Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ 1
DAFTAR ISI .............................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 3

BAB II Tinjauan Pustaka


2.1 Definisi ......................................................................................... 4
2.2 Klasifikasi .................................................................................... 4
2.3 Etiologi.......................................................................................... 5
2.4 Epidemiologi ................................................................................ 5
2.5 Faktor Risiko ................................................................................ 6
2.6 Diagnosis ...................................................................................... 6
2.6.1 Anamnesis ........................................................................... 6
2.6.2 Pemeriksaan Dermatologi/ Fisik ......................................... 7
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 8
2.6.3.1 Px Dermatografisme Putih ...................................... 8
2.6.3.2 Px Uji kulit dan IgE-RAST ..................................... 9
2.6.3.3 Px Kultur dan Resisten............................................. 9
2.7 Patogenesis ................................................................................... 9
2.8 Patofisiologi ................................................................................. 10
2.9 Diagnosis Banding ....................................................................... 12
2.10 Penatalaksanaan ......................................................................... 15
2.10.1 Non – Farmakologi ........................................................... 15
2.10.2 Farmakologi ...................................................................... 15
2.11 Komunikasi dan Edukasi ............................................................. 16
2.12 Komplikasi ................................................................................... 17
2.13 Prognosis ...................................................................................... 17
2.14 Profesionalisme ............................................................................ 17

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan ................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 19

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Antraks adalah suatu penyakit menular akut terutama pada
binatang rumahan atau piaraan dan binatang liar, tetapi manusia secara
kebetulan juga dapat terkena melalui kontak terhadap binatang atau produk
binatang yang terinfeksi. Transmisi antar manusia belum pernah
dilaporkan. Bentuk tersering infeksi oleh Bacillus anthracis ialah antraks
dengan lesi kulit akut yang disebut malignant pustule (Erdina, 2016).
Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit yang sudah
dikenal selama berabad-abad. Kuman antraks pertama kali di isolasi oleh
Robert Koch pada tahun 1877. Meskipun penyakit alaminya sudah banyak
berkurang, antraks menarik perhatian karena dapat digunakan sebagai
senjata biologis. Antraks merupakan penyakit pada hewan terutama hewan
berdarah panas dan pemakan rumput (herbivora) seperti sapi, kerbau,
kambing, domba, dan kuda. Pada hewan liar, antraks dapat ditemukan
pada babi hutan, rusa, dan kelinci. Manusia terjangkit antraks biasanya
akibat kontak langsung atau tidak langsung dengan binatang atau bahan
yang berasal dari binatang terinfeksi. Manusia relatif kebal terhadap
kuman antraks dibanding dengan herbivora (Tanzil K, 2016).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Antraks Kutaneus adalah suatu penyakit menular akut terutama
pada binatang rumahan atau piaraan dan binatang liar, tetapi manusia
secara kebetulan juga dapat terkena melalui kontak terhadap binatang atau
produk binatang yang terinfeksi (Erdina, 2016). Penderita biasanya
mempunyai riwayat kontak dengan hewan atau produknya. Lesi pertama
terjadi dalam waktu tiga sampai lima hari pasca inokulasi spora dan
umumnya terdapat pada daerah ekstremitas, kepala dan leher (daerah
terbuka) (Widya, 2016).

Gambar 2.1 Antraks Kutaneus pada wajah dan Kaki


(Sumber: DermatoMaz,2020)

2
2.2 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri aerobic gram positif
Bacillus anthracis. Bacillus anthracis adalah kuman aerobik gram positif
berbentuk batang (basil), berkapsul, tidak bergerak, yang mempunyai
kemampuan untuk membentuk spora, dan toksin (toksin edema dan toksin
letal). Kuman dapat hidup di tanah, jaringan, atau darah yang kaya dengan
asam amino, nukleosida, serta glukosa. Kuman dalam bentuk vegetatif
hanya dapat bertahan di alam kurang dari 24 jam (Widya, 2017:
Arthanareeswaran dkk, 2019).

2.3 Epidemiologi
Prevalensi penyakit antraks terbanyak pada herbivora, baik yang
dipelihara maupun yang liar. Antraks pada herbivora cenderung menjadi
berat dengan angka kematian yang tinggi. Manusia lebih tahan terhadap
antraks dibandingkan dengan binatang. Penyakit antraks pada manusia
dapat dibagi menjadi kasus agrikultural dan industrial. Kasus agrikultural
tersering berasal dari kontak dengan binatang yang terinfeksi antraks,
gigitan serangga yang terinfeksi, dan memakan daging yang
terkontaminasi. Kasus industrial berhubungan dengan paparan, kulit yang
terkontaminasi bulu, wool, atau tulang yang mengandung kuman antraks
(Tanzil K, 2016).
Menurut beberapa laporan di Indonesia pernah terjadi antraks pada
tahun 2004 di peternakan ostrich, Jawa Barat. Pada tahun 2007, di desa
Kode, Nusa Tenggara Timur, antraks menyebabkan kematian 8 orang dan
6 orang dirawat akibat mengkonsumsi daging sapi yang terserang antraks
(Widya, 2016).
Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada
tahun 2010-2016 terdapat 172 kasus antraks dan 97%nya merupakan
kutaneus antraks. Antraks sebanyak 61% menginfeksi laki-laki dan sisanya
wanita. Selain itu menurut kelompok umur, penyakit antraks menyerang
usia >15 tahun sebanyak 93% dari jumlah kasus (Claudia & Tria, 2017).

3
2.4 Faktor Risiko
Ada banyak faktor risiko untuk anthrax kutaneus, yaitu : (Clarasinta
dkk, 2017)
1) Orang yang mengolah produk hewan
2) Dokter hewan yang bekerja dengan binatang yang terinfeksi
3) Peternak yang bekerja dengan binatang terinfeksi
4) Pelancong yang mengunjungi daerah berisiko tinggi
5) Pekerja laboratorium yang bekerja dengan anthrax
6) Tukang pos, anggota militer, dan relawan
7) Yang terpapar selama kejadian teror biologis yang melibatkan spora
anthrax dan
8) Memakan daging mentah dari binatang yang terinfeksi.

2.5 Cara Penegakkan Diagnosis


2.5.1 Anamnesis
Pada anamnesa pasien datang dengan lesi awal disertai dengan
rasa gatal atau rasa terbakar, kemudian lesi berkembang menjadi
stadium vesikular dengan diameter 1-2 cm berisi cairan jemih atau
serosanguinosa yang mengandung sedikit lekosit. Selanjutnya, vesikel
membesar, menjadi hemoragik dan akan membentuk ulkus dengan eskhar
nekrotik kehitaman, dikelilingi zona edema non-pitting kecoklatan,
seperti gelatin. Mungkin terdapat lesi satelit berupa vesikel kecil yang
mengelilingi lesi yang lebih besar. Akibat efek toksik, dapat terjadi bula
multipel yang tidak disarankan untuk dilakukan insisi atau nekrotomi Iuka
untuk mencegah timbulnya bakterimia (Erdina, 2016).

2.5.2 Pemeriksaan Dermatologi/ Fisik (Bhattacharya dkk, 2016)


Lokalisasi : Wajah, leher dan ekstremitas (tangan dan kaki)
Efloresensi :
Primer : Vesikuler, Bula purulen

4
Sekunder : Ulkus

Gambar 2.2 Antrakx Kutaneus pada Kaki kanan

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang (Erdina, 2016)


2.5.3.1 Px Laboratorium
Berdasarkan kultur darah menunjukkan morfologi bakteri
koloni bewarna abu-abu/putih, datar, berdiameter 2-5 mm dan tepi
tidak beraturan. Kultur darah biasanya positif dalam waktu enam
sampai 24 jam (Claudia & Tri, 2017).

Gambar 2.3 Kultus darah pada pasien antraks kutaneus

5
2.5.3.2 Uji Serologi
Terdapat reaksi antibodi terhadap kapsul maupun toksin dari
B. anthracis yaitu Protective Antigen (PA) (Erdina, 2016).

2.5.3.3 Px Histopatologi

Gambar 2.4 Px Biopsi darah pasien antrak kutaneus


( Sumber : Shieh dkk, 2016).

Pada pemeriksaan histopatologik ditemukan gambaran edema


hemoragik, dilatasi pembuluh limfe dan nekrosis pada epidermis
(Erdina, 2016).

2.6 Patogenesis
Kuman atau spora masuk ke dalam tubuh manusia melalui
Iuka/fly bite di permukaan kulit, inhalasi, atau melalui saluran
pencemaan. Kuman akan berkembang di dalam sistem limfatik kemudian
beredar ke dalam aliran darah. Adanya kapsul kuman menghambat
proses fagositosis makrofag terhadap kuman. Toksin edema yang
dikeluarkan menyebabkan terjadinya edema lesi lokal yang karakteristik
(Erdina, 2016).

2.7 Patofisiologi

6
Penderita biasanya mempunyai riwayat kontak dengan hewan
atau produknya. Lesi pertama terjadi dalam waktu tiga sampai lima hari
pasca inokulasi spora dan umumnya terdapat pada daerah ekstremitas,
kepala dan leher (daerah terbuka). Lesi berwarna kemerahan, gatal dan tak
sakit. Dalam kurun waktu 24-36 jam lesi berubah membentuk vesikel
berisi cairan jernih. Karena bagian tengah vesikel nekrotik maka setelah
vesikel pecah, akan terbentuk keropeng berwarna hitam (eschar) di bagian
tengahnya. Di sekitar lesi tampak edema kemerahan hebat dan vesikel-
vesikel kecil. Istilah pustula malignan sebenarnya salah, karena lesi kulit
antraks tidak purulen dan tidak sakit. Ditemukannya lesi purulen dan sakit
biasanya menunjukkan infeksi sekunder oleh kuman lain seperti
stafilokokus dan streptokokus (Widya, 2016).
Infeksi oleh endospora bakteri melalui lesi kulit (abrasi, luka, atau
gigitan serangga). Dalam waktu 12 -36 jam setelah infeksi akan timbul
jerawat atau papula kecil dan akan berkembang dalam dua sampai tiga
hari. 24 jam berikutnya papula berubah menjadi vesikula yang berisi
cairan berwarna biru gelap dan membentuk cincin vesikula, diikuti oleh
ulserasi papula. Sentral, yang mengering dan membekas berupa eschar
kehitaman pada bagian pusat lesi (pathognomonik) disekitar ulkus, sering
didapatkan eritema dan edema. Jika lesi terinfeksi bakteri Staphylococcus
aureus akan terbentuk pus pada daerah radang. Lesi pada antraks kutaneus
tak disertai rasa nyeri dan selalu dikelilingi oleh edema. Biasanya, pada
hari kelima atau enam eschar kehitaman akan menebal dan melekat erat
pada jaringan dasarnya. Terdapat limfadenopati regional dan juga terjadi
pembengkakan di wajah atau leher yang bisa berkembang menjadi
meningitis. Demam, nanah dan nyeri terjadi jika infeksi sekunder (Claudia
& Tri, 2017).

2.8 Diagnosis Banding

1. Selulitis Akut

7
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang
terjadi menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kuti. Infeksi
ini biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering
Streptococcus beta hemolitikus Grup A (GAS) dan Staphylococcus aureus.
Gambaran klinis pada selulitis akut adalah kemerahan dengan batas
jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat
timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan demam dan
lesu serta dapat timbul bula, tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi
supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren) (Djuanda adi, 2016).

Gambar 4.3. Gambaran Bula pada Selulitis akut

2. Karbunkel

Karbunkel adalah gabungan beberapa folikel rambut terinfeksi


yang membentuk massa yang luas, bengkak, eritema, terletak dalam, dan
nyeri yang umumnya terbuka dan memiliki drainase melalui beberapa
saluran. Keluhan klinis dapat berlangsung dalam hitungan minggu hingga
bulan. Gejala yang sering dikeluhkan pasien adalah nyeri seperti terbakar
dan panas di tempat keluhan. Karbunkel sering juga disertai dengan
adanya demam dan malaise yang pada umumnya tidak ditemukan pada
furunkel3. Beberapa area yang biasanya menjadi tempat predileksi
munculnya karbunkel adalah daerah punggung, paha, leher (Sturberg,
2016)

8
Gambar 4.3. Gambaran pustula pada Karbunkel

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Non – Farmakologi
Bersihkan bagian tubuh yang terjadi lesi dengan larutan asam salisilat
0,1% dan NaCl 0,9% setiap hari 1 x 1

2.9.2 Farmakologi (Claudia & Tri, 2017)


1. Amoxicilin 3x1 selama 14 hari
2. Dilanjutkan antibiotic : ciprofloxacillin (500 mg dua kali sehari),
doxycyklin (100 mg dua kali sehari), atau amoksisilin (500 mg tiga kali
sehari) selama 60 hari
3. Untuk anak-anak dan ibu hamil diberi amoxixilin 40 mg 3x1

2.10 Komunikasi dan Edukasi (Claudia & Tri, 2017)


 Dianjurkan supaya tidak mengonsumsi daging yang kurang matang,
 Penggunaan APD pada pekerja beresiko tinggi (dokter hewan, petani dan
peternak) serta
 Melakukan vaksin terhadap hewan ternak

2.11 Komplikasi
Komplikasi antraks kutaneus adalah infeksi bakteri sekunder
(Kolbe A dkk, 2016).

2.12 Prognosis
Prognosis penyakit ini akan membaik dengan tatalaksana yang
tepat dan teratur (Bhattacharya dkk, 2016).

2.13 Profesionalisme

9
Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pengobatan
yang tepat dan apabila keadaan tidak membaik maka control ulang ke
dokter spesialis kulit dan kelamin (Arthanareeswaran dkk, 2019).

BAB III

KESIMPULAN

Definisi : Antraks Kutaneus adalah suatu penyakit menular akut terutama


pada binatang rumahan atau piaraan dan binatang liar, tetapi manusia secara
kebetulan juga dapat terkena melalui kontak terhadap binatang atau produk
binatang yang terinfeksi. Penegak Diagnosis : penegakkan diagnosa biasanya
ditentukan melaui anamnesa berupa Pada anamnesa pasien dating dengan lesi
awal disertai dengan rasa gatal atau rasa terbakar. Pemeriksaan fisik : berupa
vesikuler, bula purulent berkembang menjadi ulkus. Pemeriksaan
penunjang : pada pemeriksaan laboratorium didapatkan gambaran morfologi
bakteri koloni bewarna abu-abu/putih, datar, berdiameter 2-5 mm dan tepi tidak
beraturan. pada pemeriksaan serologi terdapat Terdapat reaksi antibodi
terhadap kapsul maupun toksin dari B. anthracis serta pada pemeriksaan
histopatologi didapatkan nekrotik pada epididymis
Penatalaksanaan diberikan antibiotic amoxicilin selama 14 hari
kemudian dilanjutkan dengan pemebrian antibiotic ciprofloxacillin selama 60
hari. Edukasi : dianjurkan duapa tidak mengkonsumsi daging kurang matang,
bagi para pekerja beresiko tinggi antraks dianjurkan untuk mengguanakan APD
lengkp serta vaksin hewan secara berkala. Komplikasi pada antraks kutaneus
yaitu infeksi kulit sekunder . Prognosis : prognosis penyakit ini baik bila
penatalaksanaan tepat.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Arthanareeswaran, Abila T. Babu, Lakshmi R dkk. 2019. Cutaneous


Anthrax. Uropean Journal Of Pharmaceutical And Medical Research. 6:12
2. Bhattacharya, Indrani dkk. 2016. cutaneous anthrax. Jurnal Of Evolusi
medical. 49:5
3. Claudia & Tri. 2017. Penyakit Antraks: Ancaman untuk Petani dan
Peternak. Majority J. Volemi 1. No 1
4. Djuanda, adi. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi IV. Balai
Penerbit FK UI, Jakarta
5. Erdina H.D. 2016. Antraks Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
IV. Balai Penerbit FK UI, Jakarta: Hal.343-346
6. Fitzpatrick, Thomas B. 2018. Dermatology in General Medicine, seventh
edition. New York: McGrawHill
7. Kolbe, Marion dkk. 2016. A case of human cutaneous anthrax. MJS. 185.5
8. Shieh, Jeannette Guarner, Christopher Paddoc dkk. 2016. The Critical
Role of Pathology in the Investigation of Bioterrorism-Related Cutaneous
Anthrax. American Journal of Pathology, Vol. 163, No. 5
9. Stulberg DL, Penrod MA, Blatny RA. 2016. Common Bacterial Skin
Infections. Available from American Family Physician Volume 66,
Number 1.

11
10. Tanzil H. 2016. Aspek Bakteriologi Penyakit Antraks . Jurnal Ilmiah
WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan.

12

Anda mungkin juga menyukai