SKENARIO 1
PENGLIHATAN TERGANGGU
BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME
Kelompok B-9
Ketua : M. Luthfi Dunand (1102014158)
Sekretaris : Perty Hasanah P (1102014209)
Anggota : Nabila Hanifa Fauzia (1102014180)
Nurindryani Kusumadewi (1102012206)
Rayyan Fitriasa (1102014223)
Rizki Fauzi Rahman (1102013254)
Vini Tien Hajja Dwianti (1102014274)
Wiwik Sundari (1102014283)
Yurri Kamala (1102014290)
Yunica Pratiwi (1102013318)
Jawaban
1. Karena fungsi organ menurun, kerja sel beta pancreas menurun menyebakan kerja sel
jaringan juga menurun dan akhirnya kekurangan insulin. Faktor resiko : pola hidup yang
tidak baik dan genetic.
2. Karena kalau pasien obesitas pasti IMTnya juga tinggi, yang akan menyebabkan pancreas
lelah dan akhirnya insulin resisten.
3. Karena sel persyarafan perifer ruak , sel rusak karena regenerasi sel terganggu karena
kekurangan protein.
4. Penumpukan glukosa di pembuluh darah di pembuluh darah pada retina sehingga
menggangu asupan nutrisi dan akhirnya mengganggu penglihatan.
5. Adanya gangguan pada nervus sebagai komplikasi DM 2. Adanya sumbatan pada
pembuluh darah yang mengganggu asupan nutrisi.
6. Adanya gangguan pada filtrasi glomerulus sehaingga protein banyak masuk.
7. Karena pasien hiperglikemi, sudah mengalami kerusakan ginjal.
8. Monitoring jangka panjang kadar gula darah. Karena HbA1c menggambarkan
konsentrasi gula darah rata- rata dalam tiga bulan.
9. Mikroangiopati : gangguan penglihatan (diabetic retinopati), disfungsi ereksi, nefropati
diabetic
Makroangiopati : stroke, thrombosis arteri dan vena, gangguan motorik .
10. Kaena setelah dihitung dengan menggunakan rumus, asupan kalori yg diperlukan pasien
1900 kal.
11. Makanan yang bersih, menyehatkan, tidak menjijikan dan tidak berlebihan.
Sasaran Belajar
LI 1. Memahami dan menjelaskan Anatomi Pankreas
LO 1.1 Anatomi makroskopis
LO 1.2 Anatomi mikroskopis
1. Makroskopik
Terletak retroperitoneal melintang di abdomen bagian atas dengan panjang ± 25 cm, dan
berat 120 g
Terdiri dari:
Caput
Leher
Corpus
Cauda
Proc uncinatus (bag caput yg menonjol ke bwh)
Caput
o Meliputi v.cava setinggi L2
o Bagian posterior bertetangga dengan ginjal kanan, v.renalis, gl.adrenalis
o Bagian lat berelasi ke bagian medial dari duodenum
Ductus biliaris communis masuk dari bagian atas dan belakang dari caput pankreas dan
bermuara ke bagian kedua dari duodenum
Aliran darah:
o A.coeliaca, A.mesenterica sup dan cabang-cabang a.pancreaticoduodenalis memberi
darah untuk caput
o A.pancreatico dorsal memberi darah untuk leher dan corpus
o A.pancreatico caidalis memberi darah untuk cauda
Jalannya vena mengikuti arteri dan bermuara ke vena porta
Getah bening berhubungan langsung antara jaringan getah bening pankreas dengan ductus
thoracicus merupakan rute utama insulin (masuk ke duct.thoracicus)
Tahun 1903 OPTE ada saluran bersama:
Ductus pankreas dan ductus biliaris communis refluks dari empedu masuk ke dalam duct
pancreaticus terjadi pancreatitis (fatal) akibatnya enzym keluar karena trauma, enzimnya
memakan semua fatal
Autopsi : 70 – 80% memperkuat penemuan OPTE
Banyak variasi antara:
1. Duct Santorini
2. Duct Wirsungi
Umumnya duct.santorini < Duct wirsungi
Duct santorini mengairi bagian atas caput pankreas
Persarafan
1. Saraf-saraf simpatis
2. Cabang-cabang N.vagus
Nyeri oleh caput pankreas menyebar ke paramedia kanan
Nyeri oleh corpus pankreas menyebar ke epigastrik
Nyeri oleh cauda pankreas menyebar ke seluruh abdomen kiri
Pancreatitis acuta: menyebar ke abdomen bagian atas dan ke lumbal atas seperti ikat
pinggang
2. Mikroskopik
Pankreas merupakan kelenjar eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin kelenjar menghasilkan
sekret yang mengandung enzim-enzim yang dapat menghidrolisis lemak dan karbohidrat. Bagian
endokrine kelenjar yaitu pulau-pulau langerhans menghasilkan hormon insulin dan glukagon
yang mempunyai peranan penting pada metabolisme karbohidrat. Ada 2 bagian :
Bagian exokrin
Merupakan kel acinosa complex (berwarna gelap)
Sel-sel acinus berbentuk pyramid
Didalam lumen kadang-kadang terdapat sel gepeng (sel
centroacinar)
Bagian endokrin
• Disusun oleh sel-sel khusus yang berkelompok
dalam suatu daerah tertentu yang kaya pembuluh darah
disebut pulau-pulau Langerhans
• Berkelompok dalam pulau2 Langerhans, tersebar, berbentuk sferis berwarna pucat
• Sel tersusun dalam bentuk genjel tak teratur, ditembus banyak jaring kapiler tipe fenestra
• Dengan pewarnaan khusus dapat dibedakan 4 macam sel yaitu, sel α, β, δ dan c/PP.
Sel α
20% populasi sel
Mensekresi glukagon
Bentuk besar, mencolok, terutama di perifer
Sel β
75% dari polulasi, sel paling kecil, menempati bagian tengah
Mensekresi insulin
Granula lebih kecil (200 μm)
Sel δ
Sel paling besar, 5% dari populasi
Granula mirip sel α, tapi kurang padat
Menghasilkan hormon Somatostatin yang di pankreas bekerja mengatur pelepasan hormon
pulau Langerhans yang lain (parakrin)
Sel C/sel PP
Ditemukan hanya pada spesies tertentu, mis. Guinea pig, jumlah terbatas, ukuran sama
dengan sel β, dengan sedikit atau tanpa granula.
Mensekresi polipeptida pankreas
Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang dihubungkan
dengan jembatan disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam
amino.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum
endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan
sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena
fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah.
Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan
terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino
dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta.
Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya
rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami
secara jelas.
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh
molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat
melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT)
adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses
metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar
kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke
dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami
proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul
ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan
K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari
dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian
oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca
sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses
sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya disebabkan oleh
rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa
faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti
diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama dengan
glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membrane sel beta.
Sekresi Insulin
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel
beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi
insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang
berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi
glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut,
menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme
glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera
setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1
(AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk
mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan.
Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena
pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial.
Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan
berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal,
bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa
darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk
hiperinsulinemia kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent
phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu
relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya
diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama,
seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa
darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak
adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2.
Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh
agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif
perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga normal di
jaringan (tanpa resistensi insulin), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan
demikian tidak dibutuhkan tambahan (ekstra) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas
normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang
memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat memberikan dampak
glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya
Intravenous Second
glucose Phase IGT
stimulation
Secretion
First-Phase
Insulin
Normal
Basa Type
l 2DM
2. Memahami dan menjelaskan etiologi dan faktor resiko diabetes mellitus tipe 2
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak
Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resisitensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi resistensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun
pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Kapita Selekta Kedokteran, 2001).
Faktor resiko Diabetes Melitus dari emedicine health :
1. Usia diatas 45 tahun
Pada orang-orang berumur fungsi organ tubuh semakin menurun, hal ini diakibatkan
aktivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin menjadi berkurang dan sensifisitas
sel-sel jaringan menurun sehinga tidak menerima insulin.
2. Obesitas atau kegemukan
Pada orang gemuk aktivitas jaringan lemak dan otot menurun sehingga dapat memicu
DM. selain itu, asam-asam lemak pada obesitas dapat menumpuk abnormal di otot dan
mengganggu kerja insulin di otot, asam lemak berlebih juga dapat memicu apoptosis sel
beta pankreas.
3. Pola makan
Pola makan yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian masyarakat
perkotaan. Pola makan yang tidak sesuai kebutuhan tubuh dapat menjadi penyebab DM,
misalnya makanan gorengan yang mengandung nilai gizi yang minim.
4. Riwayat Diabetes Melitus pada keluarga
15-20% penderita NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes Melitus) atau DM tipe 2
mempunya riwayat keluarga DM, sedangkan IDDM (Insulin Dependen Diabetes Melitus)
tipe 1 sebanyak 57% keluarga DM.
5. Kurang berolahraga atau beraktivitas
Dapat menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin sehingga mengakibatkan penumpukan
lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan DM.
6. Infeksi
Virus : Rubella, mumps, human coxsackievirus B4. Melalui infeksi sitolitik dalam sel
beta pankreas virus ini menyebabkan kerusakan dan destruksi sel. Dapa tjuga menyarang
melalui reaksi autoimunitas sehingga hilangnya autoimun dalam sel beta pankreas. DM
akibat bakteri masih belum bias di deteksi.
(Waspadji, 2002)
Di seluruh penjuru dunia jumlah penyandang Diabetes melitus (DM) terus mengalami
peningkatan. Demikian pula jumlah penyandang DM pada anak, yang dikenal dengan DM tipe 1
terus meningkat. Di Amerika Serikat pada tahun 2007 dilaporkan terdapat 186 300 anak usia
kurang dari 20 tahun yang menyandang DM tipe 1 atau tipe 2. Angka tersebut sama dengan
0,2% penduduk Amerika pada kelompok umur tersebut. Di Finlandia, tidak sulit menemukan
DM tipe 1 karena angka kejadiannya dilaporkan paling tinggi di dunia, sedangkan Jepang
memiliki angka paling rendah.
Di Indonesia jumlah pasti penyandang DM tipe 1 belum diketahui meskipun angkanya
dilaporkan meningkat cukup tajam akhir-akhir ini. Sebagai gambaran saja, jumlah anak DM tipe
1 dalam Ikatan Keluarga Penderita DM Anak dan Remaja (IKADAR) jumlahnya sudah
mencapai 400-an orang. Karena belum banyaknya jumlah DM pada anak yang ditemukan di
Indonesia, maka orang tua dan dokter sering tak waspada dengan penyakit tersebut. Banyak
orang tua bahkan tidak percaya anaknya menyandang DM dan baru menyadari saat sakitnya
sudah cukup berat.
(UKK Endokrinologi Anak dan Remaja.2009. Konsensus Nasional Pengelolaan DMTipe 1.
Jakarta; Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.)
Diabetes Melitus tipe 2
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka
insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya
peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang.
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International
Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang
DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat
perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.
Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada
dekade 1980-anmenunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai
6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun1980-2000 menunjukkan
peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah
urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan
meroket lagimenjadi 12,8% pada tahun 2001. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Indonesia tahun 2003,diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak
133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%,pada
daerah rural,maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola
pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk
yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan
rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1
juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh
Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk
usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapatdi Propinsi Papua sebesar
1,7%, dan terbesardi Propinsi Maluku Utara dan Kalimanatan Barat yang mencapai 11,1%.
Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi
Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat.
Data-data di atas menunjukkan bahwa jumlah penyandang diabetes di Indonesia sangat besar
dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter
spesialis/subspesialisataubahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM
akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya
kesehatan yang cukup besar, maka semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah
seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan.
4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Diabetes Militus Tipe 2
Defisiensi insulin
makrovaskuler mikrovaskuler
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini :
Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Menurut Newsroom (2009) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Melitus apabila
menderita dua dari tiga gejala yaitu :
a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.
b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl.
c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl.
Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah :
Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat Badan enurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun,
Bisul/luka, Keputihan (Waspadji, 1996).
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak
selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi
kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila
glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan
penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami
dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat.
DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa
gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif
atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan
inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak
terlambat. Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain.
Berikut ini adalah data M.V. Shestakova (1999)mengenai manifestasi klinis pasien lansia
sebelum diagnosis DM ditegakkan.
Tabel 1. Menifestasi Klinis Pasien Lansia Sebelum Diagnosis DM*
Anamnesis :
Keluhan khas diabetes melitus : poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya
Keluhan tidak khas diabetes melitus : lemah, kesemutan, gatal, penglihatan kabur, disfungsi
ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita
Tinggi badan dan berat badan (tidak sesuai dengan IMT), tekanan darah (hipertensi), lingkar
pinggang (cewek >80, cowok >90)
Tanda neuropati
Mata ( visus, lensa mata dan retina )
Keadaan kaki ( termasuk rabaan nadi kaki ), kulit dan kuku. Contoh : a. Dorsalis pedis
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal 1 kali saja cukup
untuk menegakan diagnosis
Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal
*TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)
Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak), dilarutkan dalam
250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok TGT (Toleransi GlukosaTerganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu) dari hasil yang diperoleh
- TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140 – 199 mg/dl
- GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl.
Pemeriksaan Penunjang
Darah
1. Kadar glukosa darah : puasa, sewaktu, 2 jam post prandial.
2. Tes toleransi glukosa oral (TTGO)
3. Kurva Harian glukosa
4. Kadar keton darah
5. Kadar Hb A1c
6. Kadar fruktosamin
7. Kadar insulin
8. Kadar C-peptide
9. Pemeriksaan lain: tes fungsi ginjal, analaisa gas darah, kadar lipid, imunoserologis
Urin :
1. Reduksi/glukosa urin
2. Protein, mikroalbumin
3. Benda Keton
4. Sedimen Urin
DARAH
Glukosa darah puasa (GDP): puasa 10-14 jam sebelum pengambilan darah.
Glukosa darah sewaktu (GDS): pengambilan darah tanpa melihat kapan terakhir makan.
Glukosa darah 2 jam post prandial : pengambilan darah 2 jam setelah makan atau setelah
konsumsi 75 gr glukosa. Selama menunggu 2, pasien duduk istirahat, tidak makan/minum
lagi dan tidak merokok.
BAHAN PEMERIKSAAN
Untuk pemeriksaan urin rutin, protein, glukosa, keton dan sedimen urin dipakai urin porsi
tengah, segar. Spesimen untuk tes mikroalbuminuria dipakai urin 24 jam.
Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat
pada tabel 3.
Tujuan Pengobatan:
o Mencegah komplikasi akut dan kronik.
o Meningkatkan kualitas hidup, dengan menormalkan KGD, dan dikatakan
penderita DM terkontrol, sehingga sama dengan orang normal.
o Pada ibu hamil dengan DM, mencegah komplikasi selama hamil, persalinan, dan
komplikasi pada bayi.
Prinsip Diet
o Tentukan kalori basal dengan menimbang berat badan.
o Tentukan penggolongan pasien: underweight (berat badan kurang), normal,
overweight (berat badan berlebih), atau obesitas (kegemukan) Persentase = BB (kg)/(Tinggi
Badan (cm) – 100) X 100% Underweight: < 90% Normal: 90–110% Overweight: 110–130%
Obesitas: > 130%
o Jenis kegiatan sehari hari; ringan, sedang, berat, akan menentukan jumlah kalori
yang ditambahkan. Juga umur dan jenis kelamin.
o Status gizi
o Penyakit penyerta
o Serat larut dan kurangi garam
o Indeks gikemik rendah
o Kenali jenis makanan
Prinsip diet yang sederhana bagi penderita DM, selalu ingat dan patuhi 3 J, yaitu:
1. Jadual makan (3 x selingan) & (3 x makan pokok)
2. Jumlah kalori sesuai dengan yang telah ditentukan.
3. Jenis makanan yang dilarang dan bahan makanan yang dibatasi.
Sedangkan untuk pelaksanaan diet DM itu sendiri sebagai berikut:
1. Makanlah teratur sesuai dengan jumlah pembagian makanan yang telah
ditentukan.
2. Gunakan daftar makanan, sehingga dapat memilih bahan makanan yang sesuai
dengan menu keluarga.
3. Hindarkanlah penggunaan gula murni dan makanan yang terbuat dari gula murni.
4. Gunakanlah gula obat untuk mengganti gula (dapat diperoleh dalambentuk tablet,
tepung kristal atau cairan).
5. Makanlah banyak sayuran sesuai petunjuk yang diberikan (lihat daftar penukar).
Sayuran kelompok A* boleh dimakan sekehendak sedangkan sayuran kelompok B** hanya
dimakan menurut jumlah yang ditentukan.
6. Periksalah kadar gula anda secara teratur.
(http://id.shvoong.com/medicine-and-health/nutrition/2075036-diet-tepat-bagi-penderita-
diabetes/#ixzz27Kvc4pO3)
Semakin tinggi kelompok makanan yang terdapat di dalam piramida makanan diabetes,
semakin sedikit kelompok makanan tersebut dapat dikonsumsi atau dihindari oleh seorang pasien
diabetes.
http://indodiabetes.com/piramida-makanan-diabetes.html
Obat DM
1. Meningkatkan jumlah insulin
o Sulfonilurea (glipizide GITS, glibenclamide, dsb.)
o Meglitinide (repaglinide, nateglinide)
o injeksi
2. Meningkatkan sensitivitas insulin
o Biguanid/metformin
o Thiazolidinedione (pioglitazone, rosiglitazone)
3. Memengaruhi penyerapan makanan
o Acarbose
Hati-hati risiko hipoglikemia berikan glukosa oral (minuman manis atau permen)
Sasaran pengontrolan gula darah
Kadar gula darah sebelum makan 80-120 mg/dl
Kadar gula darah 2 jam sesudah makan < 140 mg/dl
Kadar HbA1c < 7%
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat
direkomendasikan bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan
berat badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah,
Memperbaiki profil lipid, Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem
koagulsi darah.
PROTEIN
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori
perhari. Pada penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40
gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung
energi sebesar 2 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein:
Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi
konsentrasi glukosa darah.
Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari.
Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari
dan tidak kurang dari 40gram.
Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan
dibanding protein hewani.
LEMAK
Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan makanan ini sangat
penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitami A, D, E, K. Berdasarkan
rantai karbonnya , lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan
lemak jenuh dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki
profil lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(monounsaturated fatty acid : MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat
memperbaiki glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi, dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL, dan meningkatkan kadar
kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid=
PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi
trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di
dalam hati dan eningkatkan aktivitas enzyme lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar
VLDL di jarngan perifer. Sehingga dapat menurunkan kadar kolestrol LDL.
Rekomendasi Pemberian Lemak:
Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari
total kebutuhan kalori per hari.
Jika kadar kolestrol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai
maksimal 7% dari total kalori perhari.
Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL ≥ 100 mg/dl, maka
maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
Batasi asam lemak bentuk trans.
Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang.
Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori perhari.
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka
mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada
HHNK tidak terdapat ketosis.
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia
bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari hipoglikemia
sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.
Tanda-tanda Hipoglikemia
1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitug sederhana.
3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung dan bibir, tangan, berdebar-
debar.
4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.
Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral ataupun suntikan.
Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:
Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa diperkirakan
pada puncak kerjanya, misalnya:
Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
P.Z.I : 18 jam setelah suntikan
Obat oral sedikit memberikan gejala saraf otonom (parasimpatik dan simpatik), sedangkan
akibat insulin sangat menonjol.
Kronik Jangka Panjang
Mikrovaskular / Neuropati
- Retinopati, catarak → penurunan penglihatan
- Nefropati → gagal ginjal
- Neuropati perifer → hilang rasa, malas bergerak
- Neuropati autonomik → hipertensi, gastroparesis
Makrovaskular
- Kelainan pada kaki → ulserasi, atropati
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok
risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk menderita DM.
Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer. Masyarakat luas melalui
lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula
pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen
Pendidikan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan
pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai
pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien
yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan
deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Salah satu penyulit DM yang sering
terjadi adalah penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian pada
penyandang diabetes.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Skrinning
Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa, dan GIT. Skrinning
direkomendasikan untuk :
Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetes
Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil
Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler
Orang-orang yang gemuk
11. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Diabetes Militus 2
Prognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya buruk,
pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus tri II (Diabetes Melitus III) yang terawat baik
prognosisnya baik pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan koma
hipoklikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik. Hipoklikemik pada pasien usia
lanjut biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat kerusakan otak yang permanen.
Karena hiporesmolar adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut dan angka
kematiannya tinggi
“dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu
dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”
Allah memerintahkan kita untuk memakan makanan yang bukan cuma halal, tapi juga baik
(Halalan Thoyyiban) agar tidak membahayakan tubuh kita. Bahkan perintah ini disejajarkan
dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan jelas. Perintah ini
juga ditegaskan dalam ayat yang lain, seperti yang terdapat pada Surat Al Baqarah : 168 yang
artinya:
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah
musuh yang nyata bagimu”
Halal itu bukan sekedar halal makanannya, tapi juga dari sumber bagaimana mendapatkannya
pun harus halal. Kalau sumbernya haram seperti korupsi, mencuri, merampok, menggusur tanah
rakyat dengan harga yang rendah, maka makanan yang dimakan pun meski sebetulnya halal,
tetap haram. Dan akan membuat si pemakannya disiksa di api neraka. Nabi berkata:
Tiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama
membakarnya. (HR. Ath-Thabrani)
Selain halal, makanan juga harus baik. Meski halal tapi jika tidak baik, hendaknya tidak kita
makan. Di antara kriteria makanan yang baik adalah:
Bergizi tinggi
Makanan lengkap dan berimbang. Waktu SD kita belajar makanan 4 sehat 5 sempurna seperti
nasi/jagung, lauk/pauk, sayuran, buah-buahan, dan terakhir susu. Semua makanan tersebut
mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh kita.
Ada baiknya ditambah dengan herbal seperti madu, pasak bumi, habbatus saudah, minyak
zaitun, dan sebagainya agar tubuh kita sehat.
Tidak mengandung zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan kita, misalnya kolesterol
tinggi atau bisa memicu asam urat kita.
Alami. Tidak mengandung berbagai zat kimia seperti pupuk kimia, pestisida kimia, pengawet
kimia (misalnya formalin), pewarna kimia, perasa kimia (misalnya biang gula/aspartame,
MSG, dsb)
Masih segar. Tidak membusuk atau basi sehingga warna, bau, dan rasanya berubah
Tidak berlebihan. Makanan sebaik apa pun jika berlebihan, tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta: EGC
Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20. Jakarta: EGC
Gartner, Leslie P. & James L. Hiatt. 2007. Color Atlas of Histology, Fourth Edition. Baltimore,
Maryland: Lippincott Williams & Wilkins
Idrus, Alwi dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi V. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI
Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011
Leeson, C. Roland. 1996. Buku Ajar Histologi, Edisi V. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Volume 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC
Putz, Reinhard & Reinhard Pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 2 Edisi 22.
Jakarta: EGC
Repository.unpad.ac.id/panduan_terapi_diabetes_melitus
Repository.ui.ac.id
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC