Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerja praktek merupakan salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh

dalam semester ganjil di Fakultas Hukum Unikom. Pada dasarnya

kerja praktek ini dilakukan agar mahasiswa dapat memahami serta

memecahkan berbagai persoalan hukum dengan baik. Kerja praktek

termaksud dapat dilakukan melalui beberapa cara sebagaimana telah

ditentukan oleh Fakultas Hukum Unikom, antara lain magang di

berbagai perusahaan, penyuluhan atau praktika hukum di kantor

hukum. Melalui kegiatan kerja praktek mahasiswa pun diharapkan

memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dan mendalam di

bidang hukum, dapat memecahkan masalah-masalah hukum,

termasuk yang berkaitan dengan teknologi informasi, sesuai dengan

visi. Misi dan tujuan Fakultas Hukum Unikom.

Saat ini, Penulis memilih untuk melakukan kerja praktek melalui

praktika hukum di sebuah Kantor Hukum bernama Kantor Hukum IWA

& HASIBUAN, yang terletak Hasmentco Building Lantai I Ruang 2,

Jalan Emong No. 7 Bandung. Kerja praktek tersebut dilaksanakan

selama satu bulan terhitung sejak tanggal 8 Agustus 2008 sampai

dengan 8 September 2008. Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan


pada kerja praktek ini merupakan rangkaian kegiatan pembahasan dan

mencari problem solving atas beberapa kasus tertentu yang sedang

dikerjakan oleh kantor hukum di atas. Mahasiswa yang sedang

melaksanakan kerja praktek ini turut serta mengikuti berbagai langkah

hukum yang ditempuh oleh kantor hukum yang bersangkutan terutama

secara non litigasi (di luar pengadilan). Oleh karena itu, diharapkan

mahasiswa yang melaksanakan kerja praktek ini mendapatkan

keahlian khusus menangani perkara baik secara perdata maupun

pidana. Pemilihan tempat kerja praktek di kantor hukum ini,

dikarenakan adanya keinginan Penulis di masa yang akan datang

untuk menjadi Advokat dan atau memiliki kantor hukum sendiri,

sehingga kegiatan kerja praktek di kantor hukum ini dapat dijadikan

salah satu bekal pengalaman untuk masa yang akan datang.

Kantor Hukum IWA & HASIBUAN merupakan sebuah kantor hukum

yang ada di kota Bandung, yang memberikan jasa hukum baik secara

litigasi (pengadilan) dan atau non litigasi (di luar pengadilan). Saat ini,

Kantor Hukum IWA & HASIBUAN dipimpin oleh seorang Advokat

senior bernama IWA Sk SYARIEF, S.H. bersama rekan seprofesinya

bernama H. BALYAN HASIBUAN, S.H. selain itu, terdapat pula

Advokat lain bernama HETTY HASSANAH,S.H. Sementara itu, ada

beberapa staf yang turut bekerja di Kantor Hukum tersebut yaitu Hendy

Hasanuddin, helmy Hasannurkalam, Angga dan Penulis sendiri yang


pada saat penulisan laporan kerja praktek ini telah pula diangkat

sebagai staf (magang) pada Kantor Hukum termaksud serta rekan

Penulis yang sama-sama sedang melaksanakan tugas kerja praktek

bernama Suherman.

Kantor Hukum IWA & HASIBUAN ini telah berdiri sejak tahun 1982 di

Bandung. Saat itu, Kantor Hukum ini bernama Kantor Pengacara IWA

Sk SYARIEF, beralamat di Jalan Otto Iskandardinata Nomor 489

Bandung, dipimpin oleh IWA Sk SYARIEF, S.H. dengan beberapa staf

dan selanjutnya staf-staf Kantor Hukum tersebut telah dapat berdiri

sendiri memiliki kantor hukum masing-masing setelah mendapatkan

pembinaan selama beberapa tahun dari pimpinan kantor hukum itu dan

ada juga yang berubah profesi menjadi notaris/PPAT.

Pada perkembangannya, Kantor Hukum di atas, berpindah alamat ke

Jalan Astana Anyar Bandung selama beberapa tahun, kemudian

pindah alamat lagi ke Jalan Veteran Nomor 43 Bandung sejak tahun

1992 sampai tahun 1997 dan berganti nama menjadi Kantor Hukum

IWA & HASIBUAN. Selanjutnya pada tahun Kantor Hukum IWA &

HASIBUAN pindah alamat lagi ke Jl. Buah Batu Nomor 2 Bandung

sampai Tahun 1999, selanjutnya pindah ke Hasmentco Building Lantai

I Ruang 2 sampai saat ini.


Pada kegiatan kerja praktek di Kantor Hukum IWA & HASIBUAN ini,

Penulis memilih untuk turut serta mencari problem solving atas perkara

pidana yaitu persangkaan adanya pemalsuan dokumen pada

pelelangan Grand Hotel Cirebon, yang juga melibatkan Pengadilan

Negeri Klas IA Bandung dan Pengadilan Negeri Cirebon serta

Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Barat di Bandung. Pada kasus

ini Kantor Hukum IWA & Hasibuan menjadi kuasa hukum atas

Tersangka perkara a quo bernama LIM TJING HU alias KING HU, yang

mana kasusnya ditangani oleh Markas Besar Polisi Republik Indonesia

(Mabes Polri) di Jakarta) dan Tersangka sempat ditahan beberapa

lama di sana dalam acara penyidikan perkara tersebut. Saat ini,

berkas kasus termaksud masih ada di Penyidik untuk dilengkapi sesuai

petunjuk Jaksa Penuntut Umum yang telah ditunjuk di Kejaksaan

Tinggi Jawa Barat di Bandung.

B. Permasalahan

Pada kegiatan kerja praktek ini, ada beberapa permasalahan hukum

yang akan dibahas antara lain :

1. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku

mengatur tentang pelaksanaan lelang Grand Hotel Cirebon ?

2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan Tersangka pada perkara

dugaan adanya pemalsuan dokumen dalam proses lelang Grand

Hotel Cirebon di atas ?


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Dasar Hukum Tindak Pidana Pemalsuan

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya, terdapat beberapa landasan teori dan berbagai peraturan

perundang-undangan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dan

bahan kajian atas kasus tersebut, teritama dari sudut pandang hukum

pidana, walaupun mungkin sangat berhubungan dengan masalah

perdatanya.

Proses penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini masih terus

dilakukan. Kerjasama antara sesama penegak hukum (Polisi, jaksa,

Hakim dan Advokat) terus dijalin dalam mengatasi semua

permasalahan hukum baik di bidang perdata, pidana, tata usaha

negara dan lingkup peradilan lainnya. Sampai saat ini, tingkat

kejahatan di Indonesia terus melaju cepat seiring dengan

perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Secara filosofis, terdapat tujuan negara yang termuat dalam alinea

keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan

bahwa :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, …”.

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 di atas, merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan

pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja,

melainkan juga melindungi warga negaranya. Selain itu, juga

merupakan landasan perlindungan hukum bagi masyarakat, karena

kata “melindungi” mengandung asas perlindungan hukum bagi

segenap bangsa Indonesia untuk mencapai kepastian hukum dan

memenuhi rasa keadilan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa

negara Indonesia merupakan negara hukum, maka segala kegiatan

yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang

berlaku, tidak terkecuali dalam hal proses peradilan pidana yang sering

menciptakan kekecewaan pada para pihak yang terkait di dalamnya,

seperti korban yang kepentingannya diwakili oleh jaksa penuntut

umum dan terdakwa itu sendiri, dalam hal ini berkaitan dengan

putusan hakim yang cenderung di bawah tuntutan jaksa penuntut

umum. Oleh karena itu, yang diharapkan masyarakat pada proses


peradilan termasuk peradilan pidana ini adalah kepastian hukum dan

terpenuhinya rasa keadilan. Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai

proses peradilan pidana terutama tentang putusan hakim yang

cenderung di bawah tuntutan jaksa penuntut umum, akan diuraikan

terlebih dahulu mengenai hukum, hukum pidana dan hukum acara

pidana itu sendiri.

Ada beberapa pendapat mengenai definisi hukum, antara lain menurut

Mochtar Kusumaatmadja, yang menyatakan bahwa hukum merupakan

keseluruhan azas dan kaidah yang mengatur ketertiban dalam

masyarakat, meliputi lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum

tersebut dalam kenyataan1. Hukum berbeda dari kaidah-kaidah sosial

lainnya, dalam hal ini pada kaidah hukum, ketentuan-ketentuannya

dapat dipaksakan dengan suatu cara yang teratur, artinya pemaksaan

untuk menjamin penataan ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri.

Pemaksaan itu biasanya berada di tangan negara dengan alat-alat

perlengkapannya. Di bidang hukum, alat perlengkapan negara yang

dapat mewujudkan fungsi hukum tersebut adalah para penegak

hukum, baik polisi, jaksa, hakim maupun advokat, melalui proses

peradilan termasuk dalam peradilan pidana, yang masing-masing

memiliki kewenangan tersendiri. Kewenangan termaksud didasari

peraturan perundang-undangan yang relevan, misalnya Undang-

1
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6
Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang

Kejaksaan, Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Advokat.

Kewenangan yang diatur undang-undang itu menggambarkan adanya

suatu kekuasaan dan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang

berlaku.

Proses peradilan pidana dilakukan dengan berdasar pada ketentuan

hukum acara pidana yang berlaku mulai dari proses penyelidikan,

penyidikan, dan persidangan di pengadilan sampai putusan yang

dijatuhkan oleh hakim serta upaya hukum yanag dapat ditempuh oleh

para pihak. Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku di

Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana/KUHAP), penyelidikan dilakukan oleh setiap

pejabat polisi negara Republik Indonesia, sedangkan penyidik

dilakukan oleh pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang. Setelah proses penyidikan dianggap lengkap, maka

berkas perkara akan dilimpahkan ke pengadilan dalam lingkup

peradilan umum pada daerah hukum sesuai dengan kewenangan

relatif pengadilan termaksud, dan selanjutnya dilakukan proses

persidangan yang diawali dengan dakwaan jaksa, dalam hal ini


didasari hasil penyidikan yang telah dilakukan. Ada beberapa bentuk

surat dakwaan yang dapat dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, yakni 2:

1. Surat dakwaan tunggal/biasa, yaitu surat dakwaan yang

disusun dalam rumusan tunggal atau berisi satu dakwaan saja.

2. Surat dakwaan alternatif, yaitu surat dakwaan yang

mengandung lebih dari satu dakwaan yang saling mengecualikan

satu sama lain dan memberi pilihan pada hakim untuk menentukan

dakwaan mana yang lebih tepat untuk dipertanggungjawabkan oleh

terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya.

3. Surat dakwaan subsidair, yaitu surat dakwaan yang terdiri

dari dua atau lebih dakwaan yang disusun secara berurutan mulai

dari tindak pidana yang terberat sampai pada dakwaan tindak

pidana yang teringan.

4. Surat dakwaan kumulatif yaitu surat dakwaan yang disusun

berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau

pelanggaran, atau dengan kata lain merupakan gabungan

beberapa dakwaan sekaligus.

Pada dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, diuraikan

mengenai terjadinya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa,

disertai ketentuan hukum yang telah dilanggar, baik didasarkan pada

2
M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. 2000, hlm. 392.
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau

peraturan perundang-undagan lainnya di bidang pidana, sehingga

dapat terlihat jelas hubungan kausal antara peristiwa pidana yang

didakwakan dengan pasal yang diterapkan, untuk selanjutnya harus

dibuktikan pada proses pembuktian.

Pembuktian dilakukan sesuai ketentuan pasal 183 KUHAP yang

menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Sementara itu, pasal 184 KUHAP menegaskan mengenai alat-alat

bukti yang sah yaitu :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Pembuktian pada peradilan pidana sangat mempengaruhi dan

menentukan tahap selanjutnya yaitu Penuntutan yang dilakukan oleh

Jaksa Penuntut Umum, yang mana didalamnya menekankan pada

pasal yang akan diterapkan serta bentuk pidana yang diharapkan akan

dijatuhkan pada terdakwa. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada


terdakwa harus sesuai dan tidak melebihi hukuman sebagaimana telah

ditentukan dalam pasal yang diterapkan tersebut. Pada dasarnya ada

beberapa bentuk hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP

yaitu :

1. Hukuman pokok terdiri dari : hukuman mati, hukuman penjara,

hukuman kurungan dan hukuman denda.

2. Hukuman tambahan terdiri dari ; pencabutan beberapa hak

tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan

hakim.

Ketentuan pidana yang terdapat pada setiap pasal dalam KUHP atau

peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pidana didasari

dengan bentuk hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP di

atas.

Begitu pula dengan hakim, pada prinsipnya harus memutuskan suatu

perkara pidana sesuai proses pembuktian yang telah dilakukan.

Putusan hakim dalam suatu peradilan pidana dapat berupa 3 :

1. Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau

dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vryjspraak) sebagaimana

diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, biasanya putusan bebas

ini ditentukan dari pemeriksaan di persidangan yang mana


3
Ibid., hlm. 334
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Dengan kata lain,

putusan bebas secara yuridis dinilai hakim tidak memenuhi asas

pembuktian menurut undang-undang secara negatif, atau tidak

memenuhi batas minimum pembuktian.

2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, sebagaimana diatur

dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Putusan lepas dari segala

tuntutan hukum didasari kriteria bahwa apa yang didakwakan

kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, atau

sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan tidak merupakan tindak pidana, dengan kata lain tidak

ada unsur pertanggungjawaban pidananya, dalam hal ini

dimungkinkan ada alasan pembenar dan/atau alasan pemaaf.

3. Putusan pemidanaan, yang diatur dalam pasal 193 KUHAP. Pasal

termaksud mengatur bahwa terdakwa dijatuhi hukuman pidana

sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak

pidana yang didakwakan kepada terdakwa dan tidak melebihi

ancaman pidana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dalam

surat tuntutannya. Apabila pengadilan berpendapat dan menilai

terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya, maka hakim akan menjatuhkan hukuman kepadanya

berdasarkan pembuktian yang telah dilakukan dalam proses

persidangan tersebut, dengan sekurang-kurangnya dibuktikan


dengan dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada

hakim terdakwalah pelaku tindak pidananya, sebagaimana diatur

dalam Pasal 183 KUHAP.

Syarat pemidanaan terdiri dari perbuatan dan orang. Unsur perbuatan

meliputi perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan

perbuatan yang bersifat melawan hukum dengan tidak ada alasan

pembenar. Unsur orang terkait dengan adanya kesalahan pelaku yang

meliputi kemampuan bertanggungjawab dan kesengajaan (dolus) atau

kealpaan (culpa) serta tidak ada alasan pemaaf.

Apabila syarat-syarat pemidanaan tersebut terpenuhi, maka dapat

dilakukan pemidanaan terhadap pelaku pidana atau terdakwa. Namun

demikian, sebelum penjatuhan pidana, terdapat aspek yang harus

dipertimbangkan di luar syarat pemidanaan yang meliputi aspek

korban dan aspek pelaku. Aspek korban meliputi kerugian dan/atau

penderitaan akibat tindak pidana yang menimpanya, serta derajat

kesalahan korban dalam terjadinya tindak pidana (victim precipitation).

Kerugian dan/atau penderitaan korban yang besar dan/atau berat

merupakan aspek memberatkan pemidanaan terhadap pelaku, begitu

pula sebaliknya, sedikit dan/atau ringannya kerugian dan/atau

penderitaan korban merupakan aspek meringankan pemidanaan bagi

terdakwa yang terbukti melakukan kejahatan termakasud.


Semakin tinggi derajat victim precipitation, maka semakin besar

dipertimbangan aspek yang meringankan terdakwa. Aspek pelaku

yang dipertimbangkan meliputi sikap dan perilaku terhadap korban

setelah terjadinya tindak pidana, kepribadian serta komitmen terhadap

penyelesaian kasus yang dihadapi.

Atas kondisi seperti dijelaskan di atas, seringkali hakim pada proses

peradilan pidana menjatuhkan putusan yang cenderung lebih ringan

atau di bawah tuntutan jaksa penuntut umum. Walaupun hal itu tidak

dilarang menurut undang-undang, namun menjadikan ketidakpuasan

masyarakat terutama korban dan keluarganya atas putusan hakim

tersebut, yang dianggap tidak mencerminkan adanya kepastian hukum

dan tidak memenuhi rasa keadilan.

Ketentuan yang paling mendasar pada proses pelelangan Grand Hotel

Cirebon ini adalah mengenai persangkaan adanya pemalsuan

dokumen atas dalam hal ini menyangkut ketentuan Pasal 263 KUHP.

Ketentuan tindak pidana pemalsuan ini dimuat dalam Buku II Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikelompokkan menjadi

4 (empat) golongan, yaitu:

1. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX)

2. Kejahatan pemalsuan uang (Bab X)


3. Kejahatan pemalsuan meterai dan merek (Bab XI)

4. Kejahatan pemalsuan surat (Bab XII)

Penggolongan tersebut didasarkan atas obyek pemalsuan, yang dapat

dirinci lebih lanjut , yaitu:4

1. Keterangan diatas sumpah

2. Mata uang

3. Uang kertas

4. Meterai

5. Merek, dan

6. Surat

Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan

surat dalam bentuk pokok (bentuk standard) yang dimuat dalam pasal

263 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

“(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang


dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan
hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu
hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak
dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling
lama 6 tahun.
(2). Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan
sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah
asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

4
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2001, Hlm 3
Pada Pasal 263 di atas mengandung 2 (dua) kejahatan, masing-

masing dirumuskan dalam ayat 1 dan 2. Rumusan ayat ke 1 terdiri dari

unsur-unsur sebagai berikut:5

1. Unsur-unsur obyektif:

a. Perbuatan:

1) Membuat palsu

2) Memalsu

b. Obyeknya: yaitu surat:

1) Yang dapat menimbulkan suatu hak

2) Yang menimbulkan suatu perikatan

3) Yang menimbulkan suatu pembebasan

hutang

4) Yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada

sesuatu hal

c. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat

tersebut.

2. Unsur subyektif, yaitu dengan maksud untuk memakai atau

menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak

dipalsu.

Sementara itu, ayat 2 ketentuan di atas mempunyai unsur-unsur

sebagai berikut:

1. Unsur unsur obyektif:


5
Ibid, hlm 98-100
a. Perbuatan: memakai

b. Obyeknya:

1) Surat palsu

2) Surat yang dipalsukan

c. Pemakai surat tersebut dapat menimbulkan kerugian

2. Unsur subyektif: dengan sengaja.

Surat (geschrift) adalah suatu lembaran kertas yang di atasnya

terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka

yang mengandung atau berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang

dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer

komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apa pun. 6

Membuat surat palsu (membuat palsu valselijk opmaaken sebuah

surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian

isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang

sebenarnya.

Membuat surat palsu ini dapat berupa: 7

1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak

sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu

6
Ibid, hlm 99
7
Ibid, hlm 99
yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual (intelectuele

valschheid);

2. Membuat sebuat surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang

lain selain pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini

disebut dengan pemalsuan materiil (materiele valschheid).

Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya

atau si pembuat surat.

Di samping isinya dan asalnya surat yang tidak benar dari membuat

surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini

dapat terjadi dalam hal misalnya:8

1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada

orangnya, seperti orang yang sudah meninggal dunia atau secara

fiktif (dikarang-karang);

2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan

persetujuannya ataupun tidak.

Sementara itu, perbuatan memalsukan (vervalsen) surat adalah

berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang

yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau

seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat semula.

Apabila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak

8
Ibid, hlm 100
berhak, maka pemalsuan surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak

itu adalah orang selain pembuat surat. 9

Sama halnya dengan membuat surat palsu, memalsu surat dapat

terjadi selain terhadap sebagian atau seluruh isi surat, dapat juga pada

tanda tangan pembuat surat. Perbedaan prinsip perbuatan membuat

surat palsu dan memalsu surat diantaranya perbuatan membuat surat

palsu yaitu sebelum perbuatan dilakukan dan belum ada surat,

kemudian membuat sebuah surat palsu yang seluruhnya dalam tulisan

itu palsu, sedangkan memalsukan surat yaitu surat yang asli terhadap

isinya (termasuk tanda tangan dan nama pembuat asli) dilakukan

perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi

surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan

dengan kebenaran atau palsu.

Tidak semua surat dapat menjadi obyek pemalsuan surat, melainkan

Terbatas pada 4 macam surat, yaitu:10

1. Surat yang menimbulkan suatu hak

2. Surat yang menimbulkan suatu perikatan

3. Surat yang menimbulkan pembebasan hutang

4. Surat yang diperuntukkan bukti mengenai sesuatu hal.

9
Ibid, hlm 100-101
10
Ibid, hlm 102
Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara

langsung adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya

perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi ada

surat-surat tertentu yang disebut surat formil yang langsung

melahirkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat

izin mengemudi, ijazah dan lain sebagainya.

B. Aspek Hukum Hak Atas Tanah

Lamanya penjajahan negara Belanda terhadap Indonesia sangat

mempengaruhi kondisi di berbagai bidang dalam perikehidupan di

Indonesia, salah satu hal yang mengalami banyak pengaruh hukum

Belanda adalah hukum dan politik pertanahan atau hukum agraria di

Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat dilihat sebagai ciri politik

pertanahan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda yang

bertahan sampai Indonesia mampu membuat sebuah ketentuan

tersendiri mengenai hukum pertanahan tersebut yaitu sampai sekitar

tahun 1960 yang ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA).

Adapun ciri-ciri politik pertanahan tersebut adalah :

1. Hukum agrarianya bersifat dualistis.

Pada masa penjajahan Belanda, di Indonesia terdapat pembagian

golongan penduduk sesuai dengan ketentuan Pasal 160 jo Pasal

131 IS yang menyebutkan masyarakat yang berada di


Indonesia/Hindia Belanda dibagi menjadi 3 golongan penduduk

yaitu :

a. Golongan Eropa yang terdiri dari semua orang Belanda, orang

Eropa lainnya, Orang jepang, semua orang dari berbagai

negara yang tunduk pada hukum Belanda.

b. Golongan Bumi Putera yang terdiri dari semua orang Indonesia

asli dan mereka yang membaurkan diri dalam kehidupan rakyat

Indonesia asli.

c. Golongan Timur Asing yang terdiri dari semua orang yang

bukan termasuk golongan Eropa dan golongan Timur Asing.

Bagi masing-masing golongan sebagaimana tersebut, berlaku

ketentuan-ketentuan agraria/pertanahan yang berbeda-beda,

sehingga tidak ada unifikasi/keseragaman dalam hukum

pertanahannya. Bagi golongan Eropa berlaku hukum pertanahan

yang dibuat tersendiri oleh pemerintah Belanda di Indonesia selain

berlaku juga ketentuan Buku II Burgerlijke Wetboek, sedangkan

bagi golongan Bumi Putera berlaku ketentuan pertanahan sesuai

dengan hukum adat yang berlaku di masing-masing daerahnya,

walaupun pada saat-saat tertentu apabila kepentingan

menghendakinya maka golongan Bumi Putera harus tunduk pada

ketentuan pertanahan yang berlaku bagi golongan Eropa,

sementara itu ketentuan pertanahan yang berlaku bagi golongan

Timur Asing disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhannya,


kadang-kadang mereka harus tunduk pada hukum Eropa tetapi

seringkali mereka pun harus mengikuti hukum adat setempat.

2. Hukum Agraria Barat yang digunakan berjiwa Liberal individualistis.

Salah satu sumber hukum agraria/pertanahan pada masa

penjajahan Belanda di Indonesia adalah Burgerlijke Wetboek

terutama buku ke-II, yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan

asas konkordansi atau asas penyesuaian dengan ketentuan

pertanahan yang berlaku di negara Belanda sendiri yaitu dari

Burgerlijk Wetboek (BW) sebagai hasil pengkodifikasian dari Code

Civil Perancis setelah Revolusi Perancis tahun 1789. Ketentuan

pertanahan yang diberlakukan bagi golongan Eropa pada saat itu

termasuk Burgerlijke Wetboek berpangkal pada suatu kebebasan

individu atau bersifat liberal. Hal ini dapat dibuktikan dengan

adanya ketentuan Pasal 570 Burgerlijke Wetboek yang

menyatakan bahwa hak eigendom adalah hak yang memberi

wewenang penuh untuk menikmati kegunaan suatu benda (tanah)

untuk berbuat bebas terhadap benda atau tanah tersebut dengan

kekuasaan penuh sepanjang tidak bertentangan dengan undang-

undang dan peraturan-peraturan lainnya yang ditetapkan oleh

badan-badan penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu

hak-hak orang lain. Pasal tersebut menggambarkan betapa

seorang individu memiliki kebebasan yang mutlak dan penuh atas


apa yang dimilikinya dalam hal ini tanah, walaupun ada

pembatasan dan alam perkembangannya ternyata kebebasan itu

tetap harus memperhatikan hak dan kepentingan orang lain, hal ini

dapat kita buktikan dengan adanya Arrest Hoge Raad Belanda

tanggal 31 Januari 1919 yang memberikan tafsiran pada definisi

Perbuatan Melawan Hukum yang kemudian arrest tersebut

dijadikan sebagai standar Arrest.

Sejak tanggal 24 September 1960, politik pertanahan di Indonesia

mengalami perubahan yang sangat penting artinya bagi kehidupan

bangsa Indonesia. Pada saat itu pembagian golongan penduduk telah

dihapuskan sehingga diupayakan adanya unifikasi dalam bidang

pertanahan termasuk mengenai ketentuan hukumnya, maka pada

tanggal 24 September 1960 disahkan sekaligus diberlakukan Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960, dengan demikian semua ketentuan agraria yang ada termasuk

dalam Buku II Burgerlijke Wetboek sepanjang telah diatur dalam

undang-undang ini menjadi tidak berlaku lagi dan seluruh kehidupan

bangsa Indonesia harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai

Pancasila, sehingga isi dari Undang-Undang Pokok Agrarian pun

diselaraskan dengan nilai-nilai Pancasila, apabila ditelaah isi dari

undang-undang termaksud, maka tidal lagi bersifat liberal

individualistis tetapi sangan bersifat kekeluargaan sebagaimana


tersurat dan tersirat dalam dasar negara Indonesia yaitu Pancasila.

Ada beberapa ketentuan dalam UUPA yang dapat membedakan

dengan ketentuan pertanahan yang lama sebelum undang-undang ini

berlaku, antara lain ketentuan Pasal 2 ayat 1 UUPA tentang Hak

Menguasai dari Negara yang menyatakan bahwa Atas dasar ketentuan

dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu bumi, air dan ruang

angkasa termasuk tanah beserta kekayaan alam yang terkandung

didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pernyataan tersebut telah

memberikan interprestasi politik mengenai kata “dikuasai” dalam hal ini

mengandung arti bukan memiliki, jadi tetap tujuan utama adalah

kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal lain yang tak kalah pentingnya

yaitu mengenai asas tanah memiliki fungsi sosial sebagaimana tertuan

dalam ketentuan Pasal 6 UUPA, sehingga seseorang walaupun ia

memiliki kekuasaan penuh atas sebidang tanah tetapi tanah tersebut

memiliki fungsi sosial maksudnya bahwa apabila suatu saat

kepentingan umum menghendakinya maka tanah tersebut harus

diserahkan kepada negara untuk kepentingan umum tersebut tentu

saja disertai dengan sejumlah kompensasi terhadap pemiliknya, atau

penggunaan sebidang tanah oleh pemiliknya tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan

kepentingan hukum orang lain.


Masalah pertanahan di Indonesia sebelum tahun 1960 diatur oleh

beberapa peraturan perundang-undangan, sehingga belum ada

keseragaman atau unifikasi. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, maka ketentuan

pertanahan di Indonesia telah memiliki keseragaman berdasarkan

undang-undang tersebut.

Secara umum, hak-hak atas tanah menurut pasal 16 Undang-Undang

Agraria, terdapat beberapa hak atas tanah yaitu ;

1. hak milik;

2. hak guna usaha;

3. hak guna bangunan;

4. hak pakai;

5. hak memungut hasil;dan sebagainya

Hak Guna Bangunan merupakan salah satu hak atas tanah yang juga

diatur dalam Undang-Undang Agraria. Sebuah hotel adalah bangunan

seperti pada perkara yang dikaji dalam kegiatan kerja praktek ini, dan

atas bangunan hotel tersebut dapat diletakan hak guna bangunan

sesuai peruntukannya sebagaimana dinyatakan dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

(selanjutnya disebut Undang-Undang Agraria) serta Peraturan


Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang HGU, HGB dan Hak

Pakai.

11
Alas hak untuk memperoleh Hak Guna Bangunan berasal dari :

1. Surat Keputusan Pemerintah untuk pemberian hak berdasarkan

PMDN Nomor 6 Tahun 1972 Tentang Pelimpahan Wewenang

Pemberian Hak atas Tanah, yaitu sampai dengan 2000 m2

diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Provinsi atas permohonan yang bersangkutan, diatas 2000 m2

diberikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.

2. Hak Pengelolaan berdasarkan PMDN 1 Tahun 1977 Tentang Tata

Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-

bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftaran juncto PMDN 6

Tahun 1972 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas

Tanah, dan Pasal 22 dan 23 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun

1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak

Pakai atas Tanah.

3. Konversi dari tanah-tanah bekas Hukum Adat.

4. Konversi dari tanah-tanah bekas Hukum Barat, bagi mereka yang

mempunyai Hak Eigendom yang berkewarganegaran Indonesianya

sesudah tanggal 24 September 1960, dan atas Hak Opstal dan Hak

Erfpacht untuk perumahan (Pasal V Ketentuan Konversi).

11
A. P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Op. Cit., hlm.
184-185.
5. Karena suatu perjanjian pemilik Hak Milik dan seseorang untuk

menimbulkan Hak Guna Bangunan (Pasal 24 Peraturan

Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah).

Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Guna

Bangunan dapat hapus karena :

1. Jangka waktunya berakhir.

2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu

syarat tidak dipenuhi.

3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya

berakhir.

4. Dicabut untuk kepentingan umum.

5. Diterlantarkan.

6. Tanahnya musnah.

7. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2

Jangka waktu Hak Guna Bangunan terbatas sebagaimana diatur

dalam Pasal 35 ayat 1 dan 2, yaitu untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri jangka

waktunya paling lama 30 tahun, sedangkan atas permintaan

pemegang hak serta keadaan bangunan jangka waktu tersebut dapat

diperpanjang paling lama 20 tahun. Jadi Hak Guna Bangunan


diberikan paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu

paling lama 20 tahun.12

Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Guna

Bangunan harus didaftarkan baik setiap pendaftaran pertama kali,


13
peralihan, hapusnya dan pembebanan.

12
Eddy Ruchiyat,Politik Hukum Pertanahan, Alumni, Banadung, 1995, hlm. 59- 60.
13
A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Op. Cit., hlm. 40.
BAB III

KEGIATAN KERJA PRAKTEK

Pada kegiatan kerja praktek yang telah dilakukan selama kurang lebih

satu bulan di Kantor Hukum IWA & HASIBUAN beralamat di Hasmentco

Building Lantai I Ruang 2 tersebut, Penulis telah melakukan berbagai hal,

yang berkaitan dengan penanganan kasus yang telah dipilih untuk

diselesaikan.

Adapun kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan tersebut, adalah :

1. Melakukan diskusi bersama-sama dengan mahasiswa lain yang juga

sedang melaksanakan kerja praktek, dibina oleh pimpinan Kantor

hukum tersebut sebagai seorang Advokat senior. Materi diskusi

meliputi berbagai bidang hukum disertai berbagai contoh kasus yang

relevan termasuk pembahasan dan analisis terhadap kasus yang telah

dipilih Penulis untuk turut serta menyelesaikannya, dalam hal ini kasus

yang berhubungan dengan pelelangan Grand Hotel Cirebon, yaitu

adanya persangkaan tindak pidana pemalsuan atas beberapa

dokumen pelelangan termaksud. Kantor Hukum IWA & HASIBUAN

merupakan kuasa hukum dari Pembeli lelang yang kemudian menjadi

salah satu Tersangka pada kasus itu.

2. Melakukan due delligent atas kasus yang dihadapi dengan cara studi

kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan dilakukan melalui


penelaahan buku-buku referensi dan berbagai peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan relevan dengan kasus ini, antara lain Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (Burgerlijke Wetboek), Peraturan perundang-undangan

mengenai pertanahan, perumahan dan tata cara pelelangan, serta

ketentuan hukum beracara seperti HIR dan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana. Sementara itu, studi lapangan dilakukan

dengan cara on the spot ke tempat yang berhubungan dengan kasus a

quo seperti Lokasi Grand Hotel Cirebon, Pengadilan Negeri Cirebon,

Pengadilan Negeri Klas IA Bandung, Pengadilan Tata Usaha Negara

Bandung, Markas Besar POLRI di Jakarta, dan sebagainya.

3. Turut serta mengikuti persidangan dan proses pemeriksaan oleh

Penyidik di mabes POLRI di Jakarta, dalam perkara a quo.

4. Turut serta melakukan pengecekan kepada instansi-instansi terkait

dengan kasus a quo, antara lain pengecekan mengenai putusan

perkara a quo ke Pengadilan Negeri Cirebon, Pengadilan Tata Usaha

Negara Bandung, serta kepada Kantor Lelang Negara Cirebon dan

Pengadilan Negeri Klas IA Bandung.

5. Turut serta membahas mengenai solusi untuk penyelesaian secara

hukum atas beberapa perkara di Kantor Hukum IWA & HASIBUAN

termasuk perkara a quo.


BAB IV

ANALISIS

Sebelum pengkajian kasus, akan dibahas ketentuan dan teori hukum

mengenai pertanahan yang melekat pada perkara ini. Berdasarkan

ketentuan hukum agraria yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, hak guna bangunan atas

Grand Hotel Cirebon tersebut berasal dari Surat Keputusan Pemerintah

untuk pemberian hak berdasarkan PMDN Nomor 6 Tahun 1972 Tentang

Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak atas Tanah, yaitu sampai dengan

2000 m2 diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional Provinsi atas permohonan yang bersangkutan, diatas 2000 m2

diberikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Grand Hotel Cirebon

dalam hal ini memiliki luas kurang lebih 9800 M2, sehingga Keputusan

hak gunan bangunan atas tanah ini diberikan oleh kantor pertanahan Kota

Cirebon.

Grand Hotel Cirebon merupakan sebuah bangunan yang dilekati dengan

hak guna bangunan. Atas hotel tersebut telah terjadi sengketa

kepemilikan antara PT. Naga Mutiara Bhumi Jaya dan PT. Internusa

Pasifik yang berakhir pada proses pelelangan. Pemenang lelang dalam

proses pelelangan ini, adalah pembeli lelang bernama LIM TJING HU

alias KING HU beralamat di jalan Tamim Nomor 55 Bandung.


Pada kasus adanya dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen

pelelangan grand hotel Cirebon tersebut, telah dilaporkan oleh Tourino

yang mengaku sebagai Direktur dari PT. Internusa Pasifik ke mabes Polri

di Jakarta. Selanjutnya Mabes Polri telah menahan tersangka Lim Tjing

Hu alias King Hu sejak 17 Mei 2008 di Rumah Tahanan Bareskrim Polri

dalam kasus pemalsuan akta lelang dan penerbitan sertifikat tanah ganda

atas nama Lim Tjing Hu. Menurut Penyidik, modus yang dilakukan

tersangka adalah tindak pidana pemalsuan akta asli dan penempatan

keterangan palsu ke dalam akta asli, dengan cara menggunakan kuitansi

yang dijadikan sebagai bukti pembayaran yang sah sehingga dapat

meloloskan dan melegalkan lelang, yang dilaksanakan pada 18 Desember

1999 di Pengadilan Negeri Cirebon yang dimenangkan Lim Tjing Hu alias

King Hu dalam hal ini sebagai Tersangka.

Pada kasus ini, Lim Tjing Hu terlibat diduga telah menyuruh Barnas

sebagai pejabat Kantor Lelang Kota Cirebon untuk membuat dan

menyerahkan petikan risalah lelang asli dan tanda terima rincian

pembayaran untuk digunakan sebagai syarat pembuatan sertifikat atas

tanah dalam hal ini hak guna bangunan (HGB) atas eks Grand Hotel

Cirebon termaksud.

Pada dasarnya ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana

pemalsuan pada kasus a quo terdapat dalam Pasal 263 KUHP. Surat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 KUHP tentang membuat surat

palsu dan memalsukan surat, meliputi :

1. Segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak maupun ditulis

memakai mesin ketik dan lain-lainnya.

2. Surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:

a. Dapat menimbulkan suatu perjanjian.

b. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang.

c. Dapat menerbitkan suatu hak.

Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi

sesuatu perbuatan atau peristiwa.

Proses pembuktian dalam beracara pidana mengenal adanya alat bukti

dan barang bukti, yang mana keduanya dipergunakan dalam persidangan

untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa.

Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang

diatur Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.
Sementara itu, benda-benda yang dapat digolongkan sebagai barang

bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana adalah:

1. Benda-benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.

2. Benda-benda yang dipergunakan untuk membantu tindak pidana.

3. Benda-benda yang merupakan hasil tindak pidana.

Pada perkara a quo sementara ini, tidak terbukti adanya pemalsuan

dokumen pelelangan Grand Hotel Cirebon oleh Tersangka Lim Tjing Hu

alias King Hu, karena Tersangka sebagai pemenang lelang telah

melaksanakan prosedur hukum sebagaimana mestinya sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian unsur-

unsur yang terkandung dalam Pasal 263 KUHP tidak terpenuhi, oleh

karena itu seharusnya Tersangka Lim Tjin Hu alias King Hu dapat

terbebas dari hukuman, apabila perkara ini dilimpahkan ke pengadilan.

Namun demikian sampai saat ini, perkara a quo masih berada pada

Penyidik dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, disebabkan masih ada

beberapa hal berdasarkan petunjuk Jaksa yang belum dapat dilengkapi

oleh Penyidik di mabes Polri.

Di luar pengadilan, Grand Hotel Cirebon saat ini telah beralih hak

kepemilikannya kepada seseorang bernama Gani dan kawan-kawan,

berdasarkan alas hak jual beli dari Lim Tjing Hu alias King Hu yang telah
dilakukan jauh sebelum munculnya perkara a quo, dan proses jual beli

tersebut telah sah menurut hukum yang berlaku, dilakukan oleh dan di

hadapan notaris/PPAT. Dengan demikian, sebenarnya pada kasus ini

tinggal menunggu kelanjutan proses pemeriksaan apakah akan

dilimpahkan ke pengadilan oleh jaksa atau tidak.


BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,

dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut :

1. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan proses

pelelangan Grand Hotel Cirebon antara lain Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang HGU, HGB dan Hak

Pakai serta ketentuan mengenai pelelangan dari Buku III BW dan

beberapa Surat Keputusan instansi terkait.

2. Adapun tindakan hukum yang dapat dilakukan atas tuduhan

adanya tindak pidana pemalsuan terhadap dokumen-dokumen

lelang Grand Hotel Cirebon pada perkara a quo dapat dilakukan

berdasakan ketentuan hukum acara yang berlaku baik secara

litigasi (dalam pengadilan) maupun di luar pengadilan sejak adanya

pemeriksaan di Mabes POLRi oleh Penyidik sampai perkara ini

selesai, dalam hal ini Tersangka berhak mendapat perlindungan

dan bantuan hukum.


B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia

para penegak hukum baik Polisi, Jaksa Hakim maupun Advokat

yang berhubungan dengan proses penyidikan suatu perkara

pidana, agar dapat dicapai kepastian hukum dan rasa keadilan.

2. Pelaksanaan kerja praktek diharapkan dapat memberi manfaat

bagi mahasiswa pada saat terjun ke masyarakat setelah lulus

menjadi sarjana hukum


DAFTAR PUSTAKA

I. Referensi Buku-Buku:

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 2001

A. P. Parlindungan. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria.


Alumni. Bandung. 2005

Eddy Ruchiyat. Politik Pertanahan. Alumni. Bandung. 1995.

MochtarKusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam


Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002

Waluyadi. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Mandar maju.


Bandung. 2005.

Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP


Penyidikan dan penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. 2000

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok


Kekuasaan Kehakiman

Anda mungkin juga menyukai