Anda di halaman 1dari 19

1

Pengembangan Kapasitas Organisasi Nonprofit pada


Tahap Pertumbuhan di Yayasan Pesat Papua
(Aplikasi Penelitian Tindakan berbasis SSM)

Harry Nenobais
E-mail: hary_pesat@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengembangan kapasitas organisasi nonprofit


pada tahap pertumbuhan melalui enam komponen internal dan empat komponen eksternal
pada Yayasan Pesat Papua. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah action
research berbasis soft systems methodology yang terdiri atas dua jenis aktivitas yang
dilakukan secara bersamaan, yaitu research interest dan problem solving interest (McKay
dan Marshall, 2001) dengan memenuhi kriteria systematically desirable and culturaly
feasible (Flood and Jackson, 1991). Sedangkan teori yang digunakan adalah menurut
Brothers dan Sherman (2012) yakni ada enam komponen internal yang perlu diperkuat
kapasitasnya pada tahap pertumbuhan, yakni kepemimpinan, budaya organisasi, peranan
dewan pengurus, perluasan program, manajemen dan infrastruktur, keberlanjutan
keuangan. Kemudian menurut De Vita, dkk (2001) ada empat komponen eksternal
organisasi yang perlu dikelola, yaitu sosial demografik, ekonomi/pasar, politik, dan nilai-
nilai dan norma. Hasil penelitian ini menunjukkan pada research interest, yaitu yayasan
perlu diperlengkapi gaya kepemimpinan transformasional, desain struktur sederhana, dan
peningkatan peran dewan pembina. Untuk problem solving interest, yaitu perlu perluasan
program kerja yayasan melalui proses perumusan yang benar, manajemen SDM,
keberlanjutan keuangan yayasan. Kemudian komponen eksternal perlu dibentuknya
kolaborasi antara LSM, pemda, dan swasta, kegiatan bisnis, partisipasi politik, dan humas.
Kata Kunci: Organisasi nonprofit, pengembangan kapasitas, tahap pertumbuhan, action
research, soft systems methodology.
2

I. PENDAHULUAN
Dewasa ini sektor masyarakat atau yang biasanya disebut sebagai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM)/Non-Governmental Organizations (NGO) maupun
organisasi nonprofit memainkan peranan yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pembangunan (Nikkhah dan Redzuan, 2010). Sejak tahun 1980-an
secara global sektor masyarakat sipil atau LSM telah memainkan peranan yang
semakin meningkat dalam memproduksi dan menyediakan barang-barang publik dan
pelayanan publik kepada masyarakat (Killian dan Eklund, 2000). Dinamika yang
dimainkan oleh LSM begitu berbeda, LSM begitu intens mendorong dirinya untuk
berperan aktif dalam formulasi kebijakan di tingkat nasional maupun internasional
dan melakukan advokasi regulasi di tingkat lokal serta menekan pemerintah
berdasarkan aliansi internasional yang mendanainya (Weller, 2005).
Di Indonesia sendiri pertumbuhan LSM sejak jatuhnya rezim Orde Baru
tahun 1998 mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa. Jumlah organisasi
masyarakat sipil, termasuk LSM, di seluruh Indonesia telah meningkat secara
substansial. Menurut Antlöv, dkk (2009) dalam Jordan dan Van Tuijl (2009) ada
puluhan ribu organisasi masyarakat sipil di Indonesia sekarang ini. Namun sulit
untuk memperkirakan jumlah yang tepat dari LSM yang ada di Indonesia, karena
hanya LSM-LSM yang mempunyai badan hukum, biasanya adalah dalam bentuk
yayasan yang harus melaporkan keberadaan mereka kepada pihak berwenang.
Diaturnya yayasan menurut UU No. 16/2001 yang kemudian direvisi dengan
UU No. 28/2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.16/2001 tentang
Yayasan, diharapkan bisa memberikan jaminan dan kepastian hukum terhadap
keberadaan sebuah yayasan agar dapat mencapai tujuannya yang bersifat sosial,
agama, dan kemanusiaan secara akuntabel, transparan, efektif dan efisien sehingga
terhindar dari berbagai tujuan yang menyimpang, seperti mencari keuntungan atau
dijadikan sebagai lahan bisnis bagi para pendiri, pembina, pengurus, dan pengawas
(Susanto, dkk., 2002; Jordan dan Van Tuijl, 2009).
Namun, meskipun pertumbuhan LSM begitu pesat, kemudian dikeluarkan
pula peraturan perundang-undangan bagi yayasan ternyata belum diiringi dan
sekaligus mendorong terciptanya pengelolaan secara profesional. Hal ini ditegaskan
oleh Kusumahadi (2014) yang menyatakan dari pengalamannya mendampingi sekitar
215 LSM di Indonesia serta terlibat dalam forum LSM di ASEAN, secara garis
besar, dapat dikatakan bahwa perspektif manajemen organisasi LSM di Indonesia
3

relatif lemah, jika dibandingkan secara umum dengan LSM di Filipina dan Thailand.
Kemudian, Jordan dan Van Tuijl (2009) dengan mengutip berbagai hasil penelitian
akademis, seperti: Wacana (1999); Ibrahim (2003); PIRAC (2002); Hadiwibata
(2003); Stanler, dkk (2003); dan Sidel (2004), merangkum sejumlah karakteristik
kelemahan LSM di Indonesia, antara lain; rendahnya kecakapan manajerial dan
keterampilan organisasi, bersifat elit dan berorientasi mikro, sangat kuatnya peran
pemimpin (pendiri) yayasan dalam mengambil hampir semua keputusan tanpa
melibatkan staf lapangan, para pekerjanya kurang memiliki kecakapan di bidangnya
masing-masing, kurangnya koordinasi antarLSM, serta kurangnya transparansi dan
akuntabilitas.
Merespon fenomena tersebut, Yayasan Pelayanan Desa Terpadu (Pesat)
Papua juga berupaya mengembangkan kapasitasnya agar mampu mengelola dan
mendorong pertumbuhan dan perubahan yang sedang terjadi saat ini, sehingga
diharapkan Yayasan Pesat dapat bertumbuh secara efektif dan menjadi organisasi
yang dewasa, yang dapat mencapai visinya secara optimal, yakni membangun
manusia Papua seutuhnya. Meskipun disadari untuk melakukan pengembangan
kapasitas tersebut tidaklah mudah. Namun menurut Brinckerhoff (2012), pengurus
yayasan yang cerdas tentunya perlu melakukan tindakan yang lebih baik lagi, guna
mendorong pertumbuhan organisasi, dan pertumbuhan organisasi tersebut hanya
akan berjalan efektif jika kita melakukan pengembangan kapasitas.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaannya terletak
pada fokus penelitian, perspektif kajian, metode penelitiannya dan obyek penelitian
yang digunakan. Fokus penelitian ini adalah upaya pengembangan kapasitas
organisasi nonprofit yang berkaitan dengan adanya siklus kehidupan organisasi,
khususnya pada tahap pertumbuhan/remaja. Penelitian ini bertujuan memberikan
pemahaman yang saksama bagaimana organisasi nonprofit melakukan
pengembangan kapasitasnya ketika berada dalam tahap pertumbuhan yang pastinya
memiliki karakteristik yang khas atau berbeda dengan tahapan-tahapan lainnya.
Dengan menitikberatkan pada tahap pertumbuhan/remaja maka penelitian ini akan
berfokus kepada komponen-komponen apa saja yang dibutuhkan untuk dikelola dan
diintervensi dalam pengembangan kapasitas organisasi sehingga dapat menciptakan
efisiensi dan efektifitas guna menghasilkan inovasi (Connolly dan York, 2003;
Brothers dan Sherman, 2012). Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk
menghadapi dan memecahkan permasalahan terebut haruslah dipilih dan ditentukan
4

secara berhati-hati sehingga benar-benar mampu memberikan pemecahan secara baik


dan tepat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan action research berbasis soft system
methodology untuk memperoleh jawaban yang memenuhi research interest dan
problem solving interest secara bersamaan (dual imperartives of action research)
(McKay dan Marshall, 2001). Ide dasar SSM adalah bahwa situasi dunia nyata
sedang menjadi perhatian kita atau yang sedang kita eksplorasi merupakan serba
sistem aktivitas manusia, yang di dalamnya kita bisa memilih satu atau beberapa
sistem aktivitas manusia yang relevan (Hardjosoekarto, 2012). Sedangkan obyek
penelitiannya dilakukan di Yayasan Pelayanan Desa Terpadum (Pesat) Papua,
sebuah yayasan yang telah belasan tahun beroperasi di Papua.
Pertanyaan dalam penelitian ini dibagi atas dua bagian, yaitu pertanyaan
untuk research interest dan pertanyaan untuk problem solving interest. Pertanyaan
untuk research intertest adalah: (1) Bagaimanakah proses perubahan gaya
kepemimpinan pada Yayasan Pesat Papua? (2) Bagaimanakah proses pembentukan
budaya organisasi pada Yayasan Pesat Papua? (3) Bagaimanakah proses peningkatan
peranan dewan pengurus pada Yasayan Pesat Papua? Sedangkan pertanyaan untuk
problem solving intertest adalah: (1) Bagaimanakah proses perluasan program pada
Yayasan Pesat Papua? (2) Bagaimanakah proses pembentukan manajemen dan
infrastruktur pada Yayasan Pesat Papua? (3) Bagaimanakah proses keberlanjutan
keuangan pada Yayasan Pesat Papua? (4) Bagaimanakah implikasi lingkungan sosial
demografik terhadap Yayasan Pesat Papua? (5) Bagaimanakah implikasi lingkungan
ekonomi/pasar terhadap Yayasan Pesat Papua? (6) Bagaimanakah implikasi
lingkungan politik terhadap Yayasan Pesat Papua? (7) Bagaimanakah implikasi
lingkungan nilai-nilai dan norma masyarakat terhadap Yayasan Pesat Papua?
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
menganalisis proses perubahan gaya kepemimpinan, proses pembentukkan budaya
organisasi, peningkatan pernanan dewan pengurus, perluasan program, pembentukan
manajemen dan infrastruktur, keberlanjutan keuangan, implikasi lingkungan sosial
demografik, ekonomi/pasar, politik, nilai-nilai dan norma masyarakat Papua terhadap
pengembangan kapasitas Yayasan Pesat Papua pada tahap pertumbuhan.

II. TINJAUAN TEORITIS


5

Sekarang ini istilah pengembangan kapasitas tidak hanya digunakan pada


sektor publik dan swasta, tetapi juga telah digunakan pada sektor nonprofit, yang
secara terminologi dapat diterima secara universal dan dilihat secara kritis. Banyak
literatur yang telah menghadirkan pengembangan kapasitas dalam konteks organisasi
nonprofit atau LSM (DFID, 2006).
Barbara Kibbe dalam Light (2011) menyatakan kapasitas organisasi nonprofit
merupakan kemampuan organisasi untuk mendefinisikan misi secara penuh arti,
membangkitkan sumber daya yang berwujud dan tidak berwujud untuk kemajuan
misi, dan menyebarkan sumber daya tersebut secara efisien, serta untuk
menyelesaikan pekerjaan secara baik. McKinsey & Company (2001) menyatakan
pengembangan kapasitas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan individu,
organisasi dan sistem guna menyelenggarakan fungsi dalam rangka pencapaian misi
dan tujuannya secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Kapasitas organisasi
nonprofit dibutuhkan di dalam aktivitas yang berkaitan dengan misi. Kapasitas tidak
sama seperti efektifitas organisasi. Agensi pendanaan tertarik melihat bahwa
manajemen organisasi, governance, dan kepemimpinan adalah terkait kepada
efektifitas organisasi dan dampak sosial yang lebih luas (Hudson, 2005; Light,
2004a; Lets, Ryan & Grossman, 1999; Kibbe, dkk, 2004; Letts, dkk., 1999;
McKinsey & Company, 2001).
Konsep pertumbuhan organisasi atau dapat juga disebut sebagai tahapan
pengembangan infrastruktur/remaja telah menjadi area yang menarik bagi teori
organisasi pada dekade ini (Adizes, 1979, 1989; Downs, 1967; Greiner, 1972; Hanks,
dkk., 1993; Miller dan Friesen, 1984; Penrose, 1952; Quinn dan Cameron, 1983
dalam Lester dan Parnell, 2008). Menurut Jones (2004) mengartikan pertumbuhan
organisasi: Sebagai tahapan dalam siklus kehidupan organisasi (life cycle
organization) dimana organisasi mampu mengembangkan nilai-menciptakan
keahlian dan kompentensi sehingga mendapatkan sumber daya tambahan.
Pertumbuhan ini memungkinkan organisasi meningkatkan pembagian kerja dan
spesialisasi serta sekaligus mengembangkan keunggulan kompetitif. Sekali
organisasi mampu mendapatkan sumber daya, maka dipastikan organisasi tersebut
dapat memperoleh keuntungan sehingga dapat lebih berkembang lagi. Pengertian ini
senada dengan apa yang dikemukakan oleh Brothers dan Sherman (2012) yang
mendefinisikan pertumbuhan organisasi: Sebagai perluasan yang signifikan pada
6

penyediaan program, pelayanan masyarakat, pengadaan tempat, anggaran operasi,


dan sebagaianya.
Komponen-komponen pengembangan kapasitas organisasi nonprofit pada
tahap pertumbuhan atau tahap pengembangan infrastruktur/remaja yang digunakan
sebagai acuan dalam penelitian ini adalah menurut Brothers dan Sherman (2012)
yang secara spesifik menguraikan enam komponen internal organisasi yang harus
dikelola dan dikembangkan oleh organisasi nonprofit, yaitu: Pertama,
kepemimpinan; Kedua, perluasan program; Ketiga, manajemen dan infrastruktur;
Keempat, keberlanjutan keuangan; Kelima, peranan dewan pengurus; Keenam,
budaya organisasi. Kemudian untuk komponen eksternal organisasi digunakan model
yang dikemukakan De Vita, dkk (2001) yang terdiri atas empat, yakni: Pertama,
sosial demografik. Kedua, kondisi ekonomi/pasar. Ketiga, politik. Keempat, nilai-
nilai dan norma masyarakat. Dari berbagai komponen pengembangan kapasitas
organisasi nonprofit pada tahap pertumbuhan tersebut, maka dapat digambarkan
sebagai berikut.

Gambar 1. Pengembangan Kapasitas Organisasi Nonprofit


pada Tahap Pertumbuhan
Sumber: Diadaptasi dari Brothers dan Sherman (2012) dan De Vita, dkk (2001)

Menurut Wolf (2012) organisasi nonprofit dapat didefinisikan sebagai


organisasi yang mempunyai misi utamanya adalah melayani masyarakat. Organisasi
nonprofit bukan diorganisir untuk mencari keuntungan atau amal korporasi.
7

Kemudian United Nations Developments Program/UNDP (2011) mendefinisikan


LSM yang merupakan bentuk organisasi nonprofit sebagai kelompok masyarakat
yang dibentuk secara sukarela dan tidak berorientasi laba, yang diorganisasikan
dalam tataran lokal, nasional, atau internasional.

III. METODE PENELITIAN

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma


konstruktivisme/interpretivisme. Sedangkan Pendekatan yang digunakan adalah
action research (penelitian tindakan) berbasis Soft Systems Methodology (SSM) yang
terdiri atas dua jenis aktivitas sebagai proses siklus ganda (dual cycle process), yaitu:
Pertama, siklus penelitian tindakan berbasis problem solving interest. Kedua, siklus
penelitian tindakan yang berbasis research interest. Keduanya tidak berdiri sendiri,
tetapi saling berhubungan satu sama lain (McKay dan Marshall, 2001). Kedua siklus
yakni problem solving interest dan research interest dalam penelitian tindakan
tersebut digambarkan oleh McKay dan Marshall (2001) sebagai berikut.

Gambar 2. The Dual Imperatives of Action Research


Sumber: McKay dan Marshall (2001)
8

Secara keseluruhan penggunaan SSM ini dilakukan melalui tujuh proses tahapan,
seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3. Proses Dasar SSM


Sumber: Checkland dan Poulter (2006)

Teknik-teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yakni:
observasi partisipatif, wawancara mendalam, studi kepustakaan dan dokumentasi,
serta pertemuan formal dan informal.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengungkapan Situasi Masalah
Pada bagian ini akan digambarkan situasi permasalahan yang dianggap
problematik. Menurut Checkland (1990) ada tiga jenis analisis yang perlu
diperhatikan, yaitu:
Pengenalan Situasi Problematik: Analisis Satu
Pada Analisis Satu atau analisis intervensi ini akan diidentifikasi aktor-aktor
yang ada dalam real world yang akan menjadi rujukan, serta peran mereka dalam
real world. Dalam aplikasi tahap pertama SSM adalah menentukan situasi
problematik yang dihadapi Yayasan Pesat Papua sebagai real world view yang
diteliti. Selanjutnya, ditetapkan siapa yang akan menjadi C (Clients), P
(Practitioners), dan O (Owners of the issue addressed).
Pengenalan Situasi Problematik: Analisis Dua (Sosial)
9

Checkland dan Poulter (2006) menjelaskan ketiga elemen sosial yang terdiri
atas; peran (roles), norma (norms), dan nilai (values). Ketiga elemen sosial tersebut
saling berkaitan erat, bersifat dinamis, dan selalu berubah dalam kurun waktu seiring
dengan perubahan dunia nyata. Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan analisa
sistem sosial pada sistem yang ada dalam Yayasan Pesat Papua.
Peran (Roles)
Peran adalah posisi sosial yang menandai perbedaan di antara anggota
kelompok atau organisasi. Kelompok di yayasan terdiri dari Pembina, Pengawas, dan
Pengurus (sekurang-kurangnya terdiri atas: seorang ketua, sekretaris, dan
bendahara).
Norma (Norms)
Norma adalah perilaku yang diharapkan yang terkait dengan peran. Jadi
pengertian norma di sini adalah terkait dengan berbagai ketentuan peran dan
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pembina, dewan pegawas, pengurus,
divisi-divisi, unit-unit pelaksana, dan pengurus cabang yang ada dalam Yayasan
Pesat Papua.
Nilai (Values)
Nilai-nilai (values) adalah standar atau kriteria ke dalam mana perilaku yang
sesuai dengan peran (behavior-in-role) dinilai. Adapun nilai-nilai yang dimiliki oleh
Yayasan Pesat Papua didasarkan nilai-nilai dalam Al-Kitab.
Pengenalan Situasi Problematik: Analisis Tiga (Politik)
Analisis tiga atau analisis politik dilakukan untuk mencari tahu situasi
problematik yang sudah dibuat dengan memasukkan situasi politik, dimana hal ini
selalu kuat dalam menentukan keberhasilan Yayasan Pesat. Beberapa komoditas
yang perlu mendapat perhatian di dalam Analisis Tiga, antara lain: (1) terkait dengan
peran: karisma personal, keanggotaan dalam berbagai komisi, akses yang teratur
kepada pemegang kekuasaan. (2) terkait dengan basis pengetahuan (knowledge-
based setting): otoritas dan reputasi intelektual, reputasi membuat laporan suatu
pertemuan. (3) terkait dengan penguasaaan informasi: mempunyai akses terhadap
informasi yang penting, mempunyai akses untuk menutup akses orang lain terhadap
informasi penting (Hardjosoekarto, 2012).
Rich Picture
Penyusunan rich picture memerlukan tiga peran yang menjadi rujukan saat
menyusun gambar. Pertama, seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan
10

terjadinya investigasi dan dilaksanakannya intervensi (client). Kedua, seseorang atau


sekelompok orang yang melakukan investigasi (practitioner). Ketiga, pemilik isu
(owner of the issues addressed atau issues owner). Pemilik isu memegang peran
penting karena mempresentasikan investigasi penelitian.
Berdasarkan dari hasil informasi narasumber berikut adalah hasil penyusunan
gagasan situasi problematik yang diperoleh dari para aktor pada sepuluh komponen
pengembangan kapasitas Yayasan Pesat Papua pada tahap pertumbuhan.
Pertama, komponen kepemimpinan, pembina dan ketua yayasan belum
optimal mengimbangi perubahan organisasi yayasan ketika berada pada tahap
pengembangan infrastruktur/remaja. Gaya kepemimpinan yang digunakan oleh
pemimpin, khususnya dewan pembina adalah masih cenderung bergaya
kepemimpinan karismatik, tunggal, dan informal atau porpuseful entreprenuerial
(PaEi), yang merupakan ciri khas dari gaya kepemimpinan pada tahapan bayi atau
back to basics.
Kedua, komponen budaya organisasi, nilai-nilai budaya organisasi yang
berlaku di Yayasan Pesat masih dominan bersifat informal belum berkembang
menjadi formal, padahal situasi yayasan saat ini sedang mengalami perkembangan
yang cukup signifikan.
Ketiga, peranan dewan pembina, diusia yang telah mencapai enam belas
tahun, Yayasan Pesat Papua baru memiliki satu orang pembina, yang juga
merupakan pendiri dari Yayasan Pesat, padahal program dan cakupan geografis
layanan yayasan saat ini semakin luas, semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas
staf yang ada serta ditambah pula dengan aktivitas pribadi pembina/pendiri yang
semakin tinggi.
Keempat, perluasan program, Yayasan Pesat telah berupaya memperluas
program-program kerjanya. Jadi, bukan hanya mengembangkan program di bidang
pendidikan, tetapi juga mengembangkan program di bidang kerohanian, kesehatan,
media informasi, dan bidang pengembangan usaha dan ekonomi. Namun, perumusan
perluasan program-program baru tersebut belum dirumuskan atau direncanakan
melalui sebuah proses benar, seperti melalui analisis SWOT (Bryson, 2004; Daft,
2007; Chaston, 2011; Alison dan Kaye, 2013), membuat model logik (Tschirhat dan
Bielefeld, 2012; Brothers dan Sherman 2012), dan melakukan validitas program-
program baru terlebih dahulu (Brothers dan Sherman, 2012), sehingga beberapa
program baru tersebut dalam implementasinya tidak dapat berjalan secara lancar, dan
11

sebab lainnya adalah belum tersedianya dana atau keuangan yang mencukupi untuk
merealisasikan program-program baru tersebut.
Kelima, manajemen dan infrastruktur, selama beroperasi enam belas tahun,
Yayasan Pesat telah berupaya semaksimal mungkin meningkatan keahlian staf yang
dimiliki. Pembina yayasan sangat memberikan perhatian yang cukup besar terhadap
hal ini. Melalui keputusan pembina, beberapa staf yang terlihat memiliki potensi
yang cukup baik diberikan kesempatan dan beasiswa untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan keahliannya melalui jalur pendidikan formal maupun informal.
Mereka disekolahkan sampai ke jenjang sarjana, magister, bahkan sampai ke tingkat
doktor agar mereka dapat bekerja secara baik dan mampu mengembangkan yayasan
secara efektif. Namun dari hasil temuan tersebut, yang perlu dicatat adalah bahwa
pemimpin masih memiliki kelemahan untuk bagaimana mengorganisasikan,
memelihara, dan mempertahankan staf yang ada tersebut supaya mereka dapat
bekerja sesuai dengan keahliannya dan tetap bertahan di yayasan sehingga tidak
perlu keluar meninggalkan yayasan, atau walaupun ada beberapa staf yayasan yang
disekolahkan tersebut harus bekerja di luar Yayasan Pesat, namun diharapkan
mereka tetap dapat memberikan bantuan bagi kemajuan yayasan, oleh karena itu
untuk mengatasi persoalan ini, perlu adanya manajemen sumber daya manusia
(MSDM) yang baik. Dalam penggunaan TI (Teknologi Informasi) ternyata Yayasan
Pesat dapat dikatakan sudah cukup maju. Penggunaan TI ini bukan hanya digunakan
oleh staf yayasan melalui unit komputer dan jaringan informasi internet guna
mengelola data dan informasi, melakukan tugas-tugas layanan administrasi,
mempublikasikan dan memberikan laporan-laporan tentang keberadaan dan
perkembangan kegiatan yayasan kepada para donatur, pemerintah, dan masyarakat
luas secara interaktif dan berkala, tetapi juga diajarkan kepada anak-anak sejak
mereka duduk di sekolah dasar sampai ke jenjang sekolah menengah atas.
Sedangkan, untuk komunikasi dengan publik, dalam hal ini dengan masyarakat,
pemerintah daerah, dan para donatur sebagai sarana akuntabilitas terhadap seluruh
perkembangan kegiatan yayasan guna meningkatkan dukungan sukarela mereka
terhadap program-progam yang dilaksanakan oleh yayasan sudah berjalan cukup
baik.
Keenam, keberlanjutan keuangan, Yayasan Pesat belum mampu memiliki
keuangan yang cukup untuk membiayai seluruh kegiatan program, penambahan staf
administrasi, dan memperluas tempat/ruang kerja. Sumber penerimaan keuangan
12

Yayasan Pesat masih banyak diperoleh dari sumbangan para donatur baik secara
lembaga maupun secara pribadi. Upaya-upaya melalui sumber-sumber keuangan
lainnya, seperti usaha-usaha ekonomi yayasan, hasil penjualan layanan yayasan, dan
bantuan pemerintah masih belum berjalan maksimal sehingga hasilnya pun belum
optimal. Ketujuh, sosial demografik, kondisi sosial demografik Papua yang masih
sangat tertinggal, luas, dan kompleks. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu adanya
kolaborasi. Namun kolaborasi antara pihak Yayasan Pesat dengan pihak yayasan
lainnya, pemerintah daerah dan swasta untuk bermitra guna menjangkau dan
melayani masyarakat pedalaman Papua belum terbentuk secara optimal. Padahal
kolaborasi ini sangat penting dibentuk supaya dapat mengeksplorasi perbedaan dan
mencari solusi yang konstruktif dan saling menguntungkan sehingga dapat
memperoleh hasil yang berkualitas.
Kedelapan, kondisi ekonomi/pasar di Papua yang masih sangat miskin dan
terbelakang belum dapat mendukung kegiatan yayasan secara finansial, maka
membangun kegiatan bisnis sangat diperlukan untuk menghasilkan keuntungan
finansial guna menopang seluruh biaya operasional yayasan yang semakin besar
jumlahnya. Yayasan Pesat telah merencanakan dan membangun kegiatan bisnis.
Namun hasilnya sementara ini belum maksimal menghasilkan keuntungan finansial
guna menopang seluruh biaya operasional yayasan jika dibandingkan dengan
sumbangan dari para donatur.
Kesembilan, politik, Yayasan Pesat Papua belum pernah terlibat dalam
pengambilan keputusan/kebijakan melalui kegiatan Musrenbang atau melalui bentuk-
bentuk partisipasi politik lainnya, seperti melakukan lobi dan negosiasi, melakukan
diskusi dan komunikasi dengan pejabat politik/administratif, dan sebagainya agar
dapat memberikan masukan-masukan bagi terciptanya produk kebijakan pemerintah
yang aspiratif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masayarakat pedalaman
Papua secara optimal. Selain itu, pemerintah daerah belum membuka akses selebar-
lebarnya kepada pihak yayasan untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan kegiatan
Musrenbang atau kegiatan politik lainnya, seperti melakukan lobi dan negosiasi.
Kesepuluh, nilai-nilai dan norma masyarakat. Nilai-nilai atau adat istiadat dan
norma yang berlaku pada keluarga masyarakat pedalaman Papua sebagian besar
belum mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi posisi perempuan dan anak-
anak dalam struktur keluarga, khususnya untuk mengikuti kegiatan pendidikan
(UNDP, 2005; Tim Sintese, 2006; ILO-EAST, 2011; Bhakti dan Pigay, 2012). Oleh
13

karena itu, dengan kondisi seperti itu maka perlu dilakukan hubungan masyarakat
yang intensif dan berkesinambungan guna mempengaruhi dan merubah cara pandang
dan hidup masyarakat tersebut, dan ternyata Yayasan Pesat sudah sangat baik
menjalankan humas, sehingga banyak masyarakat pedalaman Papua yang telah sadar
betapa pentingnya pendidikan bagi hidup dan masa depan anak-anak mereka.
Berdasarkan uraian tersebut, berikut ini ditampilkan rich picture dari
Pengembangan Kapasitas Organisasi Yayasan Pesat pada Tahap
Pertumbuhan/Remaja.

Gambar 4. Rich Picture Pengembangan Kapasitas Organisasi Nonprofit pada


Tahap Pertumbuhan di Yayasan Pesat Papua

Analisis Komponen-Komponen Pengembangan Kapasitas Organisasi Nonprofit


pada Tahap Pengembangan Infrastruktur/Remaja

Pada bagian ini akan diuraikan analisis dari setiap komponen pengembangan
kapasitas organisasi nonprofit pada tahap pertumbuhan di Yayasan Pesat Papua,
sebagai berikut:
Kepemimpinan
14

Untuk mengatasi situasi problematik pada kepemimpinan yayasan, maka


dewan pembina dan ketua harus mampu beradaptasi atau melengkapinya secara
maksimal dengan gaya kepemimpinan transformasional, atau alternatif lain yang
yayasan bisa lakukan adalah menyewa atau mengangkat pemimpin baru (anggota
dewan pembina atau direktur eksekutif) yang memiliki model kepemimpinan
transformasional agar dapat melengkapi tipe pemimpin yang ada sebelumnya.
Budaya Organisasi
Budaya organisasi yang berlaku di Yayasan Pesat pada tahap pertumbuhan
belum berkembang secara optimal guna memperkuat perkembangan dan perubahan
yang terjadi di yayasan. Karena itu perlu dibuat desain struktur sederhana. Struktur
sederhana dipilih dan digunakan di dalam yayasan karena dianggap mampu
menjawab perubahan organisasi pada tahap remaja, serta dapat mengatur elemen-
elemen dalam yayasan agar dapat saling mendukung, bekerjasama, dan bersatu padu
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Struktur sederhana ini kuncinya terletak
pada strategi apex, yaitu para manajer tingkat puncak yang diberi tanggung jawab
keseluruhan organisasi tersebut (Mintzberg, 1979).
Peranan Dewan Pengurus
Program dan cakupan geografis layanan yayasan saat ini semakin luas, semakin
meningkatnya kuantitas dan kualitas staf yang ada serta ditambah pula dengan
aktivitas pribadi pembina/pendiri yang semakin tinggi, maka perlu dilakukan
perbaikan komposisi dewan pembina yang dapat mengimbangi perubahan yang
terjadi di yayasan melalui proses identifikasi, rekrutmen, dan integrasi beberapa
anggota dewan pembina baru ke dalam komposisi dewan pembina Yayasan Pesat
(BoardSource, 2012).
Perluasan Program
Perumusan perluasan program-program baru tersebut ternyata belum
dirumuskan atau direncanakan melalui sebuah proses yang benar, seperti melalui
kegiatan analisis SWOT (Bryson, 2004; Daft, 2007; Chaston, 2011; Alison dan
Kaye, 2013), membuat model logik (Tschirhat dan Bielefeld, 2012; Brothers dan
Sherman 2012), dan melakukan validitas program-program baru terlebih dahulu
(Brothers dan Sherman, 2012), sehingga beberapa program baru tersebut dalam
implementasinya tidak dapat berjalan secara lancar, dan sebab lainnya adalah belum
tersedianya dana atau keuangan yang mencukupi untuk merealisasikan program-
program baru tersebut.
15

Manajemen dan Infrastruktur


Yayasan Pesat telah berupaya semaksimal mungkin meningkatan keahlian
staf yang dimiliki. Pembina yayasan memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap hal ini. Namun dari hasil temuan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah
bahwa pemimpin masih memiliki kelemahan untuk bagaimana mengorganisasikan,
memelihara, dan mempertahankan staf yang ada tersebut supaya mereka dapat
bekerja sesuai dengan keahliannya dan tetap bertahan di yayasan. Dalam
penggunaan TI ternyata Yayasan Pesat dapat dikatakan sudah cukup maju.
Sedangkan, untuk komunikasi dengan publik, dalam hal ini dengan masyarakat,
pemerintah daerah, dan para donatur sebagai sarana akuntabilitas terhadap seluruh
perkembangan kegiatan yayasan guna meningkatkan dukungan sukarela mereka
terhadap program-progam yang dilaksanakan oleh yayasan sudah berjalan cukup
baik.
Keberlanjutan Keuangan
Yayasan belum mampu memiliki keuangan yang cukup untuk membiayai
seluruh kegiatan program, penambahan staf administrasi, dan memperluas
tempat/ruang kerja. Sumber penerimaan keuangan Yayasan Pesat masih banyak
diperoleh dari sumbangan para donatur baik secara lembaga maupun secara pribadi.
Upaya-upaya melalui sumber-sumber keuangan lainnya, seperti usaha-usaha
ekonomi yayasan, hasil penjualan layanan yayasan, dan bantuan pemerintah
(Anheier, 2005) perlu ditingkatkan lagi supaya dapat memperoleh hasil yang
optimal.
Sosial Demografik
Kondisi sosial demografik Papua masih sangat tertinggal, luas, dan kompleks
dapat dilakukan melalui kolaborasi. Namun kolaborasi antara pihak Yayasan Pesat
dengan pihak yayasan lainnya, pemerintah daerah dan swasta untuk bermitra
menjangkau dan melayani masyarakat pedalaman Papua belum dapat terwujud
dengan baik.
Ekonomi/Pasar
Kondisi ekonomi/pasar di Papua belum mendukung kegiatan yayasan secara
finansial. Karena itu Yayasan Pesat telah merencanakan dan membangun kegiatan
bisnis dan keikut sertaan modal dalam dunia usaha. Namun hasilnya sementara ini
belum maksimal menghasilkan keuntungan finansial guna menopang seluruh biaya
operasional yayasan jika dibandingkan dengan sumbangan dari para donatur.
16

Politik
Yayasan Pesat Papua belum pernah terlibat dalam pengambilan
keputusan/kebijakan melalui kegiatan Musrenbang atau melalui bentuk-bentuk
partisipasi politik lainnya, seperti melakukan lobi dan negosiasi, melakukan diskusi
dan komunikasi dengan pejabat politik/administratif, dan sebagainya. Oleh karena
itu, Yayasan Pesat perlu mengambil inisiatif untuk berpartisipasi dalam kegiatan
Musrenbang atau dalam bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya agar dapat
memberikan masukan-masukan bagi terciptanya produk kebijakan pemerintah yang
aspiratif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masayarakat pedalaman Papua
secara optimal. Pemerintah daerah juga perlu memberikan akses bagi Yayasan Pesat
agar dapat berpartisipasi secara politik.
Nilai-Nilai dan Norma Masyarakat
Nilai-nilai atau adat istiadat dan norma yang berlaku pada keluarga
masyarakat pedalaman Papua sebagian besar belum mampu menciptakan kondisi
yang kondusif bagi posisi perempuan dan anak-anak dalam struktur keluarga,
khususnya untuk mengikuti kegiatan pendidikan (UNDP, 2005; Tim Sintese, 2006;
ILO-EAST, 2011; Bhakti dan Pigay, 2012). Oleh karena itu, perlu dilakukan
hubungan masyarakat yang intensif dan berkesinambungan guna mempengaruhi dan
merubah cara pandang dan hidup masyarakat tersebut, dan ternyata Yayasan Pesat
sudah sangat baik menjalankan humas, sehingga banyak masyarakat pedalaman
Papua yang telah sadar betapa pentingnya pendidikan bagi hidup dan masa depan
anak-anak mereka.
Seluruh temuan kajian Pengembangan Kapasitas Yayasan Pesat Papua pada Tahap
Pertumbuhan tersebut dapat digambarkan di bawah ini:
17

Gambar 5. Konstruksi yang dihasilkan dalam konteks Penelitian


Pengembangan Kapasitas Organisasi Nonprofit pada Tahap Pertumbuhan
di Yayasan Pesat Papua

V. PENUTUP
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa poin penting. Berkaitan dengan
kepentingan teori (research interest) pengembangan kapasitas organisasi nonprofit
pada tahap pertumbuhan perlu adanya kebaharuan teori pengembangan kapasitas
organisasi nonprofit pada tahap pertumbuhan yang berlaku selama ini, yaitu:
kepemimpinan transformasional dan struktur sederhana. Sedangkan berkaitan
dengan kepentingan pemecahan masalah (problem solving interest) pengembangan
kapasitas organisasi nonprofit pada tahap pertumbuhan perlu ada kebaharuan, yakni:
manajemen SDM, kolaborasi, kegiatan bisnis, partisipasi, dan hubungan masyarakat
(humas).
Berkaitan dengan metodologi: penelitian ini menyumbangkan metode
penelitian tindakan berbasis SSM dengan dua kategori, yaitu research interest dan
problem solving untuk memecahkan permasalahan dalam pengembangan kapasitas
organisasi nonprofit secara kelimuan. Selama ini, penelitian tentang pengembangan
18

kapasitas organisasi nonprofit, metode penelitian dan analisis yang digunakan oleh
para peneliti sebelumnya adalah studi kasus, grounded theory, survei, kualitatif,
kuantitatif, eksplonatori, dan menggunakan metode campuran kuantitatif dan
kualitatif.
Untuk penelitian lanjutan yang serupa dengan penelitian ini dapat pula
dilakukan dengan menambahkan obyek penelitian yakni berupa organisasi
nonprofit/LSM lainnya sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembanding dalam
melakukan pengembangan kapasitas organisasi nonprofit pada tahap
pertumbuhan/pengembangan infrastruktur maupun pada tahap-tahap selanjutnya
yang ada di dalam siklus kehidupan organisasi.
Terakhir, pendidikan berpola asrama yang selama ini dijalankan oleh
Yayasan Pesat bagi anak-anak asli pedalaman Papua, mulai dari TK, SD, SMP,
SMA/SMK, bahkan sampai Perguruan Tinggi sejalan dengan upaya Revolusi Mental
yang merupakan program utama dari presiden terpilih Joko Widodo. Pelayanan
pendidikan berpola asrama ini ternyata mampu meningkatkan kualitas kehidupan,
kesejahteraan, dan masa depan masyarakat Papua secara lebih baik lagi. Oleh karena
itu, pelayanan pendidikan pola asrama ini perlu dilakukan secara lebih masif dan
sungguh-sungguh lagi di seluruh wilayah pedalaman Papua oleh pihak pemerintah,
LSM, dan pihak swasta melalui kolaborasi.

DAFTAR REFERENSI

BoardSource. (2012). The Nonprofit Board Answer Book: A Oractical Guide for
Board Members and Chief Executives. Third Edition. San Fransisco: Jossey-
Bass.

Brinckerhoff, Peter. (2012). Smart Stewardship for Nonprofit: Making the Right
Decision in Good Times and Bad. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Brothers, John & Anne Sherman. (2012). Building Nonprofit Capacity: A Guide
Managing Change Through Organizational Lifecycle. New York: Jossey-
Bass.

Clark, William. (2012). “Introducing Strategic Thinking into a Non-profit


Organization to Develop Alternative Income Streams.” Virginia : Journal of
Practical Consulting, Vol. 4 Iss. 1, pp. 32-42.

Connors, D. Tracy. (2012). The Volunteer Management Handbook: Leadership


Strategies for Succes. Second Edition. New Jersey: John Wiley & Son, Inc.
19

Hardjosoekarto, Sudarsono. (2013). “Dual Imperatives of Action Research: Lesson


from Theoretical Research Practice to Construct Social Development Index
by Using Soft Systems Methodology.” Human Resource Management
Research 2013, 3(1): 49-53.

Kusumahadi, Methodius. (2014). “Manajemen Strategis 3R: Kunci Internal


Governance yang Baik di LSM. Jakarta: Jurnal Akuntabilitas Organisasi
Masyarakat Sipil. Edisi 2, Februari-Juni 2014.

Pulu, Lily. (2014). “Potret Praktik Tata Pengurusan Internal dan Prinsip-prinsip Etik
di LSM, Studi kasus hasil Assesment 18 Anggota Konsil LSM Indonesia.”
Jakarta: Jurnal Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil. Edisi 2, Februari-
Juni 2014.

Tschirhart, Mary & Wolfgang Bielefeld. (2012). Managing Nonprofit Organizations.


San Fransisco: John Wiley & Sons, Inc.

Wolf, Thomas. (2012). Managing A Nonprofit Organization: Updated Twenty-First-


Century Edition. New York: Free Press.

Anda mungkin juga menyukai