TUJUAN SURVEILANS
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,
sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan
1
kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans: (1) Memonitor kecenderungan (trends)
penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak;
(3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada
populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program
kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
Gambar 5.2 menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk mendeteksi outbreak disentri.
Grafik yang menghubungkan periode waktu pada sumbu X dengan insidensi kasus penyakit pada
sumbu Y dapat digunakan untuk memonitor dan mendeteksi outbreak. Kecurigaan outbreak terjadi
pada kuartal ke 4 tahun 2008, ketika insidensi mencapai 3 kali rata-rata per kuartal.
Kasus
Surveilans dapat juga digunakan untuk memantau efektivitas program kesehatan. Gambar
5.3. menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk memonitor performa dan efektivitas program
pengendalian TB. Perhatikan, dengan statistik deskriptif sederhana surveilans mampu memberikan
informasi tentang kinerja program TB yang meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus TB
yang dideteksi, ketuntasan pengobatan kasus, maupun kesembuhan kasus. Perhatikan pula peran
penting data time-series dalam analisis data surveilans yang dikumpulkan dari waktu ke waktu
dengan interval sama.
2
Tujuan: Memonitor kemampuan program TB dalam
emastikan
m
kerampungan pengobatan (completion) dan kesembuhan (cure)
kasus TB tahun 200
6-2009
Kasus
Selesai
Sembuh
JENIS SURVEILANS
Dikenal beberapa jenis surveilans: (1) Surveilans individu; (2) Surveilans penyakit; (3) Surveilans
sindromik; (4) Surveilans Berbasis Laboratorium; (5) Surveilans terpadu; (6) Surveilans kesehatan
masyarakat global.
1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang
mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning,
sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak,
sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah
terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah
mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal
dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi kebebasan
gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak
dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara
selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh,
anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa
diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di
pospos lainnya tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis,
etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah
pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi
dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi
terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program
vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
3
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program
surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya,
menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya
masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
3. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik
mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati
sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit,
seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari
aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans
sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses)
berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang
berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk
atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans
tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung,
dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen
untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas
kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel.
Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor
masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade,
2010).
5. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di
suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan
fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun
pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus
penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai pelayanan
bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan
pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni,
pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni,
pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5)
Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan
4
terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans
yang berbeda (WHO, 2002).
MANAJEMEN SURVEILANS
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi pendukung. Fungsi inti
(core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi kesehatan
masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data,
konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan
masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana
(management type response). Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi,
penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi
(WHO, 2001; McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu sifat dari
masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai
contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer
program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan
suatu sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan
laboratorium.
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok,
berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor
perubahanperubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem surveilans
yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan
informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa
diperoleh dari survei rumah tangga.
PENDEKATAN SURVEILANS
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans aktif
(Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit
yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota
WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan
surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans
pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan
cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu
petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas
5
kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat
sederhana dan ringkas.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke
lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan
rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan
kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh
petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans
aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit
untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance.
Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader
kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang
sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable
cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih
menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium. Community
surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).
SURVEILANS EFEKTIF
Karakteristik surveilans yang efektif: cepat, akurat, reliabel, representatif, sederhana, fleksibel,
akseptabel, digunakan (Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU, 2006).
Kecepatan. Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely) memungkinkan
tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan jika
diperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam.
Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara: (1) Melakukan analisis
sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi “lag” (beda waktu) yang terlalu
panjang antara laporan dan tanggapan; (2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit
tertentu (notifiable diseases); (3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;
(4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil surveilans; (5)
Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan segera.
Akurasi. Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi hasil negatif
palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada
umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm” (peringatan palsu).
Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk
mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak.
Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor: (1) kemampuan petugas; (2) infrastruktur
laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi
perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip
epidemiologi, sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan
peralatan laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi
kasus.
Standar, seragam, reliabel, kontinu. Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar
penting dalam sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten.
Sistem surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya
intermiten atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan.
6
Pelaporan rutin data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu
sekali.
Representatif dan lengkap. Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya
terjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap.
Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika penggunaan
kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas surveilans terbagi
antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan kesehatan lainnya.
Sederhana, fleksibel, dan akseptabel. Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis,
baik dalam organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan terfokus.
Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans yang buruk
biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak
berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat diterima oleh
petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya.
Untuk memelihara komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada
setiap level operasi.
Penggunaan (uptake). Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans
digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku surveilans pada
berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di banyak negara
berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun
network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan.
REFERENSI
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease Control Priority
Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf
Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for quarantine. Am
J Public Health;97:S44-48.
Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.
Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-health.../
epidemiologic-surveillance. Diakses 21 Agustus 2010.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns Hopkins
and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA, Gesteland PH,
Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004). Implementing
syndromic surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am Med Inform
Assoc., 11:141–150.
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V, Rodier G (2002).
Conceptual framework of public health surveillance and action and its application in health
sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. Com
Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by “syndromic” surveillance systems.
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl 1):
i107i114(1).
7
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard K (2006).
Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing data. Ann Fam
Med 2006;4:351-358.
WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly epidemiological
record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer
_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int
Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of the infectious
diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of surveillance in The
Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.com.
BAB I
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat urgent dalam membentuk negara yang hebat.
Tak dapat dipungkiri bahwa, terciptanya generasi bangsa yang sehat akan mendorong potensi
yang lebih besar untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkompeten dan
berkualitas. Dengan keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, maka secara
otomatis pembangunan nasional dari segi kesehatan akan terus mengalami peningkatan.
Peran tenaga kesehatan sebagai komponen penentu pelaksanaan program haruslah
memiliki kemampuan dalam melakukan perencanaan dan manajemen dalam suatu tempat
pelayanan kesehatan. Yang harus disadari adalah dalam manajemen kesehatan diperlukan
adanya subjek kesehatan yang mampu menjalankan fungsi sebagai tenaga kesehatan yang
mampu mengumpulkan, mengolah, maupun menginterpretasi data dalam suatu struktur
organisasi.
Disinilah letak peran vital para epidemiolog. Mereka dibekali dengan kemampuan
teknis dalam melakukan fungsi surveilans. Fungsi yang semakin lama semakin dibutuhkan
apalagi ketika kita menelitik fakta bahwa semakin banyaknya penyebaran penyakit di
Indonesia, baik penyakit menular maupun tidak menular. Surveilans bukan hanya sekedar
berfungsi untuk mengumpulkan data, namun fungsinya kian kompleks karena mereka juga
dituntut mampu menganalisis determinan munculnya suatu penyakit serta melakukan upaya
pencegahan dan promotif di bidang kesehatan khususnya epidemiologi.
Kegiatan surveilans dalam rangka mendukung penyediaan informasi epidemiologi
untuk pengambilan keputusan yang meliputi Sistem Surveilans Terpadu (SST), Surveilans
Sentinel Puskesmas, Surveilans Acute Flaccid Paralysis, Surveilans Tetanus Neonatorum,
Surveilans Campak, Surveilans Infeksi Nosokomial, Surveilans HIV/AID, Surveilans
Dampak Krisis, Surveilans Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit dan Bencana, Surveilans
8
Penyakit Tidak Menular serta Surveilans Kesehatan Lingkungan untuk mendukung
penyelenggaraan program pencegahan dan pemberantasan penyakit, Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penelitian. Pada Peraturan Pemerintah RI. No.25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah
otonom, BAB II Pasal 2 ayat 3.10.j menyatakan bahwa salah satu kewenangan Pemerintah di
Bidang Kesehatan adalah surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan
penanggulangan wabah penyakit menular dan kejadian luar biasa, sementara pada BAB II
Pasal 3 ayat 5.9.d menyatakan bahwa salah satu kewenangan Propinsi di Bidang Kesehatan
adalah surveilans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar
biasa.
Oleh karenanya, diharapkan pada setiap tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas,
rumah sakit, poliklinik, harusnya memiliki tenaga surveilans sebagai pendukung efektivitas
kinerja dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
9
- Menggalang dan meningkatkan kerjasama dan kemitraan unit surveilans dalam pertukaran
serta penyebaran informasi.
- Memperkuat sumber daya manusia di bidang epidemiologi untuk manajer dan fungsional
c. Tujuan
Tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan untuk
pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program
kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan
tepat secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota menuju Indoensia yang lebih sehat.
BAB II
LAPORAN KEGIATAN SURVEILANS DI PUSKESMAS TAMALATE
10
f. Menjadi Tenaga Surveilans : Mulai bulan januari 2015 – sekarang
b. Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan secara berkala dengan mempertimbangkan kejadian penyakit maupun
KLB.
c. Interpretasi data
Data penyakit dikumpulkan setiap hari kemudian dilakukan interpretasi terhadap temuan
data.
11
d. Analisis penyebab
Analisis penyebab dilakukan untuk mengetahui faktor risiko apa yang menyebabkan
banyaknya jumlah penyakit yang diderita masyarakat sekitar. Ia mengambil contoh seperti
diare, maka yang harus diperhatikan apakah lingkungan, kebiasaan masyarakat, serta ketaatan
dalam menjalankan anjuran petugas surveilans.
e. Pembuatan laporan harian, bulanan, dan tahunan
Pembuatan laporan dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan sehingga data yang
dihasilkan dapat terus diamati perkembangannya hingga 1 tahun lamanya.
f. Pengawasan masyarakat
Pengawasan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh petugas surveilans tidak dilakukan
secara ketat. Pengawasan hanya dilakukan dengan memperhatikan rumah-rumah masyarakat
apakah ada perubahan perilaku masyarakat atau tidak.
g. Pelaporan hasil temuan penyakit
Pelaporan terkait temuan penyakit sangatlah dibutuhkan sebagai langkah awal dalam
menentukan upaya yang akan ditempuh dalam menyelesaikan persoalan suatu penyakit di
daerah tertentu. Ia mengatakan laporan akhir akan diberikan kepada pihak Dinkes via sms
secara rutin.
G. Proses Surveilans
a. Surveilans Aktif
Kegiatan surveilans aktif yang dilakukan di puskesmas ini adalah dengan cara
mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan (posyandu) yang
disebar di RW, bisa juga dengan langsung ke rumah masyarakat.
b. Surveilans Pasif
Kegiatan surveilans pasif yang dilakukan di puskesmas ini adalah dengan caramengumpulkan
data dengan menerima data tersebut sumber buku diagnosa pengunjung puskesmas, dan
memperhatikan penyakit apa saja yang diderita masyarakat.
H. Dana Surveilans
Dana surveilans yang diberikan hanya dalam bentuk dana transportasi tanpa detail jumlah
yang jelas.
I. Evaluasi
Evaluasi kinerja petugas surveilans di puskesmas tersebut dilakukan dengan rapat mingguan,
bulanan, maupu tahunan, tanpa penentuan waktu terlebih dahulu.
J. Pelatihan
Pelatihan yang diberikan pada tenaga surveilans tergantung pada keputusan Dinas Kesehatan
Kota Makassar, maupun Dinas Kesehatan Provinsi Sul-sel, dan biasanya melihat dari
prevalensi dan insidensi kejadian penyakit. Jadi tidak dilakukan pelatihan secara rutin.
K. Kendala
a. Operasional : Kendaraan yang belum tersedia.
12
b. Efektivitas Kerja : Paradigma masyarakat yang masih sering acuh terhadap arahan yang
diberikan petugas surveilans.
L. Struktur Puskesmas
Program Surveilans
Surveilans Epidemiologi dan Kesehatan
II. Surat keterangan melapor kematian (SKMK) untuk jenazah yang sudah
dimakamkan :
13
1. Foto copy KTP dan KK yang meninggal
2. Foto copy KTP dan KK anggota keluarga yang mengurus SKMK
3. Surat pernyataan dari anggota keluarga yang menerangkan kalau meninggal disebabkan
oleh kematian wajar (sakit), ditanda tangani diatas materai 6.000 dan saksi dari pihak
keluarga 2 orang serta mengetahui RT dan RW
4. Surat Kuasa dan foto copy KTP (bila yang mengajukan permintaan bukan anggota
keluarga harus melampirkan surat kuasa diatas materai 6.000)
5. Asli surat pengantar dari RT dan RW
6. Asli surat keterangan dari tempat pemakaman umum (TPU) yang menerangkan kalau
jenazah benar telah dimakamkan di TPU tersebut + foto copy
7. Setelah lengkap buat foto copy 1 rangkap
8. Dilakukan Autopsi Verbal kematian pada keluarga terdekat.
14
o
o
1. Beranda
2. Info Dinkes
3. Detail Artikel
DETAIL ARTIKEL
30 Maret 2019
6.160
Artikel
15
penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan. Sistem surveilans epidemiologi
penyakit secara rutin dan terpadu tersebut kemudian disebut sebagai Surveilans Terpadu
Penyakit (STP).
Tujuan umum dari penyelenggaraaan Surveilans Terpadu Penyakit ini adalah untuk
memperoleh informasi epidemiologi penyakit tertentu dan terdistribusinya informasi
tersebut kepada program terkait, pusat kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans lain.
Sasaran STP meliputi beberapa penyakit menular dan penyakit tidak menular dengan
variabel menurut sumber data (puskesmas, puskesmas sentinel, rumah sakit, rumah sakit
sentinel, laboratorium, KLB penyakit dan keracunan), variabel data dan waktu (umur dan
jenis kelamin, rawat jalan-rawat inap-kematian, kunjungan kasus, total kunjungan,
kelengkapan dan ketepatan laporan). Sumber data puskesmas meliputi 25 penyakit menular,
sementara untuk puskesmas sentinel terdiri dari . Sumber data rumah sakit meliputi 25
penyakit menular dan 2 penyakit tidak menular. Sumber data rumah sakit meliputi 29
penyakit menular, sementara untuk rumah sakit sentinel meliputi 29 penyakit menular dan
16 penyakit tidak menular.
16
Arali2008. Opini dari Fakta Empiris
7. Persiapan Pelaksanaan Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES)
Polewali Mandar Sulawesi Barat. @arali2008.– Dari dasar Pedoman Umum dan Konsep
Dasar Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI yang akan mengadakan Riset Fasilitas Kesehatan dan selanjutnya disingkat
17
RIFASKES tahun 2011, dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia tak terkecuali Kabupaten
Polewali Mandar propinsi Sulawesi Barat.
Dan selanjutnya oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar menunjuk penulis
sebagai Penanggung Jawab Operasional (PJO) RIFASKES di kabaupaten Polewali Mandar.
Kegiatan pertama yang dilakukan adalah mengikuti pertemuan Koordinasi tingkat Propinsi
Sulawesi Barat yang menghadirkan semua PJO, 5 Kabupaten di Propinsi Sulawesi Barat
termasuk Penanggung Jawab Administrasi dan Logistik (PJAL), difasilitasi oleh Tim dari
Badan Litbangkes Depkes RI dengan tuang rumah Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat.
Hasil akhir dari pertemuan ini adalah Rencana Tindak Lanjut yang berisi tehnis operasional
pelaksanaan RIFASKES di masing-masing kabupaten.
1. Tim Enumerator Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) tahun 2011 yaitu sebanyak
2 (dua) enumerator per puskesmas akan melakukan pengumpulan data sesuai dengan
instrument pengumpulan data yang telah disediakan oleh Litbangkes Depkes RI.
2. Waktu yang dibutuhkan untuk pengumpulan data selama 3 (tiga) hari dan guna
memperlancar proses pengumpulan data, Puskesmas akan menampung inap tim
enumerator RIFASKES pada perumahan puskesmas.
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis Kemenkes
Tahun 2010 – 2014.
3. Pedoman Umum dan Konsep Dasar Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011 Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI
4. Rencana Kerja Tindak Lanjut Pertemuan Koordinasi Kegiatan Riset Fasilitas Kesehatan
(RIFASKES) tahun 2011 tingkat Propinsi Sulawesi Barat
5. Pelatihan Enumerator Puskesmas RIFASKES tahun 2011 Kabupaten Polewali Mandar.
6. Surat Izin/Tugas Dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar.
7. Jadwal Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) tahun 2011 untuk wilayah Puskesmas di
Kabupaten Polewali Mandar
8. dan beberaapa dasar lainnya yang mendukung pelaksanaan RIFASKES tahun 2011.
18
9. Apa itu RIFASKES tahun 2011 ?
Riset Fasilitas Kesehatan yang disingkat dengan RIFASKES tahun 2011 adalah
Pengukuran dan pengamatan data primer serta penelusuran data sekunder tentang kecukupan
(adekuasi) dan ketepatan (appropriateness) penyediaan fasilitas kesehatan dan kinerjanya,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun yang disediakan oleh swasta. Fasilitas
kesehatan merupakan fasilitas yang memberikan pelayanan kesehatan UKP maupun UKM,
Rawat jalan dan Rawat inap, melingkupi strata I, II, dan III. Untuk Kabupaten Polewali
Mandar hanya di lakukan pada 20 Puskesmas sekabupaten Polewali Mandar dan satu Rumah
Sakit itu Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali Mandar.
Pertanyaan yang akan dijawab dari Riset Fasilitas Kesehatan ini sebagaimana yang
dijelaskan oleh Tim Balitbang Depkes pada Pertemuan Koordinasi di tingkat Propinsi untuk
Kabupaten Polewali Mandar adalah
10. Tujuan
1. Dperolehnya informasi terkini tentang supply pelayanan kesehatan di fasilitas RSUD Polewali dan 20
Puskesmas di Polewali Manda
2. Memberikan pemetaan ketersediaan supply fasilitas pelayanan kesehatan di RSUD Polewali dan 20
Puskesmas di Polewali Mandar
3. Diperolehnya Indeks Kinerja RSUD Polewali dan 20 Puskesmas di Polewali Mandar
4. Diperolehnya gambaran mengenai patient safety dan responsifitas pelayanan di RSU Pemerintah yaitu
RSUD Polewali
5. Memungkinkan pemerintah daerah mengembangkan supply pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
6. Dapat digunakan dasar bagi perencanaan fasilitas pelayanan kesehatan pada tingkat administrasi
pemerintahan Kabupaten Polewali Mandar
7. Menghasilkan peta yang terintegrasi antara masalah kesehatan dan penyediaan pelayanan kesehatan
berdasarkan berbagai riset/informasi yang relevan (riskesdas, Rifaskes, Podes, Susenas dll)
8. Mendorong kegiatan riset follow up yang lebih tajam dan terarah
19
7. Waktu Pengumpulan Data : 3 Hari Kerja Per Puskesmas selama bulan Agustus 2011 ditunda
bulan September
Tim I
Tim II
Tim III
Tim IV
Blogger @arali2008
Opini dari Fakta Empiris Seputar Masalah Epidemiologi Gizi dan Kesehatan
di Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat Indonesia
Perhatian ! Pertama: Komentar spam akan dihapus, Kedua : ditulis untuk saling berbagi
Print
Terkait
20
dalam "Sarana Kesehatan"
Berikan Komentar
21
Gigi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Peratuan Perawat Nasional Indonesia, Asosiasi
Rumah Sakit Daerah, Persatuan Rumah Sakit Indonesia, Asosiasi Rumah Sakit Vertikal
Indonesia, Persatuan Rekam Medik Indonesia, PATELKI, ILKI, PORMIKI dan sebagainya.
Para pakar yang pernah turut menyampaikan buah pikirnya antara lain dari Universitas
Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro,
Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin.
Hasil dari serangkaian diskusi bersama pakar/akademisi, praktisi, organisasi profesi, unit
utama Kementerian Kesehatan telah menghasilkan satu set indikator kinerja untuk rumah
sakit dan puskesmas. Telah pula diidentifikasikan didata indikator yang akan masuk ke
dalam perhitungan Indeks Kinerja Rumah Sakit (IKRS) dan Puskesmas (IKPuskesmas).
Indeks fasilitas pelayanan kesehatan tersebut apabila disandingkan dengan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang menjadi produk Riskesdas akan dapat
dikembangkan menjadi suatu indeks kesehatan yang lebih komprehensif dalam
menggambarkan status kesehatan suatu wilayah.
Latar Belakang
Dasar Hukum
22
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
3. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
4. UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
5. Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010 –2014
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128 Tahun 2004 tentang Kebijakan
Dasar Puskesmas
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 374 Tahun 2009 tentang Sistem
Kesehatan Nasional
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144 Tahun 2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021 Tahun 2011 tentang Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2010 –2014.
Batasan
Ruang Lingkup
Manfaat
23
4. MemungkinkanPemerintahPusat/propinsimengembangkan kebijakan dan
memberikan alokasiperankepadadaerahberdasarevidenssecaraoptimal.
5. Memungkinkan pemerintah daerah mengembangkan supplypelayanan
kesehatan yang dibutuhkantermasuk dalam keadaan darurat.
6. Dapat digunakan dasar bagi perencanaan fasilitas pelayanan kesehatan di
berbagai tingkat administrasi pemerintahan.
7. Melengkapi peta permasalahan yang terintegrasi antara masalah kesehatan
dan penyediaan pelayanan kesehatan berdasarkan berbagai riset/informasi yang
relevan (Riskesdas, Rifaskes, Podes, Susenas dll)
8. Mendorong kegiatan riset follow up yang lebih tajam dan terarah
Tujuan
Metode Penelitian
24
›
Beranda
Lihat versi web
Diberdayakan oleh Blogger.
PROFIL SP3
PUSKESMAS TAMBUN
Lihat profil lengkapku
25