Anda di halaman 1dari 25

Bab 5

SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT


DEFINISI
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus-
menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008).
Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan
memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya
surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan
langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Kadang digunakan istilah
surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi
hakikatnya sama saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah
untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal sebagai sains
inti kesehatan masyarakat (core science of public health).
Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan mengelola dengan
efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi pengambil
keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu
populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak
penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari
surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk
memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2, 2008). Gambar 5.1 menyajikan
skema sistem surveilans.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan


(Puskesmas, RS, Dokter praktik), Kabupaten/ Kota, Provinsi,
Komunitas Pusat
Peristiwa penyakit, Pelaporan
kesehatan populasi Data

Perubahan Analisis &


yang diharapkan Interpretasi
Keputusan
Intervensi Informasi
(Umpan Balik)

Gambar 5.1 Sistem surveilans

Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara


terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.
Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan
kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,
sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.

TUJUAN SURVEILANS
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,
sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan

1
kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans: (1) Memonitor kecenderungan (trends)
penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak;
(3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada
populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program
kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
Gambar 5.2 menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk mendeteksi outbreak disentri.
Grafik yang menghubungkan periode waktu pada sumbu X dengan insidensi kasus penyakit pada
sumbu Y dapat digunakan untuk memonitor dan mendeteksi outbreak. Kecurigaan outbreak terjadi
pada kuartal ke 4 tahun 2008, ketika insidensi mencapai 3 kali rata-rata per kuartal.

Tujuan: Mendeteksi outbreak disentri dengan memonitor


insidensi Kasus diare berdarah akut di sebuah kabupaten
pedalaman perkuartal, 2006- 2009

Kasus

2006 2007 2008 2009


Gambar5.2 Penggunaan surveilans untuk mendeteksi
outbreak

Surveilans dapat juga digunakan untuk memantau efektivitas program kesehatan. Gambar
5.3. menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk memonitor performa dan efektivitas program
pengendalian TB. Perhatikan, dengan statistik deskriptif sederhana surveilans mampu memberikan
informasi tentang kinerja program TB yang meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus TB
yang dideteksi, ketuntasan pengobatan kasus, maupun kesembuhan kasus. Perhatikan pula peran
penting data time-series dalam analisis data surveilans yang dikumpulkan dari waktu ke waktu
dengan interval sama.

2
Tujuan: Memonitor kemampuan program TB dalam
emastikan
m
kerampungan pengobatan (completion) dan kesembuhan (cure)
kasus TB tahun 200
6-2009

Kasus
Selesai
Sembuh

2006 2007 2008 2009


Gambar5.3 Penggunaan surveilans untuk memon
itor
kinerja program

JENIS SURVEILANS
Dikenal beberapa jenis surveilans: (1) Surveilans individu; (2) Surveilans penyakit; (3) Surveilans
sindromik; (4) Surveilans Berbasis Laboratorium; (5) Surveilans terpadu; (6) Surveilans kesehatan
masyarakat global.

1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang
mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning,
sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak,
sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah
terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah
mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal
dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi kebebasan
gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak
dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara
selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh,
anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa
diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di
pospos lainnya tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis,
etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah
pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).

2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi
dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi
terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program
vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak

3
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program
surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya,
menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya
masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.

3. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik
mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati
sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit,
seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari
aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans
sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses)
berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang
berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk
atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan
menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans
tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung,
dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen
untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas
kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel.
Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor
masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade,
2010).

4. Surveilans Berbasis Laboratorium


Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi.
Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan
sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi
outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan
sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

5. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di
suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan
fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun
pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus
penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai pelayanan
bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan
pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni,
pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni,
pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5)
Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan

4
terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans
yang berbeda (WHO, 2002).

6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global


Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta
organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah
yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut.
Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu
di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi
internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas
negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama
yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul
(newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan
dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

MANAJEMEN SURVEILANS
Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi pendukung. Fungsi inti
(core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi kesehatan
masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data,
konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan
masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana
(management type response). Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi,
penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi
(WHO, 2001; McNabb et al., 2002).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu sifat dari
masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai
contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer
program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan
suatu sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan
laboratorium.
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok,
berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor
perubahanperubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem surveilans
yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan
informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa
diperoleh dari survei rumah tangga.

PENDEKATAN SURVEILANS
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans aktif
(Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit
yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota
WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan
surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans
pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan
cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu
petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas

5
kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat
sederhana dan ringkas.
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke
lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan
rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan
kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh
petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans
aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit
untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance.
Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader
kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang
sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable
cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih
menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium. Community
surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).

SURVEILANS EFEKTIF
Karakteristik surveilans yang efektif: cepat, akurat, reliabel, representatif, sederhana, fleksibel,
akseptabel, digunakan (Wuhib et al., 2002; McNabb et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU, 2006).

Kecepatan. Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely) memungkinkan
tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan jika
diperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam.
Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara: (1) Melakukan analisis
sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi “lag” (beda waktu) yang terlalu
panjang antara laporan dan tanggapan; (2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit
tertentu (notifiable diseases); (3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;
(4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil surveilans; (5)
Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan segera.

Akurasi. Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi hasil negatif
palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada
umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm” (peringatan palsu).
Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk
mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak.
Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor: (1) kemampuan petugas; (2) infrastruktur
laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi
perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip
epidemiologi, sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan
peralatan laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi
kasus.

Standar, seragam, reliabel, kontinu. Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar
penting dalam sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten.
Sistem surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya
intermiten atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan.

6
Pelaporan rutin data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu
sekali.

Representatif dan lengkap. Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya
terjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap.
Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika penggunaan
kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas surveilans terbagi
antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan kesehatan lainnya.

Sederhana, fleksibel, dan akseptabel. Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis,
baik dalam organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan terfokus.
Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans yang buruk
biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak
berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat diterima oleh
petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya.
Untuk memelihara komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada
setiap level operasi.

Penggunaan (uptake). Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans
digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku surveilans pada
berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di banyak negara
berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun
network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan.

REFERENSI
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease Control Priority
Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf
Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for quarantine. Am
J Public Health;97:S44-48.
Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.
Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.
Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote. www.enotes.com/public-health.../
epidemiologic-surveillance. Diakses 21 Agustus 2010.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The Johns Hopkins
and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin JA, Gesteland PH,
Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller RD, Grannis S (2004). Implementing
syndromic surveillance: A practical guide informed by the early experience. J Am Med Inform
Assoc., 11:141–150.
McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-Kulis V, Rodier G (2002).
Conceptual framework of public health surveillance and action and its application in health
sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. Com
Pavlin JA (2003). Investigation of disease outbreaks detected by “syndromic” surveillance systems.
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl 1):
i107i114(1).

7
Sloan PD, MacFarqubar JK, Sickbert-Bennett E, Mitchell CM, Akers R, Weber DJ, Howard K (2006).
Syndromic surveillance for emerging infections in office practice using billing data. Ann Fam
Med 2006;4:351-358.
WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly epidemiological
record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer
_____ (2002). Surveillance: slides. http://www.who.int
Wuhib T, Chorba TL, Davidiants V, MacKenzie WR, McNabb SJN (2002). Assessment of the infectious
diseases surveillance system of the Republic of Armenia: an example of surveillance in The
Republics of the former Soviet Union. BMC Public Health, 2:3 http://www.biomedcentral.com.

Contoh Laporan Tentang Kegiatan Surveilans di


Puskesmas

BAB I
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

A.    Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat urgent dalam membentuk negara yang hebat.
Tak dapat dipungkiri bahwa, terciptanya generasi bangsa yang sehat akan mendorong potensi
yang lebih besar untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkompeten dan
berkualitas. Dengan keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, maka secara
otomatis pembangunan nasional dari segi kesehatan akan terus mengalami peningkatan.
Peran tenaga kesehatan sebagai komponen penentu pelaksanaan program haruslah
memiliki kemampuan dalam melakukan perencanaan dan manajemen dalam suatu tempat
pelayanan kesehatan. Yang harus disadari adalah dalam manajemen kesehatan diperlukan
adanya subjek kesehatan yang mampu menjalankan fungsi sebagai tenaga kesehatan yang
mampu mengumpulkan, mengolah, maupun menginterpretasi data dalam suatu struktur
organisasi.
Disinilah letak peran vital para epidemiolog. Mereka dibekali dengan kemampuan
teknis dalam melakukan fungsi surveilans. Fungsi yang semakin lama semakin dibutuhkan
apalagi ketika kita menelitik fakta bahwa semakin banyaknya penyebaran penyakit di
Indonesia, baik penyakit menular maupun tidak menular. Surveilans bukan hanya sekedar
berfungsi untuk mengumpulkan data, namun fungsinya kian kompleks karena mereka juga
dituntut mampu menganalisis determinan munculnya suatu penyakit serta melakukan upaya
pencegahan dan promotif di bidang kesehatan khususnya epidemiologi.
Kegiatan surveilans dalam rangka mendukung penyediaan informasi epidemiologi
untuk pengambilan keputusan yang meliputi Sistem Surveilans Terpadu (SST), Surveilans
Sentinel Puskesmas, Surveilans Acute Flaccid Paralysis, Surveilans Tetanus Neonatorum,
Surveilans Campak, Surveilans Infeksi Nosokomial, Surveilans HIV/AID, Surveilans
Dampak Krisis, Surveilans Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit dan Bencana, Surveilans

8
Penyakit Tidak Menular serta Surveilans Kesehatan Lingkungan untuk mendukung
penyelenggaraan program pencegahan dan pemberantasan penyakit, Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penelitian. Pada Peraturan Pemerintah RI. No.25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah
otonom, BAB II Pasal 2 ayat 3.10.j menyatakan bahwa salah satu kewenangan Pemerintah di
Bidang Kesehatan adalah surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan
penanggulangan wabah penyakit menular dan kejadian luar biasa, sementara pada BAB II
Pasal 3 ayat 5.9.d menyatakan bahwa salah satu kewenangan Propinsi di Bidang Kesehatan
adalah surveilans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar
biasa.
Oleh karenanya, diharapkan pada setiap tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas,
rumah sakit, poliklinik, harusnya memiliki tenaga surveilans sebagai pendukung efektivitas
kinerja dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

B.     Pengertian Surveilans Epidemiologi


Surveilans pada awalnya hanya dipahami sebatas proses pengumpulan dan pengolahan
data. Namun semakin berkembangnya dunia kesehatan, mendorong perluasan makna
sekaligus peran dan fungsi para tenaga surveilans. Tuntutan bahwa perlunya ada proses
analisis data dan pengamatan terhadap faktor determinan penyakit justru membuat tenaga
surveilans semakin memiliki posisi yang penting dalam pelayanan kesehatan. Sistem
surveilans dalam epidemiologi harus mampu melakukan kajian kritis terhadap insidensi dan
prevalensi penyakit sehingga mampu memberikan saran terkait upaya yang harus dilakukan
dalam menanggulangi penyakit tertentu.
Secara garis besar, surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis
dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien
melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi
kepada penyelenggara program kesehatan.
Kegiatan surveilans dilakukan secara terpadu dan terstruktur dalam sebuah tempat
pelayanan kesehatan. Tak jarang sangat mudah menemui kegiatan surveilans, yang biasanya
terdapat pada laboratorium, tempat diagnosa penyakit, ataupun di tempat-tempat penting
lainnya. Maka sudah sepatutnya tenaga surveilans harus ditempatkan pada sektor-sektor
penting di tempat pelayanan kesehatan.

C.    Visi, Misi, dan Tujuan Surveilans Epidemiologi


a.       Visi
Manajemen kesehatan berbasis fakta yang cepat, tepat, dan akurat.
b.      Misi
-          Memperkuat sistem surveilans disetiap unit pelaksana program kesehatan.
-          Meningkatkan kemampuan analisis dan rekomendasi epidemiologi yang berkualitas dan
bermanfaat.

9
-          Menggalang dan meningkatkan kerjasama dan kemitraan unit surveilans dalam pertukaran
serta penyebaran informasi.
-          Memperkuat sumber daya manusia di bidang epidemiologi untuk manajer dan fungsional
c.       Tujuan
Tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan untuk
pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program
kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan
tepat secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota menuju Indoensia yang lebih sehat.

BAB II
LAPORAN KEGIATAN SURVEILANS DI PUSKESMAS TAMALATE

A.    Profil Petugas Surveilans


a.       Nama                                        : Andi Asriani H, SKM
b.      Alamat                                      : Hertasning
c.       No. Hp                                     : 085299118588
d.      Basic Keilmuan                        : Epidemiologi Unhas
e.       Masuk Kerja di Puskesmas      : 2010

10
f.       Menjadi Tenaga Surveilans      : Mulai bulan januari 2015 – sekarang

B.     Jumlah Petugas Surveilans


Jumlah petugas survelans di puskesmas tamalate berjumlah 1 orang. Dalam menjalankan
fungsingya petugas surveilans dibantu oleh tenaga kesling, promkes, gizi, kesehatan kerja
yang masing-masing berjumlah 1 orang. Ia mengatakan idealnya harus ada 2-3 orang petugas
surveilans.
Jumlah petugas surveilans yang turun dalam mengumpulkan data biasanya tergantung dari
tingkat temuan penyakit. Misalnya kasus diare maka yang turun ke lapangan biasanya 2-3
orang, sedangkan misalnya pada kasus campak biasanya yang turun cukup 1 orang.

C.    Sasaran Daerah Petugas Surveilans


Petugas surveilans di puskesmas tamalate mencakup 2 kelurahan yaitu Parangtambung dan
Balang Baru yang terdiri dari 22 RW dengan 13 RW di parangtambung dan 9 RW di Balang
Baru.

D.    Tugas dan Peran Petugas Surveilans


Petugas surveilans puskesmas tersebut mengutarakan bahwa tugas utama mereka adalah
mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data penyakit yang terjadi di 2 kelurahan yaitu
Parangtambung dan Balang Baru kemudian menganalisis faktor penyebab penyakit tersebut.

E.     Siklus Pelaporan Surveilans


Siklus Pelaporan Surveilans yaitu mereka mengumpulkan data melalui buku diagnosa
pengunjung yang datang ke puskesmas untuk berobat, kemudian dicatat di laporan harian,
terus data tersebut dianalisa kenapa penyakit tersebut dapat terjadi. Apabila penyakitnya
tergolong berbahaya, maka akan diberikan rujukan ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih
tinggi. Ia menyatakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu lingkungan dan pola
hidupnya. Setelah itu petugas surveilans melaporkan hasil analisis data penyakit ke Dinkes
melalui sms.

F.     Kegiatan Petugas Surveilans


Ada beberapa kegiatan yang dilakukan petugas surveilans yakni :
a.       Pengumpulan data
Dilakukan dengan turun langsung ke rumah warga dan dengan melihat buku diagnosa dari
pengunjung puskesmas setiap harinya.

b.      Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan secara berkala dengan mempertimbangkan kejadian penyakit maupun
KLB.
c.       Interpretasi data
Data penyakit dikumpulkan setiap hari kemudian dilakukan interpretasi terhadap temuan
data.

11
d.      Analisis penyebab
Analisis penyebab dilakukan untuk mengetahui faktor risiko apa yang menyebabkan
banyaknya jumlah penyakit yang diderita masyarakat sekitar. Ia mengambil contoh seperti
diare, maka yang harus diperhatikan apakah lingkungan, kebiasaan masyarakat, serta ketaatan
dalam menjalankan anjuran petugas surveilans.
e.       Pembuatan laporan harian, bulanan, dan tahunan
Pembuatan laporan dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan sehingga data yang
dihasilkan dapat terus diamati perkembangannya hingga 1 tahun lamanya.
f.       Pengawasan masyarakat
Pengawasan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh petugas surveilans tidak dilakukan
secara ketat. Pengawasan hanya dilakukan dengan memperhatikan rumah-rumah masyarakat
apakah ada perubahan perilaku masyarakat atau tidak.
g.      Pelaporan hasil temuan penyakit
Pelaporan terkait temuan penyakit sangatlah dibutuhkan sebagai langkah awal dalam
menentukan upaya yang akan ditempuh dalam menyelesaikan persoalan suatu penyakit di
daerah tertentu. Ia mengatakan laporan akhir akan diberikan kepada pihak Dinkes via sms
secara rutin.

G.    Proses Surveilans
a.       Surveilans Aktif
Kegiatan surveilans aktif yang dilakukan di puskesmas ini adalah dengan cara
mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan (posyandu) yang
disebar di RW, bisa juga dengan langsung ke rumah masyarakat.
b.      Surveilans Pasif
Kegiatan surveilans pasif yang dilakukan di puskesmas ini adalah dengan caramengumpulkan
data dengan menerima data tersebut sumber buku diagnosa pengunjung puskesmas, dan
memperhatikan penyakit apa saja yang diderita masyarakat.

H.    Dana Surveilans
Dana surveilans yang diberikan hanya dalam bentuk dana transportasi tanpa detail jumlah
yang jelas.

I.       Evaluasi
Evaluasi kinerja petugas surveilans di puskesmas tersebut dilakukan dengan rapat mingguan,
bulanan, maupu tahunan, tanpa penentuan waktu terlebih dahulu.

J.      Pelatihan
Pelatihan yang diberikan pada tenaga surveilans tergantung pada keputusan Dinas Kesehatan
Kota Makassar, maupun Dinas Kesehatan Provinsi Sul-sel, dan biasanya melihat dari
prevalensi dan insidensi kejadian penyakit. Jadi tidak dilakukan pelatihan secara rutin.

K.    Kendala
a.       Operasional                  : Kendaraan yang belum tersedia.

12
b.      Efektivitas Kerja          : Paradigma masyarakat yang masih sering acuh terhadap arahan yang
diberikan petugas surveilans.

L.     Struktur Puskesmas

Program Surveilans

Surveilans Epidemiologi dan Kesehatan

Menurut WHO (2004), surveilans merupakan proses pengumpulan, pengolahan,


analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran
informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu kegiatan
pengamatan penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap
kejadian dan distribusi penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhi nya pada
masyarakat sehingga dapat dilakukan penanggulangan untuk dapat mengambil
tindakan efektif.
Adapun kegiatan surveilans di Puskesmas Kecamatan Kramat Jati :

1. Pelacakan kasus penyakit potensial KLB


2. Pengambilan dan pengiriman sampel spesimen penyakit potensial KLB
3. Entry laporan W2 + SKDR Mingguan Puskesmas kecamatan ke Puskesmas kelurahan
4. Entry data C1 Campak
5. Entry data kematian by name
6. Verifikasi dan membuat SKMK/SKPK
7. Autopsi verbal kematian
8. Monev Petugas Surveilans & Kematian
9. Sosialisasi SKPK/SKMK
10. Sosialisasi dan advokasi lintor dalam pembentukan tim surveilans tk RW
11. Pembentukan tim surveilans TK RW

KELENGKAPAN DOKUMEN YANG DIERLUKAN UNTUK :


I. Surat keterangan penyebab kematian  (SKPK), bagi jenazah yang masih ada atau
belum dikubur :

1. KTP & KK yang meninggal


2. Surat pengantar dari RT/RW
3. Surat pernyataan dari anggota yang meninggal disebabkan kematian.

II. Surat keterangan melapor kematian (SKMK) untuk jenazah yang sudah
dimakamkan :

13
1. Foto copy KTP dan KK yang meninggal
2. Foto copy KTP dan KK anggota keluarga yang mengurus SKMK
3. Surat pernyataan dari anggota keluarga yang menerangkan kalau meninggal disebabkan
oleh kematian wajar (sakit), ditanda tangani diatas materai 6.000 dan saksi dari pihak
keluarga 2 orang serta mengetahui RT dan RW
4. Surat Kuasa dan foto copy KTP (bila yang mengajukan permintaan bukan anggota
keluarga harus melampirkan surat kuasa diatas materai 6.000)
5. Asli surat pengantar dari RT dan RW
6. Asli surat keterangan dari tempat pemakaman umum (TPU) yang menerangkan kalau
jenazah benar telah dimakamkan di TPU tersebut + foto copy
7. Setelah lengkap buat foto copy 1 rangkap
8. Dilakukan Autopsi Verbal kematian pada keluarga terdekat.

III. Rekomendasi Angkut Jenazah :

1. Surat pengantar dari RT


2. Form model dari Puskesmas (SKPK) atau Rumah Sakit (SMPK)
3. Foto copy KTP/KK almarhum
4. Foto copy KTP pemohon

IV. Rekomendasi Tahan Jenazah :

1. Surat Pengantar dari RT


2. Form Model A dari Puskesmas atau Rumah Sakit
3. Foto copy KTP/KK Almarhum
4. Foto copy KTP pemohon
5. Foto copy surat keterangan pegawetan jenazah (Sertifikat Of Embalming)




14

o

o




1. Beranda

2. Info Dinkes

3. Detail Artikel

DETAIL ARTIKEL

 30 Maret 2019

 6.160

 Artikel

Penyelenggaraan Surveilans Terpadu Penyakit


(STP)
Dalam rangka penyelenggaraan upaya pemberantasan dan penanggulangan penyakit
menular dan penyakit tidak menular diperlukan dukungan data-data dan informasi melalui
suatu sistem surveilans epidemiologi penyakit secara rutin dan terpadu sebagai bagian dari

15
penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan.  Sistem surveilans epidemiologi
penyakit secara rutin dan terpadu tersebut kemudian disebut sebagai Surveilans Terpadu
Penyakit (STP).

Tujuan umum dari penyelenggaraaan Surveilans Terpadu Penyakit ini adalah untuk
memperoleh informasi epidemiologi penyakit tertentu dan terdistribusinya informasi
tersebut kepada program terkait, pusat kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans lain.
Sasaran STP meliputi beberapa penyakit menular dan penyakit tidak menular dengan
variabel menurut sumber data (puskesmas, puskesmas sentinel, rumah sakit, rumah sakit
sentinel, laboratorium, KLB penyakit dan keracunan), variabel data dan waktu (umur dan
jenis kelamin, rawat jalan-rawat inap-kematian, kunjungan kasus, total kunjungan,
kelengkapan dan ketepatan laporan). Sumber data puskesmas meliputi 25 penyakit menular,
sementara untuk puskesmas sentinel terdiri dari . Sumber data rumah sakit meliputi 25
penyakit menular dan 2 penyakit tidak menular. Sumber data rumah sakit meliputi 29
penyakit menular, sementara untuk rumah sakit sentinel meliputi 29 penyakit menular dan
16 penyakit tidak menular.

Indikator kinerja penyelenggaraan Surveilans Terpadu Penyakit sebagai berikut :

1.       Kelengkapan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas Kesehatan


Kabupaten Kota sebesar 90%
2.       Ketepatan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas Kesehatan Kabupaten
Kota sebesar 80%
3.       Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten Kota ke Dinas
Kesehatan Provinsi sebesar 100%
4.       Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten Kota ke Dinas
Kesehatan Provinsi sebesar 90%
5.       Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Provinsi ke Ditjen P2P
sebesar 100%
6.       Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Provinsi ke Ditjen P2P
sebesar 90%
 

16
Arali2008. Opini dari Fakta Empiris
7. Persiapan Pelaksanaan Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES)

 Arsad Rahim Ali


10 tahun yang lalu

Wilayah Operasional Kerja RIFASKES Polewali Mandar

Polewali Mandar Sulawesi Barat. @arali2008.– Dari dasar Pedoman Umum dan Konsep
Dasar Riset Fasilitas Kesehatan  tahun 2011 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Depkes RI  yang akan mengadakan Riset Fasilitas Kesehatan dan selanjutnya disingkat

17
RIFASKES tahun 2011,  dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia tak terkecuali Kabupaten
Polewali Mandar propinsi Sulawesi Barat.

Dan selanjutnya oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar menunjuk penulis
sebagai Penanggung Jawab Operasional (PJO) RIFASKES di kabaupaten Polewali Mandar.
Kegiatan pertama yang dilakukan adalah mengikuti pertemuan Koordinasi tingkat Propinsi
Sulawesi Barat yang menghadirkan semua PJO, 5 Kabupaten di Propinsi Sulawesi Barat
termasuk Penanggung Jawab Administrasi dan Logistik (PJAL), difasilitasi oleh Tim dari
Badan Litbangkes Depkes RI dengan tuang rumah Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat.
Hasil akhir dari pertemuan ini adalah Rencana Tindak Lanjut yang berisi tehnis operasional
pelaksanaan RIFASKES di masing-masing kabupaten.

Pasca pertemuan koordinasi, penulis sebagai penanggung jawab operasional kemudian


melakukan rekruitmen enumerator sebanyak 8 enumerator yang di bagi dalam 4 tim.  Bahwa
Tim Enumerator  Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) tahun 2011 untuk wilayah
Puskesmas di Kabupaten Polewali Mandar akan melakukan Riset Fasilitas Kesehatan
dibulan Agustus —ditunda pada bulan September ——-tahun 2011 dan semua Puskesmas di
Kabupaten Polewali Mandar sebagai populasi (sampel study), Ringkasnya :

1. Tim Enumerator  Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) tahun 2011  yaitu sebanyak
2 (dua) enumerator per puskesmas akan melakukan pengumpulan data sesuai dengan
instrument pengumpulan data yang telah disediakan oleh Litbangkes Depkes RI.

2. Waktu yang dibutuhkan untuk pengumpulan data selama 3 (tiga) hari dan guna
memperlancar proses pengumpulan data,  Puskesmas akan  menampung inap tim
enumerator RIFASKES pada perumahan puskesmas.

3. Pengumpulan data akan dilakukan melalui wawancara, observasi dan pemeriksaan


dokumen Puskesmas satu tahun terakhir (tahun 2010).

4. Seluruh biaya  yang berhubungan langsung dengan RIFASKES tahun akan


ditanggung oleh Badan Litbangkes Depkes RI.

8. Dasar yang digunakan

1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan
2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis Kemenkes
Tahun 2010 – 2014.
3. Pedoman Umum dan Konsep Dasar Riset Fasilitas Kesehatan  tahun 2011 Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI
4. Rencana Kerja Tindak Lanjut Pertemuan Koordinasi Kegiatan Riset Fasilitas Kesehatan
(RIFASKES) tahun 2011 tingkat Propinsi Sulawesi Barat
5. Pelatihan Enumerator Puskesmas RIFASKES tahun 2011 Kabupaten Polewali Mandar.
6. Surat Izin/Tugas Dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar.
7. Jadwal Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) tahun 2011 untuk wilayah Puskesmas di
Kabupaten Polewali Mandar
8. dan beberaapa dasar lainnya yang mendukung pelaksanaan RIFASKES tahun 2011.

18
9. Apa itu RIFASKES tahun 2011 ?
Riset Fasilitas Kesehatan   yang disingkat dengan RIFASKES  tahun 2011  adalah
Pengukuran dan pengamatan data primer serta penelusuran data sekunder tentang kecukupan
(adekuasi) dan ketepatan (appropriateness) penyediaan fasilitas kesehatan dan kinerjanya, 
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun yang disediakan oleh swasta.  Fasilitas
kesehatan merupakan fasilitas yang  memberikan pelayanan kesehatan UKP maupun UKM,
Rawat jalan dan Rawat inap, melingkupi strata I, II, dan III. Untuk Kabupaten Polewali
Mandar hanya di lakukan pada 20 Puskesmas  sekabupaten Polewali Mandar dan satu Rumah
Sakit itu Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali Mandar.

Pertanyaan yang akan dijawab dari Riset Fasilitas Kesehatan ini  sebagaimana yang
dijelaskan oleh Tim Balitbang Depkes pada Pertemuan Koordinasi di tingkat Propinsi untuk
Kabupaten Polewali Mandar adalah

1. Bagaimana  informasi terkini tentang supply pelayanan kesehatan, yaitu fasilitas


RSUD Polewali dan 20 Puskesmas di Polewali Mandar, termasuk SDM, Alat Kesehatan
penting dan canggih dan penyediaan pelayanannya pada pada tingkat wilayah (Kecamatan
dan Kabupaten) dan hubungannya dengan tingkat Propinsi dan Pusat

2. Bagaimana distribusi  supply pelayanan kesehatan dan kinerja sistem pelayanan


kesehatan dan variasinya di antar wilayah kecamatan di Polewali Mandar

10. Tujuan

1. Dperolehnya informasi terkini tentang supply pelayanan kesehatan di fasilitas RSUD Polewali dan 20
Puskesmas di Polewali Manda
2. Memberikan pemetaan ketersediaan supply fasilitas pelayanan kesehatan di RSUD Polewali dan 20
Puskesmas di Polewali Mandar
3. Diperolehnya Indeks Kinerja RSUD Polewali dan 20 Puskesmas di Polewali Mandar
4. Diperolehnya gambaran mengenai patient safety dan responsifitas pelayanan di RSU Pemerintah yaitu
RSUD Polewali
5. Memungkinkan pemerintah daerah mengembangkan supply pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
6. Dapat digunakan dasar bagi perencanaan fasilitas pelayanan kesehatan pada tingkat administrasi
pemerintahan Kabupaten Polewali Mandar
7. Menghasilkan peta yang terintegrasi antara masalah kesehatan dan penyediaan pelayanan kesehatan
berdasarkan berbagai riset/informasi yang relevan (riskesdas, Rifaskes, Podes, Susenas dll)
8. Mendorong kegiatan riset follow up yang lebih tajam dan terarah

11. Metode Riset

1. Rancangan Studi : Studi potong lintang (cross sectional).


2. Populasi /SampelStudi  : 20  puskesmas di Kabupaten Polewali Mandar
3. Kriteria Subjek : Fasilitas kesehatan sudah beroperasi minimal 1 (satu) tahun. Terdaftar
dalam data Kementerian Kesehatan tahun 2010.
4. Jenis Data yang dikumpulkan : Sumber Daya Manusia, Sarana dan peralatan
kesehatan/medik, Obat-obatan, Organisasi dan manajemen essensial, Pelayanan Kesehatan yang
berjalan (SPM), Output esensial dan pelayanan kesehatan ser Indikator Mutu lainnya
5. Cara Pengumpulan Data : Wawancara, Observasi dan Pemeriksaan dokumen
6. Instrumen Pengumpulan Data : Kuesioner Puskesmas yang telah disediakan oleh Litbangkes
Depkes RI.

19
7. Waktu Pengumpulan Data : 3 Hari Kerja Per Puskesmas selama bulan Agustus 2011 ditunda
bulan September

12. Tim RIFASKES Kabupaten Polewali Mandar

1. Dr. H. Ayub Ali, MM   : Koordinator RIFASKES Kabupaten Polewali Mandar


2. Arsad Rahim Ali, SKM  : Penanggung Jawab Operasional (PJO)
3. Sahar  : Penanggung Jawab Administrasi dan Logistik (PJAL)
4. Anggota (Enumerator) dan Lokasi pengumpulan Data :

 Tim I

1. Istiqfar.A.Md.Kep (Ketua merangkap Anggota)


2. Nirwana, AMK (anggota)
3. Puskesmas Binuang, Anreapi, Pelitakan, Pambusuang dan Tutallu

 Tim II

1. Mansur, SKM (Ketua merangkap Anggota)


2. Amalia Ahmadi, SKM (anggota)
3. Puskesmas Polewali, Matakali, Mapilli, Bulo dan Matanga

 Tim III

1. Ahmad, A.Md.Kep (Ketua merangkap Anggota)


2. Arfah, AMK (anggota)
3. Puskesmas Massenga, Wonomulyo, Campalagian, Tinambung dan Limboro

 Tim IV

1. Agus Salim, A.Md.Kep (Ketua merangkap anggota)


2. A. Kusuma Wardani, SKM (anggota)
3. Puskesmas Pekkabata, Kebunsari, Katumbangan, Batupanga dan Tutar.

5. Keterangan lainya : guna memperlancar proses pengumpulan data,  Puskesmas akan


menampung inap tin enumerator RIFASKES pada perumahan puskesmas.

Demikian beberapa persiapan RIFASKES tahun 2011 di Kabupaten Polewali Mandar,


semoga lancar dan selesai tepatnya pada waktunya.

Blogger @arali2008
Opini dari Fakta Empiris Seputar Masalah Epidemiologi Gizi dan Kesehatan
di Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat Indonesia
Perhatian ! Pertama: Komentar spam akan dihapus, Kedua : ditulis untuk saling berbagi
Print
Terkait

 Membaca Undang-Undang RI No. 36 th 2009 tentang Kesehatan

 Januari 19, 2010

20
 dalam "Sarana Kesehatan"

 Perencanaan Kegiatan Program BOK Tahun 2014

 Oktober 26, 2013

 dalam "Anggaran Kesehatan"

 Pemeriksaan Kesehatan Calon Haji Langgar Aturan Menkes.

 Oktober 29, 2009

 dalam "Status Pelayanan Kesehatan"

Kategori: Tidak Dikategorikan


Tag: Kegiatan Kesehatan, Sarana Kesehatan

Berikan Komentar

Arali2008. Opini dari Fakta Empiris


Kembali ke atas

13. PUSKESMAS TAMBUN


Puskesmas Lintas Batas dengan Pelayanan Profesional dan Prima untuk Semua
Senin, 08 Agustus 2011

SUKSESKAN RIFASKES 2011

Riset Fasilitas Kesehatan merupakan salah satu penelitian


yang dikembangkan atas dasar prinsip Client Oriented Research Activity (CORA), sehingga
pada tahap persiapan dilakukan identifikasi dari kebutuhan mitra terkait yang terdiri dari unit
utama Kementerian Kesehatan, Organisasi profesi, organisasi terkait, dan pakar dibidang
pelayanan kesehatan.Wakil-wakil dari Unit Utama Kementerian Kesehatan antara lain dari
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat,
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Jenderal
Bina Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, dan Pusat Promosi Kesehatan, Dari
kalangan praktisi dan organisasi profesi, telah menyumbangsaran pula wakil-wakil dari
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter

21
Gigi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Peratuan Perawat Nasional Indonesia, Asosiasi
Rumah Sakit Daerah, Persatuan Rumah Sakit Indonesia, Asosiasi Rumah Sakit Vertikal
Indonesia, Persatuan Rekam Medik Indonesia, PATELKI, ILKI, PORMIKI dan sebagainya.
Para pakar yang pernah turut menyampaikan buah pikirnya antara lain dari Universitas
Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro,
Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin. 

Hasil dari serangkaian diskusi bersama pakar/akademisi, praktisi, organisasi profesi, unit
utama Kementerian Kesehatan telah menghasilkan satu set indikator kinerja untuk rumah
sakit dan puskesmas. Telah pula diidentifikasikan didata indikator yang akan masuk ke
dalam perhitungan Indeks Kinerja Rumah Sakit (IKRS) dan Puskesmas (IKPuskesmas).
Indeks fasilitas pelayanan kesehatan tersebut apabila disandingkan dengan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang menjadi produk Riskesdas akan dapat
dikembangkan menjadi suatu indeks kesehatan yang lebih komprehensif dalam
menggambarkan status kesehatan suatu wilayah.

Latar Belakang

 Pelayanan rawat inap di Puskesmas: 0,8 % 


 Pelayanan rawat jalan: 1.3 %. 
 Masyarakat lebih banyak memilih berobat ke tenaga kesehatan (13,9%) daripada ke
puskesmas. 
 Berbagai masalah tetap melanda puskesmas, mulai dari kurangnya SDM Kesehatan,
anggaran, peralatan, dan obat-obatan, dan sebagainya. 
 Perkembangan jaman dan globalisasi telah membawa fasilitas pelayanan kesehatan
pada situasi persaingan yang membutuhkan mutu layanan prima. 
 Pelayanan kesehatan melampaui batas Negara dan teknologi kesehatan juga
semakin maju. 
 Tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat semakin tinggi 
 Pasar sangat tergantung pada keinginan pasien (customer oriented). 
 Dalam upaya pencapaian RPJMN 2010 –2014 dan Renstra Kementerian Kesehatan
2010 -2014, maka dukungan kebijakan yang tepat dalam hal Upaya Kesehatan menjadi
suatu hal yang penting. 
 Kebijakan yang tepat hanya akan diperoleh bila didasarkan pada bukti yang kuat dan
sahih (evidence based policy). 
 Melalui kebijakan yang tepat maka perencanaanprogram secara konkuren disetiap
tingkatadministrasi Pemerintahan dan intervensi yang dilakukan akan lebih efektif .

Dasar Hukum

22
1. Undang-Undang Dasar 1945 
2. UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 
3. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 
4. UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit 
5. Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010 –2014 
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128 Tahun 2004 tentang Kebijakan
Dasar Puskesmas 
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 374 Tahun 2009 tentang Sistem
Kesehatan Nasional 
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144 Tahun 2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan 
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021 Tahun 2011 tentang Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2010 –2014.

Batasan

1. Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) merupakan pengukuran dan


pengamatan data primer serta penelusuran data sekunder tentang kecukupan
(adequacy) dan ketepatan (appropriateness) penyediaan fasilitas kesehatan dan
kinerjanya, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun yang disediakan
oleh swasta. 
2. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas yang memberikan pelayanan
kesehatan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) maupun Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM), berupa pelayanan rawat jalan maupun rawat inap, serta
melingkupi strata I, II, dan III. 
3. Termasuk dalam fasilitas kesehatan strata I antara lain : puskesmas, BP
pemerintah dan swasta, praktek swasta. 
4. Termasuk dalam fasilitas kesehatan strata II dan III antara lain : balai
kesehatan mata masyarakat, balai pengobatan penyakit paru, balai kesehatan indera
masyarakat, balai besar kesehatan paru masyarakat, RS Pemerintah dan swasta. 
5. Dikarenakan bebagai keterbatasan yang dihadapi, maka Riset Fasilitas
Kesehatan Tahun 2011 baru mencakup seluruh Rumah Sakit Umum Milik
Pemerintah dan Puskesmas di seluruh Indonesia.

Ruang Lingkup

 Dilakukan di seluruh RSU Pemerintah dan puskesmas di seluruh Indonesia 


 Tahap persiapan dilakukan tahun 2010 
 Tahap pelaksanaan dilakukan tahun 2011

Manfaat

1. Mendukung pencapaian Universal CoverageSistem Jaminan Sosial Nasional


(SJSN), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dengan menyediakan data
fasilitas (RSU Pemerintah dan puskesmas) terkait dengan paket pelayanan
kesehatan yang dapat diberikan (benefit package). 
2. Memberikan masukan untuk penyusunan kebijakan pasca UU Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 
3. Memberikan masukan untuk penyusunan kebijakan revitalisasi puskesmas 

23
4. MemungkinkanPemerintahPusat/propinsimengembangkan kebijakan dan
memberikan alokasiperankepadadaerahberdasarevidenssecaraoptimal. 
5. Memungkinkan pemerintah daerah mengembangkan supplypelayanan
kesehatan yang dibutuhkantermasuk dalam keadaan darurat. 
6. Dapat digunakan dasar bagi perencanaan fasilitas pelayanan kesehatan di
berbagai tingkat administrasi pemerintahan. 
7. Melengkapi peta permasalahan yang terintegrasi antara masalah kesehatan
dan penyediaan pelayanan kesehatan berdasarkan berbagai riset/informasi yang
relevan (Riskesdas, Rifaskes, Podes, Susenas dll) 
8. Mendorong kegiatan riset follow up yang lebih tajam dan terarah

Tujuan

1. Memperolehinformasi terkini tentang supplypelayanan kesehatandifasilitas


RSU Pemerintah danpuskesmaspadatingkat wilayah dan nasional (stock opname). 
2. Memberikan pemetaan ketersediaan supply fasilitas pelayanan
kesehatan(rumah sakit umum pemerintah dan puskesmas)di berbagai
wilayah(kabupaten/kota/propinsi) 
3. Mendapatkan Indeks Kinerja Rumah Sakit dan Puskesmas 
4. Memperoleh informasi mengenai gambaran pelaksanaan patient safetydan
responsifitas pelayanan di RSU Pemerintah di Indonesia 
5. Memperoleh informasi mengenai kesiapsiagaan fasilitas dalam menghadapi
keadaan emergensi

Metode Penelitian

 Rancangan Studi: Studi potong lintang (cross sectional). 


 Populasi Studi: RSU Pemerintah (668 RSU) dan puskesmas (9005 puskesmas) di
seluruh Indonesia. 
 Jenis data Yang dikumpulkan: Sumber Daya Manusia, Sarana dan prasarana, Obat
dan peralatan kesehatan, Organisasi dan manajemen esensial, Pelayanan Kesehatan yang
berjalan (SPM), Output esensial dan pelayanan kesehatan, Indikator Mutu lainnya 
  
 Sumber: http://www.rifaskes.litbang.depkes.go.id/
PUSKESMAS TAMBUN di 07.06

Tidak ada komentar:


Posting Komentar

24

Beranda
Lihat versi web
Diberdayakan oleh Blogger.
PROFIL SP3

PUSKESMAS TAMBUN
Lihat profil lengkapku

25

Anda mungkin juga menyukai