Harry Nenobais
E-mail: hary_pesat@yahoo.co.id
Abstrak
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini sektor masyarakat atau yang biasanya disebut sebagai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM)/Non-Governmental Organizations (NGO) maupun
organisasi nonprofit memainkan peranan yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pembangunan (Nikkhah dan Redzuan, 2010). Sejak tahun 1980-an
secara global sektor masyarakat sipil atau LSM telah memainkan peranan yang
semakin meningkat dalam memproduksi dan menyediakan barang-barang publik dan
pelayanan publik kepada masyarakat (Killian dan Eklund, 2000). Dinamika yang
dimainkan oleh LSM begitu berbeda, LSM begitu intens mendorong dirinya untuk
berperan aktif dalam formulasi kebijakan di tingkat nasional maupun internasional
dan melakukan advokasi regulasi di tingkat lokal serta menekan pemerintah
berdasarkan aliansi internasional yang mendanainya (Weller, 2005).
Di Indonesia sendiri pertumbuhan LSM sejak jatuhnya rezim Orde Baru
tahun 1998 mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa. Jumlah organisasi
masyarakat sipil, termasuk LSM, di seluruh Indonesia telah meningkat secara
substansial. Menurut Antlöv, dkk (2009) dalam Jordan dan Van Tuijl (2009) ada
puluhan ribu organisasi masyarakat sipil di Indonesia sekarang ini. Namun sulit
untuk memperkirakan jumlah yang tepat dari LSM yang ada di Indonesia, karena
hanya LSM-LSM yang mempunyai badan hukum, biasanya adalah dalam bentuk
yayasan yang harus melaporkan keberadaan mereka kepada pihak berwenang.
Diaturnya yayasan menurut UU No. 16/2001 yang kemudian direvisi dengan
UU No. 28/2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.16/2001 tentang
Yayasan, diharapkan bisa memberikan jaminan dan kepastian hukum terhadap
keberadaan sebuah yayasan agar dapat mencapai tujuannya yang bersifat sosial,
agama, dan kemanusiaan secara akuntabel, transparan, efektif dan efisien sehingga
terhindar dari berbagai tujuan yang menyimpang, seperti mencari keuntungan atau
dijadikan sebagai lahan bisnis bagi para pendiri, pembina, pengurus, dan pengawas
(Susanto, dkk., 2002; Jordan dan Van Tuijl, 2009).
Namun, meskipun pertumbuhan LSM begitu pesat, kemudian dikeluarkan
pula peraturan perundang-undangan bagi yayasan ternyata belum diiringi dan
sekaligus mendorong terciptanya pengelolaan secara profesional. Hal ini ditegaskan
oleh Kusumahadi (2014) yang menyatakan dari pengalamannya mendampingi sekitar
215 LSM di Indonesia serta terlibat dalam forum LSM di ASEAN, secara garis
besar, dapat dikatakan bahwa perspektif manajemen organisasi LSM di Indonesia
3
relatif lemah, jika dibandingkan secara umum dengan LSM di Filipina dan Thailand.
Kemudian, Jordan dan Van Tuijl (2009) dengan mengutip berbagai hasil penelitian
akademis, seperti: Wacana (1999); Ibrahim (2003); PIRAC (2002); Hadiwibata
(2003); Stanler, dkk (2003); dan Sidel (2004), merangkum sejumlah karakteristik
kelemahan LSM di Indonesia, antara lain; rendahnya kecakapan manajerial dan
keterampilan organisasi, bersifat elit dan berorientasi mikro, sangat kuatnya peran
pemimpin (pendiri) yayasan dalam mengambil hampir semua keputusan tanpa
melibatkan staf lapangan, para pekerjanya kurang memiliki kecakapan di bidangnya
masing-masing, kurangnya koordinasi antarLSM, serta kurangnya transparansi dan
akuntabilitas.
Merespon fenomena tersebut, Yayasan Pelayanan Desa Terpadu (Pesat)
Papua juga berupaya mengembangkan kapasitasnya agar mampu mengelola dan
mendorong pertumbuhan dan perubahan yang sedang terjadi saat ini, sehingga
diharapkan Yayasan Pesat dapat bertumbuh secara efektif dan menjadi organisasi
yang dewasa, yang dapat mencapai visinya secara optimal, yakni membangun
manusia Papua seutuhnya. Meskipun disadari untuk melakukan pengembangan
kapasitas tersebut tidaklah mudah. Namun menurut Brinckerhoff (2012), pengurus
yayasan yang cerdas tentunya perlu melakukan tindakan yang lebih baik lagi, guna
mendorong pertumbuhan organisasi, dan pertumbuhan organisasi tersebut hanya
akan berjalan efektif jika kita melakukan pengembangan kapasitas.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaannya terletak
pada fokus penelitian, perspektif kajian, metode penelitiannya dan obyek penelitian
yang digunakan. Fokus penelitian ini adalah upaya pengembangan kapasitas
organisasi nonprofit yang berkaitan dengan adanya siklus kehidupan organisasi,
khususnya pada tahap pertumbuhan/remaja. Penelitian ini bertujuan memberikan
pemahaman yang saksama bagaimana organisasi nonprofit melakukan
pengembangan kapasitasnya ketika berada dalam tahap pertumbuhan yang pastinya
memiliki karakteristik yang khas atau berbeda dengan tahapan-tahapan lainnya.
Dengan menitikberatkan pada tahap pertumbuhan/remaja maka penelitian ini akan
berfokus kepada komponen-komponen apa saja yang dibutuhkan untuk dikelola dan
diintervensi dalam pengembangan kapasitas organisasi sehingga dapat menciptakan
efisiensi dan efektifitas guna menghasilkan inovasi (Connolly dan York, 2003;
Brothers dan Sherman, 2012). Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk
menghadapi dan memecahkan permasalahan terebut haruslah dipilih dan ditentukan
4
Secara keseluruhan penggunaan SSM ini dilakukan melalui tujuh proses tahapan,
seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Teknik-teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yakni:
observasi partisipatif, wawancara mendalam, studi kepustakaan dan dokumentasi,
serta pertemuan formal dan informal.
Checkland dan Poulter (2006) menjelaskan ketiga elemen sosial yang terdiri
atas; peran (roles), norma (norms), dan nilai (values). Ketiga elemen sosial tersebut
saling berkaitan erat, bersifat dinamis, dan selalu berubah dalam kurun waktu seiring
dengan perubahan dunia nyata. Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan analisa
sistem sosial pada sistem yang ada dalam Yayasan Pesat Papua.
Peran (Roles)
Peran adalah posisi sosial yang menandai perbedaan di antara anggota
kelompok atau organisasi. Kelompok di yayasan terdiri dari Pembina, Pengawas, dan
Pengurus (sekurang-kurangnya terdiri atas: seorang ketua, sekretaris, dan
bendahara).
Norma (Norms)
Norma adalah perilaku yang diharapkan yang terkait dengan peran. Jadi
pengertian norma di sini adalah terkait dengan berbagai ketentuan peran dan
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pembina, dewan pegawas, pengurus,
divisi-divisi, unit-unit pelaksana, dan pengurus cabang yang ada dalam Yayasan
Pesat Papua.
Nilai (Values)
Nilai-nilai (values) adalah standar atau kriteria ke dalam mana perilaku yang
sesuai dengan peran (behavior-in-role) dinilai. Adapun nilai-nilai yang dimiliki oleh
Yayasan Pesat Papua didasarkan nilai-nilai dalam Al-Kitab.
Pengenalan Situasi Problematik: Analisis Tiga (Politik)
Analisis tiga atau analisis politik dilakukan untuk mencari tahu situasi
problematik yang sudah dibuat dengan memasukkan situasi politik, dimana hal ini
selalu kuat dalam menentukan keberhasilan Yayasan Pesat. Beberapa komoditas
yang perlu mendapat perhatian di dalam Analisis Tiga, antara lain: (1) terkait dengan
peran: karisma personal, keanggotaan dalam berbagai komisi, akses yang teratur
kepada pemegang kekuasaan. (2) terkait dengan basis pengetahuan (knowledge-
based setting): otoritas dan reputasi intelektual, reputasi membuat laporan suatu
pertemuan. (3) terkait dengan penguasaaan informasi: mempunyai akses terhadap
informasi yang penting, mempunyai akses untuk menutup akses orang lain terhadap
informasi penting (Hardjosoekarto, 2012).
Rich Picture
Penyusunan rich picture memerlukan tiga peran yang menjadi rujukan saat
menyusun gambar. Pertama, seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan
10
sebab lainnya adalah belum tersedianya dana atau keuangan yang mencukupi untuk
merealisasikan program-program baru tersebut.
Kelima, manajemen dan infrastruktur, selama beroperasi enam belas tahun,
Yayasan Pesat telah berupaya semaksimal mungkin meningkatan keahlian staf yang
dimiliki. Pembina yayasan sangat memberikan perhatian yang cukup besar terhadap
hal ini. Melalui keputusan pembina, beberapa staf yang terlihat memiliki potensi
yang cukup baik diberikan kesempatan dan beasiswa untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan keahliannya melalui jalur pendidikan formal maupun informal.
Mereka disekolahkan sampai ke jenjang sarjana, magister, bahkan sampai ke tingkat
doktor agar mereka dapat bekerja secara baik dan mampu mengembangkan yayasan
secara efektif. Namun dari hasil temuan tersebut, yang perlu dicatat adalah bahwa
pemimpin masih memiliki kelemahan untuk bagaimana mengorganisasikan,
memelihara, dan mempertahankan staf yang ada tersebut supaya mereka dapat
bekerja sesuai dengan keahliannya dan tetap bertahan di yayasan sehingga tidak
perlu keluar meninggalkan yayasan, atau walaupun ada beberapa staf yayasan yang
disekolahkan tersebut harus bekerja di luar Yayasan Pesat, namun diharapkan
mereka tetap dapat memberikan bantuan bagi kemajuan yayasan, oleh karena itu
untuk mengatasi persoalan ini, perlu adanya manajemen sumber daya manusia
(MSDM) yang baik. Dalam penggunaan TI (Teknologi Informasi) ternyata Yayasan
Pesat dapat dikatakan sudah cukup maju. Penggunaan TI ini bukan hanya digunakan
oleh staf yayasan melalui unit komputer dan jaringan informasi internet guna
mengelola data dan informasi, melakukan tugas-tugas layanan administrasi,
mempublikasikan dan memberikan laporan-laporan tentang keberadaan dan
perkembangan kegiatan yayasan kepada para donatur, pemerintah, dan masyarakat
luas secara interaktif dan berkala, tetapi juga diajarkan kepada anak-anak sejak
mereka duduk di sekolah dasar sampai ke jenjang sekolah menengah atas.
Sedangkan, untuk komunikasi dengan publik, dalam hal ini dengan masyarakat,
pemerintah daerah, dan para donatur sebagai sarana akuntabilitas terhadap seluruh
perkembangan kegiatan yayasan guna meningkatkan dukungan sukarela mereka
terhadap program-progam yang dilaksanakan oleh yayasan sudah berjalan cukup
baik.
Keenam, keberlanjutan keuangan, Yayasan Pesat belum mampu memiliki
keuangan yang cukup untuk membiayai seluruh kegiatan program, penambahan staf
administrasi, dan memperluas tempat/ruang kerja. Sumber penerimaan keuangan
12
Yayasan Pesat masih banyak diperoleh dari sumbangan para donatur baik secara
lembaga maupun secara pribadi. Upaya-upaya melalui sumber-sumber keuangan
lainnya, seperti usaha-usaha ekonomi yayasan, hasil penjualan layanan yayasan, dan
bantuan pemerintah masih belum berjalan maksimal sehingga hasilnya pun belum
optimal. Ketujuh, sosial demografik, kondisi sosial demografik Papua yang masih
sangat tertinggal, luas, dan kompleks. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu adanya
kolaborasi. Namun kolaborasi antara pihak Yayasan Pesat dengan pihak yayasan
lainnya, pemerintah daerah dan swasta untuk bermitra guna menjangkau dan
melayani masyarakat pedalaman Papua belum terbentuk secara optimal. Padahal
kolaborasi ini sangat penting dibentuk supaya dapat mengeksplorasi perbedaan dan
mencari solusi yang konstruktif dan saling menguntungkan sehingga dapat
memperoleh hasil yang berkualitas.
Kedelapan, kondisi ekonomi/pasar di Papua yang masih sangat miskin dan
terbelakang belum dapat mendukung kegiatan yayasan secara finansial, maka
membangun kegiatan bisnis sangat diperlukan untuk menghasilkan keuntungan
finansial guna menopang seluruh biaya operasional yayasan yang semakin besar
jumlahnya. Yayasan Pesat telah merencanakan dan membangun kegiatan bisnis.
Namun hasilnya sementara ini belum maksimal menghasilkan keuntungan finansial
guna menopang seluruh biaya operasional yayasan jika dibandingkan dengan
sumbangan dari para donatur.
Kesembilan, politik, Yayasan Pesat Papua belum pernah terlibat dalam
pengambilan keputusan/kebijakan melalui kegiatan Musrenbang atau melalui bentuk-
bentuk partisipasi politik lainnya, seperti melakukan lobi dan negosiasi, melakukan
diskusi dan komunikasi dengan pejabat politik/administratif, dan sebagainya agar
dapat memberikan masukan-masukan bagi terciptanya produk kebijakan pemerintah
yang aspiratif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masayarakat pedalaman
Papua secara optimal. Selain itu, pemerintah daerah belum membuka akses selebar-
lebarnya kepada pihak yayasan untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan kegiatan
Musrenbang atau kegiatan politik lainnya, seperti melakukan lobi dan negosiasi.
Kesepuluh, nilai-nilai dan norma masyarakat. Nilai-nilai atau adat istiadat dan
norma yang berlaku pada keluarga masyarakat pedalaman Papua sebagian besar
belum mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi posisi perempuan dan anak-
anak dalam struktur keluarga, khususnya untuk mengikuti kegiatan pendidikan
(UNDP, 2005; Tim Sintese, 2006; ILO-EAST, 2011; Bhakti dan Pigay, 2012). Oleh
13
karena itu, dengan kondisi seperti itu maka perlu dilakukan hubungan masyarakat
yang intensif dan berkesinambungan guna mempengaruhi dan merubah cara pandang
dan hidup masyarakat tersebut, dan ternyata Yayasan Pesat sudah sangat baik
menjalankan humas, sehingga banyak masyarakat pedalaman Papua yang telah sadar
betapa pentingnya pendidikan bagi hidup dan masa depan anak-anak mereka.
Berdasarkan uraian tersebut, berikut ini ditampilkan rich picture dari
Pengembangan Kapasitas Organisasi Yayasan Pesat pada Tahap
Pertumbuhan/Remaja.
Pada bagian ini akan diuraikan analisis dari setiap komponen pengembangan
kapasitas organisasi nonprofit pada tahap pertumbuhan di Yayasan Pesat Papua,
sebagai berikut:
Kepemimpinan
14
Politik
Yayasan Pesat Papua belum pernah terlibat dalam pengambilan
keputusan/kebijakan melalui kegiatan Musrenbang atau melalui bentuk-bentuk
partisipasi politik lainnya, seperti melakukan lobi dan negosiasi, melakukan diskusi
dan komunikasi dengan pejabat politik/administratif, dan sebagainya. Oleh karena
itu, Yayasan Pesat perlu mengambil inisiatif untuk berpartisipasi dalam kegiatan
Musrenbang atau dalam bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya agar dapat
memberikan masukan-masukan bagi terciptanya produk kebijakan pemerintah yang
aspiratif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masayarakat pedalaman Papua
secara optimal. Pemerintah daerah juga perlu memberikan akses bagi Yayasan Pesat
agar dapat berpartisipasi secara politik.
Nilai-Nilai dan Norma Masyarakat
Nilai-nilai atau adat istiadat dan norma yang berlaku pada keluarga
masyarakat pedalaman Papua sebagian besar belum mampu menciptakan kondisi
yang kondusif bagi posisi perempuan dan anak-anak dalam struktur keluarga,
khususnya untuk mengikuti kegiatan pendidikan (UNDP, 2005; Tim Sintese, 2006;
ILO-EAST, 2011; Bhakti dan Pigay, 2012). Oleh karena itu, perlu dilakukan
hubungan masyarakat yang intensif dan berkesinambungan guna mempengaruhi dan
merubah cara pandang dan hidup masyarakat tersebut, dan ternyata Yayasan Pesat
sudah sangat baik menjalankan humas, sehingga banyak masyarakat pedalaman
Papua yang telah sadar betapa pentingnya pendidikan bagi hidup dan masa depan
anak-anak mereka.
Seluruh temuan kajian Pengembangan Kapasitas Yayasan Pesat Papua pada Tahap
Pertumbuhan tersebut dapat digambarkan di bawah ini:
17
V. PENUTUP
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa poin penting. Berkaitan dengan
kepentingan teori (research interest) pengembangan kapasitas organisasi nonprofit
pada tahap pertumbuhan perlu adanya kebaharuan teori pengembangan kapasitas
organisasi nonprofit pada tahap pertumbuhan yang berlaku selama ini, yaitu:
kepemimpinan transformasional dan struktur sederhana. Sedangkan berkaitan
dengan kepentingan pemecahan masalah (problem solving interest) pengembangan
kapasitas organisasi nonprofit pada tahap pertumbuhan perlu ada kebaharuan, yakni:
manajemen SDM, kolaborasi, kegiatan bisnis, partisipasi, dan hubungan masyarakat
(humas).
Berkaitan dengan metodologi: penelitian ini menyumbangkan metode
penelitian tindakan berbasis SSM dengan dua kategori, yaitu research interest dan
problem solving untuk memecahkan permasalahan dalam pengembangan kapasitas
organisasi nonprofit secara kelimuan. Selama ini, penelitian tentang pengembangan
18
kapasitas organisasi nonprofit, metode penelitian dan analisis yang digunakan oleh
para peneliti sebelumnya adalah studi kasus, grounded theory, survei, kualitatif,
kuantitatif, eksplonatori, dan menggunakan metode campuran kuantitatif dan
kualitatif.
Untuk penelitian lanjutan yang serupa dengan penelitian ini dapat pula
dilakukan dengan menambahkan obyek penelitian yakni berupa organisasi
nonprofit/LSM lainnya sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembanding dalam
melakukan pengembangan kapasitas organisasi nonprofit pada tahap
pertumbuhan/pengembangan infrastruktur maupun pada tahap-tahap selanjutnya
yang ada di dalam siklus kehidupan organisasi.
Terakhir, pendidikan berpola asrama yang selama ini dijalankan oleh
Yayasan Pesat bagi anak-anak asli pedalaman Papua, mulai dari TK, SD, SMP,
SMA/SMK, bahkan sampai Perguruan Tinggi sejalan dengan upaya Revolusi Mental
yang merupakan program utama dari presiden terpilih Joko Widodo. Pelayanan
pendidikan berpola asrama ini ternyata mampu meningkatkan kualitas kehidupan,
kesejahteraan, dan masa depan masyarakat Papua secara lebih baik lagi. Oleh karena
itu, pelayanan pendidikan pola asrama ini perlu dilakukan secara lebih masif dan
sungguh-sungguh lagi di seluruh wilayah pedalaman Papua oleh pihak pemerintah,
LSM, dan pihak swasta melalui kolaborasi.
DAFTAR REFERENSI
BoardSource. (2012). The Nonprofit Board Answer Book: A Oractical Guide for
Board Members and Chief Executives. Third Edition. San Fransisco: Jossey-
Bass.
Brinckerhoff, Peter. (2012). Smart Stewardship for Nonprofit: Making the Right
Decision in Good Times and Bad. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Brothers, John & Anne Sherman. (2012). Building Nonprofit Capacity: A Guide
Managing Change Through Organizational Lifecycle. New York: Jossey-
Bass.
Pulu, Lily. (2014). “Potret Praktik Tata Pengurusan Internal dan Prinsip-prinsip Etik
di LSM, Studi kasus hasil Assesment 18 Anggota Konsil LSM Indonesia.”
Jakarta: Jurnal Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil. Edisi 2, Februari-
Juni 2014.