Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/311101048

Strategi Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Partisipasi

Chapter · July 2016

CITATIONS READS

0 27,953

1 author:

Wawan Edi Kuswandoro


Brawijaya University
11 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Political Party Institutionalization in Post-Suharto Indonesia View project

Personal Trust in Local Governance and Politics View project

All content following this page was uploaded by Wawan Edi Kuswandoro on 29 November 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
BERBASIS PARTISIPASI1
Pendekatan Good Village Governance Untuk Implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa di Jawa Timur

Wawan E. Kuswandoro2
wkuswandoro@ub.ac.id

Abstraks

Strategi pencapaian desa mandiri, partisipatif dan berdaya sebagaimana amanat UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, dilakukan dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat yang
diselenggarakan dengan strategi partisipatif dalam koridor good village governance
(kepemerintahan desa yang baik). Secara operasional, diperlukan penumpuhkembangan
semangat membangun diri bersama (togetherness in collective action), penguatan modal
sosial dalam paradigma “desa membangun”.
Kata kunci: pemberdayaan, partisipasi, good village governance.

Pendahuluan

Desa merupakan unit pemerintahan terkecil dalam lingkup Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Desa selama ini identik dengan pemerintahan (sederhana) yang dipenuhi
nuansa tradisionalitas, dengan lingkungan yang masih alami dan budaya lokal yang bersifat
khas kedaerahan3. Tafsir makna tentang “desa” bisa beragam. Dalam pemaknaan sosiologis,
“desa” bisa bermakna komunitas masyarakat “gemeinschaaft”, hidup dalam pranata sosial
dan iklim kekerabatan, sederhana, solidaritas mekanik. Secara politik, “desa” adalah “unit
pemerintahan terkecil” yang “memiliki kewenangan tertentu”. Desa sering dirumuskan
sebagai “suatu kesatuan masyarakat hukum yang berkuasa menyelenggarakan pemerintahan
sendiri”4.

1
Artikel pada Bab VII Model dan Strategi Pembangunan Desa, buku “Percikan Pemikiran Tata Kelola dan
Pembangunan Desa, CSWS FISIP Unair, Surabaya: Airlangga University Press, 2016, halm. 380-391.
2
Pengajar pada Program Studi Ilmu Politik, FISIP Universitas Brawijaya.
3
Keanekaragaman juga dapat dilihat melalui tipologi desa di Indonesia, yakni desa dengan tradisi adat yang kuat
(seperti Kajang dan wilayah pedalaman Papua), desa dengan tradisi adat yang hilang atau lemah (Jawa, sebagian
Sulawesi dan Kalimantan), desa dan adat terintegrasi (Sumatera Barat dengan Nagari, dan sebagian Sulawesi
Tengah), desa dan adat eksis tetapi konfliktual (Bali, NTT, Maluku, Aceh, Kalimantan Barat), desa dan adat
tidak eksis (kelurahan).
4
Mashuri Maschab (2013). Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta: PolGov. Halm. 2.

1
Pasca munculnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, seluruh sistem
pemerintahan desa berubah secara dramatis. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur
keuangan secara mandiri. Jika kemampuan aparatur desa tidak ditingkatkan, maka taruhannya
akan banyak praktik korupsi yang melibatkan aparatur desa. Diperlukan pendekatan yang
dapat menjangkau keseluruhan peranserta dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
desa. Perkembangan tata pemerintahan desa yang demikian dramatis dan mengalami
lompatan yang cukup signifikan. Setidaknya sejumlah UU yang mengatur tentang
pemerintahan desa sebelumnya tidak berani mengatur (memberikan) kewenangan pada
pemerintahan desa sedemikian luas. UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
menyebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk
sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.5”. Dalam menjalankan pemerintahan, Kepala Desa dibantu oleh Sekretaris desa
dan perangkat desa yang lain serta Lembaga Permusyawaratan desa. Berbeda dengan BPD di
era sekarang, LMD dibawah kendali pemerintahan desa dan sama sekali tidak mencerminkan
rakyat beserta fungsi legislasi yang melekat padanya, sebab Kepala desa dan Sekretaris desa
secara otomatis (karena jabatannya) menjadi Ketua dan Sekretaris LMD, sehingga fungsi
legislasi dan kontrol pemerintahan desa benar-benar tidak berjalan 6 . Memasuki era
Reformasi, Pemerintah Pusat melakukan pembenahan terhadap status Desa. Perubahan ini
terlihat pada PP No. 76/2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Desa yang menyebutkan
bahwa Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan
hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 18 UUD
1945. Desa diberikan hak asal usul yang dimaknai sebagai hak bawaan yang telah ada
sebelum lahirnya NKRI yang mengatur struktur, wilayah, sosial, dan adat masyarakat

5
Di dalam konsideran menimbang Undang-undang No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa disebutkan
“bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh
mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat-istiadat yang masih
berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam
partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif.
6
Pasal 17 UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menyebutkan (1) Lembaga Musyawarah Desa adalah
lembaga permusyawaratan/ permufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan
Lembaga-lembagaKemasyarakatan dan Pemuka-pemuka Masyarakat di Desa yang bersangkutan. (2) Kepala
Desa karena jabatannya menjadi Ketua Lembaga Musyawarah Desa. (3) Sekretaris Desa karena jabatannya
menjadi Sekretaris Lembaga Musyawarah Desa. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Musyawarah
Desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.(5) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (4), baru berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat
yang berwenang.

2
setempat. Tak hanya itu, berdasarkan Pasal 197 disebutkan bahwa BPD memiliki peran yang
cukup penting dalam proses pemerintahan desa, yang amat berbeda dengan LMD di masa
sebelumnya. Sekalipun PP 76/2001 relatif lebih maju dari sisi perwakilan dan kuatnya
kontrol yang dilakukan BPD, namun PP ini juga masih belum memberikan kewenangan
yang cukup luas. Hal yang mungkin masih menjadi pertimbangan adalah minimnya kapasitas
dan kapabilitas pemerintahan desa.
Kewenangan yang serba terbatas tersebut terlihat dari kecenderungan selama ini yang
masih menempatkan pemerintahan Desa sebagai objek atau sasaran pembangunan.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka unit pelaksana
program dan pembangunan daerah adalah Pemerintah Kabupaten/ Kota. Desa hanya
merupakan unit pendukung Pemerintahan Daerah guna menyukseskan otonomi daerah. Hal
ini juga terlihat dari ketentuan PP No. 72/2005 tentang Desa yang menyatakan bahwa
perencanaan pembangunan desa merupakan satu kesatuan dengan sistem perencanaan
pembangunan kabupaten/ kota. Perubahan yang signifikan terjadi pada 18 Desember 2013
dengan ditetapkannya RUU Desa oleh DPR RI menjadi Undang-Undang. UU tersebut secara
resmi diterbitkan pemerintah menjadi UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pasal 4 ayat (b)
menjelaskan bahwa “Pengaturan Desa bertujuan untuk memberikan kejelasan status dan
kepastian Hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. ”Kemudian pada Pasal 4 ayat (i)
dijelaskan pula bahwa UU Desa bertujuan “memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek
pembangunan.”
Hal lain yang berubah secara dramatis adalah digantinya sistem demokrasi
representatif atau perwakilan desa menjadi sistem demokrasi deliberatif atau demokrasi
permusyawaratan. Konsekuensi dari sistem ini adalah BPD beralih fungsi, walau tetap
sebagai lembaga legislatif desa, tetapi mekanisme pemilihan anggotanya bukan lagi
pemilihan langsung melainkan melalui musyawarah desa. Karena tidak dipilih langsung oleh
warga desa maka otoritasnya menjadi setingkat di bawah kepala desa yang dipilih langsung,
dan dengannya BPD kehilangan satu fungsi mendasar dalam sistem politik yakni pengawasan
terhadap kinerja pemerintah desa. Sebaliknya, kepala desa justru bertanggungjawab secara
langsung kepada bupati dan hanya melalui prosedur formalitas kepada BPD dengan sekadar

7
Pasal 19 menyebutkan; (1) Badan Perwakilan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai
akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis enam bulan sebelum berakhir masa jabatan. (2)
Pertanggungjawaban akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan tiga bulan sebelum masa jabatan berakhir.
(3) Selambat-lambatnya dua bulan sebelum berakhirnya masa jabatan, Badan Perwakilan Desa segera
memproses pemilihan Kepala Desa yang baru.

3
memberi keterangan pertanggungjawaban. Kemandirian desa membawa permasalahan pada
sistem pemerintahan desa seperti apa yang cocok diterapkan dalam konteks keberagaman
desa di Indonesia. Kemudian, berbagai ketentuan dan persyaratan juga dibuat secara longgar
seperti pembentukan desa dan pemilihan kepala desa hingga keanggotaan BPD, serta struktur
keperangkatan desa dengan prinsip minimal-maksimal sehingga tidak harus ditentukan secara
seragam. Terakhir, perlunya penetapan standar geografis dan demografis atas desa dalam
pengalokasian dana desa atau ADD. Namun, disamping aspek-aspek yang dapat dipilih
oleh desa, terdapat hal yang bersifat umum berlaku untuk seluruh desa, yakni pengakuan
dan pelembagaan hak-hak desa yang sejak dulu telah dimiliki. Beberapa hak dasar itu adalah
memiliki dan mengontrol pengelolaan sumberdaya alam, kontrol atas pengembangan
kawasan yang direncanakan oleh pihak luar desa seperti pengusaha dan atau pemerintah.
Namun perlu juga diperhatikan agar nilai-nilai negatif feodalisme tidak serta-merta
memperoleh justifikasi sebagai “kearifan lokal” dan olehnya harus ditetapkan standar
kepemerintahan seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan
partisipasi masyarakat secara berkualitas. Dalam konteks penyelenggara pemerintahan
desa, tekanan UU Desa yang baru adalah terkait dengan BPD dan kepala desa serta pola
hubungan yang harus dibangun oleh keduanya. Konsepsi demokrasi representatif dan
deliberatif dipertemukan untuk menemukan sebuah formula demokrasi desa yang tepat di
mana pemerintah desa dan anggota BPD bekerja dalam ranah tersebut.
Partisipasi masyarakat dalam interaksi kedua lembaga itu juga ditampilkan
dengan mengusung tiga kriteria partisipasi seperti voice, access dan control. Maksudnya
bahwa masyarakat memiliki hak menyampaikan pendapat di tengah musyawarah desa,
juga kemudahan akses terhadap berbagai pelayanan publik dan khususnya informasi
terbuka lebar dan mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya dan masyarakat
memiliki ruang untuk melakukan kontrol atas kinerja pemerintahan desa atau
penyelewengan yang mungkin terjadi. Dikarenakan sudah ada ADD maka perencanaan
desa mandiri tanpa perlu diusulkan ke atas dapat dilakukan dengan dana yang sudah
pasti dialokasikan melalui mekanisme transfer ADD ke desa. Di situasi inilah persoalan
akan muncul sebagai dampak dari implementasi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa.
Karena itu diperlukan upaya penyuksesan implementasi UU tersebut pada aspek
implementasi desa mandiri dan partisipatif, dengan memfokuskan pada pemberdayaan
masyarakat, yang juga merupakan amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian dan kecakapan pemerintahan desa.
4
Karenanya, mereka harus meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya secara partisipatif untuk
tujuan pemberdayaan masyarakat ini, dengan melibatkan keikutsertaan elemen-elemen kunci
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, agar dalam menjalankan peran, kewenangannya
sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dapat
berjalan dengan maksimal. Akan tetapi karena desa-desa di Jawa Timur rata-rata belum siap
melaksanakan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa itu dengan maksimal8,
karena minimnya kapasitas dan kapabilitas aparaturnya, maka demi menyukseskan program
pembangunan desa atau “desa membangun” menuju desa mandiri yang demokratis dan
partisipatif sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Untuk
ini, diperlukan sebuah rangkaian pengembangan kapasitas aparatur dan stakeholders
pemerintahan desa melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang mampu meningkatkan kapasitas
pemerintah desa dalam menyusun dan melaksanakan program pembangunan desa yang
bertumpu pada pemberdayaan masyarakat desa.
Dalam konteks ini, maka fokus pelatihan dan pendampingan pemerintahan desa pasca
pemahaman Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa adalah penguatan kapasitas
kelembagaan pemerintahan desa dalam hal pemberdayaan masyarakat partisipatif
(paradigma “desa membangun”) dalam koridor good village governance. Untuk tujuan ini,
tulisan ini mengajukan dua konsep implementatif “desa membangun” dalam koridor good
village governance, yang memuat elemen pemberdayaan masyarakat dan strategi partisipasi
masyarakat dalam collective action “desa membangun”. Keduanya terangkum dalam konsep
pemberdayaan masyarakat partisipatif.

Kerangka Konseptual Pemberdayaan Masyarakat Partisipatif

Pemberdayaan, pengindonesiaan dari kata “empowerment”, digunakan sebagai


konsep alternatif untuk meningkatkan kemampuan dan martabat masyarakat agar terlepas
dari jerat kemiskinan dan keterbelakangan. Atau, dengan kata lain, menjadikannya “ber-
power” atau dalam istilah Kartasasmita, memandirikan dan memampukan masyarakat9.
Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat, pada mulanya merupakan gagasan
yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Oleh karena itu,
wajar apabila konsep ini menampakkan kecenderungan bahwa pemberdayaan menekankan

88
Berdasarkan pengalaman memfasilitasi pemahaman UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa kepada kepala desa
se-Jawa Timur pada September – November 2014.
9
Ginandjar Kartasasmita (1996). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada
Masyarakat. Makalah 14 Maret 1997.

5
pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan
(power) kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya. Implikasi
dari konsepsi ini adalah pertama, penciptaan ruang bagi bekerjanya peran-peran lokal, kedua,
peran aktor-aktor lokal dalam menafsir ”nasib sendiri” dan “nasib bersama”, ketiga,
“kewenangan komunitas” yakni kepada warga desa atau “desa selaku komunitas/ entitas
politik yang satu”.
Dengan mengikuti pemikiran ini, maka kegiatan pemberdayaan merupakan kegiatan
yang “embedded” (menyatu) dengan kegiatan pembangunan (desa) dan merujuk pada satu
tujuan atau misi bersama yakni kemampuan dan kemandirian. Pemberdayaan (kemampuan
dan kemandirian) merupakan kunci dan prasyarat dari aktivitas desa membangun. Konsep
“pemberdayaan” ini, mengikuti pemikiran Chambers yang dikutip Kartasasmita, merangkum
nilai-nilai sosial dan mengikuti paradigma pembangunan yang bersifat “people centered”
(berpusat pada masyarakat), participatory (partisipatif) dan sustainable (berkelanjutan).
Konsep ini sejalan dengan pemikiran Friedman 10 tentang alternative development yang
menghendaki inclusive democracy (demokrasi inklusif), appropriate economic growth
(pertumbuhan ekonomi), gender equality (kesetaraan jender) dan intergenerational equity
(kesetaraan antargenerasi). Dalam konsepsi ini Kartasasmita mengajukan beberapa
pendekatan dalam upaya pemberdayaan masyarakat, yaitu, pertama, menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan
adalah upaya membangun daya itu dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya. Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka
ini diperlukan langkah-langkah lebih konkret, selain menciptakan “atmosfer” bagi bekerjanya
pemberdayaan, juga menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan
akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi
makin berdaya. Ketiga, makna melindungi, yakni melindungi masyarakat yang lemah
(kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat).
Ketiga kunci pemikiran ini mengandung makna bahwa pemberdayaan bagi “desa
membangun” memerlukan kebersamaan dan tafsir bersama akan nasib bersama warga desa
(common sense), yang memperhatikan kebersamaan dalam keragaman (pluralitas) dan
kekhasan lokal, untuk bersama-sama menggalang kekuatan dan meningkatkan kemandirian.
Inilah pemberdayaan partisipatif. Karenanya, makna “desa membangun” secara bersama-

10
Pendapat Friedman ini dikutip oleh Ginandjar Kartasasmita dalam makalah berjudul Pemberdayaan
Masyarakat: Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat. Makalah 14 Maret 1997.

6
sama ini sekaligus memupuk “solidaritas baru” di kalangan “grass-root”. Di sinilah
diperlukan juga modal sosial. Lebih lanjut, dikatakannya bahwa pemberdayaan partisipatif
tidak hanya meliputi penguatan individu tetapi juga pranatanya serta penguatan institusi-
institusi sosial. Dan, masyarakat bukanlah objek, tetapi subjek. Karenanya, Kartasasmita
juga mengajuan beberapa pendekatan dalam pemberdayaan ini yaitu, pertama, pemberdayaan
itu harus terarah (targetted), yakni langsung kepada yang memerlukan. Kedua, langsung
megikutsertakan dan dilakukan oleh masyarakat. Ketiga, menggunakan pendekatan
kelompok.
Pemberdayaan senantiasa berkaitan dengan penggalian dan pengembangan potensi
masyarakat, yang menurut Kartasasmita bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki
potensi yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan adalah upaya untuk membangun
daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki serta untuk mengembangkannya. Dengan kata lain, memberdayakan
masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Oleh karena itu ia
mengatakan bahwa pemberdayaan harus terarah (targeted), ditujukan langsung kepada yang
memerlukan (berbasis kebutuhan), langsung mengikutsertakan dan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran program (partisipatif), menggunakan pendekatan kelompok
karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya. Di sisi lain Kartasasmita mengatakan upaya memberdayakan masyarakat
dapat dilihat dari 3 sisi yaitu :
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat
memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). dalam
rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim
dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan
berbagai masukan (input) serta membuka akses ke berbagai peluang (opportunities) yang
membuat masyarakat menjadi makin berdaya. ketiga,
3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan
idealnya harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan
dalam menghadapi yang kuat.

7
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung
pada berbagai program pemberian (charity) dari pemerintah. Dengan demikian tujuan
akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan
untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.
Pemberdayaan dimaksudkan juga untuk menciptakan keberdayaan masyarakat agar mereka
dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat (people-centered
development). Pemberdayaan tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan
kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan. Pemikiran Kartasasmita di atas
jelas sekali menegaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses individual dan sosial,
yakni suatu penguatan kemampuan individual, peningkatan kompetensi, penumbuh-
kembangan kreativitas. Ketiganya memerlukan kebersamaan yang memperkenankan warga
desa untuk mengembangkan perasaan bersama yang menjadi tanggung jawab mereka secara
mandiri atas dasar kebutuhan. Pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan
dengan sasarannya adalah masyarakat yang terpinggirkan. Pemberdayaan masyarakat
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat guna menganalisa kondisi dan
potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi, yang intinya adalah melibatkan partisipasi
masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat. Didalam melakukan pemberdayaan
keterlibatan masyarakat yang akan diberdayakan sangatlah penting sehingga tujuan dari
pemberdayaan dapat tercapai secara maksimal. Program yang mengikutsertakan masyarakat,
memliki beberapa tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak
dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, serta meningkatkan keberdayaan
(empowering) masyarakat dengan pengalaman merancang, melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu
perencanaan pembangunan yang didalamnya terkandung prinsip-prinsip pemberdayaan
masyarakat. Dalam perencanaan pembangunan seperti ini, terdapat dua pihak yang memiliki
hubungan yang sangat erat yaitu pertama, pihak yang memberdayakan (community worker)
dan kedua, pihak yang diberdayakan (masyarakat). Antara kedua pihak harus saling
mendukung sehingga masyarakat sebagai pihak yang akan diberdayakan bukan hanya
dijadikan objek, tapi lebih diarahkan sebagai subjek (pelaksana). Pemberdayaan merupakan
suatu bentuk upaya memberikan kekuatan, kemampuan, keterampilan, pengetahuan dan

8
berbagai bentuk inovasi kreatif sesuai dengan kondisi, yang secara potensial dimiliki.
Memberdayakan masyarakat menurut Kartasasmita 11 adalah upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Strategi Pemberdayaan Desa Berbasis Partisipasi

Berdasarkan penelusuran catatan selama kegiatan sosialisasi pemahaman Undang


Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa kepada kepala desa se-Jawa Timur pada tahun
2014 12 , permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan desa adalah ketidaksiapan para
aparatur desa dalam berperan aktif sebagai subjek pembangunan desa sesuai dengan mandat
UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa. Hal itu terungkap dari pernyataan para peserta yang
rata-rata menyampaikan keterbatasan sumberdaya dan fasilitas. Bahkan, salah seorang
peserta, menyatakan bahwa “anggaran yang diperoleh pemerintah desa dari pemerintah
pusat untuk implementasi UU Desa ini cukup besar, sementara para aparatur desa belum
mendapatkan pelatihan yang cukup untuk pengelolaan dana tersebut”. Sosialisasi yang telah
dilakukan oleh pemerintah mengenai Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini
baru sampai di tingkat Kepala Desa. Sementara aparatur desa dan lembaga-lembaga desa
lainnya, serta para tokoh masyarakat, belum sepenuhnya mengerti tentang isi dari Undang
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini, yang secara substantif telah mengalihkan
kewenangan pembangunan desa kepada Pemerintah Desa beserta lembaga-lembaga desa
lainnya, sehingga realisasi UU tersebut pada tahun 2015 memerlukan persiapan ekstra keras
dari berbagai pihak di desa. Selama ini program pembangunan desa tidak dilakukan dengan
perencanaan yang baik. Hal ini menunjukkan kelemahan dari perencanaan program tersebut
yang berakibat jangka panjang.

Aspek lain yang menjadi persoalan di beberapa desa di Jawa Timur adalah peranserta
masyarakat dalam program pembangunan desa. Selama ini Pemerintah Desa (Kepala Desa
dan Pamong) melaksanakan program-program desa yang bercorak top-down, atau setidaknya
“semi-top down”, sementara input berupa peran aktif masyarakat dalam menyampaikan
kebutuhan riil tidak berjalan maksimal. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) tidak sepenuhnya mampu beriringan dalam
menyelenggarakan pemerintahan desa serta memberikan masukan-masukan positif bagi

11
Ibid.
12
Program dilaksanakan oleh CSWS Universitas Airlangga bekerjasama dengan Badan Diklat Provinsi Jawa
Timur.

9
program-program desa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian aspek
persoalan yang dihadapi oleh desa-desa di Jawa Timur adalah aspek pemerintahan desa dan
aspek pemberdayaan masyarakat. Aspek pemerintahan desa mencakup kapasitas pemerintah
dalam menjalankan mandat undang-undang sebagai subyek pembangunan di tingkat desa.
Sementara aspek pemberdayaan masyarakat merujuk pada peran Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) sebagai jembatan aspirasi masyarakat dalam mendukung program-program
pembangunan desa oleh Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Pamong). Karenanya, upaya
peningkatan kapasitas pemerintahan desa harus pula menjangkau sisi pemberdayaan
masyarakat, peningkatan kapasitas aparatur dan kelembagaan, serta kemampuan pemetaan
dan analisis sosial bagi stakeholders. Implementasi pemberdayaan masyarakat melalui
partisipasi masyarakat beserta elemen-elemen penting (stakeholders) dalam koridor good
village governance (kepemerintahan desa yang baik), yang secara operasional harus
menjangkau sisi-sisi peningkatan kapasitas kelembagaan yang dikemas dan motivasi untuk
membangun diri bersama (togetherness in collective action), penguatan modal sosial dalam
paradigma “desa membangun”. Aksi kolektif dalam iklim kebersamaan yang melibatkan
warga selaku entitas politik (baca: desa) ini diharapkan menumbuhkan “solidaritas baru”
yang sambil lalu memperkuat modal sosial pada masyarakat desa, melalui aktivitas “belajar
sosial”. Tahap proses belajar sosial ini menurut Habermas, dapat disusun menurut logika
perkembangan dan yang menginstitusionalisasikan tahap-tahap baru dari proses belajar
masyarakat. Habermas berpendapat bahwa proses belajar masyarakat secara evolusioner
tergantung kepada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya, yakni melalui
interaksi sosial dengan medium struktur-struktur simbolis yang berasal dari dunia-kehidupan
(lebenswelt) mereka sendiri13. Kerangka inilah yang seyogyanya mendasari dan membingkai
aktivitas good village governance (tata kepemerintahan desa yang baik) dan pemberdayaan
partisipatif yang melibatkan seluruh stakeholders desa. Dan, menggairahkan partisipasi
dilakukan dengan pendekatan kebutuhan bersama. Menyadarkan masyarakat dan
stakeholders desa bahwa “desa membangun” itu adalah “kebutuhan kita semua” (bukan
kebutuhan kepala desa dan atau elit pemerintahan desa) adalah sebuah keharusan. Bangunan
persepsi bersama ini dapat dilakukan dengan pendekatan “ke-kita-an” dan kebersamaan (we,
us, togetherness).

13
F. Budi Hardiman (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, Postmodernisme
Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Halm. 111-112.

10
Kesimpulan

1. Implementasi UU Desa memerlukan sumberdaya desa yang memadai untuk dapat


mencapai desa mandiri, partisipatif dan berdaya.
2. Diperlukan upaya memandirikan desa dengan mengoptimalkan potensi dan
sumberdaya yang ada dengan meningkatkan kapasitas pemerintahan desa dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat desa.
3. Pemberdayaan masyarakat desa diselenggarakan dengan strategi partisipatif dalam
koridor good village governance (kepemerintahan desa yang baik), dengan semangat
membangun diri bersama (togetherness in collective action), penguatan modal sosial
dalam upaya penyelenggaraan desa membangun.
4. Ketiga upaya tersebut teringkas dalam satu rumusan yakni partisipasi masyarakat,
yang mana partisipasi masyaraakat akan dapat bertumbuh ketika masyarakat merasa
membutuhkan dan mempersepsi bahwa aktivitas desa membangun adalah kebutuhan
mereka, bukan kebutuhan kepala desa dan atau perangkat desa.

Daftar Pustaka

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) (2008). Membangun Kedaulatan Desa:


Panduan Perencanaan Partisipatif; Yogyakarta: FPPD.
Hardiman, F. Budi (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik,
Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Kartasasmita, Ginandjar (1996). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan Yang
Berakar Pada Masyarakat. Makalah.
Maschab, Mashuri (2013). Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta: PolGov.
Sumpeno, Wahjudin (2011). Perencanaan Desa Terpadu; Cetakan Kedua; Banda Aceh:
Read.
PP No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa.
UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 06 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan
Desa.

11

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai