Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer et al, 2000).
Menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi fraktur,
maka jaringan lunak disekitarnya juga sering kali terganggu.
B. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi klinis :
1. Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
2. Fraktur terbuka ( compound fraktur). Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia lua. Karena adanya perlukaan dikuli.
3. Fraktur dengan komplikasi, missal malunion, delayed, union, nonunion, infeksi tulang
Klasifikasi radiologi
1. Lokalisasi :diafisal,metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan dislokasi.
2. Konfigurasi :F.transfersal, F.oblik, F.s[iral, F.z, F.segmental, F.komunitif ( lebih dari deaf
ragemen), F.baji biasa pada vertebra karena trauma, F.avulse, F.depresi, F.pecah, F.epifisis
3. Menurut ekstensi :F,total. F,tidak total, F.buckle atau torus , F.garis rambut, F.green sick
4. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya, tidak bergeser,
bergeser( bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, over-ridding, impaksi)
Derajat 2
1. Laserasi> 1 cm
2. Kerusakan jaringan lunak, tidakluas, flip/avulse
3. Fraktur komunitif sedang
4. Kontaminasi sedang
Derajat 3
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
3. Bentuk fragmen
a. Green stick :retak pada sebelah sisi dari tulang (sering pada anak-anak)
b. Fraktur transversal : fraktur fragmen melintang
c. Fraktur obligue : fraktur fragmen miring
d. Fraktur spiral : fraktur fragmen melingkar.
Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk
memperbaiki kerusakan – kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh
beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal:
a. Lokasi fraktur
b. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
c. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
d. Adanya kontak antar fragmen.
e. Ada tidaknya infeksi.
f. Tingkatan dari fraktur.
1. Fase Reaktif
2. Fase Reparatif
Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah dibagi atas penyembuhan
fraktur primer dan fraktur sekunder.
Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi upaya langsung oleh korteks
untuk membangun kembali dirinya ketika kontinuitas terganggu. Agar fraktur menjadi menyatu,
tulang pada salah satu sisi korteks harus menyatu dengan tulang pada sisi lainnya (kontak langsung)
untuk membangun kontinuitas mekanis.
Tidak ada hubungan dengan pembentukan kalus. Terjadi internal remodelling dari haversian system
dan penyatuan tepi fragmen fraktur dari tulang yang patah
1.Fase Inflamasi:
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan
nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat
patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah
terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan
sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Produksi atau pelepasan
dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin, dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :
(1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra membran pada tempat
fraktur,
(2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan
(3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan osifikasi endokondral
yang mengiringinya. (Kaiser 1996).
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan pembuluh darah lokal
yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya hematom
bukan hanya disebabkan oleh robekan pembuluh darah tetapi juga berperan faktorfaktor inflamasi
yang menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur
terjadi sampai 2 – 3 minggu.
2. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam
jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.
Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan
menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk
jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan
melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat
patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang
aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3
setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama osteoblast akan
berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini menandakan adanya sel tulang
serta kemampuan mengantisipasi tekanan mekanis. (Rubin,E,1999)
Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut sampai fase remodelling
adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan fraktur. (Ford,J.L,et al,2003).
Jenis-jenis Kalus
Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut berada terbentuk kalus primer
sebagai akibat adanya fraktur terjadi dalam waktu 2 minggu Bridging (soft) callus terjadi bila
tepi-tepi tulang yang fraktur tidak bersambung. Medullary (hard) Callus akan melengkapi
bridging callus secara perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah fraktur di bawah
periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur.
Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi celah fraktur di antara
tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam medulla tulang di sekitar daerah fraktur.
(Miller, 2000)
4. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang immature (woven
bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga
osteoklast dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan
mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru.
Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.
5.Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang berbeda
dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses
pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada
sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang
kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya,
terutama pada anak-anak.
Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi.
Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase Pembentukan
Fase Remodelling
Ketika fiksasi plate dibandingkan dengan fiksasi intramedullary pada anjing-anjing percobaan
tampak vaskularisasi yang lebih tinggi dalam osteotomi pada rod intra medullary dibandingkan
plate.Tidak ada perbedaan signifikan dalam porositas tulang pada masing-masing metode fiksasi.
Akan tetapi pada fiksasi plated memperlihatkan nilai-nilai torsional yang lebih tinggi dari pada fiksasi
intramedullary pada 90 hari .Akan tetapi perbedaan ini tidak nyata setelah 120 hari.
Data ini memperlihatkan bahwa tulang sembuh melalui mekanisme yang berbeda dalam tipe-tipe
fiksasi yang berbeda.Walaupun metode fiksasi plate menghambat pembentukan periosteal kalus tetapi
waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian kekuatan dan kekakuannormal adalah sama untuk kedua
metode.
Pengertian ORIF dan OREF
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana prinsip nya tulang ditransfiksasikan
di atas dan di bawah fraktur ,sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian
dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
.Alatini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif ( hancur atau remuk ) . Pin yang
telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya ,kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini
memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar beriku tini :
Indikasi
a. Fraktur terbuka grade II dan III
b. Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
c. Fraktur yang sangat kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.
d. Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
e. Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
f. Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok. Misal : infeksi pseudoartrosis
( sendi palsu ).
g. Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.
h. Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan
internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close
reduction, untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (John C. Adams, 1992
dalam Potter & Perry, 2005). Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail, biasanya
digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transvers.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis, yang
tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk
beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan
atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner & Suddart, 2003).
Tujuan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam lingkup
keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan metode terapi
lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intraartikular disertai
pergeseran.
3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot tendon
3. Terdapat infeksi
6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
Pathway
Komplikasi awal
Komplikasi awal (dini) setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih dan sindrom
kompartemen yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani
segera.Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi,
tromboemboli, emboli paru, yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah
cedera dan koagulopati intravaskuler diseminata(KID).
a.Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel kejaringan yang rusak, dapat
terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra. Penanganan syok meliputi
mempertahankan volume darah, mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang
pembebatan yang memadai, melindungi pasien dari cedera lebih lanjut (Brunner, 1997)
b.Sindrom Emboli Lemak
Psaat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan
oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadi globula
lemak dalam aliran darah.Globula lemak akan bergabung dengan terombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok ke otak, paru,
ginjal, dan organ lain. Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi, dan pireksia.
Dengan adanya emboli sistemik pasien nampak pucat, tampak ada ptekie pada membran pipi
dan kantung konjungtiva, diatas dada dan lipatan ketiak depan. Lemak bebas dapat
ditemukan dalam urine bila emboli mencapai ginjal dapat terjadi gagal ginjal. Perubahan
kepribadian, gelisah , iritabilitas, atau konfusi pada pasien yang mengalami fraktur
merupakan petunjuk untuk dilakukannya pemeriksaan gas darah. Penyumbatan pada
pembuluh darah kecil meningkatkan tekanan pembuluh darah meningkat, kemungkinan
mengakibatkan gagal jantung ventrikel kanan, edema, dan perdarahan dalam alveoli
mengganggu.
transport oksigen, mengakibatkan hipoksia, terjadi peningkatan kecepatan respirasi, nyeri
dada prekordial, batuk, dispnea, dan edema paru akut.
c.Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena
penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau
gips(balutan) yang terlalu menjerat dan peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau
perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah(iskemi, cedera remuk, penyuntikan bahan
penghancur jaringan). Pencegahan dan penatalaksanaan sindrom kompartemen dapat dicegah
dengan mengontrol edema yang dapat dicapai dengan meninggikan ekstremitas yang cedera
setinggi jantung dan memberikan kompres es setelah cedera sesuai resep, Bila terjadi
sindrom kompartemen, balutan yang kuat harus dilonggarkan (Brunner, 1997).
Komplikasi Lanjut
Selain komplikasi awal(dini) terdapat komplikasi lanjut fraktur diantaranya:
a.Non-union
Non-union merupakan akibat imobilisasi yang tidak adekuat atau adanya fraktur
patologis, non union terjadi karena adanya konsolidasi pada fase pembentukan kalus yang
dimulai minggu ke 4-8 dan berakhir pada minggu ke 8-14 setelah terjadinya fraktur,
sehingga didapat pseudoarthrosis (sendi palsu).
Pseudoarthrosis dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi sama – sama dengan
infeksi disebut infected pseudoarthrosis (Pradip, 2005)
b.Mal-union
Mal-union adalah penyembuhan dengan angulasi yang buruk, keadaan ini dikatakan
buruk karena fraktur sembuh pada saatnya, tetapi terdapat deformitas yang terbentuk
angulasi, varus / valgus, rotasi, kependekan atau union secara menyilang misalnya pada
fraktur radius dan ulna.
c.Nekrosis avaskular
Nekrosis avaskular merupakan gangguan aliran darah yang mengakibatkan kematian
tulang, lokasi yang paling sering terkena adalah kaput femur dan kaput talus.d.Osteoartritis
Proses degeneratif dini pada sendi akibat malaligment yang buruk, pada keadaan ini, sendi
terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang
penyusun sendi. e.Osteoporosis Osteoporosis merupakan akibat penggunaan tulang yang
tidak benar, dan bentuk yang paling berat, atrofi sudeck, dapat menyebabkan nyeri dan
pembengkakan jaringan lunak(Pradip, 2005).
E. Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges (2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara
lain:
1. pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. scan tulang, tomogram, CT- Scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi
keruskan jaringan lunak.
3. pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk klirens ginjal, kadar kreatinin
akan meningkat apabila kehilangan darah terlalu banyak.
Kadar kreatinin dalam darah normal :
0,6-1,2 mg / dL atau (53-106 mnmol / L) untuk pria
0,5-1,1 mg / dL atau (44-97 mcmol / L) untuk wanita
5. profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multipel, atau
cedera hati.
6. X-Ray : merupakan data penunjang yang penting, hal yang harus dibaca pada X-Ray :
1. Bayangan jaringan lunak.
2. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periousteum atau biomekanik atau juga
rotasic, sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
F. Penatalaksanaan Medis
Menurut Lukman & Ningsih :
a. Recognition
Menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan dirumah sakit.Riwayat
kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan, dan deskripsi tentang
peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri, menentukan kemungkinan adanya
fraktur dan apakah perlu dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari adanya
fraktur.
b. Reduction
Tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk
kembali seperti letak asalnya.Metode yang digunakan adalah dengan reduksi tertutup,
traksi dan reduksi terbuka (bergantung pada sifat frakturnya).
c.Retention
(Imobilisasi fraktur) Mengibobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.Dapat dilakukan
fiksasi secara interna (implantlogam) dan fiksasi eksterna (pembalutan, gips, bidai,
traksikontinu, pin, dan teknik gips).
d.Rehabilitation
(Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin)Menurut Muttaqin
(2008, p. 82), program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh
keadaan klien pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali. Bagaimana
klien dapat melanjutkan hidup dan melakukan aktivitas dengan memaksimalkan
organ lain yang tidak mengalami masalah
G. Asuhan Keperawatan
Seorang klien dirawat diruangan perawatan umum di rumah sakit pemerintah.
Klien dirawat dengan keluhan patah tulang pada femur sinistra dan luka terbuka
sehingga tulang keluar dari kulit, nyeri hebat, dan perdarahan. Seorang perawat
melakukan anamnesa, didapatkan hasil sebagai berikut :Klien mengatakan sakitnya
karena kecelakaan ditabrak motor, saat kecelakaan klien menyatakan sadar akan
kejadian, dan tungkai sinistra sakit untuk digerakkan. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapat data :tingkat kesadaran compos mentis, TTV : TD 100/60 mmHG, HR
112x/mnt, T 37c, RR 20x/mnt, palpasi daerah fraktur ada bagian tulang yang
menonjol dan ada krepitus difemur sinistra, tulang keluar dari permukaan kulit,
perdarahan. Dari pemeriksaan laboratorium Hb 12 gr/dl, Ht 40%, lekosit 12.000,
GDS 125, Hasil rontgen Femur Sinistra : Fraktur Kominutif. Tindakan sementara
klien terpasang spalk dan akan direncanakan dilakukan ORIF, klien terpasang infus
RL 28 tts/mnt, dan mendapat antibiotic Cefizok 1 gr/IV. Diagnosa medis klien
fraktur terbuka kominutif sinistra. Perawat dan dokter serta paramedic lainnya yang
terkait melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari/ mengurangi resiko
komplikasi lebih lanjut.
Tanggal Data Masalah Etiologi
DO :
Palpasi bagian fraktur tulang menonjol
Terdapat krepitus di femur sinistra
Tulang keluar dari permukaan kulit
Rontgen : Fraktur Kominutif
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah
agen injuri fisik, 3x24 jam diharapkan : baring, gips, bebat atau traksi
spasme otot, Pasien dapat mengontrol 2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena
gerakan fragmen nyeri 3. Ajarkan penggunaan tehnik manajemen nyeri
tulang, edema, Rasa nyeri dapat 4. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48jam
cedera jaringan berkurang dengan pertama) sesuai keperluan
lunak pemasangan menggunakan manajemen 5. Kolaborasi pemberian analgesic sesuai indikasi
traksi. nyeri
Hasil
N Sampel Rando
Penulis, th Perlakuan Kontrol Metode Yang di
O (n) m Temuan
ukur
1 Yunanik Rehabilitasi Dilakukan n=37 Pre-post Tidak 1. Kefeketif 1. Adanya
. Esmi Dwi post op perawatan pasien test Only an dan pengaruh positif
Lestari ekstremitas umum pada post. Op Control keefisiena dengan
bawah post op ektremit Group n dalam dilakukannya
dengan ekstremitas as Design, menangan ROM Exercise
ROM bawah bawah Purposive i pasien pada pasien post
Exercise sampling post op op ekstremitas
ekstremita bawah dengan
s bwah lama waktu
rawat inap 2 hari
lebih pendek
dibandingkan
dengan pasien
tanpa
dilakukannya
ROM Exercise