Anda di halaman 1dari 16

PAPER ILMU BIOMEDIK II

“VIRUS HEPATITIS B”

Disusun oleh :
Nur annisa 204201416083

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NASIONAL

2020-2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Hepatitis didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan terdapatnya


peradangan pada organ tubuh yaitu hati. Hepatitis merupakan suatu proses terjadinya
inflamasi atau nekrosis pada jaringan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-
obatan, toksin gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun. Inveksi yang disebabkan
virus merupakan penyebab tersering dan terbanyak dari hepatitis akut. Terdapat 6 jenis
virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G
(Arif, 2012).

Diantara penyakit hepatitis yang disebabkan oleh virus, hepatitis B menduduki tempat
pertama dalam hal jumlah dan penyebarannya. Hepatitis B menjadi masalah kesehatan
dunia karena selain prevalensinya yang sangat tinggi, virus hepatitis B juga dapat
menimbulkan problem paskaakut bahkan dapat terjadi sirosis hati dan karsinoma
hepatoseluler primer (hepatoma). Oleh sebab itu, karena tingginya morbiditas dan
mortalitas dari penyakit hepatitis B, penyakit ini sangat mengancam di dunia (Siregar,
2010).

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan global dan diperkirakan sekitar 2 miliar


penduduk dunia pernah terpapar virus hepatitis B (VHB). Hepatitis B adalah penyakit
infeksi hati yang berpotensi mengancam nyawa yangdisebabkan oleh virus hepatitis B.
Menurut WHO, terdapat sekitar dua miliar orang di dunia telah terinfeksi virus Hepatitis B
dan lebih dari 240 juta telah menderita infeksi hati kronis (jangka panjang). Sekitar
600.000 orang meninggal setiap tahun karena menderita Hepatitis B akut atau kronis.
Prevalensi infeksi HBV berbeda-beda di seluruh dunia. Kategori daerah endemis terbagi
menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Angka prevalensi infeksi VHB di Asia Pasifik cukup
tinggi yaitu melebihi 8% (Firdayani, 2013)
Virus Hepatitis B utuh adalah suatu virus DNA yang berlapis ganda dengan diameter
42 nm (1 nm = 0.000000001) dan berbentuk bulat. Selubung terluar tersusun oleh protein
yang dinamakan Hepatitis B surface antigen (HBsAg), sedangkan selubu dalam yang
disebut nukleokapsid atau core (inti) tersusun oleh suatu protein hepatitis core antigen
(HBcAg). Virus Hepatitis B oleh tubuh dianggap sebagai antigen. Dengan kemampuan
teknologi kedokteran khususnya di bidang laboratorium yang sudah sedemikian canggih,
antigen-antigen VHB dan protein VHB lainnya, yaitu protein HBsAg, HBcAg, HBeAg
dan DNA VHB sudah dapat diidentifikasi (Cahyono, 2010).

Hepatitis B dapat ditularkan dengan berbagai macam cara. Hepatitis B dapat ditularkan
secara vertikal dari ibu ke anak atau secara horizontal dari anak ke anak. Sumber utama
penularan hepatitis B adalah darah. Hepatitis B juga dapat ditularkan melalui kontak
dengan cairan tubuh dari orang yang terinfeksi.Semua cairan tubuh bisa menular, namun
hanya darah, cairan vagina, dan air mani yang telah terbukti menular. Selain itu, penularan
bisa terjadi melalui perkutan dan permukosa cairan tubuh yang menular. Paparan yang
menyebabkan transmisi hepatitis B adalah transfusi dari darah yang belum diskrining,
jarum suntik yang tidak steril pada prosedur hemodialisa, akupuntur, tato dan pada
petugas kesehatan yang tertusuk jarum suntik yang mengandung darah pasien yang
terinfeksi hepatitis B (WHO, 2011).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi Hepatitis B

Hepatitis merupakan suatu proses inflamasi pada hati. Hepatitis disebabkan oleh banyak hal.
Penyebab tersering dari hepatitis adalah infeksi virus. Terdapat beberapa jenis hepatitis
berdasarkan tipe virus yang menginfeksi yaitu hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D
dan hepatitis E. Selain infeksi virus, alkohol, toksin, serta beberapa obat diketahui dapat
menyebabkan hepatitis (CDC, 2010).

Salah satu jenis hepatitis virus yang penting dan menjadi permasalahan global adalah
hepatitis B. Hepatitis B merupakan suatu inflamasi pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis tipe B atau yang sering disebut dengan HBV (WHO, 2014). HBV merupakan virus
DNA yang termasuk ke dalam famili Hepadnaviridae (virus DNA hepatotropik). HBV
merupakan jenis virus yang memiliki envelope. Virus ini memiliki DNA untai ganda parsial
berbentuk sirkular yang hanya terdiri dari 3200 pasang basa. HBV memiliki 8 jenis genotif
utama yaitu A sampai H yang memiliki pola persebaran yang berbeda di masing-masing Negara.
Genotif yang terdapat di Indonesia yaitu genotif B (Locarnini, 2004). Genom HBV terdisi atas 4
jenis gen yaitu: gen S, C, P dan X. Keempat gen tersebut mengkode protein tertentu yang
membentuk komponen virus. Gen S mengkode sebagian besar protein envelope virus yang
dikenal dengan HBsAg. Gen C mengkode protein nukleokapsid virus yaitu HBeAg dan HBcAg.
HBeAg sendiri merupakan suatu protein virus yang disekresikan saat terjadinya infeksi dan
bersifat soluble, sedangkan HBcAg merupakan intracellular core protein.

Kedua protein tersebut berbeda area kodon inisiasinya pada gen C dimana HBeAg terletak
pada area precore sedangkan HBcAg terletak pada area core. Gen lainnya yaitu gen P mengkode
untuk enzim DNA polimerase virus yang berguna untuk replikasi virus. Sementara itu, gen X
adalah gen yang mengkode HBxAg. HBxAg merupakan suatu protein yang berfungsi untuk
mengaktivasi replikasi serta transkripsi DNA HBV (Dienstag JL, 2008). Komponenkomponen
virus yang dikode oleh gen tersebut nantinya akan digunakan sebagai marker serologi terhadap
infeksi HBV

B. Patogenesis Hepatitis B

HBV ditransmisikan melalui darah serta cairan tubuh lainnya seperti saliva, air mata, semen
dan cairan vagina. Transmisinya dapat melalui hubungan seksual, parenteral, serta transmisi
vertikal dari ibu ke anak saat kelahiran. HBV dapat bersifat infeksius di luar tubuh manusia
hingga tujuh hari atau lebih. Penyakit ini ada yang bersifat akut dan kronis. Progresivitas 9
penyakit dari akut menjadi kronis dipengaruhi oleh usia seseorang saat terinfeksi HBV.

Pada infeksi HBV yang didapat dari infeksi vertikal cenderung akan menjadi kronik
(Dienstag, 2008). Hepatitis B akut biasanya terjadi jika seseorang mendapatkan infeksi hepatitis
B saat dewasa dimana sistem imun tubuhnya sudah matur. Biasanya infeksi akut ini diapatkan
melalui hubungan seksual serta penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Imun tubuh akan
merespon terhadap partikel virus HBV yang dianggap sebagai partikel asing oleh tubuh. Masa
inkubasi virus pada infeksi akut ini rata-rata 90 hari (berkisar antara 30-180 hari).

Umumnya infeksi hepatitis akut pada orang dengan kondisi imunokompeten bersifat self
limiting dimana gejala klinis akan hilang dalam 4-6 minggu (Dienstag, 2008). Pada infeksi
hepatitis B akut, HBsAg akan menghilang pada waktu maksimal enam bulan setelah infeksi. Jika
setelah enam bulan, HBsAg tersebut masih terdeteksi maka disebut dengan infeksi HBV kronis.
Hepatitis B kronis biasanya terjadi ketika infeksi didapatkan pada masa perinatal dimana
seseorang masih berada pada kondisi imunotoleran. Selain itu, infeksi kronis juga bisa terjadi
pada orang dewasa yang berada dalam keadaan immunocompromise seperti pada infeksi HIV.
Hepatitis B kronis ini dapat menyebabkan terjadinya sirosis hati hingga HCC (Gerlich, 2013).

Pada hepatitis B kronis, terdapat lima fase perjalanan penyakit hepatitis antara lain:

1. Fase 1: immune tolerant

Merupakan fase infeksi pertama kali yang ditandai dengan masih belum adanya respon imun
tubuh akibat infeksi virus. Biasanya fase ini terjadi pada orang yang mendapat infeksi hepatitis
ketika masa perinatal dimana sistem imun tubuhnya masih belum berfungsi dengan baik. Fase ini
ditandai dengan level ALT yang normal karena respon imun sangat sedikit. Respon imun yang
ada hanya sebatas produksi IgM dan IgG anti HBc. Namun tidak menyebabkan clearance virus.
Pada fase ini juga terjadi replikasi virus yang aktif mensintesis HBV DNA, HBeAg dan HBsAg
yang dapat dideteksi pada serum pasien.

2. Fase 2: immune reactive


Fase ini terjadi ketika sistem imun seseorang yang terinfeksi HBV sudah mulai memberikan
respon. Fase ini ditandai dengan adanya peningkatan ALT mencapai 5 kali dari batas normal.
Pada fase ini, respon imun berhasil menurunkan replikasi HBV namun tidak mengeliminasi
virusnya. Selain itu juga terjadi clearance HBeAg.
3. Fase 3: low replicative phase
Pasien pada fase ini memiliki kadar HBV DNA yang sangat rendah bahkan bisa sampai tidak
terdetensi. HBeAg negatif tetapi HBsAg masih positif. Fase ini lebih dikenal dengan istilah 11
“Inactive Carrier State”. Namun pada fase ini, seseorang dapat mengalami reaktivasi virus
kembali. Sekitar 10%nya akan menjadi hepatitis B kronis dengan HBeAg positif dan 10-20%
mengalami reaktivasi hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif.
4. Fase 4: HBeAg negative CHB
Fase ini terjadi ketika HBV yang menginfeksi mengalami mutasi sehingga tidak mampu
menghasilkan HBeAg. Mutasi bisanya terjadi pada area precore atau pada core promoter dari
genom virus. Namun meskipun demikian HBV pada fase ini masih dapat aktif bereplikasi.
5. Fase 5: HBsAg negative
Pada fase ini terjadi clearance baik itu HBsAg maupun HBeAg virus. Replikasi virus masih
ada pada fase ini namun jumlahnya sangat sedikit hingga tidak akan terdeteksi pada serum.
Ketika HBsAg menjadi negatif, risiko untuk seseorang untuk terkena komplikasi hati juga akan
menurun.

C. Diagnosis Hepatitis B

Secara klinis, infeksi HBV akut memiliki gejala yang tidak spesifik seperti kelelahan, nafsu
makan menurun, mual, muntah, rasa sakit pada abdomen, demam ringan, kekuningan, dan
warna urin yang gelap. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gejala-gejala tersebut akan
hilang setelah 4-6 bulan dan sembuh pada pasien yang imunokompeten. Namun pada pasien
yang imunotoleran atapun immunocompromise, infeksi dapat berlanjut menjadi kronik (Wilkins
dkk., 2010).

Dengan gejala klinis yang tidak spesifik tersebut maka untuk mendiagnosis hepatitis B
diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pemeriksaan yang rutin dilakukan bertujuan
untuk memastikan adanya infeksi HBV, menentukan apakah pasien mengalami infeksi akut atau
kronis, serta memonitor tingkat kerusakan hati yang terjadi yang akan berguna untuk
menentukan terapi lebih lanjut serta prognosis dari penyakit. Pemeriksaan yang penting
dilakukan adalah: pemeriksaan serologi yaitu melihat ada tidaknya HBsAg dalam darah untuk
menegakkan diagnosis hepatitis B, serta pemeriksaan tes fungsi hati untuk melihat kerusakan
pada sel-sel hepatosit akibat infeksi HBV (Siemens, 2008)

Tes fungsi hati merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan pada pasien hepatitis B.
Pemeriksaan ini terdiri atas pemeriksaan: bilirubin total, alanin transaminase (ALT), aspartate
transaminase (AST), alkali fosfatase, prothrombin time (PT), protein total, albumin serum,
globulin serum, darah lengkap, dan analisis faktor-faktor koagulasi (Aspinal dkk., 2011).

D. Rasio De Ritis dan Pemeriksaan Albumin pada Hepatitis B


1. Rasio de ritis Rasio De Ritis adalah rasio antara AST dan ALT.
Rasio ini pertama kali diperkenalkan oleh Fernando De Ritis pada tahun 1957. Rasio ini
digunakan untuk diagnosis banding penyebab hepatitis serta untuk mengetahui waktu serta
progresivitas penyakit hepatitis yang terjadi. Secara umum, kedua transaminase (AST dan ALT)
berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein pada hati. AST merupakan enzim yang
terdapat pada sitoplasma serta mitokondria dari sel hepatosit.
Enzim ini memiliki peranan vital dalam glikolisis aerobik sel hepatosit. Sementara itu, ALT
merupakan enzim yang terdapat pada sitoplasma sel hepatosit. ALT memiliki fungsi dalam
glucose-alanine cycle, suatu siklus yang 14 bertujuan untuk mengubah alanine menjadi glukosa
(Botros dan Sikaris, 2013).
Dalam keadaan normal, AST dan ALT dilepaskan ke dalam darah dalam kadar tertentu
yang menandakan adanya apoptosis selsel hepatosit. Adapun kadar normal AST untuk pria
adalah 11-33 U/L dan untuk wanita adalah 11-27 U/L. Sedangkan kadar normal ALT untuk pria
adalah 11-50 U/L dan untuk wanita adalah 11-34 U/L. Pemeriksaan AST dan ALT di
laboratorium menggunakan metode IFCC tanpa pyridoxal 5-P.
Terjadinya peningkatan kadar kedua enzim tersebut di dalam darah secara umum
menunjukkan adanya peningkatan kerusakan sel-sel hepatosit (Kit Insert Cobast C501).
Peningkatan AST dan ALT dapat terjadi pada kasus-kasus seperti: hepatitis virus akut maupun
kronik, rhabdomyolisis, hepatitis alkoholik serta pada kasus perlemakan hati alkoholik dan non
alkoholik. Pada kasus hepatitis virus akut rasio De Ritis biasanya 2 jika terjadi hepatitis
fulminan dan biasanya memiliki prognos buruk (Botros dan Sikaris, 2013).
Sedangkan pada kasus hepatitis virus kronis yang sudah mengarah ke fibrosis ataupun
sirosis, rasionya De Ritis menunjukkan angka >1 namun tidak sampai >2 (Hall dan Cash, 2012).
Rasio ini juga dapat digunakan untuk memprediksikan prognosis pasien. Peningkatan Rasio de
Ritis mencapai >1,16 menunjukkan 15 prognosis yang buruk pada pasien hepatitis virus kronis
(Botros dan Sikaris, 2013).
Pada kasus lain seperti rhambomyolisis, terjadi pelepasan AST yang lebih dominan
dibandingkan ALT oleh sel-sel otot yang rusak yang menyebabkan meningkatnya AST darah.
Selain itu peningkatan AST dan ALT juga dikaitkan dengan peningkatan berat badan, terutama
untuk ALT. Sebagian besar kasus peningkatan ALT terjadi pada pasien overweight (BMI >25)
dan obesitas (BMI>30) (Botros dan Sikaris, 2013).
2. Albumin serum Albumin
merupakan protein terpenting dalam plasma darah. Protein ini disintesis oleh hati dan
digunakan sebagai indikator fungsi hati. Albumin memiliki waktu paruh sekitar 12-19 hari
(Garcia-Martinez, dkk., 2013).
Kadar albumin normal dalam darah bervariasi berdasarkan usia pasien dan berada dalam
rentang adalah antara 3,2 gr/dL– 5,2 gr/dL. Metode pemeriksaan yang digunakan di laboratorium
untuk mengetahui kadar albumin serum ini adalah dengan bromocresol-purple (Kit Insert Cobast
C501).
Kadar albumin darah ditentukan oleh kecepatan sintesis, degradasi serta volume distribusinya.
Pada kasus hepatitis virus akut, kadar albumin biasanya masih dalam batas normal. Namun pada
kasus hepatitis virus kronis yang mengarah ke sirosis, kadar albumin biasanya mengalami
penurunan yang signifikan. Kondisi hipoalbuminemia tidak hanya terjadi pada penyakit hati
tetapi juga 16 dapat terjadi pada kasus malnutrisi dan sindrom nefrotik (Thapa dan Walia, 2007).
BAB III
GEJALA KLINIK

A. Gejala Hepatitis B

Gejala klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan. Kondisi asimtomatis
ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila
menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan
intensitas yang lebih berat.

Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:

1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau kuning. Fase
inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata- rata 60-90 hari.
2. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala kuning.
Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan sakit badan, mudah lelah, gejala saluran
napas atas dan tidak nafsu makan. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri perut biasanya
ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau ulu hati.
3. Fase icterus
Ikterus (kuning) muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus
jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang
nyata.
4. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya
nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani dan
hanya <1% yang menjadi fulminan..Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan
hati yang berlanjut > 6 bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit.
BAB IV
DIAGNOSIS HEPATITIS B

Secara klinis, infeksi HBV akut memiliki gejala yang tidak spesifik seperti kelelahan,
nafsu makan menurun, mual, muntah, rasa sakit pada abdomen, demam ringan, kekuningan,
dan warna urin yang gelap. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gejala-gejala tersebut
akan hilang setelah 4-6 bulan dan sembuh pada pasien yang imunokompeten. Namun pada
pasien yang imunotoleran atapun immunocompromise, infeksi dapat berlanjut menjadi
kronik (Wilkins dkk., 2010).
Dengan gejala klinis yang tidak spesifik tersebut maka untuk mendiagnosis hepatitis B
diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pemeriksaan yang rutin dilakukan
bertujuan untuk memastikan adanya infeksi HBV, menentukan apakah pasien mengalami
infeksi akut atau kronis, serta memonitor tingkat kerusakan hati yang terjadi yang akan
berguna untuk menentukan terapi lebih lanjut serta prognosis dari penyakit. Pemeriksaan
yang penting dilakukan adalah:
pemeriksaan serologi yaitu melihat ada tidaknya HBsAg dalam darah untuk menegakkan
diagnosis hepatitis B, serta pemeriksaan tes fungsi hati untuk melihat kerusakan pada sel-sel
hepatosit akibat infeksi HBV (Siemens, 2008).
Tes fungsi hati merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan pada pasien hepatitis B.
Pemeriksaan ini terdiri atas pemeriksaan: bilirubin total, alanin transaminase (ALT),
aspartate transaminase (AST), alkali fosfatase, prothrombin time (PT), protein total, albumin
serum, globulin serum, darah lengkap, dan analisis faktor-faktor koagulasi (Aspinal dkk.,
2011).

A. Rasio De Ritis dan Pemeriksaan Albumin pada Hepatitis B


1. Rasio de ritis Rasio De Ritis adalah

rasio antara AST dan ALT. Rasio ini pertama kali diperkenalkan oleh Fernando De Ritis
pada tahun 1957. Rasio ini digunakan untuk diagnosis banding penyebab hepatitis serta untuk
mengetahui waktu serta progresivitas penyakit hepatitis yang terjadi. Secara umum, kedua
transaminase (AST dan ALT) berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein pada hati.
AST merupakan enzim yang terdapat pada sitoplasma serta mitokondria dari sel hepatosit.
Enzim ini memiliki peranan vital dalam glikolisis aerobik sel hepatosit. Sementara itu, ALT
merupakan enzim yang terdapat pada sitoplasma sel hepatosit. ALT memiliki fungsi dalam
glucose-alanine cycle, suatu siklus yang bertujuan untuk mengubah alanine menjadi glukosa
(Botros dan Sikaris, 2013).

Dalam keadaan normal, AST dan ALT dilepaskan ke dalam darah dalam kadar tertentu
yang menandakan adanya apoptosis selsel hepatosit. Adapun kadar normal AST untuk pria
adalah 11-33 U/L dan untuk wanita adalah 11-27 U/L. Sedangkan kadar normal ALT untuk
pria adalah 11-50 U/L dan untuk wanita adalah 11-34 U/L. Pemeriksaan AST dan ALT di
laboratorium menggunakan metode IFCC tanpa pyridoxal 5-P.

Terjadinya peningkatan kadar kedua enzim tersebut di dalam darah secara umum
menunjukkan adanya peningkatan kerusakan sel-sel hepatosit (Kit Insert Cobast C501).
Peningkatan AST dan ALT dapat terjadi pada kasus-kasus seperti: hepatitis virus akut
maupun kronik, rhabdomyolisis, hepatitis alkoholik serta pada kasus perlemakan hati
alkoholik dan non alkoholik. Pada kasus hepatitis virus akut rasio De Ritis biasanya 2 jika
terjadi hepatitis fulminan dan biasanya memiliki prognos buruk (Botros dan Sikaris, 2013).

Sedangkan pada kasus hepatitis virus kronis yang sudah mengarah ke fibrosis ataupun
sirosis, rasionya De Ritis menunjukkan angka >1 namun tidak sampai >2 (Hall dan Cash,
2012). Rasio ini juga dapat digunakan untuk memprediksikan prognosis pasien. Peningkatan
Rasio de Ritis mencapai >1,16 menunjukkan prognosis yang buruk pada pasien hepatitis virus
kronis (Botros dan Sikaris, 2013). Pada kasus lain seperti rhambomyolisis, terjadi pelepasan
AST yang lebih dominan dibandingkan ALT oleh sel-sel otot yang rusak yang menyebabkan
meningkatnya AST darah. Selain itu peningkatan AST dan ALT juga dikaitkan dengan
peningkatan berat badan, terutama untuk ALT. Sebagian besar kasus peningkatan ALT terjadi
pada pasien overweight (BMI >25) dan obesitas (BMI>30) (Botros dan Sikaris, 2013).

2. Albumin serum Albumin merupakan protein terpenting dalam plasma darah. Protein ini
disintesis oleh hati dan digunakan sebagai indikator fungsi hati. Albumin memiliki waktu
paruh sekitar 12-19 hari (Garcia-Martinez, dkk., 2013).

Kadar albumin normal dalam darah bervariasi berdasarkan usia pasien dan berada dalam
rentang adalah antara 3,2 gr/dL– 5,2 gr/dL. Metode pemeriksaan yang digunakan di
laboratorium untuk mengetahui kadar albumin serum ini adalah dengan bromocresol-purple
(Kit Insert Cobast C501). Kadar albumin darah ditentukan oleh kecepatan sintesis, degradasi
serta volume distribusinya. Pada kasus hepatitis virus akut, kadar albumin biasanya masih
dalam batas normal. Namun pada kasus hepatitis virus kronis yang mengarah ke sirosis,
kadar albumin biasanya mengalami penurunan yang signifikan. Kondisi hipoalbuminemia
tidak hanya terjadi pada penyakit hati tetapi juga dapat terjadi pada kasus malnutrisi dan
sindrom nefrotik (Thapa dan Walia, 2007).

Kadar Albumin Serum Normal Berdasarkan Usia (Kit Insert Cobast C501)

Usia Kadar albumin serum


(g/dl)
1 hari – 1 minggu 3,8 - 4,2
2 minggu – 14 tahun 3,5 - 5,2
15- 18 tahun 3,2 - 4,5
19- 110 tahun 3,4 - 4,8
BAB V
PENANGANAN DAN PENGOBATAN

A. Penanganan Hepatitis B

Penyakit infeksi hepatitis B merupakan infeksi organ hati yang sangat serius. Hal ini
disebabkan karena infeksi dapat berlangsung secara kronis (dalam jangka waktu lama). Saat
Anda telah menderita hepatitis B kronis, maka risiko Anda  untuk mengalami gagal hati, sirosis,
hingga kanker hati sangat meningkat.

Untuk itu, penanganan yang tepat harus segera dilakukan. Penanganan yang dilakukan
meliputi penggunaan kombinasi obat-obatan antivirus. Selain itu, perubahan pola makan bila
memang dibutuhkan penanganan hepatitis B juga meliputi perubahan, misalnya diet rendah
garam, diet protein tinggi, dan membatasi cairan. Bila pengobatan hepatitis B tidak kunjung
berhasil, transplantasi adalah jalan penanganan yang tersisa.

B. PENGOBATAN

Hepatitis merupakan istilah umum untuk menyatakan adanya inflamasi atau peradangan
pada organ liver/ hati. Terjadinya peradangan pada hati dapat disebabkan oleh infeksi virus
( virus hepatitis A, B, C, D, E),  kuman,  parasit dan virus lainnya,  alkohol, obat dan zat
kimia, perlemakan non alkohol, otoimun, ataupun gangguan hemodinamik hati.  Peradangan
pada hati  dapat berupa hepatitis akut dan kronik.  Hepatitis karena virus yang sering dijumpai
adalah hepatitis virus A, B dan C.. Berbeda dengan hepatitis virus A yang perjalanan
penyakitnya tidak bisa berlanjut menjadi kronik, hepatitis virus B, C dapat berlanjut menjadi
hepatitis kronik. 

Hepatitis  virus B dan C merupakan tantangan kesehatan yang besar, karena menyebabkan
infeksi pada  325 juta orang di seluruh dunia. Keduanya merupakan penyebab kanker hati,
yang merupakan penyebab 1,34 juta kematian setiap tahunnya.  Hepatitis virus B  dan C
adalah infeksi kronis yang   tidak menunjukkan gejala yang nyata,  dimana infeksi berjalan
bertahun tahun berakhir dengan  suatu  penyakit hati kronis berupa sirosis hati, kanker hati
maupun penyakit hati tahap lanjut.
                Virus penyebab hepatitis B (VHB) yang merupakan virus DNA masuk ke dalam tubuh
melalui darah, selanjutnya partikel virus (Dane partikel) masuk ke dalam hati dan terjadi proses
perkembangbiakan virus. Sel sel hati akan memproduksi dan mengeluarkan Dane partikel,
partikel HBsAg dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB akan merangsang
respon imun tubuh. Yang dirangsang pertama kali adalah respon imun non spesifik, yang mulai
aktif dalam waktu pendek (menit sampai jam). Untuk proses penghancuran VHB lebih lanjut
diperlukan respon imun spesifik.

Respon imun spesifik akan menyebabkan eliminasi VHB pada sel hati yang terinfeksi. Bila
proses eliminasi virus berlangsung optimal, maka infeksi VHB akan sembuh. Namun bila proses
berjalan tidak sempurna maka infeksi VHB akan menjadi kronik. Penyebab ketidaksempurnaan
respon imun tersebut adalah faktor virus dan faktor pejamu. Faktor virus antara lain
imunotoleransi, hambatan sel limfosit yang melakukan penghancuran sel hati yang terinfeksi dan
menyatunya VHB dalam sel hati. Faktor pejamu meliputi faktor genetik, kurangnya produksi
mediator inflamasi, kelainan fungsi limfosit, faktor jenis kelamin dan hormonal.

Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi VHB sejak lahir , maka HBsAg nya
akan tetap positif sepanjang hidupnya dan menderita hepatitis kronik.  Pada individu dewasa
yang mendapat infeksi hanya 5% yang akan mengalami infeksi  menetap atau kronik. Perjalanan
infeksi hepatitis B ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi virus dan respon imun individu

C. Pengobatan

Infeksi hepatitis virus A bersifat self limiting disease, pengobatan yang diberikan bersifat
simtomatik dan suportif.   Pengobatan hepatitis virus B ditujukan untuk mencegah atau
menghentikan progresi jejas hati dengan menekan replikasi virus atau menghilangkan infeksi.
Dalam pengobatan hepatitis B, target akhir pengobatan adalah hilangnya petanda replikasi virus
yang aktif secara menetap (HBeAg dan HBVDNA). 

Terdapat 2 (dua) kelompok pengobatan infeksi hepatitis B yaitu kelompok imuno modulasi/
memperkuat sistem imun (contohnya Interferon) dan kelompok anti virus (Lamivudin,
Adevofir).  Penderita infeksi Hepatitis B virus walaupun  belum bisa dikatakan sembuh, dengan
pengobatan yang ada penyakit bisa dikontrol dan komplikasi kanker hati bisa ditekan.
Pengobatan infeksi hepatitis C dengan menggunakan Interferon alfa  dan  Ribavirin. Dengan
adanya obat terbaru  yaitu golongan Direct Antiviral Agent (DAA), angka kesembuhan bisa
mencapai > 90%.  

               
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas, I. (2015). Karsinoma Hepatoselular. repository.usu.ac.id.


Corwin, E. J. (2008). Handbook of Pathopysiology. USA: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
H.Masriadi. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular (2 ed.). Depok: PT.
RajaGrafindo Persada.
Handaya, A. Y. (2017). Deteksi Dini & Atasi 31 Penyakit Bedah Saluran Cerna
(Digestif). Yogyakarta: Rapha Publishing.
Maharani, S. (2015). Mengenal 13 Jenis Kanker dan Pengobatannya. Yogjakarta:
KATAHATI.
Suwarno, B. (2009). Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung:
ALFABETA.
WHO. (2009). Weekly Epideiological Record.
Dienstag J.L., Isselbacher K.J.,Acute Viral Hepatitis. In: Eugene Braunwauld et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition,McGraw Hill, 2008.
Martin A and Lemon SM, Hepatitis A virus. From discovery to Vaccines. Hepatology:
2006 Vol 45 No.2 Suppl 1, S164-S172.

Anda mungkin juga menyukai