KATA PENGANTAR................................................................................ 1
DAFTAR ISI .............................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 3
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 19
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Antraks Kutaneus adalah suatu penyakit menular akut terutama
pada binatang rumahan atau piaraan dan binatang liar, tetapi manusia
secara kebetulan juga dapat terkena melalui kontak terhadap binatang atau
produk binatang yang terinfeksi (Erdina, 2016). Penderita biasanya
mempunyai riwayat kontak dengan hewan atau produknya. Lesi pertama
terjadi dalam waktu tiga sampai lima hari pasca inokulasi spora dan
umumnya terdapat pada daerah ekstremitas, kepala dan leher (daerah
terbuka) (Widya, 2016).
2
2.2 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri aerobic gram positif
Bacillus anthracis. Bacillus anthracis adalah kuman aerobik gram positif
berbentuk batang (basil), berkapsul, tidak bergerak, yang mempunyai
kemampuan untuk membentuk spora, dan toksin (toksin edema dan toksin
letal). Kuman dapat hidup di tanah, jaringan, atau darah yang kaya dengan
asam amino, nukleosida, serta glukosa. Kuman dalam bentuk vegetatif
hanya dapat bertahan di alam kurang dari 24 jam (Widya, 2017:
Arthanareeswaran dkk, 2019).
2.3 Epidemiologi
Prevalensi penyakit antraks terbanyak pada herbivora, baik yang
dipelihara maupun yang liar. Antraks pada herbivora cenderung menjadi
berat dengan angka kematian yang tinggi. Manusia lebih tahan terhadap
antraks dibandingkan dengan binatang. Penyakit antraks pada manusia
dapat dibagi menjadi kasus agrikultural dan industrial. Kasus agrikultural
tersering berasal dari kontak dengan binatang yang terinfeksi antraks,
gigitan serangga yang terinfeksi, dan memakan daging yang
terkontaminasi. Kasus industrial berhubungan dengan paparan, kulit yang
terkontaminasi bulu, wool, atau tulang yang mengandung kuman antraks
(Tanzil K, 2016).
Menurut beberapa laporan di Indonesia pernah terjadi antraks pada
tahun 2004 di peternakan ostrich, Jawa Barat. Pada tahun 2007, di desa
Kode, Nusa Tenggara Timur, antraks menyebabkan kematian 8 orang dan
6 orang dirawat akibat mengkonsumsi daging sapi yang terserang antraks
(Widya, 2016).
Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada
tahun 2010-2016 terdapat 172 kasus antraks dan 97%nya merupakan
kutaneus antraks. Antraks sebanyak 61% menginfeksi laki-laki dan sisanya
wanita. Selain itu menurut kelompok umur, penyakit antraks menyerang
usia >15 tahun sebanyak 93% dari jumlah kasus (Claudia & Tria, 2017).
3
2.4 Faktor Risiko
Ada banyak faktor risiko untuk anthrax kutaneus, yaitu : (Clarasinta
dkk, 2017)
1) Orang yang mengolah produk hewan
2) Dokter hewan yang bekerja dengan binatang yang terinfeksi
3) Peternak yang bekerja dengan binatang terinfeksi
4) Pelancong yang mengunjungi daerah berisiko tinggi
5) Pekerja laboratorium yang bekerja dengan anthrax
6) Tukang pos, anggota militer, dan relawan
7) Yang terpapar selama kejadian teror biologis yang melibatkan spora
anthrax dan
8) Memakan daging mentah dari binatang yang terinfeksi.
4
Sekunder : Ulkus
5
2.5.3.2 Uji Serologi
Terdapat reaksi antibodi terhadap kapsul maupun toksin dari
B. anthracis yaitu Protective Antigen (PA) (Erdina, 2016).
2.5.3.3 Px Histopatologi
2.6 Patogenesis
Kuman atau spora masuk ke dalam tubuh manusia melalui
Iuka/fly bite di permukaan kulit, inhalasi, atau melalui saluran
pencemaan. Kuman akan berkembang di dalam sistem limfatik kemudian
beredar ke dalam aliran darah. Adanya kapsul kuman menghambat
proses fagositosis makrofag terhadap kuman. Toksin edema yang
dikeluarkan menyebabkan terjadinya edema lesi lokal yang karakteristik
(Erdina, 2016).
2.7 Patofisiologi
6
Penderita biasanya mempunyai riwayat kontak dengan hewan
atau produknya. Lesi pertama terjadi dalam waktu tiga sampai lima hari
pasca inokulasi spora dan umumnya terdapat pada daerah ekstremitas,
kepala dan leher (daerah terbuka). Lesi berwarna kemerahan, gatal dan tak
sakit. Dalam kurun waktu 24-36 jam lesi berubah membentuk vesikel
berisi cairan jernih. Karena bagian tengah vesikel nekrotik maka setelah
vesikel pecah, akan terbentuk keropeng berwarna hitam (eschar) di bagian
tengahnya. Di sekitar lesi tampak edema kemerahan hebat dan vesikel-
vesikel kecil. Istilah pustula malignan sebenarnya salah, karena lesi kulit
antraks tidak purulen dan tidak sakit. Ditemukannya lesi purulen dan sakit
biasanya menunjukkan infeksi sekunder oleh kuman lain seperti
stafilokokus dan streptokokus (Widya, 2016).
Infeksi oleh endospora bakteri melalui lesi kulit (abrasi, luka, atau
gigitan serangga). Dalam waktu 12 -36 jam setelah infeksi akan timbul
jerawat atau papula kecil dan akan berkembang dalam dua sampai tiga
hari. 24 jam berikutnya papula berubah menjadi vesikula yang berisi
cairan berwarna biru gelap dan membentuk cincin vesikula, diikuti oleh
ulserasi papula. Sentral, yang mengering dan membekas berupa eschar
kehitaman pada bagian pusat lesi (pathognomonik) disekitar ulkus, sering
didapatkan eritema dan edema. Jika lesi terinfeksi bakteri Staphylococcus
aureus akan terbentuk pus pada daerah radang. Lesi pada antraks kutaneus
tak disertai rasa nyeri dan selalu dikelilingi oleh edema. Biasanya, pada
hari kelima atau enam eschar kehitaman akan menebal dan melekat erat
pada jaringan dasarnya. Terdapat limfadenopati regional dan juga terjadi
pembengkakan di wajah atau leher yang bisa berkembang menjadi
meningitis. Demam, nanah dan nyeri terjadi jika infeksi sekunder (Claudia
& Tri, 2017).
1. Selulitis Akut
7
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang
terjadi menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kuti. Infeksi
ini biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering
Streptococcus beta hemolitikus Grup A (GAS) dan Staphylococcus aureus.
Gambaran klinis pada selulitis akut adalah kemerahan dengan batas
jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan dapat
timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan demam dan
lesu serta dapat timbul bula, tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi
supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren) (Djuanda adi, 2016).
2. Karbunkel
8
Gambar 4.3. Gambaran pustula pada Karbunkel
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Non – Farmakologi
Bersihkan bagian tubuh yang terjadi lesi dengan larutan asam salisilat
0,1% dan NaCl 0,9% setiap hari 1 x 1
2.11 Komplikasi
Komplikasi antraks kutaneus adalah infeksi bakteri sekunder
(Kolbe A dkk, 2016).
2.12 Prognosis
Prognosis penyakit ini akan membaik dengan tatalaksana yang
tepat dan teratur (Bhattacharya dkk, 2016).
2.13 Profesionalisme
9
Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pengobatan
yang tepat dan apabila keadaan tidak membaik maka control ulang ke
dokter spesialis kulit dan kelamin (Arthanareeswaran dkk, 2019).
BAB III
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
11
10. Tanzil H. 2016. Aspek Bakteriologi Penyakit Antraks . Jurnal Ilmiah
WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan.
12