Apa yang prioritas dalam kehidupan dunia ini? Sebagian orang menganggap bahwa mencari
harta seanyak-banyaknya adalah jawabannya. Melalui kekayaan manusia dinilai bisa
memperoleh ketenangan, kebahagiaan, bahkan kesempatan berbuat baik lebih banyak.
Dengan harta yang melimpah, seseorang tidak hanya bisa membahagiakan diri sendiri, tapi
juga membahagiakan orang lain. Maka, bersibuk-sibuklah mereka mencari nafkah,
memperkaya diri. Meskipun, penumpukkan kekayaan itu tak akan pernah berujung, dan bagi
sebagian orang proses tersebut justru membuatnya lalai dan semakin jauh dari idealime
“membahagiakan diri sendiri sekaligus orang lain.” Pendapat lain mengatakan, bukan harta
yang prioritas, melainkan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu seseorang bisa menjadi lebih
terhormat. Orang kaya tidak lebih baik dari orang berilmu. Maka jargon bahwa “harta
meniscayakan kita untuk menjaganya, sedangkan ilmu justru menjaga kita”. Bahkan, dengan
ilmu, harta bisa diraih, tapi belum tentu demikian sebaliknya. Berangkat dari keyakinan ini,
seseorang kemudian berlomba-lomba mengejar pendidikan tinggi, menumpuk pengetahuan.
Kenapa hal demikian bisa terjadi? Benarkah yang paling krusial dalam kehidupan ini adalah
harta dan ilmu pengetahuan?
Parameter paling sempurna untuk melihat segala persoalan adalah Rasulullah Muhammad
shallallâhu ‘alaihi wasallam. Bila kembali kepada tujuan dari diutusnya (bi’tsah) beliau, maka
kita akan menemukan kata kunci yang sangat penting, yakni akhlak. Beliau diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah bersabda:
Rasulullah diutus bukan untuk membuat orang menjadi kaya atau semata-mata agar orang
menjadi pintar, melainkan agar manusia memiliki akhlak sempurna. Ketika Nabi berdakwah,
bangsa Arab secara umum bukan bangsa yang sangat miskin secara ekonomi ataupun sangat
bodoh di bidang pengetahuan. Banyak situs Arab kuno yang menunjukkan bahwa masyarakat
kala itu tergolong canggih, misalnya dalam membangun bendungan, saluran irigasi, atau
teknik dan persenjataan perang. Hanya saja, secara moral masyarakat Arab waktu itu secara
umum ditimpa kemerosotan yang luar biasa. Kita kerap mengistilahkannya "jahiliyyah".
Perbudakan, pelecehan terhadap perempuan, fanatisme kelompok, penindasan kaum lemah,
riba adalah sederet perilaku negatif yang menjangkiti bangsa Arab. Dengan demikian, kata
“jahiliyah” yang sering kita dengar lebih merujuk pada pengertian “jahiliyyah fil akhlaq”
(kebodohan dari segi moral).
Jauh sebelumnya, bangsa Arab sejatinya memiliki moral yang baik karena pengaruh ajaran-
ajaran Nabi Ibrahim. Namun, dalam perkembangan waktu keadaban mereka kian menyusut,
dan terus merosot, hingga sampai di luar batas kemanusiaan (misalnya mengubur hidup-
hidup bayi perempuan). Rasulullah hadir untuk mengembalikan sekaligus menyempurnakan
akhlak sebagaimana yang diajarkan nabi-nabi terdahulu. Melalui keteladanan, beliau
menegakkan prinsip tauhid, mengusung kesetaraan manusia, dan menyerluaskan spirit kasih
sayang di antara sesama. Rasulullah berjasa besar dalam merombak kondisi waktu itu, dari
kebiadaban menuju peradaban. Bukan hanya di Arab tapi juga segala penjuru dunia.
Akhlaklah yang seharusnya menjadi prioritas dalam kehidupan ini, karena ia menjiwai
seluruh perilaku-perilaku utama. Jika kita mendapati orang kaya ataupun orang pintar yang
menjadi biang kerok masalah, maka itu semata-mata karena hilangnya akhlak pada diri
mereka. Begitu juga, banyak orang kaya dan orang pintar yang hidup penuh manfaat bagi
orang lain karena pribadinya berhias akhlak yang luhur. Ada belas kasih di hati mereka. Ada
rasa empati kepada orang lain, ada kedermawanan, ketawadukan, semangat membantu yang
lain, dan lain sebagainya. Abdullah bin Mubarak, seorang ulama sufi abad pertengahan,
sebagaimana dikutip dalam Adabul ‘Âlim wal Muta‘allim karya Hadratussyekh Hasyim
Asy’ari,pernahmenyatakan
Harta tentu perlu, karena manusia hidup meniscayakan kebutuhan-kebutuhan primer bendawi
seperti makan, pakaian, juga tempat tinggal. Dan, yang lebih penting dari harta adalah ilmu.
Ilmu dan akal membedakan manusia dari karakter binatang. Namun, yang lebih penting dari
keduanya adalah akhlak. Sebab tanpa akhlak, manusia bukan hanya bisa seperti binatang, tapi
bahkan bisa lebih rendah lagi. Karena itu, sebelum menjadi orang kaya atau orang pintar,
jadilah terlebih dahulu orang yang berakhlak, orang yang beradab.
Perlu diingat kembali mengenai pentingnya menjadi manusia yang beradab. Bagaimana kita
tahu kenapa iblis itu diusir dari surga Allah SWT? Apakah karena iblis itu bodoh? Tidak
melainkan karena akhlaknya iblis yang buruk atau biasa kita katakan adalah makhluk yang
membangkang. Iblis itu bukan makhluk yang bodoh, tapi karena akhlaknya yang buruk
beserta kesombongannya iblis itu dikeluarkan dari surga Allah SWT. Dari cerita singkat iblis
diatas kita bisa menyimpulkan, jika kita hanya terus mengandalkan ilmu dan harta lalu
mengesampingkan akhlak dan adab yang baik apa bedanya diri ini dengan iblis?
Bagaimana pentingnya adab dan akhlak yang baik dalam kehidupan ini. Tidaknya terkait
kepada yang Maha Kuasa, adab dan akhlak yang baik pun juga akan selalu membawa
kenyamanan bagi diri sendiri juga sekitar. Bagaimana kita membantu sesama dalam
mengerjakan sesuatu kebaikan, bertutur kata yang baik dan tidak melukai perasaan orang
lain, dan juga tidak saling mengajak dalam keburukan. Singkat dari dari bagaimana
pentingnya adab dan akhlak ketimbang ilmu, seseorang pendidik baik itu mentor ataupun
seorang guru serta peran orang tua, sejatinya yang lebih buruk dan celaka dari orang yang
bodoh adalah mereka yang iri, dengki, tidak bersyukur atau bisa dikatakan memiliki akhlak
yang buruk. Maka dari itu pentingnya peran seorang mentor/guru mendidik murid-muridnya
dan juga orang tua dalam mendidik anaknya untuk mendahulukan akhlak yang baik sebelum
memiliki ilmu ilmu yang lainnya.
Semoga khatib yang banyak kekurangan ini, juga jamaah sekalian, mampu menjadikan
akhlak sebagai pondasi utama bagi segenap gerak-gerik kita untuk meraih kebahagiaan bukan
hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Amin.
Khutbah ke 2
Jamaah shalat jumat rahimakumullah,
Ketika seseorang memiliki ilmu tanpa akhlak , maka dia akan lupa siapa dirinya yang
sesungguhnya, lupa akan akhlak Rasulullah SAW . Bahkan lupa bahwa dia adalah makhluk
yang sangat lemah dan bodoh. Kalaulah merasa punya ilmu, tentulah Allah tidak
memberinya kecuali hanya secuil (sangat sedikit). Yaa Itulah kenapa Abdullah ibnu Mubarak
yang sangat dalam ilmunya mengatakan: "Aku belajar adab 30 tahun dan aku mencari ilmu
20 tahun."
Imam Malik bin Anas berkata: "Saat ibuku memasangkan imamah untukku, beliau
mengatakan, Pergilah engkau ke Rabi'ah, dan belajarlah tentang adab sebelum ilmu."
"Ya Allah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku (rupaku), maka baguskanlah
akhlakku."(HR.Ahmad)