2. Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Organisasi ini berdiri pada tanggal 25 September 1969 di Rabat, Maroko, setelah
para pemimpin sejumlah negara Islam mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Islam. Organisasi Konferensi Islam ini kemudian berubah nama menjadi Organisasi
Kerjasama Islam pada 28 Juni 2011.
Organisasi ini lahir sebagai reaksi negara-negara Islam atas tindakan Israel yang
membakar Masjid Al-Aqsa pada 21 Agustus 1969. Pembentukan OKI antara lain
ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota,
mengkoordinasikan kerja sama antarnegara anggota, mendukung perdamaian dan
keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam, dan membantu
perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Saat ini, OKI beranggotakan 57 negara Islam atau negara yang memiliki
penduduk mayoritas muslim di kawasan Asia dan Afrika. Seiring perkembangan zaman,
OKI tidak hanya menangani masalah politik terutama masalah Palestina, tetapi juga
turut serta menangani permasalahan ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan.
Lambang OKI.
Secara umum, tujuan organisasi ini adalah:
1) memperkuat solidaritas, kerja sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
ilmu pengetahuan, dan teknologi antar negara anggota, serta perjuangan umat Islam
untuk melindungi kehormatan kemerdekaan dan hak-haknya.
2) Melakukan aksi bersama untuk melindungi tempat-tempat suci umat Islam, serta
memberi semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina dalam memperjuangan
hak dan kebebasan mendiami daerahnya.
3) Bekerja sama untuk menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan
serta menciptakan suasana yang menguntungkan serta saling pengertian antar
negara anggota dan negara-negara lain.
Dalam OKI, beberapa peran Indonesia adalah:
1) Memfasilitasi upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina (GRP)
dengan Moro National Liberation Front (MNLF) dengan mengacu kepada Final
Peace Agremeent/ Perjanjian Damai, 1996.
2) Indonesia memberi dukungan bagi berdirinya negara Palestina yang merdeka dan
berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Dukungan dilanjutkan dengan
pembukaan hubungan diplomatik antara pemerintah RI dan Palestina pada tanggal
19 Oktober 1989.
3) Indonesia juga aktif dalam memperkenalkan Islam sebagai agama yang menjunjung
tinggi perdamaian dan toleransi.
3. Jakarta Informal Meeting (JIM)
Kalau mendengar kata JIM, apa yang terlintas di pikiran kamu?
Bukan JIM yang itu, Squad… JIM di sini adalah pertemuan yang dilaksanakan
dalam upaya menyelesaikan konflik Kamboja-Vietnam dengan Indonesia sebagai
perantaranya.
JIM telah dilaksanakan sebanyak tiga kali di antara tahun 1988-1990. Pada JIM
I, Pemerintahan Koalisi Demokratik Kamboja mengusulkan tiga tahap rencana
penyelesaian Perang Indocina 3. Tiga usul tersebut adalah melakukan gencatan senjata
antara kedua belah pihak, diturunkannya pasukan penjaga perdamaian PBB untuk
mengawasi penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja, dan penggabungan semua
kelompok bersenjata Kamboja ke dalam satu kesatuan. Usulan tersebut disetujui dan
akan kembali dibahas dalam Jakarta Informal Meeting kedua.
Pada JIM II, Australia juga turut serta. Melalui perdana menterinya, Gareth
Evans, Australia mengusulkan rancangan Cambodia Peace Plan yang berisi:
1) mendorong upaya gencatan senjata;
2) menurunkan pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah yang konflik;
3) mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk menjaga
kedaulatan Kamboja sampai pemilihan umum diadakan.