Anda di halaman 1dari 8

HAMPIR lebih tujuh tahun saya kuliah di Fakultas Hukum.

Diajarkan di sana seluruh isi


peraturan dan maksudnya. Buku hukum dan undang-undang jadi bacaan wajib. Hingga
di tiap ujian banyak pasal harus dihapal. Dosen dengan meyakinkan selalu bicara soal
aturan dan bagaimana menafsirkanya. Tentu ada janji bahwa fakultas hukum bisa
antarkan keberhasilan. Mimpi jadi pengacara berdasi hingga hakim bertoga. Kami
semua dibuai mimpi dengan bayaran. Pengacara dapat uang konsultasi dengan
hitungan menit. Hakim dapat banyak tunjangan. Lalu Jaksa digaji lumayan. Singkatnya,
profesi hukum bakal memberi upah yang menggiurkan. Terlebih semasa saya kuliah
banyak pengacara sukses memberi materi. Berdasi lalu pakai jas dengan parfum
semerbak. Belakangan banyak dosen di kampus saya berhasil jadi pejabat tinggi.
Pejabat mengalahkan pengacara. Lebih sering muncul di TV dan banyak diwawancarai
koran. Muka para pejabat itu banyak dipasang di baliho depan kampus. Agak mual
melihatnya, tapi apa daya itulah strategi pemasaran yang masuk akal. Seolah tumbuh
kepercayaan kalau kuliah di sini niscaya kamu bisa seperti mereka: jadi pejabat tinggi.

×Powered By CapricornusKini saya meninggalkan tempat itu. Baik Fakultasnya maupun


Pusat Studi HAM nya. Tapi fakultas hukum kian meningkat popularitasnya. Mahasiswa
antri untuk mendaftar. Dosen hukum juga makin banyak memiliki profesi sampingan.
Ada yang jadi staf ahli, jadi pejabat hingga saksi ahli. Ibarat pasar maka fakultas hukum
kini menemukan pangsa potensial. Anak pengacara, hakim, jaksa hingga pekerja ikut
kuliah di sana. Fakultas hukum sejajar posisinya dengan fakultas kedokteran, ekonomi
dan teknik. Saya kadang kagum masih saja ada anak yang kuliah di situ. Bahkan lebih
takjub lagi masih pula ada dosen yang mengajar di sana. Metode pengajaran yang amat
membosankan. Metode yang telah membuat hukum menjadi ilmu klinis. Dimana
kemampuan litigasi yang lebih diandalkan. Bersilat dan berdebat dengan patokan pada
pasal. Pergulatan yang membuat hukum jadi seperti sekarang. Hukum yang kerapkali
jadi hamba bagi kepentingan di luar keadilan. Hukum yang telah jadi teror bagi siapa
saja yang berani menentangnya. Tentu situasi suram ini bukan sebuah sulapan.
Keadaan ini bermula dari apa yang terjadi dalam pendidikan hukum. Pendidikan yang
pernah saya sentuh dan alami bertahun-tahun. Pendidikan yang selama ini berjalan
dengan keyakinan buta atas pasal dan aturan. Pendidikan yang sebenarnya masih
merupakan warisan sistem kolonial.[1]
Jika Anda tanya anak hukum semester awal buku yang dibacanya adalah pengantar
ilmu hukum. Buku yang dari covernya sudah tak ada imaginasi. Buku yang berisi
muatan adagium ‘semua orang sama di hadapan hukum’. Kredo yang ampuh dan
menyihir. Hingga semua mahasiswa hukum hapal. Kelak saat mereka memegang
profesi hukum apapun maka kredo itu akan dikatakannya berulang-ulang. Seolah itu
kebenaran yang serupa dengan bumi itu bulat. Padahal adagium ini ahistoris. Batal
bukan saja karena tak mencerminkan kenyataan, melainkan juga penuh dengan
manipulasi. Siapa yang pernah berurusan dengan hukum dan aparatnya akan mengerti
kalau pernyataan itu sesat. Persisnya, semua orang itu tak sama di hadapan hukum.
Kelas sosial lebih menentukan bagaimana orang berurusan dengan hukum. Walau
sama-sama kedudukan sebagai tersangka tapi Budi Gunawan dengan Bambang
Widjojanto beda perlakuan. Beda perlakuan terjadi dalam banyak kasus hukum. Maka
tak habis pikir saya mengapa dalil itu masih terus saja diajarkan. Bukti sederhana
betapa pendidikan hukum dapat terjerumus dalam kebohongan.
×Powered By Capricornus
×Powered By CapricornusTapi manipulasi jadi perlu karena pendidikan hukum melatih anak
untuk mengemban profesi hukum. Kata profesi dan profesional kian digalakkan. Profesi
membuat hukum jadi seperangkat aturan yang bisa digunakan untuk kepentingan apa
saja. Buah karya profesi adalah sikap untuk memperlakukan pengetahuan hukum
sebagai urutan prosedur dan mekanisme. Disebut prosedur karena hukum punya
tahapan yang detail dan rinci. Dinamai mekanisme karena semua perangkat dijalankan
harus sesuai ketentuan. Ijtihad dan inovasi bukan hal yang mudah di fakultas hukum.
Kalau tak percaya baca saja buku hukum yang kaidah-kaidahnya ditentukan dengan
tingkat kesahihan yang seakan tak dapat diganggu gugat. Dalam istilah lebih sederhana,
ilmu hukum jadi lebih positivistik.[2] Di situ tak ada kisah apalagi cerita imaginatif.
Seperti kredo azas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence). Memberi jaminan
pada seseorang untuk tetap dianggap bersih sebelum diputuskan bersalah oleh
pengadilan.[3] Pada setiap perkara apapun dalil ini berlaku. Efeknya menakjubkan: para
pengacara koruptor dan penjahat kemanusiaan piawai mengatakanya. Seakan klien
mereka tak punya kekeliruan sama sekali. Meski bukti logis ditemukan tapi
kebenarannya diletakkan di tangan putusan hakim. Maka dalam belantara hukum di
Indonesia hakim berposisi seperti dewa.
Maka itu sebab banyak mahasiswa hukum ingin jadi hakim. Di samping punya gaji dan
tunjangan juga pengaruhnya penting. Terlebih untuk menjadi hakim tak ada sekolah
khusus. Kalau anda lulus jadi sarjana maka ikut test dan kalau beruntung lolos. Memang
kemudian ada pendidikan hakim yang diselenggarakan oleh lembaga. Tapi dasar
landasannya tetap pendidikan sarjana hukum. Ditilik dari syarat-syarat rekruitmen hakim
dan jaksa kita menyaksikan rentetan ketentuan normatif yang sulit untuk jadi dasar
evaluasi atau seleksi mencari orang-orang yang istimewa.[4] Dasar rekruitmen sama
seperti pegawai lain. Di samping itu dengan mendasarkan diri pada lulusan sarjana
hukum semata kita berhadapan dengan alur yang pendidikan calon hakim yang singkat
dan sederhana. Dasar seleksinya adalah pendidikan S1 fakultas hukum. Pendidikan
yang, lagi-lagi, tak cukup membekali seorang jadi hakim karena memang mandat
pendidikan itu hanya memberi pengantar agar mahasiswa cakap dalam menggunakan
dan mengenal aturan.

×Powered By CapricornusKepercayaan yang meyakini kalau tiap aturan punya maksud yang
baik dan kalau ada kesalahan berarti itu ulah oknum. Tak paham saya bagaimana anak
hukum meng-imani semua peryataan yang termuat dalam kuliah seperti hukum acara
perdata, hukum acara pidana hingga hukum perkawinan. Seluruh ketentuan itu jarang
dipermasalahkan dan diterima apa adanya. Jika tak percaya bacalah soal ujian anak-
anak hukum. Serangkaian pertanyaan yang disandarkan jawaban pada bunyi pasal.
Hinggap dalam suasana akademis seperti itulah anak-anak hukum kehilangan pijakan
historis. Soal-soal struktural seperti penyerobotan tanah, pemogokan buruh hingga
kejahatan kriminal diterangkan dalam lensa undang-undang. Mungkin itu sebabnya
mahasiswa hukum kurang ‘fasih’ bertanya dan lebih suka untuk ‘memberi’ jawaban dan
penjelasan. Jauh lebih fasih lagi mereka memperdebatkan aturan. Memang agak sulit
dipercaya fakultas hukum lama kelamaan terlepas dari ilmu sosial dan terus menjauh
dari metodologi ilmu sosial. Ilmu hukum jadi ilmu terapan litigasi yang berusaha
menyerupai ilmu sains.
×Powered By Capricornus
Kian tinggi mereka menempuh pendidikan hukum maka aroma aturan jadi perisai debat.
Itu makanya dalam banyak kasus hukum sulit bagi orang awam untuk menentukan
mana yang pura-pura jadi bandit dan mana bandit beneran. Terjadilah situasi yang saya
lebih suka menyebutnya sebagai ‘kehilangan’ imaginasi. Referensi bacaan kuliah tak
pernah meyentuh dunia novel, puisi apalagi film. Perkara kemanusiaan ditatap dengan
cara dingin. Persoalan keadilan ditimbang hanya melalui prosedur. Terlebih kalau
dosennya penyuka kitab undang-undang. Tiap kejadian apapun diterangkan dalam
terang pasal. Kaum fundamentalis undang-undang sama bahayanya dengan kaum
fasis. Mereka selalu merasa paling benar dan paling mengerti. Profesi hukum berada di
atas keyakinan itu. Sehingga tiap orang dapat dengan mudah dikenai tuduhan yang
mungkin membuat mereka terkejut. Belakangan kita menyaksikan sejumlah petani,
nenek tua hingga seorang kakek diseret karena tuduhan kriminal. Malah seorang
sastrawan harus ditangkap oleh polisi gara-gara berkomentar pedas. Polisi, jaksa
hingga hakim meyakini kalau tindakan mereka sesuai prosedur. Kepercayaan diri yang
naif itu subur karena memang dirakit sejak mereka kuliah.
×Powered By CapricornusMaka mahasiswa fakultas hukum besar dalam suasana
pembelajaran yang dangkal. Tak ada mata kuliah yang membawa mereka terjun ke
lapangan. Menyaksikan ketidak-adilan dan merasakan bagaimana kesewenang-
wenangan berjalan. Minimnya sentuhan dengan realitas itulah yang menciptakan para
mahasiswa hukum seperti boneka. Digiring untuk menghapal pasal lalu menyesuiakan
semua kejadian dengan bunyi pasal. Keterbatasan mereka itu dipupuk dengan
banyaknya tumpahan materi prosedural dalam kuliah hukum. Kini ada pendidikan
vokasi, yakni pendidikan yang melatih ketrampilan hukum: membuat berita acara,
menyusun berkas hingga menyiapkan pledoi. Kini untuk meraih posisi pengacara musti
melewati jalur pendidikan semacam itu. Vokasi membuat hukum jadi sebuah kemahiran
yang diciptakan lewat pengetahuan yang teknis dan terinci. Kedangkalan ini ditambah
lagi dengan metode pembelajaran yang kurang menghidupkan inspirasi. Langka sekali
tokoh-tokoh hukum jadi sumber topik untuk pembelajaran. Maka jangan terkejut jika
mahasiswa hukum kurang mengenal siapa itu Yap Thian Hiem, Fidel Castro hingga
Nelson Mandela. Sosok yang punya latar belakang pendidikan hukum dan tumbuh
dengan cita-cita kemanusiaan agung.
Tapi mungkin karena itu pendidikan hukum lebih banyak diminati. Di samping kejelasan
profesi juga tak ada polemik. Hanya butuh kepatuhan untuk mengikuti semua materi
kuliah. Tingkat kepatuhan yang disandarkan pada bagaimana mampu menghidupkan
aturan dalam bentuk hafalan, sanggup menjelaskan kejadian hukum dalam logika
undang-undang serta bisa memberi jawaban hukum pada semua soal sosial. Maka anak
hukum agak sulit untuk memberi jawaban mengapa banyaknya fakultas hukum sejajar
dengan tingginya kejahatan hukum. Kalau tak percaya datangilah pengadilan dan
saksikan bagaimana pengadilan di jalankan. Sedikit sekali perdebatan hukum yang
bermutu dan sukar untuk bisa mengikutinya. Acara yang dulu menarik seperti Jakarta
Lawyer Club adalah suguhan jujur bagaimana hukum itu dibincangkan. Semua orang
bisa ada dalam acara itu dan hingga akhir acara kita tak tahu sebenarnya soal apa yang
dibincangkan dan dipecahkan melalui mekanisme apa. Pendidikan hukum lama
kelamaan membawa ambiguitas.
×Powered By Capricornus
 
 

Ambiguitas terjadi karena pendidikan hukum menghilangkan realitas sosial bersama


kompleksitasnya. Sosiologi hukum sebenarnya jadi mata kuliah penawar. Tapi jumlah
sks yang kecil dan tak diajarkan dengan mahir membuat materi ini kurang diminati.
Bahkan di beberapa kampus sudah lenyap mata kuliah ini. Padahal realitas itu terbit
bukan sekedar untuk dijelaskan dan dihubungkan dengan aturan. Realitas itu sebaiknya
tampil bersama kontradiksi sosialnya. Situasi sosial seperti apa yang membuat seorang
nenek memilih untuk diadili ketimbang diberi pengampunan. Dampak sosial seperti apa
yang terjadi seandainya hakim merasa diri paling benar dan berlindung di bawah kredo
independensi. Tak adanya penjelasan sosial yang baik dan menyegarkan telah
membawa pendidikan hukum dalam jeratan bahaya. Mahasiswa hukum memercayai
bahwa apa yang dipelajari itu benar dan semua gejala sosial yang menyangsikannya
harus ditaklukkan. Hukum lama-kelaaman jadi senjata pembunuh yang sasaranya
apapun dan apa saja. Sesungguhnya kriminalisasi muncul dalam suasana konyol
seperti ini. Undang-undang berubah posisi seperti wahyu yang siapapun melanggar atau
dianggap telah melanggar dapat diadili dengan mekanisme yang ada.

Jika kita membuka mata kuliah yang diberikan mahasiswa dari semester I hingga VIII,
terasa aroma pendidikan legalistik yang diutamakan. Beberapa mata kuliah pilihan
digunakan sebagai bekal ketrampilan praktis dalam berhadapan dengan institusi pasar.
Bahkan menggelikan karena semua cermin kehidupan selalu dipayungi oleh hukum.
Mata kuliah hukum ruang angkasa hingga hukum adat diklasifikasi dengan sebutan
mata kuliah pilihan. Mirip sebuah menu di restoran dimana mata kuliah dijajakan untuk
bisa disantap oleh mahasiswa. Seakan pendidikan hukum memang dinobatkan sebagai
medan untuk mentasbihkan seseorang untuk bisa ‘menghakimi’ segala gejala sosial dan
‘membela’ apa saja yang dipermasalahkan. Warisan utamanya bukan sebuah peristiwa
hukum melainkan kredo dan keputusan hakim. Mana putusan hakim tak bisa diadili oleh
pisau analisis sosial sehingga ditetapkan sebagai kebenaran. Mana Anda bisa meninjau
dari perspektif kelas ketika seorang hakim menjatuhi putusan pada seorang yang
mencuri papan kayu miliknya sendiri. Semua kegiatan hukum hanya bisa dijelaskan oleh
aturan bukan analisis selain itu. Maka konyol sekali kalau kita mengajak berdebat
mahasiswa hukum tentang keadilan karena mereka tak dilatih untuk memperdebatkan
nilai itu kecuali oleh penjelasan aturan.

Maka pendidikan hukum lama-kelamaan menjauhkan diri dari jalur pemikiran kritis.
Saksikan saja bagaimana persoalan hukum yang ada telah membuat kita prihatin dan
seakan tak percaya. Seorang dipenjara hanya karena menendang papan yang
bertuliskan ‘disini ada pembangunan hotel’, atau seorang diusut hanya karena mengeluh
diFacebook atas perlakuan yang menimpa suaminya yang kena PHK. Tapi lebih tak
percaya lagi ketika ada anak muda tanpa pekerjaan berarti mendapat pinjaman uang
miliiaran rupiah. Bapaknya seorang pejabat punya rekening fantastis dan menganggap
itu semua kekayaan halal. Pada soal seperti ini, hukum berdiam diri dan jika ada yang
mau mengusut para pengacara dengan terampil memberi alibi. Maka lama-kelamaan
hukum seperti sebuah kutukan. Kehadiranya dihindari dan kalau seorang terseret di
dalamnya maka cara apa saja digunakan untuk meloloskan diri. Pendidikan hukum
tumbuh dengan keyakinan kosong seperti ini. Ibarat ilmu, buah pendidikan hukum hari
ini membuat kita merasa kuatir dan cemas. Para sarjana hukum yang berhasil di wisuda
ini tak banyak punya gugatan dan sedikit yang meyakini bahwa ilmunya sebenarnya
berada dalam bahaya.

Maka waktunya pendidikan hukum dibawa ke luar dari kampus. Mengajari anak-anak
berhitung itu baik tapi yang jauh lebih baik mengajari pada mereka apa yang patut
diperhitungkan dalam hidup ini. Itu makanya pendidikan hukum sebaiknya bukan
berkaca dari buku melainkan dari peristiwa keadilan. Kisah perjuangan buruh, protes
para petani Rembang, kriminalisasi pada petani Kulon Progo hingga advokasi yang
dilakukan para petani Kebumen adalah bab pembuka pada pelajaran pengantar ilmu
hukum. Mahasiswa hukum sebaiknya mulai percaya bahwa ‘semua orang tak sama
kedudukanya di hadapan hukum’. Kepercayaan itu yang membuat perjalanan
memahami hukum adalah perjuangan emansipasi: dari posisi yang tak seimbang
menjadi posisi sama. Fakta-fakta hukum yang menyakitkan itu harus ditampikan untuk
menimbulkan kesangsian sekaligus perlawanan. Di sisi yang lain perlunya anak-anak
fakultas hukum meyentuh kehidupan penjara. Biarkan mereka tahu bagaimana sanksi
itu kadang tak pernah mempan ketika ketentuan atasnya banyak disalah-gunakan.
Muara hukum bukan pada hukuman melainkan bagaimana memposisikan nilai keadilan.
Nilai-nilai yang sialnya tak pernah diperdebatkan dan tak ada pengantar kuliah untuk
memahami itu.

Ringkasnya pendidikan hukum tak bisa dijalankan seperti sekarang. Mengubah aparat
dengan cara pengawasan tak pernah bisa berhasil kalau muaranya memang
bermasalah. Komisi Yudisial yang mengawasi hakim, komisi kejaksaan hingga
Kompolnas terbukti kurang mampu meyentuh jantung soal. Soalnya hari ini ada di
pendidikan hukum. Makin kita tak merombak pendidikan hukum maka kita diam-diam
akan memproduksi para algojo yang bisa berbuat kejam dengan keyakinan palsu pada
aturan. Karena para algojo itulah yang sedang dipersiapkan untuk belajar bagaimana
mengasah pisau aturan sehingga bisa kejam pada siapa saja, meruncingkan aturan
sehingga siapa saja tak bisa memperdebatkan dan membuat medan pembunuhan jadi
tampak halal dan sesuai prosedur. Lebih gawat lagi kalau pendidikan hukum tak mampu
melatih mahasiswa memahami mana dusta yang berselubung pasal dan mana keadilan
yang bertameng keberanian. Saya merasa kuatir, malu dan cemas kalau para dosen di
fakultas hukum masih percaya bahwa ilmu yang diajarkanya itu berguna dan
bermanfaat. Mereka harusnya segera sadar bahwa pengetahuan yang mereka ajarkan
itu sebenarnya telah membawa malapetaka dan korban. Pengetahuan hukum yang
mereka sampaikan itu sebenarnya telah mengantarkan jutaan korban yang tak bersalah
dan memberi perlindungan jutaan orang bersalah hingga tak diadili. Para pekerja hukum
yang berkhianat itu mereka yang ajari dan pengetahuan yang mereka dapat itulah yang
mereka warisi. Kini waktunya mereka bangun dan memulihkan ingatan bahwa segala
sesuatu harus dirombak ulang. Kalau tidak mereka sebenarnya sedang jadi panitia
persiapan hari kiamat. Hari dimana harapan telah habis. Seorang sastrawan pernah
berkata: harapan bisa habis ketika apa yang adil dan tak adil hanya dipecahkan melalui
dusta dan peperangan.

Hari-hari ini kita memasuki masa-masa gelap dimana dusta dan dalih beredar dimana-
mana. Dan pendidikan hukum yang mengantarkan itu semua!***

 
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta &
Aktivis Social Movement Institute

————–

[1] Tradisi pendidikan hukum untuk penegakan hukum di Indonesia berakar dari tradisi
penyelenggaraan tata hukum dan pendidikan hukum Negeri Belanda, yang pada
giliranya berakar pada sistem hukum yang terbilang kerabat hukum Romano-Germanic
(yang pada abad 18 menjadi hokum legislative-positif berformat nasional. Jadi hukum
yang dibangun memang ditujukan pada tegaknya kekuasaan colonial, dimana bercirikan
ototarian dan sentralistis. Lih Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode
dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, 2002

[2] Dalam ilmu sosial modern yang kelak digunakan oleh ilmu hukum secara membabi
buta, ilmu hukum diorientasikan untuk lebih empiris-objektif, deduktif-nomologis dan
instrumental-bebas nilai. Seolah menggunakan prosedur metodologis ilmu alam untuk
memperlakukan pasal sehingga pengetahuan hukum menjadi makin teknis. Saya
mengutip kaidah positivisme merujuk karya F Budi Hardiman: Melampaui Positivisme
dan Modernitas, Kanisius, 2003

[3] Azaz ini dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 8
ayat 1 dan Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[4] Kalau tak percaya bacalah syarat-syarat menjadi hakim pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi yang dituangkan dalam pasal 14 (ayat 1) UU No 49 tahun 2009
tentang perubahan kedua atas undang-undang no 2 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum. Hal yang sama juga mengenai rekruitmen Jaksa yang dituangkan dalam UU No
16 tahun 2004 tentang UU Kejaksaan pasal 9 ayat (1) jo ayat (2) UU Kejaksaan

Anda mungkin juga menyukai