Fahmi indrawan
Abstrak
PENDAHULUAN
Istilah Towani Tolotang terdiri atas kata Towani dan Tolotang. Towani
berasal dari kata Tau yang berarti orang dan Wani adalah nama sebuah desa,
sehingga Towani berarti orang dari desa Wani. Tolotang berasal dari kata Tau
yang berarti orang dan Lotang yang berarti Selatan. Secara bahasa Tolotang
diartikan orang selatan. Namun secara istilah, penamaan Towani Tolotang
adalah sebutan bagi orang yang tinggal di sebelah selatan pasar Amparita, hal
tersebut untuk membedakan Tolotang Benteng yang tinggal di sebelah selatan
benteng. Menurut Wa’ Launga, pada mulanya istilah Tolotang adalah panggilan
yang digunakan oleh Addatuang dalam hal ini Raja Sidenreng La Patiroi
terhadap kelompok/komunitas Towani jika ingin berkomunikasi. Namun pada
perkembangan selanjutnya, Towani Tolotang melekat sebagai nama suatu aliran
yang diberikan orang lain kepada mereka. 12 Sejarah awal lahirnya masyarakat
Towani Tolotang merupakan agama lokal yang mengakar sebelum datangnya
agama Islam. Mereka bertempat tinggal di desa Wani kabupaten Wajo. Atas
penolakan mereka untuk masuk agama Islam maka Addatuang Wajo
memerintahkan mereka untuk meninggalkan kampung halamannya. Setiap
orang atau suatu kelompok memiliki kearifan-kearifan tersendiri yang berlainan
dari kelompok lain. Untuk itu, harus dilakukan suatu penelitian yang mendasar,
yang berguna untuk memahami bagaimana suatu kelompok yang diteliti
memandang dunianya sendiri. Membahasakan, membentuk, dan
mengaplikasikan apa yang mereka yakini sebagai kearifan lokal. Berdasarkan
hasil wawancara penulis dengan tokoh-tokoh masyarakat Towani Tolotang,13
maka aspek-aspek kearifan lokal masyarakat Towani Tolotang dapat
diklasifikasi dalam tiga hal namun dapat termanifestasikan dalam suatu konsep
“Perrinyameng”, karena setiap aspeknya berangkat dari kata perri yang artinya
susah, dan nyameng artinya senang. Jadi susah baru senang.
Komunitas Tolotang dalam pandangan keTuhanannya mereka mengakui adanya
Tuhan yakni “Dewata Sewwae” yang bergelar ”Patotoe”. Patotoe ini dianggap
mempunyai kekuatan yang lebih tinggi dari pada kekuasaan manusia.
Mempercayai kehadiran La Panaungi sebagai penerima wahyu dari Dewata
Sewwae. Seperti lazimnya sebuah kepercayaan, Tolotang memegang sebuah
kitab suci sebagai petunjuk tentang ajaran dan tradisi yang wajib diamalkan.
Kitab suci tersebut adalah kitab Lontara disebut juga “Sure Galigo” Selain kitab
suci sebagai pegangan, komunitas Tolotang juga mengenal ritual sebagai bentuk
perwujudan percaya manusia kepada pencipta yang diwariskan secara turun
temurun. Komunitas Tolotang mengenal kewajiban “Molaleng” terdiri dari
ritual Mapprenre Inanre, Tudang Sipulung, dan Sipulung. Di kalangan Muslim,
yang hidup berdampingan dengan Towani Tolotang, mengakui kuatnya
solidaritas Towani Tolotang. Salah seorang pemuka muslim mengatakan, bahwa
Towani Tolotang selalu bersatu dalam melaksanakan apapun, baik yang
berhubungan dengan pelaksanaan upacara-upacara agama maupun yang lain.
Mereka selalu saling membantu. Mereka tidak hanya membantu sesamanya,
tetapi juga dengan orang lain. “Wawancara dengan supratman Suara, 23
Agustus 2014”. Keterlibatan Towani Tolotang dalam kegiatan sosial tidak hanya
terbatas pada kegiatan kemasyarakatan yang bersifat umum, tetapi juga pada
kegiatan yang menunjukkan identitas sebuah kelompok agama tertentu. Dalam
pembangunan masjid misalnya, salah seorang dari mereka juga ikut membantu.
Seperti yang dilakukan oleh La Matta (50 tahun) yang telah menyelesaikan
pemasangan atap Masjid Al-Mujahidin Bola-Bulu. Menurutnya, panitia
pembangunan masjid yang langsung menghubungi untuk memasang atas masjid.
Lanjut dia, permintaan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan
kapasitasnya sebagai penganut Towani Tolotang tetapi sebagai orang yang
berprofesi sebagai tukang kayu yang bisa memasang atap seperti yang sedang
dibutuhkan oleh panitia pambangunan masjid.
Awalnya sebenarnya, komunitas ini penganut aliran kepercayaan. Namun
karena ada kebijakan pemerintah yang tidak mengakui hal itu, maka pada tahun
1996, pemerintah memberi tiga pilihan ke warga Tolotang. Aturan itulah yang
akhirnya membuat komunitas Tolotang takluk. Mereka akhirnya harus
menanggalkan aliran kepercayaannya yang sudah dianut sejak ratusan
tahun.“Pemerintah saat itu tidak mengakui kalau ada aliran kepercayaan.
Makanya dipanggillah tokoh komunitas kami untuk mencari langkah menjadi
suatu agama. Maka ditawarilah tiga agama; Islam, Kristen, dan Hindu. Kami
harus memilih salah satunya, maka dipilihlah Hindu. Saat itu, kita resmi
beragama bernaung di bawah Hindu. Namun adat istiadat sebagai komunitas
Tolotang tetap terjaga,” ujarnya. Wa Sunarto Ngate, salah seorang tokoh
Towani Tolotang yang ditemui di rumahnya di Amparita, juga mengatakan hal
senada. Menurutnya, Towani Tolotang resmi berafiliasi dengan Hindu pada
tahun 1966. “Kita ini sudah sebagai mashab Hinduisme sejak 1966. Itu
berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu nomor dua dan nomor enam
tahun 1966,” katanya. Ketika ditanya mengapa memilih memeluk Hindu?
Menurut Wa Sunarto, alasannya sederhana. Di antara semua agama yang
ditawarkan pemerintah, Hindu-lah yang punya kesamaan dan kemiripan,
termasuk soal prinsip. “Hindu bisa memahami kami dan begitu juga
sebaliknya,” katanya.Terkait sejarah komunitas ini, Wa Sunarto menambahkan
pernyataan Wa Eja. Menurutnya, Tolotang berasal dari Wajo. Komunitas ini
ada di sana jauh sebelum Islam masuk. Waktunya sekira abad ke-16. Hanya saja
tidak berkembang seperti sekarang. “Jadi kalau dikatakan Tolotang ini baru, itu
pendapat keliru. Sebab menurut kami jauh sebelum abad ke-16 sudah ada,”
jelasnya. Solidaritas Towani Tolotang berwujud kesadaran mereka untuk saling
membantu dalam pelakasanaan atau perayaan hajatan. Pada pelaksanaan
perkawinan salah satu pemuka Towani Tolotang (La Unga Setti, 29 Sep- tember
2010) misalnya, mereka jauh hari pelaksanaan hajatan telah hadir dan membantu
mendirikan tempat di samping rumah. Pada perayaan hajaran seperti
perkawinan, Towani Tolotang biasanya membuat sarapo yang disambung
dengan rumah induk sebagai tempat para tamu. Pada perayaan perkawinan
tersebut, penganut Towani Tolotang dengan penuh semangat berada di tempat
tanpa diundang untuk membantu. Pembuatan sarapo sendiri membutuhkan
tenaga dan bahan yang tidak sedikit. Akan tetapi, mengingat rasa persaudaraan
mereka sangat kental, maka pembuatan sarapo tersebut tidak memakan waktu
yang lama karena dilakukan oleh banyak orang. Towani Tolotang sangat
menghargai kelestarian alam. Adapun pesan-pesan atau ajaran yang mendukung
hal tersebut adalah; Narekko itempai batue, leppakki’ capu-capui natomakkeda
taniyya idi’ salah, iya’mi salah. Secara bahasa dapat diartikan jika kita
menendang batu, maka kita singgah dan mengelus-elusnya sambil berkata,
bukan kamu yang salah melainkan aku.Secara filosofis, mengandung makna
yang luas. Jika batu saja ditendang harus minta maaf, apalagi kepada sesama
manusia. Batu adalah bagian dari alam, dan alam adalah sumber kehidupan
yang wajib kita pelihara. Salah satu bukti pelestarian alam oleh masyarakat
Towani Tolotang adalah menjadikan alam Perri Nyameng sebagai wilayah hijau,
membiarkannya ditumbuhi rumput dan sebagainya. meskipun pemerintah
pernah meminta untuk direnovasi tetapi mereka tetap berupa mempertahankan
sebagaimana aslinya. Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa
aspekaspek kearifan lokal masyarakat Towani Tolotang mencakup hubungan
kepada Tuhan, sesama manusia dan alam. Namun yang paling dominan adalah
hubungan kepada sesama manusia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
Towani Tolotang memiliki sederetan kearifan dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat. Kearifan tersebut membawa perubahan bagi internal masyarakat
Towani sendiri begitupula masyarakat umum bilamana mampu dipahami
maknanya.
KESIMPULAN