Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kebijakan Publik

Definisi kebijakan menurut Kartasasmita (1997:142) dalam Widodo

(2001: 189) merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa

yang dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu

masalah, (2) apa yang menyebabkan atau mempengaruhinya, (3) apa

pengaruh dan dampak dari kebijakan publik tersebut. Edward III dan

Sharkansky dalam Widodo (2001: 190), yang mengemukakan kebijakan

publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan, atau tidak

dilakukan. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari

program-program pemerintah.

Chandler dan Plano dalam Pasolong (2011: 38), mengatakan bahwa

kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber

daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah. Bahkan

Chandler dan Plano beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan suatu

bentuk investasi yang kontinu oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang

yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut

berpartisipasi dalam pemerintahan.

William N. Dunn (1994) dalam Pasolong (2011: 39), mengatakan

bahwa kebijakan publik adalah satu rangkaian pilihan-pilihan yang saling

berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-
bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan,

energy, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas,

perkotaan dan lain-lain.

Thomas R. Dye dalam Anggara (2014:35) kebijakan publik adalah

apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu. Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu,

tentu ada tujuannya karena kebijakan publik merupakan “tindakan”

pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan, juga

merupakan kebijakan publik yang ada tujuannya.

Kebijakan publik merupakan produk hukum yang diperoleh melalui

suatu proses kegiatan atau tindakan yang bersifat administrative, ilmiah dan

politis yang dibuat oleh pembuat kebijakan (policy maker) dan pemangku

kebijakan terkait (Mulyadi, 2016:45).

Definisi kebijakan publik diatas dapat dikatakan bahwa: (1) kebijakan

publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah, (2)

kebijakan publik harus berorientasi kepada kepentingan publik, dan (3)

kebijakan publik adalah tindakan pemilihan alternative untuk dilaksanakan

atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan publik.

2.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik

Jones dalam Widodo (2001:191) mengartikan implementasi kebijakan

publik sebagai “getting the job done “and” doing it”. Pengertian yang

demikian ini merupakan pengertian yang sangat sederhana. Tetapi dengan


kesederhanaan rumusan yang demikian ini, tidak berarti bahwa implementasi

kebijaksanaan adalah suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan

mudah. Tetapi pelaksanaannya, menurut Jones, menuntut adanya syarat

antara lain, adanya orang atau pelaksana, uang, dan kemampuan

organisasional, yang mana hal ini sering disebut resources.

Van Meter dan Van Horn dalam Anggara (2014:232), implementasi

adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat atau

kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan

yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Implementasi menurut Grindle dalam Mulyadi (2016:47) menyatakan

implementasi merupakan proses umum tindakan administrative yang dapat

diteliti pada tingkat program tertentu.

Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo (2001:192) menjelaskan

makna implementasi dengan mengatakan bahwa “memahami apa yang

senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau

dirumuskan yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya

maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-

kejadian”. Definisi ini menekankan tidak hanya melibatkan perilaku badan-

badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program

dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, tetapi juga

menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung

atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang
terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh pada terhadap dampak-baik yang

diharapkan maupun yang tidak diharapkan-dari suatu program.

Mazmanian & Sabatier lebih lanjut menjelaskan lebih rinci proses

implementasi kebijakan dengan mengemukakan bahwa implementasi adalah

pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-

undang, namun dapat pula beerbentuk perintah-perintah atau keputusan-

keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya

keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi, menyebutkan

secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk

menstrukturkan/mengatur proses implementasinya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi

merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan

melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan

mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu

sendiri. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan

Stewart Jr dalam Agustino (2008: 139) dimana mereka katakan bahwa

implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan

suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan

pencapaian tujuan akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan

yang ingin diraih. Ada beberapa model implementasi kebijakan publik yang

dikemukakan oleh para ahli, dimana dari setiap model yang di kemukaan

memiliki komponen yang berbeda-beda satu sama lain. Beberapa model


tersebut diantaranya adalah Model Donald Van Metter dan Van Horn, Model

Hogwood dan Gunn, dan Model Goerge C. Edward III.

2.2.1 Model Implementasi Donald Van Metter dan Carl Van Horn

Van Meter dan Van Horn dalam (Mulyadi, 2016:72) menyatakan enam

variabel yang harus diperhatikan karena dapat memengaruhi

keberhasilan implementasi, enam variabel tersebut dapat dilihat pada

gambar berikut.

1. Standar Dan Sasaran Kebijakan


Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur, sehingga
tidak menimbulkan interpretasi yang dapat menyebabkan terjadinya
konflik diantara para agen implementasi.
2. Sumber Daya
Kebijakan perlu didukung oleh sumber daya, baik itu sumber daya
manusia maupun sumber daya non manusia.
3. Komunikasi Antar Organisasi Dan Penguatan Aktivitas
Dalam berbagai kasus, implementasi sebuah program terkadang
perlu didukung dan dikoordinasikan dengan instansi lain agar
tercapai keberhasilan yang diinginkan.
4. Karakteristik Agen Pelaksana
Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi kebijakan. Termasuk karakteristik
partisipan yakni mendukung atau menolak.
5. Kondisi Sosial, Ekonomi Dan Politik
Kondisi sosial, ekonomi dan politik mencakup sumber daya
ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Disposisi implementor mencakup tiga hal yaitu respons, kognisi,
intensitas.

2.2.2 Model Hogwood dan Gunn

Hogwood dan Gunn dalam (Mulyadi, 2016:75) menyatakan bahwa

untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat

yaitu:
1. Jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh
lembaga/badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah besar.
2. Sumber daya yang memadai
3. Sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kasual
yang andal
5. Seberapa banyak hubungan kausilitas yang terjadi
6. Seberapa besar hubungan kausalitas yang terjadi
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan yang mendalam
terhadap tujuan
8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang
benar.
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut
dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

2.2.3 Model Implementasi Edward III

George Charles Edward III dalam Anggara (2014:250)

mengemukakan beberapa 4 (empat) variabel yang mempengaruhi

implementasi kebijakan yakni komunikasi, sumberdaya, disposisi atau

sikap pelaksana, dan struktur birokrasi. Keseluruhan variabel saling

berhubungan dan saling memmengaruhi satu sama lain dalam

menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi.

Communication

Resource
Implementation
Performance
Disposition
Bureaucratic
Structure

Gambar 1.1 Model Hubungan Antar Variabel Implementasi Kebijakan Edward III
1. Komunikasi
Komunikasi memiliki peran/fungsi yang cukup penting untuk
menentukan keberhasilan kebijakan publik dalam implementasinya.
Salah satu kelemahan dalam proses kebijakan publik ini, khususnya
yang terjadi di Indonesia, adalah masalah implementasinya. Salah
satu faktornya adalah komunikasi yang lemah. Agustino dalam
Anggara (2014:251) mengemukakan bahwa kebijakan yang
dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi
diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor
semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan
diterapkan dalam masyarakat.
2. Sumber Daya
Sumber daya yang diperlukan dalam implementasi menurut
Edward III yaitu sebagai berikut :
a. Staf, yang jumlah dan kemampuannya sesuai dengan yang
dibutuhkan
b. Informasi, yaitu berkaitan dengan cara melaksanakan kebijakan
dan data yang berkaitan dengan kebijakan yang akan
dilaksanakan.
c. Kewenangan, artinya kewenangan yang dibutuhkan bagi
implementor sangat bervariasi bergantung pada kebijakan yang
harus dilaksanakan. Kewenangan dapat berwujud membawa
kasus ke meja hijau, menyediakan barang dan jasa, kewenangan
untuk memperoleh dan menggunakan dana, kewenangan untuk
meminta kerja sama dengan badan pemerintah yang lain, dan
lain-lain.
d. Fasilitas, Fasilitas fisik termasuk hal yang penting bagi
keberhasilan implementasi kebijakan oleh para implementor.
Fasilitas fisik sebagai sarana dan prasarana pendukung
diperlukan untuk memperlancar proses komunikasi kebijakan.
Tanpa fasilitas fisik yang memadai, implementasi juga tidak
akan efektif. Fasilitas fisik ini beragam bergantung pada
kebutuhan kebijakan.
3. Disposisi
Disposisi adalah sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap
kebijakan atau program yang harus dilaksanakan karena setiap
kebijakan membutuhkan pelaksana-pelaksana yang memiliki hasrat
kuat dan komitmen tinggi agar mampu mencapai tujuan kebijakan
yang diharapkan. Ada tiga unsur utama yang mempengaruhi
kemampuan dan kemauan aparat pelaksana untuk melaksanakan
kebijakan, diantaranya:
a. Kognisi, yaitu seberapa jauh pemahaman pelaksana terhadap
kebijakan. Apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya
berbeda dengan system nilai pembuat kebijakan, implementasi
kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif.
b. Arahan dan tanggapan pelaksana. Hal ini meliputi penerimaan,
ketidakberpihakan ataupun penolakan pelaksana dalam menyikapi
kebijakan.
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi Edward III adalah mekanisme kerja yang
dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan. Ia
menekankan perlu adanya Standart Operating Procedure (SOP)
yang mengatur tata aliran pekerjaan di antara para pelaksana,
terlebih jika pelaksanaan program melibatkan lebih dari satu
institusi. Ia juga mengingatkan bahwa adakalanya fragmentasi
diperlukan ketika implementasi kebijakan memerlukan banyak
program dan melibatkan banyak institusi untuk mencapai tujuannya.

Berdasarkan uraian diatas maka dalam penelitian ini, teori

yang akan digunakan oleh peneliti yaitu teori model hubungan

antarvariabel implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh

George Charles Edwards III, karena beberapa alasan:

a. Terdiri dari empat variabel yang saling berkaitan.

b. Konsepnya sangat sederhana.

c. Konsep yang dibahas dalam teori ini, sangat mendalam dan

menyeluruh

d. Konsep yang dikemukakan sangat operasional.

e. Sangat cocok dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

mengenai implementasi peraturan daerah.

2.3 Kebijakan Pasar Tradisional

Malano (2011:68) Pada mulanya pasar berdiri karena masyarakat

ingin memperoleh berbagai kebutuhan hidup. Pada zaman dahulu karena


belum ada uang, masyarakat bertransaksi dengan tukar menukar barang, yang

disebut sistem barter. Awalnya pertukaran itu terjadi di sembarang tempat,

lama kelamaan masyarakat atas kesepakatan bersama menentukan suatu

tempat sebagai lokasi untuk melakukan barter.

Pasar tradisional sudah ada sejak zaman kerajaan kutai kertanegara,

yaitu pada abad ke-5 Masehi. Aktivitas masyarakat dalam jual beli semakin

ramai ketika masuknya para pelaut dari negeri China yang juga melakukan

barter barang. Perkembangaan berikutnya digunakanlah mata uang dari negeri

tirai bambu itu sebagai alat legalitas jual beli. Pasar kemudian bukan hanya

menjadi tempat untuk menjual dan membeli barang, tapi meluas pada

transaksi alat-alat reproduksi dan jasa.

Pasar pun menjadi ajang pertemuan dari segenap penjuru desa bahkan

digunakan sebagai alat politik untuk menukar informasi penting. Pada saat

masuknya peradaban islam di Indonesia pada abad ke-12 Masehi, pasar

digunakan sebagai alat untuk berdakwah. Para wali mengajarkan tata cara

berdagang yang benar menurut ajaran islam. Areal pasar juga merupakan

kawasan pembauran karena berbagai macam etnis hadir disana selain

masyarakat local. Etnis Tionghoa, Arab, Gujarat, India, merupakan para

pedagang waktu itu. Pasar pada masa lalu sebagian besar dibangun di tepi

pelabuhan dan dekat sungai untuk memudahkan transaksi penjualan barang

yang baru saja dibongkar muat dari kapal atau perahu.


Pada zaman penjajahan Belanda, pasar tradisional mulai diberikan

tempat yang layak dengan didirikannya bangunan yang cukup besar pada

masa itu, seperti Pasar Beringharjo di Yogyakarta, Pasar Johar di Semarang

dan Pasar Gede di Solo. Pasar didirikan sebagai sentra penjualan bahan

pangan dan sandang di kota besar agar para penjajah lebih mudah untuk

mengawasi semua aktivitas pasar tradisonal tersebut.

2.3.1 Pasar Tradisional

Indriati & Widiyatmoko (2019:17) Menurut sebagian orang

bahwa pasar tradisional adalah pasar yang bentuk bangunannya relatif

sederhana, dengan suasana yang relatif kurang menyenangkan (ruang

tempat usaha sempit, sarana parkir yang kurang memadai, kurang

menjaga kebersihan pasar, dan penerangan yang kurang baik).

Barang-barang yang diperdagangkan adalah barang kebutuhan sehari-

hari dengan mutu barang yang kurang diperhatikan, harga barang

relatif murah, dan cara pembeliannya dengan system tawar-menawar.

Para pedagangnya sebagian besar adalah golongan ekonomi lemah

dan cara berdagangnya kurang professional.

Dalam pasar tradisional pertemuan penjual-pembeli bukan

hanya tindakan memenuhi kebutuhan dalam term ekonomis. Lebih

dari itu, aktivitas pasar ini, selain memenuhi kebutuhan adalah

tindakan sosial. Yaitu berlangsungnya interaksi antara penjual dan

pembeli. Di pasar pula akan terlihat, bahwa manusia adalah homo


socius, makhluk yang tak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Disini

terlihat pasar bukan hanya institusi pengeruk keuntungan, tapi juga

bermakna sosial.

Berbagai barang di pasar tradisional pun bukan hanya monopoli

satu orang. Penjual satu masih bisa berbagi dengan penjual lain, meski

dengan jenis dagangan sama. hal inilah yang kita tidak temukan di

supermarket atau mall, dimana semua barang, walaupun berbeda jenis,

adalah milik satu orang. Di pasar tradisional kita menemukan prinsip

keadilan ekonomi.

Meskipun pasar tradisional memiliki banyak keunggulan,

kadang pemerintah lalai tugasnya. Contoh, kebersihan dan ketertiban,

masih jarang diperhatikan pemerintah. Pasar tradisional selalu

ditempelkan dengan kesan kumuh, kotor, semrawut, tidak aman dan

sebagainya. Kondisi tersebut tak jarang membuat masyarakat malas

berbelanja di pasar tradisional. Selain itu, regulasi pasar yang lebih

membela kepentingan pemodal daripada pasar tradisional, secara tidak

langsung adalah “penggusuran” terhadap pasar tradisional. pasar

tradisional masih butuh banyak pembenahan masyarakat bawah yang

modalnya tidak terlalu besar dan pasar tradisional yang mulai

dikepung mall dan supermarket.


2.3.2 Implementasi Kebijakan Pasar Tradisional

Upaya peran pemerintah dalam menanggapi fenomena pasar

tradisional secara normatif dapat dilihat dari beberapa regulasi,

diantaranya yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112

Tahun 2007 tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional,

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2013 tentang

Pedoman Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, dan Peraturan

Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 22 tahun 2013 tentang Penataan

Pasar Tradisional.

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112


Tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, bahwa
dengan semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran dalam
skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam
skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat
tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling
memperkuat serta saling menguntungkan. Secara lebih rinci, penataan
dan pembinaan pasar tradisional sebagai berikut:

Penataan pasar tradisional antara lain:


1. Lokasi pendirian pasar tradisional wajib mengacu pada rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota
2. Pendirian pasar tradisional wajib memenuhi ketentuan :
a. Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan
keberadaan pasar tradisional
b. Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parkir
1 (satu) buah kendaraan roda empat untuk setiap 100 m2
(seratus meter per segi) luas lantai penjualan Pasar Tradisional;
dan
c. Menyediakan fasilitas yang menjamin Pasar Tradisional yang
bersih, sehat (hygienis), aman, tertib dan ruang publik yang
nyaman.

Pembinaan pasar tradisional meliputi:


a. Mengupayakan sumber alternatif pendanaan untuk pemberdayaan
Pasar Tradisional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. Meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola Pasar
Tradisional;
c. Memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi
pedagang Pasar Tradisional yang telah ada sebelum dilakukan
renovasi atau relokasi Pasar Tradisional;
d. Mengevaluasi pengelolaan Pasar Tradisional

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Tentang


Pengelolaan Dan Pemberdayaan Pasar Tradisional Nomor 70 Tahun
2013 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional,
bahwa untuk mengoptimalkan penataan dan pembinaan pasar
tradisional perlu mengatur kembali ketentuan seperti pengelolaan
pasar tradisional, peran pasar tradisional dan penyediaan ruang usaha.
Secara lebih rinci, pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional
sebagai berikut:

Pengelolaan pasar tradisional antara lain:


1. Pengelolaan pasar tradisional dilakukan oleh koperasi, swasta,
badan usaha milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Desa
(BUMD)
2. Menteri, Gubernur, dan Bupati/walikota melakukan pemberdayaan
terhadap pengelolaan pasar tradisional dalam rangka peningkatan
daya saing dalam bentuk :
a. Revitalisasi pasar tradisional
b. Penerapan manajemen yang professional
c. Penyediaan barang dengan mutu yang baik dan harga yang
bersaing
d. Fasilitasi proses pembiayaan kepada para pedagang

Pengelolaan pasar tradisional memiliki peran antara lain:


1. Menambah jumlah pasokan barang
2. Memastikan kesesuaian standar berat dan ukuran
3. Melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pengawasan kepada
pedagang melalui peningkatan pelayanan kepada konsumen
mengenai kualitas barang, kebersihan, takaran, kemasan, penataan
barang dan pemanfaatan fasilitas pasar; peningkatan kompetensi
pedagang melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan;
pembentukan paguyuban guna menjaring aspirasi pedagang.
Penyediaan ruang usaha meliputi:
1. Penempatan dilakukan secara adil dan transparan
2. Zonasi sesuai pengelompokan barang
3. Apabila terdapat kelebihan tempat usaha diberikan kepada
pedagang lama yang tidak memiliki ijin resmi dan pedagang yang
menyewa tempat usaha dari pedagang resmi
4. Pembinaan, pengelolaan serta pengawasan pedagang kaki lima
(PKL)

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 22


tahun 2013 tentang penataan pasar tradisional, penataan adalah segala
upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengatur dan
menata keberadaan dan pendirian pusat perbelanjaan dan toko
modern, agar tidak merugikan dan mematikan pasar tradisional, usaha
mikro, kecil dan menengah serta koperasi yang ada. Secara lebih rinci
penataan pasar meliputi:

Kriteria pasar tradisional antara lain:


a. Dibangun dan dikelola oleh Pemerintah Daerah, Swasta, Badan
Usaha Milik Negara, dan Badan Tempat Usaha;
b. Transaksi dilakukan secara tawar menawar;
c. Berupa toko, kios, los dan tenda yang dikelola oleh pedagang kecil,
menengah, dan swadaya masyarakat.

Penggolongan pasar antara lain:


a. Pasar Lingkungan;
b. Pasar Desa;
c. Pasar Khusus; dan
d. Pasar Tradisional lainnya.

Penentuan lokasi:
Lokasi pendirian Pasar Tradisional wajib mengacu pada Rencana Tata
Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang, termasuk peraturan
zonasi.

Ketentuan Pendirian dan penyelenggaraan Pasar Tradisional:


a. Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat
b. Menyediakan fasilitas yang menjamin Pasar Tradisional yang
bersih, sehat (higienis), aman, tertib dan ruang publik yang
nyaman;
c. Menyediakan fasilitas parkir kendaraan bermotor dan tidak
bermotor yang memadai di dalam area bangunan;
d. Menyediakan fasilitas halte atau pemberhentian sementara
kendaraan angkutan umum bagi kepentingan penumpang yang
masuk dan keluar pasar;
e. Kejelasan pembagian blok tempat usaha sesuai penggolongan jenis
barang dagangan, dengan kelengkapan dan kecukupan sistem
pencahayaan/penerangan, dan sirkulasi udara baik buatan maupun
alami;
f. Kecukupan kuantitas dan kualitas fasilitas umum, antara lain
meliputi fasilitas kamar mandi dan toilet umum, tempat sampah,
mushola, dan fasilitas lainnya;
g. Ketersediaan sarana pemadam kebakaran dan jalur keselamatan
bagi petugas maupun pengguna pasar;
h. Perbaikan sistem persampahan dan drainase guna meningkatkan
kualitas kebersihan di dalam pasar.

Perlindungan dan pemberdayaan meliputi:


1. Pemerintah daerah wajib memberikan dan pemberdayaan kepada
pasar tradisional
2. Perlindungan antara lain : lokasi usaha yang strategis, kepastian
hukum jaminan usaha, dan status hak sewa
3. Pemberdayaan antara lain : pembinaan, pemberian subsidi,
peningkatan kualitas sarana pasar tradisional, pengembangan dari
pelaku-pelaku usaha yang ada di dalamnya, fasilitasi pembentukan
wadah atau asosiasi pedagang, mengarahkan dana sharing dalam
rangkan membangun pasar.
4. Pasar tradisional tidak dapat diubah kecuali upaya revitalisasi agar
menjadi pasar tradisional yang bersih, nyaman, aman, teratur,
memiliki keunikan, menjadi ikon kota dan memiliki nilai sebagai
bagian dari industry pariwisata.

Pembinaan dan pengawasan :


1. Bupati berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penataan Pasar Tradisional
2. Pembinaan dan pengawasan terhadap penataan pasar tradisional,
dilakukan oleh kepala dinas perindustrian dan perdagangan
3. Pembinaan berupa system manajemen pasar, pelatihan terhadap
sumber daya manusia, konsultasi, fasilitasi kerjasama, perbaikan
sarana prasarana
2.4 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu


No Nama Judul Hasil
1. Ernauli “Kebijakan Implementasi kebijkaan penataan
Silitonga, Penataan Pasar pasar tradisional di Kota Medan belum
Skripsi Tradisional Di berjalan dengan maksimal dilihat dari
(2018) Kota Medan” penataan pasar dimana kondisi
bangunan dan kebersihan pasar tidak
terawat. Sumber daya manusia telah
memadai . Namun sumber daya
fasilitas belum mendukung, karena
banyak fasilitas pasar yang kurang
mendapat perawatan. Komunikasi
antar Pemko Medan, PD Pasar dan PT
Parben’s belum berjalan maksimal.
Karena pedagang Pasar Pringgan tidak
menerima sosialisasi dari Pemerintah
Kota Medan terkait perpindahan
tangan pengelolaan dari PD Pasar
kepada PT Parben’s. Kondisi
masyarakatnya belum sepenuhnya
mendukung, pedagang Pasar Pringgan
masih belum bisa menjaga kebersihan
setiap kios/los, begitu juga dengan
masyarakat yang membuang sampah
di badan-badan jalan pasar .

2. Avinda “Implementasi Kebijakan yang ditetapkan oleh


Rahmawati, Kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam
Skripsi Pemerintah Kota penataan pasar tradisional Bulu
(2019) Semarang Dalam Semarang berdasarkan Peraturan
Penataan Pasar Daerah Nomor 9 Tahun 2013 terdapat
Bulu dua hambatan yaitu Hambatan Internal
Berdasarkan dan hambatan eksternal. Hambatan
Peraturan Daerah internal seperti Pendataan database
Nomor 9 Tahun yang dimiliki oleh dinas perdagangan
2013 Tentang dan kepala pasar; Penyesuaian antara
Pengaturan Pasar jumlah pedagang dan juga jumlah luas
Tradisional” yang ada serta jenis dagangan; dan
Adanya perubahan bentuk struktur dan
penambahan fasilitas pasar sehingga
belum bisa beradaptasi. Hambatan
Eksternal yaitu kesalahpahaman antara
pedagang dan dinas perdagangan
karena pedagang merasa tidak puas
dengan lapak yang terlalu sempit yang
diberikan oleh pihak dinas; pedagang
yang tidak mau berada di lantai 3
karena sepi pengunjung; dan
kecemburuan antarpedagang,
pedagang yang masih diperbolehkan
berjualan di luar pasar.

3. M. Natsir, “Implementasi Implementasi kebijakan pengelolaan


Jurnal Kebijakan pasar tradisional Kabupaten Mamuju
(2017) Pengelolaan Pasar Utara masih belum berjalan dengan
Tradisional Milik maksimal. Hal ini menunjukkan
Pemerintah bahwa pemerintah Kabupaten Mamuju
Kabupaten Utara dalam menetapkan kebijakan
Mamuju Utara” pengelolaan pasar tradisional tidak
disertai dengan standard dan sasaran.
Pengelolaan pasar yang berkenaan
dengan penataan dan pembinaan
pedagang, ketertiban dan keamanan,
perlindungan pasar tradisional dan
kebijakan lain yang berorientasi
kepada terwujudnya pasar yang sehat
dan mampu bersaing belum terkelola
sebagaimana mestinya. Sumber daya
manusia untuk mewujudkan pasar
tradisional yang sehat sangat tidak
memadai. Jumlah pegawai
Disperindagkop dan UKM sangat
sedikit sehingga tidak mampu
menangani aktivitas pasar tradisional
yang begitu komplek
permasalahannya.

Penelitian terdahulu yang peneliti uraikan diatas sebagai referensi,

acuan dan pembanding dengan topik penelitian tentang kebijakan penataan

pasar tradisional, sehingga dapat menambah kualitas penelitian terkait

implementasi peraturan daerah nomor 22 tahun 2013 tentang penataan pasar

tradisional di pasar 17 Agustus Kabupaten Pamekasan. Secara garis besar,


penelitian terdahulu diatas memiliki dimensi cakupan yang hampir sama yaitu

pada kebijakan Pasar tradisional namun dengan fokus dan lokus yang

berbeda. Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti lebih fokus terhadap

implementasi penataan pasar tradisional di Kabupaten Pamekasan.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :
Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.

Anggara, Sahya. 2014. Kebijakan Publik. CV Pustaka Setia. Bandung.

Indriati, D & Widiyatmoko, Arif. 2019. Pasar Tradisional. ALPRIN. Semarang.

Malano, Herman. 2011. Selamatkan Pasar Tradisional: Potret Ekonomi Rakyat


Kecil. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Mulyadi, Deddy. 2016. Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik. Alfabeta.
Bandung.

Pasolong, Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik. Alfabeta. Bandung.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance Telaah Dari Dimensi: Akuntabilitas Dan
Control Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah. Insan
Cendekia. Surabaya.

Peraturan Perundang-Undangan:
Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 22 Tahun 2013 Tentang
Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, Dan Toko Modern

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2013 Tentang Pedoman


Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko
Modern

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan
Dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

Sumber lain :
Avinda Rahmawati. “Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam
Penataan Pasar Bulu Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun
2013 Tentang Pengaturan Pasar Tradisional.” Skripsi. Fakultas Ilmu
Sosial. Unniversitas Negeri Semarang. 2019

M. Natsir. “Implementasi Kebijakan Pengelolaan Pasar Tradisional Milik


Pemerintah Kabupaten Mamuju Utara” Asian Journal Of Environment,
History And Heritage, Vol.1, Issue. 1, 2017
Ernauli Silitonga. “Implementasi Kebijakan Penataan Pasar Tradisional Di Kota
Medan.” Skripsi. FISIPOL. Universitas Sumatera Utara. Medan: 2018

Anda mungkin juga menyukai