Anda di halaman 1dari 5

NAMA : INTAN PEBRIYATI

KELAS : SOSIOLOGI AGAMA 6A

MATA KULIAH: KAJIAN TEKS ARAB

Kajian Multikulturalisme Dalam Kitab Kuning

Jurnal ini berisi mengenai peristiwa pengeboman yang terjadi di kota Surabaya tepatnya berada
di gereja-gereja yang dipicu oleh sekelompok orang yang berpaham radikalisme. Banyak nyawa
yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Sekelompok orang tersebut juga menargetkan
anak-anak dan juga perempuan. Kelompok orang tersebut dengan berpegang teguh kepada ajaran
yang radikalisme rela mati dengan alasan jihad fisabilillah. Dalam jurnal ini dengan jelas
menjelaskan mengenai peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan radikalisme. Dikatakan
bahwa islam dipesantren menjadi cikal bakal pertumbuhan paham radikalisme dan intoleralisme.
Dengan banyak bukti yang disebutkan dalam jurnal ini, bahwasanya banyak sekali peristiwa
pengeboman yang terjadi atas dasar nama agama. Tetapi yang menjadi pertanyaan, mengapa
masih ada orang islam yang beranggapan seperti itu sedangkan dalam ajaran agamanya juga
mengajarkan pentingnya toleransi agama dan juga keadilan. Apakah ada sekelompok orang yang
memasulkan ajaran tersebut ataukah mengubah makna dari ajaran al-quran dan hadis tersebut?

Dikatakan bahwa pendidikan berbasis pesantren tersebar diseluruh Indonesia, entah itu perkotaan
maupun perdesaan. Akan tetapi dalam realitasnya Indonesia malah mengalami demoralisasi yang
meningkat di setiap tahunnya. Demoralisasi pada hakekatnya bisa dikatakan sebagai suatu jenis
realitas sosial yang memperlihatkan bahwa arti moral atau standard moral dari suatu lingkungan
sosial telah mengalami penurunan bahkan kemunduran baik secara lingkup besar maupun dalam
ruang lingkup yang terkecil. Demoralisai ini merupakan penurunan berbagai jenis moral karena
adanya pengaruh globalisasi yang tidak dilakukan filteralisasi terlebih dahulu. Demoralisasi ini
menyeret bangsa dalam keterpurukan dengan makin banyaknya muslim Indonesia yang tidak
bisa lagi menghormati perbedaan serta lunturnya sikap saling menghargai dan toleransi. Nilai-
nilai ajaran agama tidak lagi dijadikan tempat terhormat dalam kendali emosi dan ambisi pribadi
sehingga menghalalkan segala cara.
Dalam sejarah dan tradisi pesantren, literature kegamaan kitab kuning tidak saja menjadi pusat
orientasi studi, tetapi juga system nilai yang membentuk dan mewarnai paham dan praktik
keagamaan komunitas pesantren dan masyarakat muslim sekitarnya. tetapi dalam realitasnya,
kurikulum di pesnatren dan kurikulum di sekolah sekrang lebih menekankan kepada hafalan. Ini
jauh menciptakan siswa cerdas dan kreatif tetapi sarat dengan beban serta tidak mencerminkan
keanekaragaman bangsa Indonesia. Hal ini menjadikan wawasan kebangsaan sangat rendah
disamping karena pembelajaran dan kurikulum tidak mempresentasikan kemajuan dan budaya
dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Banyak sekali mereka yang melupakan bahkan tidak tahu
mengenai jati diri mereka sebagai warga Negara Indonesia. Banyak sekali campur tangan budaya
luar yang merubah karakter warga Negara Indonesia. Tak hanya kepada kebudayaanya saja,
melainkan juga karakter, adat, bahkan peraturan dari sebuah kepercayaan. Maka perubahan
karakter tersebut akan memperngaruhi kehidupan sehari-hari mereka, dan bisa menimbulkan
sebuah perbedaan sehingga dapat menyulut kekerasan juga.

Diperlukan kompetensi dalam ranah wawasan kebangsaan yang mengakomodasi segala bentuk
keanekaragaman budaya bangsa Indonesia agar karakter dan kepribadian santri akan tertanam
nilai-nilai kemajemukan budaya. Strategi pembelajaran seperti ini diharapkan meminimalisir
budaya arabisasi yang kian marak berkembang dan makin massif di Indonesia, misalnya cara
berpakain dan bersikap, berjubah dan berjenggot, serta cara bertutur yang menggunakan istilah
kearab-araban. Karena setelah masuknya pengaruh arab Saudi ini telah terjadi pola perubahan
cara memaknai ajaran islam di Negara Indonesia ini. Di Indonesia masyarakat muslim
mengalami arabisai ini salah satu tanda terkecilnya adalah menerapkan pemisahan yang ketat
dalam pergaulan sosial pria dan wanita.

Cara untuk menghindari fenomena diatas salah satunya dengan mempelajari kitab kuning dengan
serius, karena kitab kuning klasik ditulis pada abad lampau yang kadang terkesan tidak merespon
tuntutan zaman. Situasi budaya dan politik yang ditulis sering luput dipikiran ustadz ketika
mengaji, setidaknya melakukan kontekstualisasi agar pemahaman yang diapat santri tidak
berujung pada multitafsir dan salah paham. Jika ini tidak dilakukan, maka stigma radikal itu akan
menjadi menguat. Banyak pesantren yang masih menjaga system tersebut. Maka jika ada yang
berpikir radikalisme merupakan produk dari pesantren itu dapat dibantah secara historis. Capaian
kemerdekaan atas perlawanan dan perang melawan belanda semua bersumber atau setidaknya
mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren. Mereka menggunakan justifikasi religious dan
term-term simbolik menuju gerbang kemerdekaan. Maka untuk pembahasan lebih lanjut dalam
jurnal ini, penulis akan membahas mengenai sejauh mana nilai-nilai pluralisme dan
multikulturalisme memperoleh tempat dalam kitab kuning. Penulis menggunakan metode
pendekatan heurmenetika yang cara menafsirkannya menggunakan symbol yang berupa teks atau
sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya. Pendekatan ini juga
mampu menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa dimasa sekarang.
Menurut Wilhem Ditley tugas heurmenetika adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik
atas realitas sosial dimasa lampau yang asing sama sekali agar menjadi milik orang yang hidup
di masa, tempat dan suasana yang berbeda.

Indonesia yang multiras, multietnis, dan multiagama akan menjadi sangat sensitive ketika terjadi
gesekan-gesekan ditataran horizontal. Ragam budaya dan agama menjadi problematic ketika
keberagaman dan keberbudayaan seseorang bergesekan dengan orang atau kelompok lain.
Kondisi ini kian bertambah dengan masuknya factor-fektor eksternal lainnya seperti: globalisasi,
politik domestic, dan kondisi sosial budaya yang berbarengan dengan factor internal seperti:
penafsiran agama dan budaya. Persoalan-persoalan ini akan melahirkan ketegangan budaya,
fundamentalis agama, dan konflik antar etnis. Salah satu factor pencetusnya adalah agama dan
budaya. Ragam cara untuk meredakan gesekan konflik yaitu dengan pendidikan multicultural.
Berbicara multicultural tidak bisa terlepas dari paradigm plural yang merupakan penggerak awal
multicultural. Plural atau prulalisme adalah sbeuah konsep yang menunjuk kepada suatu
pengakuan. Secara historis pluralisme muncul pada masa-masa pencerahan Eropa pada abad ke-
18 Masehi sebagai awal kebangkitan gerakan pemikiran modern di Eropa. Sedangkan
multikulturalisme lebih luas ruang lingkupnya daripada pluralisme karena lebih dari sekedar
keberagaman budaya. Orientasi kebudayaan dengan segala unsurnya lebih dipertajam dan lebih
luas karena ranah budaya menjangkau segala aspek. Dapat disimpulkan istilah multikulturalisme
dipilih untuk menjangkau segala aspek keberagaman yang berlatar budaya seperti: agama,
bahasa, difabilitas, ras, etnik, gender, orientasi seksual, dsb. Prinsip yang penting dalam
multikulturalisme adalah prinsip kesetaraan.

Pesantren memiliki banyak dimensi yang terkait, plural, tidak seragam, dan tidak berwajah
tunggal. Pesantren kelihatannya berpola seragam tetapi beragam. Tampak konservatif tetapi
secara diam-diam atau terang-terangan mengubah diri dan mengubah denyut perkembangan
zaman. Pesantren merupakan lembaga pendidikan klasik dan tradisional yang melestarikan
budaya, tetapi justru semakin survive dan bahkan dianggap alternative di era globalisasi dan
modernisasi dunia seperti saat itu. Seiring dengan perkembangan dunia pesantren dihadapkan
kepada beberapa fenomena perubahan sosial dan multikuluturalisme. Kemajuan tekhnologi
informasi, dinamika sosial politik, dan sejumlah perubahan yang terbingkai dalam dinamika
masyarakat. Sesuatu yang wajar jika pesantren dijadikan sebagai contoh untuk sebuah
masyarakat kecil yang multikultur karena santrinya datang beragam dari berbagai budaya dan
suku. Meskipun begitu hal ini tidak lepas dari gesekan dan konflik bernuansa sentiment
kedaerahan.

Didalam pesantren pembelejaran utamanya yaitu pada kitab kuning. Kitab kuning menjadi
identitas karakteristik pesantren dan sebagai alat reproduksi dari sebuah subkultur tersebut.
Pesantren dengan identitas keagamaan dipandang ekslusif dan tidak bisa kompromistis. Ini tidak
selamanya benar karena perbincangan teologis kontemporer selalu memunculkan pluralisme
agama dan multikulturalisme yang makin menguat. Ada lima sikap teologis seseorang atau
kelompok yang sering berimplikasi pada sikap kulturalnya, yaitu: eksklusif, inklusif, pluralis,
apologis, dan sinkretis. Kitab kuning adalah betuk ijtihad pemikiran ulama dalam
menerjemahkan kandungan al-quran dan hadis. Hasil hukum yang dikeluarkaan akan berbeda-
beda berdasar tenpat imam tinggal. Dari sini nilai-nilai pluralisme terbentuk, termasuk merespon
budaya local.

Itulah isi dari jurnal ini. Dalam jurnal ini dengan gambling menjelaskan mengenai pesantren
beserta ajaran mengenai kitab kuning. Tetapi dalam jurnal ini tidak menjelaskan secara detail
bagaimana pemikiran, tanggapan dari kelompok radikal mengenai ajaran islam yang
sesungguhnya, dan penyebab mereka melakukan hal keji tersebut.

a. Heurmenetika pada artikel temasuk dalam kategori heurmenetika teoritis. Karena dalam
jurnal tersebut penulis menekankan secara historis bahwa pesantren bukanlah tempat
kelahiran dari paham radikalisme. Penulis menjelaskan bahwa pesantren juga mempunyai
andil dalam kemerdekaan Indonesia. Dan juga pembelajaran-pembelajaran yang terdapat
dalam kitab kuning.
b. Heurmenitaka dalam jurnal ini berfungsi untuk tarsiran dalam al-quran dan juga hadis
yang menguatkan bahwa islam tidak merupakan agama yang radikal. Bahwa islam juga
mencintai persatuan.

Anda mungkin juga menyukai