×Powered By CapricornusKepercayaan yang meyakini kalau tiap aturan punya maksud yang
baik dan kalau ada kesalahan berarti itu ulah oknum. Tak paham saya bagaimana anak
hukum meng-imani semua peryataan yang termuat dalam kuliah seperti hukum acara
perdata, hukum acara pidana hingga hukum perkawinan. Seluruh ketentuan itu jarang
dipermasalahkan dan diterima apa adanya. Jika tak percaya bacalah soal ujian anak-
anak hukum. Serangkaian pertanyaan yang disandarkan jawaban pada bunyi pasal.
Hinggap dalam suasana akademis seperti itulah anak-anak hukum kehilangan pijakan
historis. Soal-soal struktural seperti penyerobotan tanah, pemogokan buruh hingga
kejahatan kriminal diterangkan dalam lensa undang-undang. Mungkin itu sebabnya
mahasiswa hukum kurang ‘fasih’ bertanya dan lebih suka untuk ‘memberi’ jawaban dan
penjelasan. Jauh lebih fasih lagi mereka memperdebatkan aturan. Memang agak sulit
dipercaya fakultas hukum lama kelamaan terlepas dari ilmu sosial dan terus menjauh
dari metodologi ilmu sosial. Ilmu hukum jadi ilmu terapan litigasi yang berusaha
menyerupai ilmu sains.
×Powered By Capricornus
Kian tinggi mereka menempuh pendidikan hukum maka aroma aturan jadi perisai debat.
Itu makanya dalam banyak kasus hukum sulit bagi orang awam untuk menentukan
mana yang pura-pura jadi bandit dan mana bandit beneran. Terjadilah situasi yang saya
lebih suka menyebutnya sebagai ‘kehilangan’ imaginasi. Referensi bacaan kuliah tak
pernah meyentuh dunia novel, puisi apalagi film. Perkara kemanusiaan ditatap dengan
cara dingin. Persoalan keadilan ditimbang hanya melalui prosedur. Terlebih kalau
dosennya penyuka kitab undang-undang. Tiap kejadian apapun diterangkan dalam
terang pasal. Kaum fundamentalis undang-undang sama bahayanya dengan kaum
fasis. Mereka selalu merasa paling benar dan paling mengerti. Profesi hukum berada di
atas keyakinan itu. Sehingga tiap orang dapat dengan mudah dikenai tuduhan yang
mungkin membuat mereka terkejut. Belakangan kita menyaksikan sejumlah petani,
nenek tua hingga seorang kakek diseret karena tuduhan kriminal. Malah seorang
sastrawan harus ditangkap oleh polisi gara-gara berkomentar pedas. Polisi, jaksa
hingga hakim meyakini kalau tindakan mereka sesuai prosedur. Kepercayaan diri yang
naif itu subur karena memang dirakit sejak mereka kuliah.
×Powered By CapricornusMaka mahasiswa fakultas hukum besar dalam suasana
pembelajaran yang dangkal. Tak ada mata kuliah yang membawa mereka terjun ke
lapangan. Menyaksikan ketidak-adilan dan merasakan bagaimana kesewenang-
wenangan berjalan. Minimnya sentuhan dengan realitas itulah yang menciptakan para
mahasiswa hukum seperti boneka. Digiring untuk menghapal pasal lalu menyesuiakan
semua kejadian dengan bunyi pasal. Keterbatasan mereka itu dipupuk dengan
banyaknya tumpahan materi prosedural dalam kuliah hukum. Kini ada pendidikan
vokasi, yakni pendidikan yang melatih ketrampilan hukum: membuat berita acara,
menyusun berkas hingga menyiapkan pledoi. Kini untuk meraih posisi pengacara musti
melewati jalur pendidikan semacam itu. Vokasi membuat hukum jadi sebuah kemahiran
yang diciptakan lewat pengetahuan yang teknis dan terinci. Kedangkalan ini ditambah
lagi dengan metode pembelajaran yang kurang menghidupkan inspirasi. Langka sekali
tokoh-tokoh hukum jadi sumber topik untuk pembelajaran. Maka jangan terkejut jika
mahasiswa hukum kurang mengenal siapa itu Yap Thian Hiem, Fidel Castro hingga
Nelson Mandela. Sosok yang punya latar belakang pendidikan hukum dan tumbuh
dengan cita-cita kemanusiaan agung.
Tapi mungkin karena itu pendidikan hukum lebih banyak diminati. Di samping kejelasan
profesi juga tak ada polemik. Hanya butuh kepatuhan untuk mengikuti semua materi
kuliah. Tingkat kepatuhan yang disandarkan pada bagaimana mampu menghidupkan
aturan dalam bentuk hafalan, sanggup menjelaskan kejadian hukum dalam logika
undang-undang serta bisa memberi jawaban hukum pada semua soal sosial. Maka anak
hukum agak sulit untuk memberi jawaban mengapa banyaknya fakultas hukum sejajar
dengan tingginya kejahatan hukum. Kalau tak percaya datangilah pengadilan dan
saksikan bagaimana pengadilan di jalankan. Sedikit sekali perdebatan hukum yang
bermutu dan sukar untuk bisa mengikutinya. Acara yang dulu menarik seperti Jakarta
Lawyer Club adalah suguhan jujur bagaimana hukum itu dibincangkan. Semua orang
bisa ada dalam acara itu dan hingga akhir acara kita tak tahu sebenarnya soal apa yang
dibincangkan dan dipecahkan melalui mekanisme apa. Pendidikan hukum lama
kelamaan membawa ambiguitas.
×Powered By Capricornus
Jika kita membuka mata kuliah yang diberikan mahasiswa dari semester I hingga VIII,
terasa aroma pendidikan legalistik yang diutamakan. Beberapa mata kuliah pilihan
digunakan sebagai bekal ketrampilan praktis dalam berhadapan dengan institusi pasar.
Bahkan menggelikan karena semua cermin kehidupan selalu dipayungi oleh hukum.
Mata kuliah hukum ruang angkasa hingga hukum adat diklasifikasi dengan sebutan
mata kuliah pilihan. Mirip sebuah menu di restoran dimana mata kuliah dijajakan untuk
bisa disantap oleh mahasiswa. Seakan pendidikan hukum memang dinobatkan sebagai
medan untuk mentasbihkan seseorang untuk bisa ‘menghakimi’ segala gejala sosial dan
‘membela’ apa saja yang dipermasalahkan. Warisan utamanya bukan sebuah peristiwa
hukum melainkan kredo dan keputusan hakim. Mana putusan hakim tak bisa diadili oleh
pisau analisis sosial sehingga ditetapkan sebagai kebenaran. Mana Anda bisa meninjau
dari perspektif kelas ketika seorang hakim menjatuhi putusan pada seorang yang
mencuri papan kayu miliknya sendiri. Semua kegiatan hukum hanya bisa dijelaskan oleh
aturan bukan analisis selain itu. Maka konyol sekali kalau kita mengajak berdebat
mahasiswa hukum tentang keadilan karena mereka tak dilatih untuk memperdebatkan
nilai itu kecuali oleh penjelasan aturan.
Maka pendidikan hukum lama-kelamaan menjauhkan diri dari jalur pemikiran kritis.
Saksikan saja bagaimana persoalan hukum yang ada telah membuat kita prihatin dan
seakan tak percaya. Seorang dipenjara hanya karena menendang papan yang
bertuliskan ‘disini ada pembangunan hotel’, atau seorang diusut hanya karena mengeluh
diFacebook atas perlakuan yang menimpa suaminya yang kena PHK. Tapi lebih tak
percaya lagi ketika ada anak muda tanpa pekerjaan berarti mendapat pinjaman uang
miliiaran rupiah. Bapaknya seorang pejabat punya rekening fantastis dan menganggap
itu semua kekayaan halal. Pada soal seperti ini, hukum berdiam diri dan jika ada yang
mau mengusut para pengacara dengan terampil memberi alibi. Maka lama-kelamaan
hukum seperti sebuah kutukan. Kehadiranya dihindari dan kalau seorang terseret di
dalamnya maka cara apa saja digunakan untuk meloloskan diri. Pendidikan hukum
tumbuh dengan keyakinan kosong seperti ini. Ibarat ilmu, buah pendidikan hukum hari
ini membuat kita merasa kuatir dan cemas. Para sarjana hukum yang berhasil di wisuda
ini tak banyak punya gugatan dan sedikit yang meyakini bahwa ilmunya sebenarnya
berada dalam bahaya.
Maka waktunya pendidikan hukum dibawa ke luar dari kampus. Mengajari anak-anak
berhitung itu baik tapi yang jauh lebih baik mengajari pada mereka apa yang patut
diperhitungkan dalam hidup ini. Itu makanya pendidikan hukum sebaiknya bukan
berkaca dari buku melainkan dari peristiwa keadilan. Kisah perjuangan buruh, protes
para petani Rembang, kriminalisasi pada petani Kulon Progo hingga advokasi yang
dilakukan para petani Kebumen adalah bab pembuka pada pelajaran pengantar ilmu
hukum. Mahasiswa hukum sebaiknya mulai percaya bahwa ‘semua orang tak sama
kedudukanya di hadapan hukum’. Kepercayaan itu yang membuat perjalanan
memahami hukum adalah perjuangan emansipasi: dari posisi yang tak seimbang
menjadi posisi sama. Fakta-fakta hukum yang menyakitkan itu harus ditampikan untuk
menimbulkan kesangsian sekaligus perlawanan. Di sisi yang lain perlunya anak-anak
fakultas hukum meyentuh kehidupan penjara. Biarkan mereka tahu bagaimana sanksi
itu kadang tak pernah mempan ketika ketentuan atasnya banyak disalah-gunakan.
Muara hukum bukan pada hukuman melainkan bagaimana memposisikan nilai keadilan.
Nilai-nilai yang sialnya tak pernah diperdebatkan dan tak ada pengantar kuliah untuk
memahami itu.
Ringkasnya pendidikan hukum tak bisa dijalankan seperti sekarang. Mengubah aparat
dengan cara pengawasan tak pernah bisa berhasil kalau muaranya memang
bermasalah. Komisi Yudisial yang mengawasi hakim, komisi kejaksaan hingga
Kompolnas terbukti kurang mampu meyentuh jantung soal. Soalnya hari ini ada di
pendidikan hukum. Makin kita tak merombak pendidikan hukum maka kita diam-diam
akan memproduksi para algojo yang bisa berbuat kejam dengan keyakinan palsu pada
aturan. Karena para algojo itulah yang sedang dipersiapkan untuk belajar bagaimana
mengasah pisau aturan sehingga bisa kejam pada siapa saja, meruncingkan aturan
sehingga siapa saja tak bisa memperdebatkan dan membuat medan pembunuhan jadi
tampak halal dan sesuai prosedur. Lebih gawat lagi kalau pendidikan hukum tak mampu
melatih mahasiswa memahami mana dusta yang berselubung pasal dan mana keadilan
yang bertameng keberanian. Saya merasa kuatir, malu dan cemas kalau para dosen di
fakultas hukum masih percaya bahwa ilmu yang diajarkanya itu berguna dan
bermanfaat. Mereka harusnya segera sadar bahwa pengetahuan yang mereka ajarkan
itu sebenarnya telah membawa malapetaka dan korban. Pengetahuan hukum yang
mereka sampaikan itu sebenarnya telah mengantarkan jutaan korban yang tak bersalah
dan memberi perlindungan jutaan orang bersalah hingga tak diadili. Para pekerja hukum
yang berkhianat itu mereka yang ajari dan pengetahuan yang mereka dapat itulah yang
mereka warisi. Kini waktunya mereka bangun dan memulihkan ingatan bahwa segala
sesuatu harus dirombak ulang. Kalau tidak mereka sebenarnya sedang jadi panitia
persiapan hari kiamat. Hari dimana harapan telah habis. Seorang sastrawan pernah
berkata: harapan bisa habis ketika apa yang adil dan tak adil hanya dipecahkan melalui
dusta dan peperangan.
Hari-hari ini kita memasuki masa-masa gelap dimana dusta dan dalih beredar dimana-
mana. Dan pendidikan hukum yang mengantarkan itu semua!***
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta &
Aktivis Social Movement Institute
————–
[1] Tradisi pendidikan hukum untuk penegakan hukum di Indonesia berakar dari tradisi
penyelenggaraan tata hukum dan pendidikan hukum Negeri Belanda, yang pada
giliranya berakar pada sistem hukum yang terbilang kerabat hukum Romano-Germanic
(yang pada abad 18 menjadi hokum legislative-positif berformat nasional. Jadi hukum
yang dibangun memang ditujukan pada tegaknya kekuasaan colonial, dimana bercirikan
ototarian dan sentralistis. Lih Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode
dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, 2002
[2] Dalam ilmu sosial modern yang kelak digunakan oleh ilmu hukum secara membabi
buta, ilmu hukum diorientasikan untuk lebih empiris-objektif, deduktif-nomologis dan
instrumental-bebas nilai. Seolah menggunakan prosedur metodologis ilmu alam untuk
memperlakukan pasal sehingga pengetahuan hukum menjadi makin teknis. Saya
mengutip kaidah positivisme merujuk karya F Budi Hardiman: Melampaui Positivisme
dan Modernitas, Kanisius, 2003
[3] Azaz ini dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 8
ayat 1 dan Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[4] Kalau tak percaya bacalah syarat-syarat menjadi hakim pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi yang dituangkan dalam pasal 14 (ayat 1) UU No 49 tahun 2009
tentang perubahan kedua atas undang-undang no 2 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum. Hal yang sama juga mengenai rekruitmen Jaksa yang dituangkan dalam UU No
16 tahun 2004 tentang UU Kejaksaan pasal 9 ayat (1) jo ayat (2) UU Kejaksaan