Kasus Hambalang adalah kasus dugaan tindakan pidana korupsi yang
melibatkan banyak pihak terlibat. Diketahui, tender proyek ini dipegang oleh kontraktur dimana mereka merupakan BUMN, yaitu PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya yang diduga men-subtenderkan sebagian proyek kepada PT Dutasari Citralaras senilai 300M. Kasus proyek hambalang merupakan kejahatan korupsi “berjamaah” yang terorganisasi. Tahapan korupsi dilakukan sejak dalam penganggaran, lelang, hingga pelaksanaan kegiatan pengadaan. Jamak diketahui bahwa setiap proyek infrastruktur yang dibiayai negara tidak pernah luput dari prakti suap menyuap. Munculnya istilah fee atau uang lelah dikalangan DPR memperkuat dugaan praktek ini terjadi. Korupsi secara bersama-sama dalam Proyek Hambalang menunjukan tipe korupsi yang terorganisasi. Kelompok penguasa berkolaborasi dengan kepentingan bisnis melakukan kejahatan. Modus kejahatan korupsi semacam ini hanyalah modifikasi dan replikasi kejahatan korupsi Orde Baru. Dari data diketahui tercatat total loss atau jumlah kerugian negara dalamkasus mega proyek di Bukit Hambalang, Sentul, Bogor mencapai Rp 463,66 Miliar
Pelaku Kasus Hambalang
3 Desember 2012 KPK menjadikan tersangka Andi Alfian Mallarangeng dalam posisinya sebagai Menpora dan pengguna anggaran. Pada 2010-2011 mencairkan uang pembayaran kepada Kerja Sama Operasi (KSO) PT Adhi Karya - PT Wijaya Karya senilai Rp 471 miliar. Selain itu, KPK juga mencekal Zulkarnain Mallarangeng, adik Andi, dan M. Arif Taufikurrahman, pejabat PT Adhi Karya. 5 Juli 2012 KPK menjadikan tersangka Dedi Kusnidar, Kepala Biro Keuangan dan Rumah tangga Kemenpora. Dedi disangkakan menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat pembuat komitmen proyek. 22 Februari 2013 Anas Urbaningrum dijadikan sebagai tersangka. Anas diduga menerima gratifikasi berupa barang dan uang, terkait dengan perannya dalam proyek Hambalang. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (Rp 2,2 miliar) Direktur Utama Dutasari Mahfud Suroso (Rp 28,8 miliar) Lisa Lukitawati, sebagai Direktur dari CV Rifa Medika Andi Zulkarnain Anwar alias Andi Zulkarnain Mallarengeng alias Choel, sebagai Presiden Direktur PR FOX Indonesia Mantan Ketua Komisi Olahraga DPR Mahyudin (Rp 500 juta) Anggota Badan Anggaran DPR Olly Dondokambey (Rp 2,5 miliar) Mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto (Rp 3 miliar) Mantan Sekretaris Kementerian Olahraga Wafid Muharam (Rp 6,5 miliar) Muhammad Nazaruddin. Muhammad Nazaruddin dipilih sebagai anggota Banggar DPR periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrat dan pada tahun 2010 diangkat Bendahara Umum Partai Demokrat. Mantan Direktur Operasi Adhi Karya, Teuku Bagus M. Noor (Rp 4,5 miliar) M Arief Taufiqurahman (sebagai Manajer Pemasaran sekaligus Fasilitator dari Teuku Bagus Mokhamad Noor) Muhammad Tamzil (Fasilitator dari Teuku Bagus Mokhamad Noor dan M Arief Taufiqurahman) Indrajaja Manopol (Sebagai Direktor Operasi) Beberapa pejabat Kementerian Pekerjaan Umum (Rp 135 juta)
Dampak Kualitatif Korupsi Terhadap Perekonomian dari Kasus
Hambalang Korupsi mengurangi pendapatan dari sektor publik dan meningkatkan pembelanjaan pemerintah untuk sektor publik. Korupsi juga memberikan kontribusi pada nilai defisit fiskal yang besar, meningkatkan income inequality, dikarenakan korupsi membedakan kesempatan individu dalam posisi tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas pemerintah pada biaya yang sesungguhnya ditanggung oleh masyarakat. Ada indikasi yang kuat, bahwa meningkatnya perubahan pada distribusi pendapatan terutama di negara-negara yang sebelumnya memakai sistem ekonomi terpusat di sebabkan oleh korupsi, terutama pada proses privatisasi perusahaan Negara lebih lanjut korupsi mendistorsi mekanisme pasardan alokasi sumber daya di karenakan: 1. Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan di lakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi. 2. Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan yang produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya menyumbangkan negatif value added. 3. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus di bayar oleh konsumen dan masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan masyarakat yang turun. 4. Korupsi mereduksi peran pundamental pemerintah (misalnya pada penerapan dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai. 5. Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada Negara yang sedang mengalami masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik keperekonomian yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter kepemerintahan yang lebih demokratis, sebagai mana terjadi dalam kasus Indonesia.