka.
 Mengiris bagian anggota tubuh dengan pisau atau golok.
 Memakan bara api dengan sesekali menyemburkan kobaran api.
 Menusukan jarum kawat besar kedalam lidah, kulit atau anggota tubuh lainnya hingga
tembus tanpa mengeluarkan darah bahkan besi yang ditusukan tidak sekedar kawat,
namun juga pisau, dan besi beton.
 Menyiram tubuh dengan air keras (HCl) hingga pakaian yang dikenakannya hancur
lumat, namun kulitnya tetap utuh.
 Menggoreng telur atau kerupuk diatas kepala
 Membakar tubuh diatas api atau menggulingkan tubuh diatas bara apai yang masih
menyala.

Jumlah para pemain debus biasanya kurang lebih 12 hingga 15 orang dengan rincian tugas
masing-masing sebagai berikut:
 Satu orang juru gendang;
 Satu orang penabuh terbang (rebana besar);
 Dua orang penabuh dogdog tingtit;
 Satu orang penabuh kecrek;
 4 orang melantukan beluk (dzikir);
 5 orang pemain atraksi;
 Satu orang sebagai saehu.
 Menaiki atau menduduki susunan golok yang tajam.
 Bergulingan di atas serpihan kaca atau duri salak.
2|Page
Waditra (peralatan) yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

 Gendang yang berfungsi sebagai pengiring gerak pencak silat.


 Dua buah kulanter (gendang kecil)
 Satu terbang yang berfungsi sebagai goong
 Satu tingtit (dogdog kecil) seperti alat musik dogdog yang biasa digunakan dalam reog
 Satu kecrek yang berguna untuk menambah musik para pemain
 Almadad (gedebus) yaitu besi tajam yang diberi kepala dari kayu berbentuk bulat
diameter 0,5 cm dengan panjang 30-40 cm.
 Gada (godam)
 Golok, pisau, jarum, paku, silet, kelapa, ketel penggorengan, air keras (HCl), minyak
kelapa dan minyak tanah.
Busana yang digunakan dalam kesenian debus adalah busana tradisional kampret dengan
celana pangsi dan ikat kepala (lomar) semuanya berwarna hitam.

C. Hasil Penelitian

Dalam debus sendiri, setiap atraksi memiliki makna atau filosofi di dalamnya. Saat kita
melihat ada seorang pemain yang makan beling atau batu bara, atraksi tersebut bukanlah hanya
untuk hiburan semata. Melainkan ada nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai
salah satu contoh, saat ada atraksi memakan benda – benda tidak lazim seperti bara api atau
beling, atraksi itu mensimbolkan bahwa di zaman penjajahan dulu, di masa awal debus
diperkenalkan, masyarakat Banten sangat kesulitan makanan. Bahwa di masa itu makan adalah
suatu kemewahan dan betapa sengsaranya mereka dalam mencari makan. Lalu, adegan
mengupas kelapa dengan gigi, itu menggambarkan bahwa di masa dulu alat tidak ada. Semua
kegiatan harus dilakukan dengan anggota tubuh yang ada karena keterbatasan alat. Tidak adanya
benda tajam untuk mengupas kelapa, membuktikan bahwa masyarakat Banten zaman dulu harus
memaksimalkan potensi anggota tubuhnya sebagai pengganti alat – alat yang biasanya
digunakan. Setiap gerakan yang ditampilkan adalah bentuk atau gambaran kehidupan masyarakat
Banten zaman dahulu sebagai bentuk protes terhadap penjajah.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode
sosiokultural. Yaitu dengan melakukan sebuah pendekatan dengan berdasarkan memahami
sebuah sejarah, berbagai macam atraksi dan ritual dalam debus, dan ruang lingkup masyarakat
terhadap seni debus Banten.

3|Page
Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif bersumber dari data pustaka. Bahan dan
materi penelitian ini akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku-buku yang
berkaitan dengan debus Banten dan berbagai informasi terkait dari beberapa media yang
mencakup, buku, majalah, jurnal, dokumen, data internet dan sumber-sumber lainnya.

E. Penutup

            Debus merupakan kesenian daerah asal Banten yang sudah ada sejak masa Sultan
Maulana Hasanudin dan kemudian dikembangkan lagi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa.
Tujuan awal dari debus sendiri sebagai media dakwah yang memperkenalkan ajaran Islam lewat
kesenian. Disamping sebagai media dakwah, debus juga digunakan untuk melawan penjajah
Belanda dikarekanan pada permainan debus ini para pemainnya memiliki kekebalan tubuh yang
tidak terluka jika terkena benda tajam.
            Perkembangan debus sendiri sudah mengalami dinamika yang cukup banyak, dan
sekarang sudah bergeser makna filosofinya. Dari awalnya sebagai media dakwah untuk
masyarakat Banten, sekarang kesenian debus bermakna lebih kepada hiburan dan kesenian asli
Banten.
            Permainan debus ini dilestarikan oleh bapak H. Muhammad Idris yang kemudan
mendirikan Padepokan Debus Surosowan Banten sebagai tempat belajar bagi masyarakat Banten
mengenai debus. Padepokan ini terbuka untuk siapa saja yang ingin mempelajari kesenian
tradisional Banten ini. Sehingga kesenian ini tidak punah dan tidak ditinggalkan oleh masyarakat
dikarenakan kesenian ini adalah Local Wisdom atau karifan lokal masyarakat Banten yang sudah
terjalin beratus-ratus tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Muzakki, M. (1990). Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten. Skripsi Fakultas Sastra Universitas


Indonesia. Jakarta : Guna Media

Said, H. A. (2017). Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan Maulid.KALAM, 10
(1), hal. 109-140.

Ki Bayu, “Ilmu Ajaib Debus Banten”. [Online] diakses dari


http://kibayu.wordpress.com/2009/07/01/ilmu-ajaib-debus-ti-leluhur/ (Diakses 5 Agustus 2017)

Roesjan, Tb.G. (1954). Sejarah Banten, Jakarta: Arief.

4|Page

Anda mungkin juga menyukai