Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

“Chronic Kidney Disease”

   

Disusun Oleh :

Kurnia Bagus Pranata


(2019.NS.A.07.050)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI NERS
TAHUN 2019
Chronic Kidney Disease (CKD)
A. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus
filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). CKD atau gagal ginjal kronis (GGK)
didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat,
progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi
uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009)

B. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m 2 dengan rumus Kockroft
– Gault sebagai berikut :

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

C. Etiologi
Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi tersering terhadap proporsi
GGK di US yakni sebesar 34% dan 21% . Sedangkan glomerulonefritis menjadi yang
ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati
refluks) dan penyakit ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang tidak sering
terjadi yakni uropati obstruktif , lupus eritomatosus dan lainnya sebesar 21 %. (US Renal
System, 2000 dalam Price & Wilson, 2006). Penyebab gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 menunjukkan glomerulonefritis menjadi
etiologi dengan prosentase tertinggi dengan 46,39%, disusul dengan diabetes melitus
dengan 18,65%, obstruksi dan infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan
sebab lain dengan 13,65% (Sudoyo, 2006).

D. Patofisiologi
Terlampirkan

E. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddart (2002) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal kronis
dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan
gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
usia pasien dan kondisi yang mendasari. Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis
adalah sebagai berikut :
a. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki,tangan,sakrum), edema periorbital,
Friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis
dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
d. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia, mual,muntah,
konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan tungkai, panas
pada telapak kaki, perubahan perilaku
f. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
g. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler

F. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
b. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada
usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem pelviokalises,
dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan
ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim) serta sisa
fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau perlu
untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
1) Laju endap darah
2) Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada (anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine / ureum sering 1:1.

3) Ureum dan Kreatinin


Ureum:
Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
4) Hiponatremia
5) Hiperkalemia
6) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8) Gula darah tinggi
9) Hipertrigliserida
10) Asidosis metabolik

H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan fungsi
ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah atau
mengobati komplikasi (Smeltzer, 2001; Rubenstain dkk, 2007). Terapi konservatif tidak
dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres dari penyakit ini karena
yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi
ginjal.
Lima sasaran dalam manajemen medis GGK meliputi :
1. Untuk memelihara fungsi renal dan menunda dialisis dengan cara mengontrol proses
penyakit melalui kontrol tekanan darah (diet, kontrol berat badan dan obat-obatan)
dan mengurangi intake protein (pembatasan protein, menjaga intake protein sehari-
hari dengan nilai biologik tinggi < 50 gr), dan katabolisme (menyediakan kalori
nonprotein yang adekuat untuk mencegah atau mengurangi katabolisme)
2. Mengurangi manifestasi ekstra renal seperti pruritus , neurologik, perubahan
hematologi, penyakit kardiovaskuler;
3. Meningkatkan kimiawi tubuh melalui dialisis, obat-obatan dan diet;
4. Mempromosikan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga
(Black & Hawks, 2005)
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisi tetap
atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga
diiperlukan bila :
 Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
 Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
 Overload cairan (edema paru)
 Ensefalopati uremic, penurunan kesadaran
 Efusi perikardial
 Sindrom uremia ( mual,muntah, anoreksia, neuropati) yang memburuk.

Menurut Sunarya, penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG nya, yaitu:
I. Pengkajian Fokus Keperawatan

Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti
proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa/
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius
bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.

3. Pola nutrisi dan metabolik.


Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.

i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.

J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada CKD adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium.
2. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual
muntah.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialysis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder
terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
K. Rencana Asuhan Keperawatan

N Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH Kode NIC Intervensi Keperawatan


O
1. Kelebihan volume cairan Tujuan: 4130 Fluid Management :
b.d penurunan haluaran urin Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji status cairan ; timbang berat badan,keseimbangan
dan retensi cairan dan selama 3x24 jam volume cairan masukan dan haluaran, turgor kulit dan adanya edema
natrium. seimbang. 2. Batasi masukan cairan
Kriteria Hasil: 3. Identifikasi sumber potensial cairan
NOC : Fluid Balance 4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan
 Terbebas dari edema, efusi, cairan
anasarka 5. Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi.
 Bunyi nafas bersih,tidak adanya Hemodialysis therapy
dipsnea 2100 1. Ambil sampel darah dan meninjau kimia darah
 Memilihara tekanan vena sentral, (misalnya BUN, kreatinin, natrium, pottasium, tingkat
tekanan kapiler paru, output phospor) sebelum perawatan untuk mengevaluasi respon
jantung dan vital sign normal. thdp terapi.
2. Rekam tanda vital: berat badan, denyut nadi,
pernapasan, dan tekanan darah untuk mengevaluasi
respon terhadap terapi.
3. Sesuaikan tekanan filtrasi untuk menghilangkan jumlah
yang tepat dari cairan berlebih di tubuh klien.
4. Bekerja secara kolaboratif dengan pasien untuk
menyesuaikan panjang dialisis, peraturan diet,
keterbatasan cairan dan obat-obatan untuk mengatur
cairan dan elektrolit pergeseran antara pengobatan
2 Gangguan nutrisi kurang Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1100 Nutritional Management
dari kebutuhan tubuh b.d selama 3x24 jam nutrisi seimbang dan 1. Monitor adanya mual dan muntah

anoreksia mual muntah. adekuat. 2. Monitor adanya kehilangan berat badan dan perubahan

Kriteria Hasil: status nutrisi.

NOC : Nutritional Status 3. Monitor albumin, total protein, hemoglobin, dan

 Nafsu makan meningkat hematocrit level yang menindikasikan status nutrisi dan
untuk perencanaan treatment selanjutnya.
 Tidak terjadi penurunan BB
4. Monitor intake nutrisi dan kalori klien.
 Masukan nutrisi adekuat
5. Berikan makanan sedikit tapi sering
 Menghabiskan porsi makan
6. Berikan perawatan mulut sering
 Hasil lab normal (albumin, kalium)

3 Perubahan pola napas Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3350 Respiratory Monitoring
berhubungan dengan selama 1x24 jam pola nafas adekuat. 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
hiperventilasi paru Kriteria Hasil: 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan
NOC : Respiratory Status otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan
intercostal
 Peningkatan ventilasi dan
3. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
oksigenasi yang adekuat hiperventilasi, cheyne stokes
 Bebas dari tanda tanda distress 4. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak
pernafasan adanya ventilasi dan suara tambahan
 Suara nafas yang bersih, tidak ada 3320 Oxygen Therapy
sianosis dan dyspneu (mampu 1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
mengeluarkan sputum, mampu 2. Ajarkan pasien nafas dalam
bernafas dengan mudah, tidak ada 3. Atur posisi senyaman mungkin
pursed lips) 4. Batasi untuk beraktivitas
 Tanda tanda vital dalam rentang 5. Kolaborasi pemberian oksigen
normal
4 Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 4066 Circulatory Care
berhubungan dengan selama 3x24 jam perfusi jaringan 1. Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi
penurunan suplai O2 dan adekuat. periper. (cek nadi priper,oedema, kapiler refil, temperatur
nutrisi ke jaringan sekunder. Kriteria Hasil: ekstremitas).
NOC: Circulation Status 2. Kaji nyeri
 Membran mukosa merah muda 3. Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan
 Conjunctiva tidak anemis 4. Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk

 Akral hangat memperbaiki sirkulasi.

 TTV dalam batas normal. 5. Monitor status cairan intake dan output
6. Evaluasi nadi, oedema
 Tidak ada edema
PATHWAY
HEMODIALISA
1. Pengertian

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam

keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari

hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir

atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka

panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat

nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan

(Suharyanto dan Madjid, 2009).

Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah

buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal

atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat.

Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian.

Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak

mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang

dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap

kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ;Nursalam, 2006).


2. Tujuan

Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya

adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa

metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain),

menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya

dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien

yang menderita penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal

sambil menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang melalui

membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi elektrokimia. Tujuan utama

Hemodialisis adalah untuk mengembalikan suasana cairan ekstra dan intrasel yang

sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan

memindahkan beberapa zat terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan

memindahkan zat terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah.

Konsentrasi zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi.

Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang

kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2- microglobulin, dan albumin, dan zat

terlarut yang terikat protein seperti p- cresol, lebih lambat berdifusi. Disamping difusi,

zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan proses

konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah

proses
yang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009)). Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak

ada perubahan dalam konsentrasi zat terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah

untuk membuang kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis

pasien harus diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk

masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan komponen peresepan

dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan

pembuangan cairan dan zat terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk

menghilangkan komplek gejala (symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi

(uremic syndrome), walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun organ

tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia

(Lindley, 2011).

3. Prinsip yang mendasari kerja hemodialisis

Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen

dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian

dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata

atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan

bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut

sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah

ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus

(Brunner & Suddarth, 2006).


Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi.

Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara

bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi

yang lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting

dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh

melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien

tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh

pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan

melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin

dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada

membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et all, 2011)).

4. Akses sirkulasi darah pasien

Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis,

fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai

melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat

dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara

(Barnett & Pinikaha, 2007).

Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada

lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis)

pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi

pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang

sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart, 2011). Waktu ini diperlukan untuk

memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula.


Berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan

ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah

yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan

kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007).

Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri atau

vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai tempat

penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok

untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008).

5. Penatalakasanaan pasien yang menjalani hemodialisis

Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya

memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal

yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan

pasien yang gagal ginjal (Anita, 2012).

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam

gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian

pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 %

terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70

meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium

seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah

asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah insensible water

loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan

edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong

pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis
akan terjadi kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit

Dalam Indonesia, 2006).

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui ginjal.

Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia,

antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini

dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko

timbulnya efek toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).

6. Komplikasi

Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli udara,

nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing – masing dari point

tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan

pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi terjadi selama terapi dialisis ketika

cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,

rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati otonomik, dan

kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler

pasien (Hudak & Gallo, 2010 ). Nyeri dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan

dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis

terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi

ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat. Pruritus

terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit

(Smelzer, 2008)
Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom disekuilibirum,

reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis,

neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi

tersebut jarang terjadi. (Brunner & Suddarth, 2008).


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Dialisis Pada Diabetes Melitus. http://internis.files.wordpress.com/2011/01/dialisis-


pada-diabetes-melitus.pdf diakses pada tanggal 23 Februari 2014
Anita dkk. Penggunaan Hemodialisis pada Bidang Kesehatan yang Memakai Prinsip Ilmu
Fisika. http://dc128.4shared.com/doc/juzmT0gk/preview.html diakses pada tanggal 23
Februari 2014
Bakta, I Made & I Ketut Suastika,. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
1999
Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical Management
for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc. 2005
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dotcherman, Joanne M. Nursing Intervention
Classification (NIC). USA: Mosby Elsevier. 2008.
Herdinan, Heather T. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC. 2012.
Johnson, M. Etal. Nursing Outcome Classification (NOC). USA: Mosby Elsevier. 2008.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010
Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. 2002
Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Volume 2 Edisi
8. Jakarta : EGC. 2001
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006

Anda mungkin juga menyukai