Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur telah diidentifikasikan sebagai masalah medis sepanjang sejarah. Fraktur
femur dimana penyebab terbanyak yaitu akibat trauma, telah menjadi perhatian baik
masyarakat maupun tenaga kesehatan. Selain femur, tibia merupakan tulang panjang yang
sering mengalami cedera. Tibia mempunyai permukaan subkutan yang paling panjang,
sehingga paling sering terjadi fraktur terbuka. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
paling sering terjadinya kecelakaan yang dapat menyebabkan fraktur. Penyebab yang lain
dapat karena kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga industri, olahraga, dan rumah
tangga (ICHSAN HNING, 2020).
Walaupun penatalaksanaan di bidang orthopaedi telah berkembang, mortalitas trauma
masih tetap tinggi, berkisar antara 10 - 20 persen. Sebanyak 87% kecelakaan di Amerika
Serikat menyebabkan fraktur pada individu antara usia 1 dan 44 tahun dan merupakan
salah satu 10 penyebab paling umum kematian pada usia diatas 34 tahun.1 Di Indonesia,
kecelakaan juga merupakan penyebab terbanyak terjadinya fraktur dan terdapat lebih dari
12.000 kematian setiap tahunnya.2 Sedangkan di kota Medan, berdasarkan penelitian yang
dilakukan di rumah sakit tahun 2009, proporsi penderita fraktur berdasarkan
sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur 16 - 26 tahun (40,3%) yang disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas sebanyak 78,9%, fraktur tertutup 73,7%, ekstremitas bawah
55,3%. Dari seluruh kejadian tersebut yang memerlukan tindakan operasi 55,33
(Ariyantini, 2017). Berdasarkan data di atas, maka desakan untuk meningkatkan cara dan
system penanggulangan penderita gawat darurat sekarang sangat dirasakan. Oleh sebab
itu, diperlukan pengetahuan penanggulangan fraktur yang meliputi primary survey serta
tindakan penanggulangan definitive sehingga dapat menyelamatkan hidup penderita dan
mencegah kecatatan dengan pengobatan yang adekuat serta terpadu (ICHSAN HNING,
2020).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fraktur tibia fibula ?.
2. Bagaimana proses terjadinya fraktur tibia fibula ?.
3. Apa saja komplikasi yang terjadi pada jenis fraktur tibia fibula ?.

C. Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui tentang definisi fraktur tibia fibula.
2. Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui tentang proses terjadinya fraktur tibia
fibula.
3. Agar mahasiswa dan mahasiswi mengetahui tentang komplikasi yang terjadi pada
jenis fraktur tibia fibula.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Fraktur Tibia Fibula


Menurut jurnal yang berjudul “Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus Post
Open Reduction Internal Fixation Fraktur Tibia Di Rs Pku Muhammadiyah Yogyakarta”
menyatakan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan
jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan
persarafan. Fraktur femur dapat bersifat intrakapsular dan ekstrakapsular berdasarkan di
dalam atau di luar sendi. Fraktur kruris (crus = tungkai) merupakan fraktur yang terjadi
pada tibia dan fibula (Ariyantini, 2017).
B. Anatomi Femur Dan Tibia

Gambar B. Anatomi dan Tibia


Sumber : (ICHSAN HNING, 2020).
C. Klasifikasi Fraktur
Menurut jurnal yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M & Sdr. M Post
Operasi Fraktur Femur Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik Di
Ruang Kenanga RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” menyatakan klasifikasi
fraktur pada tibia dan fibula, yaitu :
1. Fraktur Proksimal Tibia
a) Fraktur infrakondilus tibia
Fraktur Infrakondilus tibia terjadi sebagai akibat pukulan pada tungkai pasien
yang mematahkan tibia dan fibula sejauh 5cm di bawah lutut. Walaupun tungkai
bawah dapat membengkak dalam segala arah, namun biasanya terjadi pergeseran
lateral ringan dan tidak ada tumpang tindih atau rotasi. Fraktur tidak masuk ke
dalam lututnya. Dapat dirawat dengan gips tungkai panjang, sama seperti fraktur
pada tibia lebih distal. Jika fragmen tergeser, dapat dilakukan manipulasi ke
dalam posisinya dan gunakan gips tungkai panjang selama 6 minggu. Kemudian
dapat dilepaskan dan diberdirikan dengan menggunakan tongkat untuk menahan
berat badan (ICHSAN HNING, 2020).
b) Fraktur berbentuk T
Terjadi karena terjatuh dari tempat yang tinggi, menggerakkan korpus tibia ke
atas diantara kondilus femur, dan mencederai jaringan lunak pada lutut dengan
hebat. Kondilus tibia dapat terpisah, sehingga korpus tibia tergeser diantaranya.
Traksi tibia distal sering dapat mereduksi fraktur ini secara adekuat (ICHSAN
HNING, 2020).
c) Fraktur kondilus tibia (bumper fracture)
Fraktur kondilus lateralis terjadi karena adanya trauma abduksi terhadap femur
dimana kaki terfiksasi pada dasar. Fraktur ini biasanya terjadi akibat tabrakan
pada sisi luar kulit oleh bumper mobil, yang menimbulkan fraktur pada salah satu
kondilus tibia, biasannya sisi lateral (ICHSAN HNING, 2020).
d) Fraktur kominutiva tibia atas
Pada fraktur kominutiva tibia atas biasanya fragmen dipertahankan oleh bagian
periosteum yang intak. Dapat direduksi dengan traksi yang kuat, kemudian
merawatnya dengan traksi tibia distal (ICHSAN HNING, 2020).
2. Fraktur Diafisis
Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama. Fraktur
dapat juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis tibia dan fibula
terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal
atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral
(ICHSAN HNING, 2020). Fraktur jenis ini dapat diklasifikasikan menjadi :
a) Fraktur tertutup korpus tibia pada orang dewasa
 Jika tungkai mendapat benturan dari samping, dapat mematahkan secara
transversal atau oblik, meninggalkan fibula dalam keadaan intak, sehingga
dapat membidai fragmen, dan pergeseran akan sangat terbatas.
 Kombinasi kompresi dan twisting dapat menyebabkan fraktur oblik spiral
hampir tanpa pergeseran dan cedera jaringan lunak yang sangat terbatas.
Fraktur jenis ini biasanya menyembuh dengan cepat. Jika pergeseran
minimal, tinggalkan fragmen sebagaimana adanya. Jika pergeseran signifikan,
lakukan anestesi dan reduksikan.
b) Fraktur tertutup korpus tibia pada anak-anak
Pada bayi dan anak-anak yang muda, fraktur besifat spiral pada tibia dengan
fibula yang intak. Pada umur 3-6 tahun, biasanya terjadi stress torsional pada tibia
bagian medial yang akan menimbulkan fraktur green stick pada metafisis atau
diafisis proksimaldengan fibula yang intak. Pada umur 5-10 tahun, fraktur
biasanya bersifat transversaldengan atau tanpa fraktur fibula.
 Fraktur tertutup pada korpus fibula
Gaya yang diarahkan pada sisi luar tungkai pasien dapat mematahkan
fibula secara transversal. Tibianya dapat tetap dalam keadaan intak, sehingga
tidak terjadi pergeseran atau hanya sedikit pergeseran ke samping. Biasanya
pasien masih dapat berdiri. Otot-otot tungkai menutupi tempat fraktur,
sehingga memerlukan sinar-X untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Tidak
diperlukan reduksi, pembidaian, dan perlindungan, karena itu asalkan
persendian lutut normal, biarkan pasien berjalan segera setelah cedera
jaringan lunak memungkinkan. Penderita cukup diberi analgetika dan istirahat
dengan tungkai tinggi sampai hematom diresorbsi.
 Fraktur tertutup pada tibia dan fibula
Pada fraktur ini tungkai pasien terpelintir, dan mematahkan kedua
tulang pada tungkai bawah secara oblik, biasanya pada sepertiga bawah.
Fragmen bergeser ke arah lateral, bertumpang tindih, dan berotasi. Jika tibia
dan fibula fraktur, yang diperhatikan adalah reposisi tibia. Angulasi dan rotasi
yang paling ringan sekalipun dapat mudah terlihat dan dikoreksi. Perawatan
tergantung pada apakah terdapat pemendekan. Jika terdapat pemendekan
yang jelas, maka traksi kalkaneus selama seminggu dapat mereduksikannya.
Pemendekan kurang dari satu sentimeter tidak menjadi masalah karena akan
dikompensasi pada waktu pasien sudah mulai berjalan. Sekalipun demikian,
pemendekan sebaiknya dihindari.
D. Klasifikasi Klinis
Menurut jurnal yang berjudul “Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus Post
Open Reduction Internal Fixation Fraktur Tibia Di Rs Pku Muhammadiyah Yogyakarta”
menyatakan bahwa :
1. Fraktur Tertutup (Simple Fracture)
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan
dunia luar (Ariyantini, 2017).
2. Fraktur Terbuka (Compound Fracture)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam)
atau from without (dari luar) (Ariyantini, 2017).
a) Derajat I
 Luka < 1 cm.
 Kerusakan jaringan lunak sedikit, dan tidak ada tanda luka remuk.
 Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan.
 Kontaminasi.
b) Derajat II
 Laserasi > 1 cm.
 Kerusakan jaringan lunak, dan tidak luas.
 Fraktur kominutif sedang.
c) Derajat III
 Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas, atau fraktur segmental / sangat kominutif yang dsebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
 Kehilangan jaringan lunak dengan besarnya fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi massif.
 Luka pada pembuluh arteri.

3. Fraktur Dengan Komplikasi (Complicated Fracture)

Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi


misalnya malunion, delayed union, infeksi tulang (Ariyantini, 2017).

Gambar D. Klasifikasi Klinis


Sumber : (Ariyantini, 2017).

E. Etiologi Fraktur Tibia Fibula


Menurut jurnal yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M & Sdr. M
Post Operasi Fraktur Femur Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik
Di Ruang Kenanga RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” menyatakan tulang
bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :
1. Peristiwa Trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau
penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang
terkena, jaringan lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung,
tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena
kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada (ICHSAN
HNING, 2020).
2. Fraktur Kelelahan Atau Tekanan
Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal,
terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh
(ICHSAN HNING, 2020).
3. Fraktur Patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit
Paget). Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam
tingkat yang berbeda dimana daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik
pendek, biasanya pada tingkatyang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari
fragmen tulang dapat menembus kulit dan cedera langsung akan menembus atau
merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan sepeda motor adalah penyebab yang paling
lazim (ICHSAN HNING, 2020).
F. Patofisiologi Fraktur Tibia Fibula
Menurut jurnal yang berjudul “Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus
Post Open Reduction Internal Fixation Fraktur Tibia Di Rs Pku Muhammadiyah
Yogyakarta” menyatakan bahwa ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks,
pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi
perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan
hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah periostrium dengan jaringan
tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan
nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit, ketika terjadi
kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki
cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang
terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang
kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk
kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom
menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot
yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal
ini menyebabkan terjadinya edema, terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila
berlangsung lama bisa menyebabkan syndrom comportement (Ariyantini, 2017).
G. Pathway

Trauma (Langsung/Tidak Langsung)

Fraktur
SumberTerbuka (Tertutup/Terbuka)
: (Ariyantini, 2017).

Kehilangan integritas tulang Perubahan fragmen tulang, Fraktur terbuka ujung tulang
kerusakan pada jaringan, dan menembus otot dan kulit
Ketidakstabilan posisi fraktur : pembuluh darah.

apabila organ fraktur Luka


digerakkan Perdarahan lokal

GANGGUAN INTEGRITAS
NYERI AKUT Hematoma pada daerah fraktur
KULIT

Sindroma Kompartemen : Warna jaringan pucat, nadi


keterbatasan aktivitas lemah, sianosis, dan kesemutan Kuman mudah masuk

Kerusakan neuromuskular
DEFISIT PERAWATAN DIRI
RESIKO TINGGI INFEKSI
Gangguan fungsi organ distal

GANGGUAN MOBILITAS
FISIK
H. Manifestasi Klinis
Menurut jurnal yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M & Sdr. M Post
Operasi Fraktur Femur Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik Di
Ruang Kenanga RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” menyatakan kulit mungkin
tidak rusak atau robek dengan jelas, kadang-kadang kulit tetap utuh tetapi melesak atau
telah hancur, dan terdapat bahaya bahwa kulit itu dapat mengelupas dalam beberapa hari.
Kaki biasanya memuntir keluar dan deformitas tampak jelas. Kaki dapat menjadi memar
dan bengkak. Nadi dipalpasi untuk menilai sirkulasi, dan jari kaki diraba untuk menilai
sensasi. Pada fraktur gerakan tidak boleh dicoba, tetapi pasien diminta untuk
menggerakkan jari kakinya. Sebelum merencanakan terapi, perlu dilakukan penentuan
beratnya cedera. Pada anamnesis dalam kasus fraktur kondilus tibia terdapat riwayat
trauma pada lutut, pembengkakan dan nyeri serta hemartrosis. Terdapat gangguan dalam
pergerakan sendi lutut. Pada fraktur diafisis tulang kruris ditemukan gejala berupa
pembengkakan, nyeri dan sering ditemukan penonjolan tulang keluar kulit. Pada fraktur
dan dislokasi sendi pergelangan kaki ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan
kaki, kebiruan atau deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokaliasasi dari nyeri
tekan apakah pada daerah tulang atau pada ligament (ICHSAN HNING, 2020). Bagian
paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan normal serta fragmen
distal dalam posisi eksorotasi dan aduksi karena empat penyebab :
1. Tanpa stabilitas longitudinal femur, otot yang melekat pada fragmen atas dan bawah
berkontraksi dan paha memendek, yang menyebabkan bagian paha yang patah
membengkak.
2. Aduktor melekat pada fragmen distal dan abduktor pada fragmen atas. Fraktur
memisahkan dua kelompok otot tersebut, yang selanjutnya bekerja tanpa ada aksi
antagonis.
3. Beban berat kaki memutarkan fragmen distal ke rotasi eksterna.
4. Femur dikelilingi oleh otot yang mengalami laserasi oleh ujung tulang fraktur yang
tajam dan paha terisi dengan darah, sehingga terjadi pembengkakan (1,2,3).
Selain itu, Menurut jurnal yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M & Sdr. M
Post Operasi Fraktur Femur Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik
Di Ruang Kenanga RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” menyatakan adapun
tanda dan gejalanya adalah :
1. Nyeri hebat di tempat fraktur
2. Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah.
3. Rotasi luar dari kaki lebih pendek.
4. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi,
sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
I. Diagnosis Fraktur Tibia Fibula
Menurut jurnal yang berjudul “Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus Post
Open Reduction Internal Fixation Fraktur Tibia Di Rs Pku Muhammadiyah Yogyakarta”
menyatakan :
1. Anamnesa
Penderita biasanya datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang
hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi ditempat
lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau
jatuh dikamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan
pada pekerja oleh karena mesin atau karena trauma olah raga. Penderita biasanya
datang karena nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas,
kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Look (Inspeksi)
 Deformitas : angulasi (medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi
(rotasi,perpendekan atau perpanjangan).
 Bengkak atau kebiruan.
 Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak).
 Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan luka memiliki
hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).
b) Feel (palpasi)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan, nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh kerusakan
jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
 Krepitasi, dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati.
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku.
 Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan
pembedahan.
c) Move (pergerakan)
 Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
 Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
 Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan
saraf.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Sinar –X
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur.
Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan
keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang
bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis. Tujuan pemeriksaan radiologis:
 Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.
 Untuk konfirmasi adanya fraktur.
 Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya.
 Untuk mengetahui teknik pengobatan.
 Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.
 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.
 Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.
 Untuk melihat adanya benda asing.
Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan “Rules of
Two”, yaitu :
1) Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal
dan sekurang- kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP &
Lateral/Oblique).
2) Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau
angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain
juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di
bawah fraktur keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.
3) Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur.
Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
4) Dua cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1
tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu juga
diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang belakang.
5) Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat, kalau ragu-
ragu, sebagai akibatresorbsi tulang, pemeriksaan lebih jauh 10-14 hari
kemudian dapat memudahkan diagnosis.
b. Pencitraan khusus
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena dan
lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu
sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu
penyembuhan fraktur, misalnya penyembuhan fraktur transversal lebihlambat dari
fraktur oblik karena kontak yang kurang. Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan
fraktur tidak nyata pada sinar-X biasa.Tomografi mungkin berguna untuk lesi
spinal atau fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya
cara yang dapat membantu, sesungguhnya potret transeksional sangat penting
untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sukar. Radioisotop
scanning berguna untuk mendiagnosis fraktur-tekanan yang dicurigai atau fraktur
tak bergeser yang lain.
J. Penatalaksanaan
Menurut jurnal yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M & Sdr. M Post
Operasi Fraktur Femur Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik Di
Ruang Kenanga RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” menyatakan :
1. Primary Survey
a) Jalan napas
Mempertahankan saluran napas adalah selalu menjadi prioritas pertama. Jika
pasien dapat berbicara dengan jelas jalan napas biasanya baik, tetapi jika pasien
tidak sadar mungkin akan membutuhkan saluran napas dan bantuan ventilasi.
Tanda-tanda penting dari obstruksi termasuk mendengkur, stridor, dan gerakan
dada paradoks.Adanya benda asing harus dipertimbangkan pada pasien tidak
sadar. Lanjutan manajemen jalan napas (seperti intubasi endotrakeal,
cricothyrotomy, atau trakeostomi) diindikasikan jika ada apnea, obstruksi terus-
menerus, cedera kepala berat, trauma maksilofasial, cedera leher dengan
hematoma yang meluas, atau cedera dada berat (ICHSAN HNING, 2020).
Cedera tulang belakang leher tidak mungkin terjadi pada pasien tanpa nyeri
pada leher. Lima kriteria meningkatkan risiko ketidakstabilan tulang cervical :
 Nyeri pada leher.
 Severe distracting pain.
 Ditemukan tanda atau gejala neurologis.
 Keracunan.
 Kehilangan kesadaran di tempat kejadian.
Sebuah fraktur tulang belakang leher harus diasumsikan jika salah satu dari
kriteria ini ditemukan, bahkan jika tidak ada cedera diatas tingkat klavikula.
Bahkan dengan kriteria ini, kejadian trauma tulang leher adalah sekitar 2%.
Insiden ketidakstabilan tulang belakang leher meningkat hingga 10% dengan
adanya cedera kepala berat. Untuk menghindari leher hiperekstensi, manuver
jaw-trhust adalah cara yang baik untuk mempertahankan saluran napas. Mulut
dan saluran udara hidung dapat membantu menjaga patensi jalan napas. Pasien
tidak sadar dengan trauma berat selalu dianggap beresiko untuk terjadinya
aspirasi, dan jalan napas harus diamankan sesegera mungkin dengan endotrakeal
tube atau trakeostomi. Leher hiperekstensi dan traksi aksial yang berlebihan
harus dihindari, dan imobilisasi manual dari kepala dan leher oleh asisten harus
digunakan untuk menstabilkan tulang belakang leher selama laringoskopi ("in-
line panduan stabilisasi" atau MILS). Asisten meletakkan kedua tangan-nya di
kedua sisi kepala pasien, menekan oksiput dan mencegah rotasi kepala. Dari
semua teknik ini, MILS mungkin paling efektif, tetapi dapat juga menyulitkan
laringoskopi. Untuk alasan ini, beberapa dokter lebih memilih intubasi nasal
pada pasien dengan pernapasan spontan yang diduga mengalami cedera tulang
belakang servikal, meskipun teknik ini mungkin beresiko tinggi mengalami
aspirasi paru (ICHSAN HNING, 2020).
Lainnya menganjurkan penggunaan suatu lightwand, Bullard laringoskop,
WuScope, atau intubating laryngeal mask airway. Jelas, keahlian dan preferensi
seorang dokter secara individu mempengaruhi pilihan teknik, bersama dengan
kebutuhan untuk kebijaksanaan dan risiko komplikasi pada pasien yang
diberikan. Kebanyakan praktisi lebih familiar dengan intubasi oral, dan teknik
ini harus dipertimbangkan pada pasien yang membutuhkan intubasi apneic dan
segera. Selanjutnya, nasal intubasi harus dihindari pada pasien dengan patah
tulang tengkorak midface atau basilar. Jika jalan napas obturatorius esofagus
telah dipasang di lapangan atau tempat keladian, itu tidak boleh dilepas sampai
trakea telah diintubasi karena kemungkinan regurgitasi.
Trauma laring membuat situasi lebih buruk. Luka terbuka dapat berhubungan
dengan perdarahan dari pembuluh leher besar, obstruksi dari hematoma atau
edema, emfisema subkutan, dan cedera tulang belakang leher. Trauma laring
tertutup kurang jelas, tetapi dapat ditemukan sebagai krepitasi leher, hematoma,
disfagia, hemoptisis, atau fonasi yang buruk. Sebuah intubasi dengan tabung
endotrakeal kecil (6,0 pada orang dewasa) di bawah laringoskopi langsung atau
bronkoskopi serat optik dengan anestesi topikal dapat dicoba jika laring dapat
dilihat dengan jelas. Jika luka pada wajah atau leher mencegah atau menghalangi
intubasi endotrakeal, trakeostomi di bawah anestesi lokal harus
dipertimbangkan. Obstruksi akut dari trauma saluran napas bagian atas mungkin
memerlukan cricothyrotomy darurat atau perkutan atau bedah trakeostomi
(ICHSAN HNING, 2020).
b) Pernafasan
Penilaian ventilasi yang terbaik dilakukan dengan melihat, mendengarkan, dan
merasakan hembusan nafas. Lihat apakah ada tanda-tanda sianosis, penggunaan
otot aksesori, flail chest, dan sucking wound. Dengarkan adanya, tidak adanya,
atau berkurangnya bunyi nafas. Perhatikan juga tanda-tanda emfisema subkutan,
pergeseran trakea, dan tulang rusuk patah. Dokter harus memiliki indeks
kecurigaan yang tinggi untuk tension pneumothorax dan hemothorax, terutama
pada pasien dengan gangguan pernapasan. Drainase pleura mungkin diperlukan
sebelum sinar-X dada dilakukan. Kebanyakan pasien trauma yang kritis
membutuhkan bantuan kontrol ventilasi.Perangkat Tas-katup (misalnya, sebuah
tas menggembungkan diri dengan katup nonrebreathing) biasanya menyediakan
ventilasi yang memadai segera setelah intubasi dan selama periode transportasi
pasien. Konsentrasi oksigen 100% disampaikan sampai oksigenasi dinilai oleh
gas-gas darah arteri (ICHSAN HNING, 2020).
c) Circulation
Kecukupan sirkulasi didasarkan pada denyut nadi, tekanan nadi, tekanan darah,
dan tanda-tanda perfusi perifer. Tanda-tanda sirkulasi inadekuat meliputi
takikardi, nadi perifer lemah atau tidak teraba, hipotensi, dan ekstremitas pucat,
dingin, atau sianotik. Prioritas pertama dalam memulihkan sirkulasi yang adekuat
adalah untuk menghentikan pendarahan, prioritas kedua adalah untuk
menggantikan volume intravaskular. Cardiac arrest selama transportasi ke rumah
sakit atau segera setelah tiba pada trauma tembus thoraks dan kemungkinan
trauma tumpul thoraks merupakan indikasi untuk torakotomi emergensi, disebut
juga torakotomi resusitasi, memungkinkan kontrol cepat perdarahan yang jelas,
membuka perikardium, dan memungkinkan menjahit luka-luka jantung dan
mengklem aorta di atas diafragma. Beberapa dokter bedah trauma juga
mendukung torakotomi emergensi pada cardiac arrest selama transportasi atau
segera setelah tiba di rumah sakit pada trauma tembus atau tumpul abdomen.
Pasien hamil yang berada dalam cardiac arrest atau syok sering dapat
diresusitasi dengan benar hanya setelah melahirkan bayi. Pada pasien-pasien
dengan fraktur baik fraktur tertutup maupun terbuka, penting untuk mengetahui
tingkat perdarahan yang dialaminya. Penentuan tingkat perdarahan dapat
ditentukan dengan menilai beberapa parameter hemodinamik (ICHSAN HNING,
2020).
d) Disability
Evaluasi disability terdiri dari penilaian neurologis yang cepat. Karena
biasanya tidak ada waktu untuk Glasgow Coma Scale, sistem AVPU digunakan:
awake, verbal response, painful response, and unresponsive (ICHSAN HNING,
2020).
e) Exposure
Pasien harus menanggalkan pakaian untuk memungkinkan pemeriksaan untuk
cedera. In-line immobilization harus digunakan jika cedera leher atau tulang
belakang dicurigai (ICHSAN HNING, 2020).
2. Secondary Survey
Secondary Suvey dimulai hanya ketika ABC yang stabil. Dalam survei
sekunder, pasien dievaluasi dari kepala sampai kaki dan pemeriksaan yang
diindikasikan (misalnya, radiografi, tes laboratorium, prosedur diagnostik invasif)
diperoleh. Pemeriksaan kepala meliputi mencari luka pada kulit kepala, mata, dan
telinga. Pemeriksaan neurologis termasuk Glasgow Coma Scale dan evaluasi dari
fungsi motorik dan sensorik serta refleks. Pupil melebar tetap tidak selalu berarti
kerusakan otak ireversibel. Dada diauskultasi dan diperiksa lagi untuk patah tulang
dan integritas fungsional (flail chest). Suara napas berkurang dapat mengungkapkan
pneumotoraks tertunda atau membesar yang membutuhkan penempatan tabung dada.
Demikian pula, bunyi jantung menjauh, tekanan nadi sempit, dan distensi vena leher
merupakan tanda tamponade perikardium, dilakukan pericardiocentesis. Sebuah
pemeriksaan awal normal tidak definitif menghilangkan kemungkinan masalah ini.
Pemeriksaan abdomen harus terdiri dari inspeksi, auskultasi, dan palpasi. Ekstremitas
diperiksa untuk fraktur, dislokasi, dan denyut nadi perifer. Kateter urin dan tabung
nasogastrik juga biasanya dimasukkan (ICHSAN HNING, 2020).
Analisis laboratorium dasar termasuk hitung darah lengkap (atau hematokrit
atau hemoglobin), elektrolit, glukosa, nitrogen urea darah (BUN), dan kreatinin.
AGDA juga dapat sangat membantu. Foto thoraks harus diperoleh pada semua pasien
dengan trauma besar. Kemungkinan cedera tulang belakang leher dievaluasi dengan
memeriksa semua tujuh vertebra dalam radiografi AP/lateral. Meskipun penelitian ini
mendeteksi 80-90% dari patah tulang, hanya CT normal dapat dipercaya
menyingkirkan trauma tulang leher yang signifikan. Penelitian radiografi tambahan
termasuk tengkorak, panggul, dan film tulang panjang. Focused assessment with
sonography for trauma (FAST) merupakan pemeriksaan cepat, di samping tempat
tidur menggunakan USG yang dilakukan untuk mengidentifikasi perdarahan
intraperitoneal atau tamponade perikardial. FAST, yang telah menjadi perpanjangan
dari pemeriksaan fisik pasien trauma, memeriksa empat area untuk cairan bebas:
ruang perihepatik/hepatorenal, ruang perisplenik, panggul, dan perikardium.
Tergantung pada cedera dan status hemodinamik pasien, teknik pencitraan lain
(misalnya, computed tomography [CT] thoraks atau angiografi) atau tes diagnostik
seperti diagnostic peritoneal lavage (DPL) juga dapat diindikasikan (ICHSAN
HNING, 2020).
3. Penanganan Definitif
a) Reduksi /reposisi
Menempatkan kembali fragment tulang pada posisi seanatomis mungkin.
Dapat dilakukan dengan reduksi tertutup / reduksi terbuka.
b) Mempertahankan reduksisampai healingdan cukup untuk mencegah displacement
(immobilisasi). Ada 3 metoda yang lazim yaitu :
 Fiksasi eksternal dengan cast atau splint.
 Traksi.
 Iksasi internal dengan nail, plate atau screw.
c) Mengembalikan fungsi otot, sendi dan tendon (rehabilitasi) untuk mencegah joint
stiffness & disuse atrophy. Harus dilakukan sesegera mungkin.
4. Penatalaksanaan Fraktur Dengan Operasi
a) Absolut
 Fraktur terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan operasi
dalam penyembuhan dan perawatan lukanya.
 Cidera vaskuler sehingga memerlukan operasi untuk memperbaiki jalannya
darah di tungkai.
 Fraktur dengan sindroma kompartemen.
 Cidera multipel, yang diindikasikan untuk memperbaiki mobilitas pasien, juga
mengurangi nyeri.
b) Relatif
 Pemendekan
 Fraktur tibia dengan fibula intak
 Fraktur tibia dan fibula dengan level yang sama
Adapun jenis-jenis operasi yang dilakukan pada fraktur tibia diantaranya
adalah sebagai berikut :
a) Fiksasi
1) Standar
Fiksasi eksternal standar dilakukan pada pasien dengan cidera multipel
yang hemodinamiknya tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada fraktur
terbuka dengan luka terkontaminasi. Dengan cara ini, luka operasi yang
dibuat bisa lebih kecil, sehingga menghindari kemungkinan trauma
tambahan yang dapat memperlambat kemungkinan penyembuhan. Di bawah
ini merupakan gambar dari fiksasi eksternal tipe standar.
2) Ring Fixators
Ring fixators dilengkapi dengan fiksator ilizarov yang menggunakan
sejenis cincin dan kawat yang dipasang pada tulang. Keuntungannya adalah
dapat digunakan untuk fraktur ke arah proksimal atau distal. Cara ini baik
digunakan pada fraktur tertutup tipe kompleks. Dibawah ini merupakan
gambar pemasangan ring fixators pada fraktur diafisis tibia.
3) Open reduction with internal fixation (ORIF)
Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai
ke metafisis. Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu
gerakan sendinya menjadi lebih stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya
terjadi komplikasi pada penyembuhan luka operasi. Berikut ini merupakan
gambar penatalaksanaan fraktur dengan ORIF.
4) Intramedullary nailing
Cara ini baik digunakan pada fraktur displased, baik pada fraktur
terbuka atau tertutup. Keuntungan cara ini adalah mudah untuk meluruskan
tulang yang cidera dan menghindarkan trauma pada jaringan lunak.
b) Amputasi
Amputasi dilakukan pada fraktur yang mengalami iskemia, putusnya nervus
tibia dan pada crush injury dari tibia.
c) General Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani “tidak, tanpa" dan aesthetos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Beberapa tipe
anestesi adalah :
1) Anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan
sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan
kesadaran.
2) Anestesi regional adalah hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari
tubuh.
3) Anestesi umum (general anesthesia)
 Hipnotik.
 Analgesik.
 Relaksasi.
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyebab
terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya
dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan pra anestesi adalah
untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Sebelum pasien diberi obat
anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian
obat sebelum induksi anestesi diberikan dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :
 Meredakan kecemasan dan ketakutan.
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
 Mengurangi mual dan muntah pasca bedah.
 Mengurangi isi cairan lambung.
 Membuat amnesia.
 Memperlancar induksi anestesi.
 Meminimalkan jumlah obat anestesi.
 Mengurangi reflek yang membahayakan.
K. Penatalaksanaan Farmakologis
Menurut jurnal yang berjudul “Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus Post
Open Reduction Internal Fixation Fraktur Tibia Di Rs Pku Muhammadiyah Yogyakarta”
menyatakan :
1. Obat Premedikasi
a) Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik
Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk
mengurangi efek bronchial dan cardial yang berasal dari perangsangan
parasimpatis, baik akibat obat atau anestesi maupun tindakan lain dalam operasi.
Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak
mencegah timbulnya laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum.
Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada
perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya
obat ini tidak digunakan untuk anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus
hati-hati pada penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan
penyakit jantung khususnya fibrilasi aurikuler. Atropin tersedia dalam bentuk
atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan
subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan
0,015 mg/kgBB untuk anak-anak (Ariyantini, 2017).
b) Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang (transquilaizer)
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untukpremedikasi, induksi
dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja
cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada
pasien orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung
dan pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2
menit setelah penyuntikan. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB,
disesuaikandengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg.
padaorang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Efek sampingnya
terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya
hanya sedikit (Ariyantini, 2017).
c) Cedantron 4 mg (Ondansentrone)
Suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan
dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa hipotensi,
bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewas 2-4 mg (Ariyantini,
2017).
2. Obat Induksi
a) Tracrium 20 mg (Atracurium) : nondepolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi,
hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat
bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama
20- 45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kalilipat pada suhu 250 C,
kecepatan efek kerjanya 1-2 menit. Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase
bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja,
sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering
digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat
antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan
hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan
pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai obat vagolitik seperti
atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai
0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.
b) Recofol 80 mg (Profofol)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter
recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol
merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik
dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol
menghambat transmisi neuron yangdihantarkan oleh GABA. Propofol adalah
obat anestesi umum yangbekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu
30 detik. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse.
Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yangberumur diatas 55
tahun dosis untuk induksi maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari dosis
yang diberikan untik pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa
secara suntikan bolus intravena atau secara kontinu melalui infus, namun
kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag
dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IVdosisnya lebih
rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat.
3. Maintenance
a) N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O
harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya.
Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar
mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi.
Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10
menit.Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2
yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik
digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan
pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada pasien
pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.
b) Halothane (Fluothane)
Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana
yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya
bersama dengan oksigen atau nitrousokside 70% oksigen dan sebaiknya
menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi
uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan
anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang
tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan
depresi pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks
baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigil.
4. Intubasi
Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intrvena, intramuskular, inhalasi dan
rektal. Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap
paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi
bagi pasien operasi (Ariyantini, 2017). Pada dasarnya, tujuan intubasi endotracheal :
 Mempermudah pemberian anestesia.
 Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan.
 Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
 Mempermudah pengisapan sekret tracheobronchial.
L. Komplikasi Fraktur Tibia Fibula
Menurut jurnal yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M & Sdr. M
Post Operasi Fraktur Femur Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas
Fisik Di Ruang Kenanga RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” menyatakan
1. Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal
fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka
yang tidak steril (ICHSAN HNING, 2020).
2. Delayed Union
Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang
tetapi terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya
peredaran darah ke fragmen (ICHSAN HNING, 2020).
3. Non Union
Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5 bulan
mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan pergerakan
pada tempat fraktur (ICHSAN HNING, 2020).
4. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya
defisiensi suplay darah (ICHSAN HNING, 2020).
5. Kompartemen Sindrom
Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan
terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang
tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya
oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan
(ICHSAN HNING, 2020).
6. Mal Union
Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti
adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan (ICHSAN HNING,
2020).
7. Gangguan Pergerakan Sendi Pergelangan Kaki
Gangguan ini biasanya disebakan karena adanya adhesi pada otot-otot tungkai
bawah (ICHSAN HNING, 2020).
M. Proses Penyembuhan Tulang
Menurut jurnal yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M & Sdr. M
Post Operasi Fraktur Femur Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas
Fisik Di Ruang Kenanga RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018” menyatakan :
1. Stadium Pembentukan Hematoma
Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang
rusak, hematoma dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 –
2 x 24 jam (Ariyantini, 2017).
2. Stadium Proliferasi
Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur
sel-sel ini menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang.
Proliferasi juga terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua
kecelakaan terjadi (Ariyantini, 2017).
3. Stadium Pembentukan Kallus
Osteoblast membentuk tulang lunak/kallus memberikan regiditas pada fraktur,
massa kalus terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi
setelah 6 – 10 hari setelah kecelakaan terjadi (Ariyantini, 2017).
4. Stadium Konsolidasi
Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu,
secara bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah
kecelakaan (Ariyantini, 2017).
5. Stadium Remodelling
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi luar
fraktur. Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan
(Ariyantini, 2017).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang pasien dengan keluhan tungkai kanan bawah sulit
digerakkan setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Penatalaksanaan cedera
kepala berat diawali dengan tindakan primary survey yaitu Airway (jalan nafas), yaitu
membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Breathing dengan
ventilasi yang baik meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi
terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi untuk
menentukan adanya darah atau udara dalam rongga pleura, auskultasi untuk memastikan
masuknya udara kedalam paru. Circulation dengan kontrol pendarahan. Disability dengan
pemeriksaan mini neurologis meliputi GCS, bentuk, ukuran dan reflek cahaya pupil,
kekuatan motorik kiri dan kanan. Exposure dengan menghindarkan hipotermia. Pada
pasien ini, telah dilakukan penanganan di IGD dengan tindakan berupa ABCDE. Pada
pasien kemudian dilakukan operasi debridement dan pemasangan backslab untuk
immobilisasi sementara menunggu tindakan definitif.
B. Saran
1. Untuk Perawat
Saran yang perlu di sampaikan kepada perawat, yaitu harus
mendokumentasikan setiap tindakan yang telah di lakukan. Serta menambah ilmu
pengetahuan tentang berbagai macam penyakit, dalam khusus nya pada kasus
“Fraktur” agar perawat dapat melakukan implementasi sesuai dengan kebutuhan
klien.
2. Untuk Penulis
Kami memahami segala kekurangan  yang ada pada karya tulis kami sehingga
kami sangat meng harapkan kritik dan masukan yang membangun guna dalam
penulisan karya tulis selanjutnya kami dapat membuat kaya tulis dengan lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Ariyantini, M. D. (2017). ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. M & Sdr. M POST


OPERASI FRAKTUR FEMUR DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
HAMBATAN MOBILITAS FISIK DI RUANG KENANGA RSUD dr. HARYOTO
LUMAJANG TAHUN 2018 LAPORAN. Skripsi.
ICHSAN HNING. (2020). Penatalaksanaan terapi latihan pada kasus post open reduction
internal fixation fraktur tibia di rs pku muhammadiyah yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai