Anda di halaman 1dari 27

MENGGAGAS KURIKULUM LITERASI DIGITAL

UNTUK PERGURUAN TINGGI

Oleh:
Dr. Ruhban Masykur, M. Pd
rmasykur@yahoo.co.id
Irwandani, M. Pd

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN LAMPUNG


2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Pendidikan merupakan suatu proses dan usaha sadar orang dewasa kepada
orang yang belum dewasa untuk mencapai perkembangan lahir maupun batin
secara sempurna. Proses pendidikan yang terajadi sebagai upaya untuk
melanjutkan dan mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh manusia
yang nantinya sebagai bekal hidup di masyarakat, sehingga mendatangkan
manfaat kehadirannya bagi manusia yang lainya ( Nana Syaodhih,1988). Untuk
menjadikan manusia yang berdayaguna, baik untuk dirinya,keluarganya dan
masyarakat dimana dia berada, diperlukan suatu sistem perencanaan kurikulum
yang sistematis,terukur berdasarkan tuntutan dan kebutuhan yang sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi.
Sistem perencanaan kurikulum yang didesain berangkat dari suatu ide atau
gagasan tentang tujuan yang dinginkan dalam proses pendidikan, baik secara
umum maupun khusus dengan beroreintasi kepada kebutuhan hari ini dan yang
akan datang. Gagasan yang dimaksud adalah konsep-konsep pendidikan yang
berkembang dan perlu dilakukan terobosan pemikiran yang kritis, kreatif dan
inovatif sebagai jawaban dari permasalahan pendidikan saat ini. Rancangan
Gagasan kurikulum itu meliputi, rumusan tujuan, materi sebagai bahan ajar yang
sesuai dengan kebutuhan, metode,pendekatan,strategi dan model yang akan
digunakan serta evaluasi sebagai tolak ukur untuk melihat apakah program itu
berhasil atau atau tidak (Masykur,2019).
Ide rancangan kurikulum yang disusun sebagai upaya untuk menjawab
tantangan kebutuhan perserta didik khususnya di era Revolusi Industri 4.0
khususnya di aspek pengetahuan sains yang saat ini masih dijadikan indikator
utama guna melihat kualitas suatu bangsa (Matsun, Ramadhani, & Lestari, 2018).
Hal ini dikarenakan penguasaan sains sebagai kunci dari perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) (Choerunnisa, Wardani, & Sumarti, 2017).
Berdasarkan hal tersebut, pengetahuan terhadap sains merupakan aspek yang
harus terus ditingkatkan oleh suatu bangsa. Salah satu aspek penting yang harus
ditingkatkan pada pembelajaran sains adalah kemampuan literasi sains (Novili,
Utari, Saepuzaman, & Karim, 2017). Pentingnya kemampuan literasi sains ini
didukung oleh pernyataan bahwa literasi sains dapat dijadikan sebagai indikator
untuk melihat kualitas pendidikan dan sumber daya manusia di suatu negara
(Winata, Cacik, & W., 2016).
Literasi sains bukan hanya sebagai kemampuan membaca dan memahami
ilmu sains (Griffin & Ramachandran, 2014), melainkan juga kemampuan
memahami dan menerapkan prinsip-prinsip dasar sains (Holden, 2015; Nahdiah,
Mahdian, & Hamid, 2017). Programme for International Student Assesment
(PISA) mendefinisikan literasi sains sebagai kapasitas individu dalam
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan,
menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti (Diana, 2016; Winata et al., 2016),
agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan mengenai alam serta
interaksi manusia dengan alam itu sendiri (Nisa’, Sudarmin, & Samini, 2015;
Nurfaidah, 2017).
Literasi sains amatlah penting dikuasai oleh peserta didik khusus untuk
mahasiswa dipergutuan tinggi, sebab ia merupakan kompetensi dasar dalam
memahami lingkungan hidupnya maupun berbagai masalah yang dihadapi
manusia saat ini yang sangat bergantung pada kemajuan IPTEK. Penguasaan
terhadap literasi sains ini diharapkan dapat mempermudah mahasiswa untuk
beradaptasi dengan kemajuan IPTEK di masa mendatang. Namun, pada
kenyataannya kemampuan literasi sains mahasiswa di Indonesia masih jauh di
bawah rata-rata (Rosidah & Sunarti, 2017). Skor rata-rata literasi sains yang
dimiliki siswa Indonesia hasil studi PISA dapat dilihat pada grafik berikut:
Skor Literasi Sains Siswa Indonesia Tahun 2000-2012
Berdasarkan Studi PISA
400

395

390 Skor

385

380

375
2000 2003 2006 2009 2012

(Ardiansyah, Irwandi, & Murniati, 2016)


Gambar 1. Skor Literasi Siswa Indonesia Tahun 2000 – 2012

Hasil survey yang dilakukan setiap 3 tahun sekali oleh Programme for
International Student Assesment (PISA) sebagaimana yang tertera pada grafik
menunjukkan bahwa skor literasi sains siswa Indonesia terus mengalami
penurunan. Sedangkan hasil terbaru studi PISA mengenai literasi sains yakni pada
tahun 2015, pada tahun tersebut Indonesia berada pada peringkat ke 62 dari 70
negara peserta (OECD, 2018). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan
literasi sains siswa di Indonesia masih tergolong rendah.

Gambar 2. Kemampuan Literasi Indonesia di Asia (Data Tahun 2011)


Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia
masih berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Sementara jika
dibandingkan dengan negara-negara yang mayoritas penduduk muslim,
kemampuan literasi sains Indonesia masih di bawah Turki, Iran dan Saudi Arabia.
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa lebih dari 95 persen siswa Indonesia hanya
mampu sampai level menengah, sementara hampir 40 persen siswa Taiwan
mampu mencapai level tinggi dan advance. Dengan keyakinan bahwa semua anak
dilahirkan sama, kesimpulan dari hasil ini adalah yang diajarkan di Indonesia
berbeda dengan yang diujikan (yang distandarkan) internasional.
Perlu diketahui bahwa banyak faktor yang menentukan kualitas suatu
pendidikan. Begitupun dengan rendahnya hasil skor rata-rata literasi sains siswa di
Indonesia, tentu pula banyak faktor yang mempengaruhinya. Tanpa
mengesampingkan faktor lainnya, guru merupakan faktor yang esensial dalam
menentukan mutu pendidikan, sebagaimana pendapat Mc Kinssey bahwa
“Kualitas sistem pendidikan tidak dapat melebihi kualitas pendidiknya” (Suma,
2010). Guru merupakan faktor penentu terciptanya mutu pelayanan pendidikan
yang baik dan berkualitas, serta apa yang dipelajari oleh siswa dipengaruhi oleh
bagaimana siswa tersebut diajar (Bahriah, 2015; Rohman, Rusilowati, & Sulhadi,
2017; Suma, 2010). Melihat pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa rendahnya
kualitas pendidikan sains dalam hal ini kemampuan literasi sains siswa banyak
dikontribusi oleh kualitas guru sains.
Kualitas guru sains tidak terlepas dari proses penyiapan para calon guru sains.
Calon guru sains harus dipersiapkan sedemikian rupa agar memiliki penguasaan
mendalam terhadap sains. Selain itu, para calon guru sains sangat diharapkan
memiliki kemampuan literasi sains yang baik sehingga mereka lebih siap untuk
memberikan pengajaran kepada siswa dan mampu membentuk siswanya
berwawasan literasi sains. Oleh karena itu, peningkatkan kompetensi calon guru
sains termasuk di dalamnya calon guru fisika dalam kemampuan literasi sains
merupakan hal yang penting dilakukan.
Menyiapkan calon-calon guru fisika yang berwawasan literasi sains menjadi
tugas besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia (Putra, Widodo, & Jatmiko,
2016), tak terkecuali di Provinsi Lampung. Di Lampung terdapat beberapa
perguruan tinggi, baik kampus dengan latar belakang pendidikan Islam maupun
non pendidikan Islam yang di dalamnya menyediakan program studi Pendidikan
Sains khususnya Pendidikan Fisika. Hadirnya program studi ini salah satu
tujuannya adalah untuk melahirkan tenaga-tenaga pendidik yang profesional dan
berkompeten khususnya di bidang pendidikan fisika.
Berdasarkan hasil pra penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti melalui
sebaran angket dan wawancara kepada mahasiswa Pendidikan Fisika, diperoleh
bahwa mahasiswa sangat ingin menjadi tenaga pendidik di bidang fisika maupun
IPA yang berkompeten serta profesional. Menurut mereka, perlu bagi mereka
memiliki pemahaman terhadap sains atau memiliki kemampuan literasi sains.
Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk meneliti kemampuan literasi sains yang
dimiliki mahasiswa dalam hal ini calon guru fisika di kampus dengan latar
belakang pendidikan islam dan non pendidikan islam.
Telah dilakukan penelitian-penelitian sebelumnya terkait kemampuan literasi
sains. Adapun tujuan yang digambarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya
diantaranya adalah untuk menggambarkan kemampuan awal literasi sains
mahasiswa (Odja & Payu, 2014), mengetahui kemampuan literasi sains guru dan
mahasiswa serta pemunculan literasi sains dalam pembelajaran (Rohman et al.,
2017), mengetahui kemampuan literasi sains mahasiswa pada konsep IPA (Winata
et al., 2016), serta mengetahui ketercapaian kemampuan literasi sains pada
berbagai aspek litersi sains (Wulandari & Sholihin, 2016).
Beda penelitian yang peneliti lakukan terhadap penelitian-penelitian
sebelumnya adalah penelitian literasi sains ini peneliti lakukan pada jenjang
mahasiswa dalam hal ini diidentikan sebagai calon guru. Calon guru yang diteliti
pada penelitian ini merupakan berasal dari perguruan tinggi yang berbeda latar
belakang, yaitu calon guru yang berasal dari latar belakang kampus pendidikan
Islam dan calon guru fisika yang berlatarbelakang kampus non pendidikan Islam.
Pada penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan literasi
sains calon guru fisika di kampus dengan latar belakang pendidikan Islam dan non
pendidikan Islam, khususnya di provinsi Lampung, Penelitian ini belum pernah
dikaji sebelumnya oleh penelitian lain, sehingga penting bagi peneliti untuk
melakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan oleh peneliti, maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah kemampuan literasi
sains calon guru fisika di kampus pendidikan Islam dan non pendidikan Islam?”

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah “Untuk
mengetahui kemampuan literasi sains calon guru fisika di kampus pendidikan
islam dan non pendidikan islam.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Gagasan Kurikulum
1. Pengertian kurikulum
kurikulum dalam Cambrige Advanced Learner’s Dictionary (1008: 343),
dikatakan bahwa “the group group of subjects studied in a school, collage, etc.
artinya, kelompok kelompok mata pelajaran yang dipelajari di sekolah. Menurut
Michaelis, Grossman, dan Scott (1975: 1): “the planned curriculum is defined as
broad goals and specific objectives, content, learning activities, planned, and
carried out by school personnel”. Dari dua pendapat di atas maka kurikulum dapat
diartikan sekumpulan mata pelajaran yang direncanakan di dalamnya terkandung
rumusan tujuan, isi materi bahan ajar, kegiatan pembelajaran (metode) dan
evaluasi, sebagai alat untuk mengukur keberhasilan tujuan.
Kedudukan Kurikulum dalam proses pembelajaran memegang peranan
penting sebagai konstruk yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah
terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan, selain itu
kurikulum sebagai jawaban dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang
berkenaan dengan pendidikan. Juga kurikulum merupakan alat untuk membangun
kehidupan masa depan, yang menempatkan kehidupan masa lalu, masa sekarang,
dan rencana pengembangan dan pembangunan bangsa sebagai dasar untuk
mengembangkan kehidupan masa depan (Irina, 2016). Oleh karena itu
pengembangan kurikulum adalah proses siklus, yang tidak pernah berakhir.
Proses tersebut terdiri dari empat unsur yakni (Oemar Hamalik, 2008: 96-97): (1)
Tujuan: mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan dan
pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenaan dengan mata
pelajaran (subject course) maupun kurikulum secara menyeluruh, (2) Metode dan
material: menggembangkan dan mencoba menggunakan metode-metode dan
material sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut yang serasi menurut
pertimbangan guru, (3) Penilaian (assesment): menilai keberhasilan pekerjaan
yang telah dikembangkan itu dalam hubungannya dengan tujuan, dan bila
mengembangkan tujuan-tujuan baru, (4) Balikan (feedback): umpan balik dari
semua pengalaman yang telah diperoleh yang pada gilirannya menjadi titik tolak
bagi studi selanjutnya.
Berangkat dari pendapat di atas, dapat dijadikan dasar ketika akan menyusun
dan mengembangan kurikulum melalui langkah-langkah merumuskan tujuan,
pengorganisasian materi, mengatur dan merencanakan pengalaman belajar dan
langkah terahir menyusun alat evaluasi.
2. Model konsep kurikulum
Beberapa model konsep yang ditawarkan dalam pengembangan kurikulum,
sangat mewarnai pendekatan yang digunakan ketika akan menentukan sebuah
kurikulum. Semua model konsep yang ditawarkan oleh para ahli sesuai dengan
aliran filsafat pendidikan yang dianut, (Masykur,2019:50). Banyak hal yang dapat
dipertimbangkan ketika akan memilih model konsep kurikulum, salah satu adalah
tujuan yang diinginkan berdasarkan kebutuhan akan lulusan atau out put yang
sesuai dengan perekembangan ilmu dan teknologi. Masykur dalam,
(Sukmadinata,2005:81) mengemukakan ada 4 model konsep dalam
pengembangan kurikulum yang sampai saat ini masih mempunyai relevansinya
dengan kebutuhan peserta didik. Ke empat macam model konsep kurikulum
tersebut adalah (1) kurikulum subjek akademik, (2) kurikulum Humanistik, (3)
kurikulum rekontruksi sosial dan (4) kurikulum teknologi.
3. Model pengembangan kurikulum
Para ahli pendidikan mencoba mengimplementasikan dari model kosep
kurikulum tersebut dalam kegiatan proses pembelajaran dengan
pendekatan sebahgai berikut :
1. The Administrative Model

Model administratif merupakan pola pengembangan kurikulum yang paling


awal dan mungkin yang paling dikenal. Diberi nama model administrative atau
line–staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para
administrator pendidikan dan mengunakan prosedur administrasi.

2. The Grass Roots Model

Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Bisa


dikatakan model administratif bersifat top-down (atasan-bawahan), sedangkan
model grass – roots adalah bottom – up (dari bawah keatas). Inisiatif dan upaya
pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi datang dari bawah, yaitu
guru-guru atau sekolah. Hal itu sesuai dengan prinsip-prinsip pengembang
kurikulum yang deikemukakan oleh Smith, Stanley dan Shores (1957:429) dalam
pengembangan kurikulum karangan Prof. DR. Nana Syaodih Sukmadinata.

3. Beauchamp’s Model

Menurut Beauchamp ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam


pengembangan kurikulum, yakni:

a. Menentukan wilayah, dalam hal ini perlu diketahui terlebih dahulu


wilayah yang akan menerapkan kurikulum apakah dalam skala nasional,
daerah tertentu atau bahkan hanya sekolah tertentu,
b. Menentukan pihak-pihak yang akan berperan dalam merancang
kurikulum, baik secara konseptual dan secara operasionalnya.
c. Menetapkan organisasi dan prosedur yang akan ditempuh. Dalam hal ini
perlu dikembangkan isi dari kurikulum yang akan dikembangkan, dengan
cara merumuskan tujuan umum, tujuan khusus,
d. Implementasi kurikulum, dalam hal ini tahap pengimplementasikan
kurikulum perlu mempertimbangkan teknis dalam pengimplementasiannya
agar dapat dipahami konsep dan operasionalisasinya oleh seluruh guru
mata pelajaran.
e. Melaksanakan evaluasi kurikulum, melalui informasi yang didapat dari
guru-guru sebagai pelaksana kurikulum di dalam kelas; evaluasi desain
kurikulum; evaluasi terhadap hasil belajar siswa berdasar pada kurikulum
yang berlaku; serta evaluasi keseluruhan kurikulum.
4. Taba’s Invorted Model

Ada lima langkah pengembangan kurikulum model terbalik dari Taba ini.

a. Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot, unit)


b. Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka
menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya.
c. Merevisi dan mengonsolidasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data
yang diperoleh dalam uji coba.
d. Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum.
e. Implementasi dan diseminarkan kurikulum yang telah teruji. Pada tahap
ini terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru melalui penataran-penataran,
lokakarya dan lain sebagainya serta mempersiapkan fasilitas dan alat-alat
sesuai dengan tuntutan kurikulum.
5. The Demonstration Model

Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass-rotss, datang dari bawah.


Model ini diprakarsai oleeh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama
dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini
umumnya bersekala kecil, hanya mencakup satu atau beberapa sekolah, satu
komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum.

6. Roger’s Interpersonal Relations Model

Model pengembangan kurikulum dari Rogers ini berbeda dengan model-


model lainnya. Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang
ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Carl Rogers sebagai
sebagai Eksistensial Humanis., ia tidak mementingkan formalitas, rancangan
tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan
interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam interaksi ini individu akan
berubah . petode pendidikan yang di utamakan Rogers adalah sensitivity training,
encounter group dan Training Group ( T Group ). Adapun Langkah – langkah
sebagai berikut:
a. Diadakannya kelempok untuk dapatnya hubungan interpersonal di tempat
yang tidak sibuk.
b. Kurang lebih dalam satu minggu para peserta mengadakan saling tukar
pengalaman, di bawah pimpinan staf pengajar.
c. Kemudian diadakan pertemuaan dengan masyarakat yang lebih luas lagi
dalam satu sekolah, sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih
sempurna. Yaitu hubungan antara guru dengan guru, guru dengan peserta
didik, peserta didik dengan peserta didik dalam suasana yang akrab.
d. Selanjutnya pertemuan diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang
lebih luas lagi, yaitu dengan mengikutsertakan para pegawai administrasi
dan orang tua peserta didik.
7. The Systematic Action Research Model

Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum


merupakan perubahan sosial. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini enekankan
pada tiga hal: hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa
dari pengetahuan propesional. prosedur action research: (a) Mengadakan kajian
secara seksama tentang masalah-masalh kurikulum, berupa pengumpulan data
bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan dan kondisi
yang mempengruhi masalah tersebut,(2) Implementasi dari keputusan yang
diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikutioleh kegiatan
pengumpulan data dan fakta-fakta.

8. Emerging Technical Model

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilai-nilai efisiensi


efektivitas dalam bisnis juga mempengaruhi perkembangan perkembangan model-
model kurikulum. Tumbuh kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan
atas hal tersebut yang menurut Sukmadinata (2012:170) diantaranya: (a) The
behavioral Analysis Model, menekankan pada penguasaan perilaku atau
kemampuan, (b) The System Analysis Model, berasal dari gerakan efisiensi
bisnis. Langkah pertama dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat
hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusun
instrumen untuk menilai ketercapaian hasil belajar tersebut. Langkah ketiga
adalah mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang
diperlukan. Langkah keempat membandingkan biaya dan keuntungan dari
beberapa program pendidikan, (c) The Computer-Based Model, suatu model
pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer. Pengembangannya
dimulai dengan mengidentfikasi seluruh unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah
memiliki rumusan tentang hasil yang diharapkan.

B. Literasi Sains

1. Pengertian Literasi Sains


Saat ini literasi sains menjadi pembahasan dalam dunia pendidikan. Banyak
negara-negara maju dan berkembang yang menjadikan literasi sains sebagai
tujuan dari pembelajaran sains. Munculnya istilah literasi sains yakni pada akhir
tahun 1950, akan tetapi istilah yang dikemukakan tidak semuanya sama
(Anjarsari, 2014). Lantas apa arti dari istilah literasi sains tersebut?
Literasi sains berasal dari dua kata latin yaitu literatus dan scientia (Rosidah
& Sunarti, 2017). Literatus berarti ditandai dengan huruf, melek huruf, atau
berpendidikan, sedangkan scientia berarti memiliki pengetahuan (Bahriah, 2015;
Gherardini, 2016). Secara harfiah, arti dari literasi adalah ”melek” dan arti dari
sains adalah pengetahuan alam (Anjarsari, 2014). Berdasarkan arti ini, dapat kita
katakan bahwa literasi sains adalah melek ilmu pengetahuan alam atau terbuka
wawasannya terhadap pengetahuan alam ataupun paham terhadap ilmu
pengetahuan alam. Adapun orang yang pertama kali menggunakan istilah literasi
sains adalah Paul de Hart Hurt dari Stanford University. Dia menyatakan bahwa,
literasi sains adalah memahami sains serta mampu mengaplikasikannya di
masyarakat.
Programme for International Student Assesment atau PISA mendefinisikan
literasi sains sebagai kapasitas individu dalam menggunakan pengetahuan ilmiah,
mengidentifikasi pertanyaan, menarik kesimpulan berdasarkan bukti yang ada
agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami
serta interaksi manusia dengan alam (Bahriah, 2015; Winata et al., 2016).
Sedangkan menurut Novili, literasi sains merupakan sebuah kapasitas seseorang
untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi suatu pertanyaan, serta
menarik kesimpulan sesuai dengan fakta dan data guna memahami alam dan
membuat keputusan dari setiap perubahan yang terjadi akibat aktivitas manusia.
Selain itu dapat pula didefinisikan sebagai level dari pemahaman sains dan
teknologi yang dapat dimanfaatkan di zaman modern ini (Novili et al., 2017).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
literasi sains adalah pemahaman terhadap sains dan aspek-aspek sains itu sendiri
serta mampu menggunakan pengetahuan sains yang dimiliki dalam kehidupan
masyarakat. Litetasi sains ini ibarat pedang prajurit di medan perang, tanpa alat ini
prajurit akan kesulitan dalam berperang. Literasi sains menjadi suatu keharusan
bagi setiap generasi, sebab literasi sains menjadi alat untuk berinovasi dalam
pengembangan kapital intelektualnya.

2. Karakteristik Literasi Sains


National Teacher Association (1971) menjelaskan bahwa ciri atau
karakteristik dari seseorang yang berliterasi sains adalah orang yang
menggunakan konsep sains, keterampilan proses, dan nilai dalam membuat
keputusan sehari-hari jika ia berhubungan dengan orang lain atau dengan
lingkungannya, serta memahami interelasi antara sains, teknologi dan masyarakat,
termasuk perkembangan sosial dan ekonomi (Rohman et al., 2017). Adapun
sejumlah kemampuan yang berkaitan dengan literasi sains adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan memahai ilmu pengetahuan alam, norma, serta metode sains
dan pengetahuan ilmiah.
2) Paham terhadap kunci konsep ilmiah.
3) Paham terhadap kerjasama antara sains dan teknologi.
4) Menghargai dan memahami pengaruh sains dan teknologi di tengah
masyarakat.
5) Mampu membuat hubungan kompetensi-kompetensi dalam konteks sains,
kemampuan membaca, menulis serta memahami sistem pengetahuan
manusia.
6) Mampu mengaplikasikan pengetahuan ilmiah dan mampu
mempertimbangkan dalam kehidupan sehari-hari (Amin, 2017).
3. Kemampuan Literasi Sains Mahasiswa di Indonesia
Telah kita ketahui bahwa literasi sains merupakan kemampuan seseorang
dalam memahami sains, mengomunikasikannya, serta dapat mengaplikasikannya
dalam memecahkan masalah di masyarakat. Literasi sains merupakan salah satu
ranah dari studi PISA. PISA sebagai studi literasi yang memiliki tujuan
menganalisis secara berkala literasi mahasiswa pada aspek membaca, matematika,
maupun sains (Wulandari & Sholihin, 2016).
Indonesia termasuk suatu negara yang mengikuti sebuah studi literasi yang
diadakan oleh Programme for International Student Assesment (PISA). Namun
berdasarkan hasil studi PISA yang rutin dilaksanakan setiap 3 tahun sekali ini,
diperoleh bahwa kemampuan literasi sains mahasiswa Indonesia masih sangat
rendah, sebagaimana terdapat pada tabel berikut:
Tabel 1. Nilai Literasi Sains Siswa Indonesia Berdasarkan Hasil Studi PISA
Tahun Nilai Rata-Rata Indonesia Nilai Rata-Rata Internasional
2000 393 500
2003 395 500
2006 393 500
2009 383 500
2012 382 501
2015 403 493
(OECD, 2018; Wulandari & Sholihin, 2016)
Berdasarkan hasil study PISA, terlihat bahwa skor rata-rata siswa Indonesia
masih jauh dari skor rata-rata Internasional. Melihat dari hasil tersebut, maka
pendidikan sains harus terus dibenahi dan ditingkatkan. Oleh karena itu perlu
sekali dilakukan tindakan-tindakan salah satunya menyiapkan para pendidik sains
yang memiliki kemampuan literasi sains.

4. Dimensi pada Literasi Sains


PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya,
yakni kompetensi atau proses sains, konten atau pengetahuan sains dan konteks
aplikasi sains (Bahriah, 2015). Sedangkan di tahun 2006, PISA mengembangkan
dimensi literasi sains menjadi empat, tambahannya yaitu aspek sikap terhadap
sains (Sekarsari Putri, n.d.). Dikuatkan lagi pada tahun 2015, PISA menetapkan
literasi sains terdiri atas empat aspek diantaranya konteks, pengetahuan,
kompetensi, dan sikap (Rosidah & Sunarti, 2017). Maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat empat aspek yang menjadi karakteristik literasi sains diantaranya adalah
konteks, pengetahuan, kompetensi, dan juga sikap.
1) Aspek Kompetensi
Aspek kompetensi biasa disebut pula dengan proses sains
merupakan dimensi dari literasi sains yang memiliki pengertian proses
dalam menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah (Bahriah,
2015; Wulandari & Sholihin, 2016). Proses kognitif yang terlibat dalam
kompetensi sains antara lain penalaran induktif/deduktif, berfikir kritis dan
terpadu, pengubahan representasi, mengkonstruksi eksplanasi berdasarkan
data, berfikir dengan menggunakan model dan menggunakan matematika.
Untuk membangun kemampuan inkuiri ilmiah pada diri peserta
didik, yang berlandaskan pada logika, penalaran dan analisis kritis, maka
kompetensi sains dalam PISA dibagi menjadi tiga aspek. Pada tahun 2000
dan 2003, PISA menetapkan tiga aspek dari komponen kompetensi ilmiah
atau proses sains yang diukur dalam literasi sains (Islami, Nahadi, &
Permanasari, 2015; Odja & Payu, 2014). Tiga kompetensi ilmiah yang
diukur dalam literasi sains yakni mengidentifikasi isu-isu atau pertanyaan
ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah dan menggunakan bukti
ilmiah (Bahriah, 2015; Islami et al., 2015; Odja & Payu, 2014; Wulandari
& Sholihin, 2016).
a) Mengidentifikasi Pertanyaan atau Isu-Isu Ilmiah
Pertanyaan ilmiah merupakan suatu pertanyaan yang dalam
menjawabnya harus dilandasi dengan bukti yang ilmiah. Dalam
mengidentifikasi pertanyaan ilmiah ini, kita dituntut mampu mengenal
pertanyaan yang mungkin diselidiki secara ilmiah dalam situasi yang
diberikan, mencari informasi dan mengidentifikasi kata kunci serta
mengenal fitur penyelidikan ilmiah, misalnya hal-hal apa yang harus
dibandingkan, variabel apa yang harus diubah-ubah dan dikendalikan,
informasi tambahan apa yang diperlukan atau tindakan apa yang harus
dilakukan agar data relevan dapat dikumpulkan (Wulandari &
Sholihin, 2016).
b) Menjelaskan Fenomena secara Ilmiah
Pada kompetensi ini, yang perlu diperhatikan ialah kemampuan
dalam pengaplikasian pengetahuan sains dalam situasi yang telah
diberikan, mendeskripsikan fenomena, memprediksi perubahan, dan
mampu dalam mengidentifikasi deskripsi, eksplanasi dan prediksi yang
sesuai (Wulandari & Sholihin, 2016).

c) Menggunakan Bukti Ilmiah


Kompetensi ini menuntut seseorang mampu memaknai temuan
ilmiah atau mampu menafsirkan temuan ilmiah sebagai bukti untuk
membuat suatu kesimpulan, serta dapat mengidentifikasi bukti serta
mengomunikasikan alasan dibalik kesimpulan tersebut. Selain itu juga
menyatakan bukti dan keputusan dengan kata-kata, diagram atau
bentuk representasi lainnya. Dengan kata lain, peserta didik harus
mampu menggambarkan hubungan yang jelas dan logis antara bukti
dan kesimpulan atau keputusan.

2) Aspek Konten atau Pengetahuan


Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci dari sains yang
diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang
dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (Bahriah, 2015).
Kriteria pemilihan konten sains adalah relevan dengan situasi nyata dan
merupakan pengetahuan penting dan penggunaannya berjangka panjang.
Terdapat 3 aspek pengetahuan yang dinilai pada kemampuan literasi sains
diantaranya pengetahuan konten, pengetahuan prosedural, dan
pengetahuan epistemik, yang dijelaskan sebagai berikut (Novili et al.,
2017):
a) Pengetahuan Konten, merupakan pengetahuan yang relevan terhadap
kehidupan nyata.
b) Pengetahuan prosedural, merupakan pengetahuan yang mengeksplor
pengetahuan dalam mengidentivikasi variabel-variabel percobaan.
c) Pengetahuan epistemik, yakni pengetahuan yang terkait dengan
identifikasi aspek ilmiah, menjustifikasi data, serta memberikan
argumen secara ilmiah.

3) Aspek Konteks Sains


Aspek konteks sains merupakan dimensi dari literasi sains yang
mengandung pengertian situasi yang ada hubunganya dengan penerapan
sains dalam kehidupan sehari-hari (Wulandari & Sholihin, 2016), yang
digunakan menjadi bahan bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep
sains (Bahriah, 2015). Konteks PISA mencakup bidang-bidang aplikasi
sains dalam seting personal, sosial dan global, yaitu: (1) kesehatan; (2)
sumber daya alam; (3) mutu lingkungan; (4) bahaya; (5) perkembangan
mutakhir sains dan teknologi.

4) Aspek Sikap
Untuk membantu mahasiswa mendapatkan pengetahuan teknik dan
sains, tujuan utama dari pendidikan sains adalah untuk membantu
mahasiswa mengembangkan minat mahasiswa dalam sains dan
mendukung penyelidikan ilmiah. Sikap-sikap akan sains berperan penting
dalam keputusan mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan sains
lebih lanjut, mengejar karir dalam sains, dan menggunakan konsep dan
metode ilmiah dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, pandangan PISA
akan kemampuan sains tidak hanya kecakapan dalam sains, juga
bagaimana sikap mereka akan sains. Kemampuan sains seseorang di
dalamnya memuat sikap-sikap tertentu, seperti kepercayaan, termotivasi,
pemahaman diri, dan nilai-nilai.
Philips dalam Holbrook & Rabbikmae menyatakan bahwa
komponen sikap pada literasi sains diantaranya adalah kemandirian dalam
belajar sains, kemampuan untuk berpikir ilmiah, keingintahuan, serta
kemampuan untuk berpikir kritis (Anjarsari, 2014). Pendapat lain
menyatakan bahwa aspek sikap pada literasi sains diantaranya mendukung
penyelidikan ilmiah, kepercayaan diri, minat terhadap sains, dan tanggung
jawab terhadap sains (Islami et al., 2015).

5. Penilaian Literasi Sains


Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menilai tingkatan literasi
sains seseorang, sebagai berikut:
1) Penilaian literasi sains tidak ditujukan untuk membedakan seseorang
literasi atau tidak.
2) Pencapaian literasi sains merupakan proses yang kontinu dan terus
menerus berkembang sepanjang hidup manusia.
Berdasarkan hal ini, jika penilaian literasi sains diukur selama pembelajaran di
sekolah, tujuannya hanya melihat adanya “benih-benih literasi” dalam diri
mahasiswa, bukan mengukur secara mutlak tingkat literasi sains dan teknologi
mahasiswa. Selain itu, penilaian pembelajaran literasi sains biasa dihubungkan
dengan domain Applying, Analyzing dan Evaluate pada taksonomi bloom.
Literasi sains dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan. Pertama, functional
literacy yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan
kebutuhan dasar manusia seperti pangan, kesehatan dan perlindungan. Kedua,
civic literacy yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk berpartisipasi
secara bijak dalam bidang sosial mengenai isu yang berkenaan dengan sains dan
teknologi, Ketiga,cultural literacy yang mencangkup kesadaran pada usaha ilmiah
dan persepsi bahwa sains merupakan aktivitas intelektual yang utama.
Lebih rinci dalam penilaian literasi sains dibedakan beberapa tingkatan dalam
literasi sains. Beberapa tingkatan yang dimaksud adalah scientific literacy,
nominal scientific literacy, functional scientific literacy, conceptual scientific
literacy, dan multidimensional scientific literacy. Dalam tingkat literasi nominal
seseorang mampu mengorganisasi konsep sains namun belum memahami
maknanya dengan benar. Pada tingkat literasi fungsional seseorang mampu
mendeskripsikan konsep sains dengan benar namun kemampuannya masih
terbatas tempat. Pada literasi konseptual, seseorang mampu membangun
pemahaman umum tentang sains yang lebih bermakna. Dan pada tingkat literasi
multidimensional, seseorang mampu menggabungkan pemahaman sains secara
lebih luas (Ardiansyah, Irwandi, & Murniati, 2016).

6. Peranan Literasi Sains dalam Pendidikan


Negara maju telah mengembangkan literasi sains sejak lama, yang dalam
pelaksanaannya diintegrasikan dalam pembelajaran. AS dengan “Project 2061”
membangun literasi sains di Amerika Serikat melalui riset yang hasilnya
digunakan untuk menetapkan “standar pendidikan sains Amerika”. Dibuatnya
standar ini untuk mewujudkan literasi sains secara kongkrit dalam pendidikan
Amerika, yang tujuan jangka panjangnya adalah kejayaan sains dan teknologi di
masa depan.
Selain itu hasil penelitian sains di Australia menunjukkan bahwa tujuan
utama pendidikan sains di negara tersebut adalah meningkatkan literasi sains.
Selain itu pula Cina menjadikan literasi sains sebagai program di negaranya. Cina
telah memulainya beberapan tahun silam dengan mencanangkan Rencana 15
Tahun untuk meningkatkan jumlah penduduk yang melek sains. Orang literasi
sains akan dapat berkonstribusi terhadap kesejahteraan baik dari aspek social
maupun ekonomi. Jadi di negara maju, literasi sains merupakan prioritas utama
dalam pendidikan sains.

7. Literasi Sains sebagai Tujuan Kurikulum di Indonesia


Perubahan kurikulum adalah hal yang tidak bisa dihindarkan sebab di dalam
kehidupan ini ada pertumbuhan dan perkembangan. Selalu ada perbaikan yang
harus dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik begitu pula dengan
perubahan kurikulum yang dilakukan pasti tak lain untuk mencapai tujuan
pendidikan yang lebih baik. Kurikulum merupakan produk dari suatu zaman,
terbukti dengan mulai terdengarnya istilah literasi sains untuk menghadapi
permasalahan global, maka dari beberapa negara kemudian menjadikan literasi
sains sebagai tujuan kurikulum saat itu dan sampai saat ini (Anjarsari, 2014).
Perkembangan literasi sains dan teknologi di Indonesia baru dimulai tahun
1993, walaupun istilah literasi sains itu sendiri telah muncul di dunia pada tahun
1950-an. Literasi sains mulai diakomodasikan dalam kurikulum 2006 atau
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), namun terlihat jelas pada
penerapan kurikulum 2013. Tak berbeda dengan KTSP, secara konseptual
kurikulum 2013 berbasis kompetensi. Dalam standar kompetensi lulusan
kelompok mata pelajaran IPA pada kurikulum KTSP dinyatakan bahwa sains
atau IPA berkaitan dengan cara memberi tahu tentang alam secara sistematis,
sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa
fakta-fakta, konsep-konsep, ataupun prinsip-prinsip saja melainkan merupakan
proses penemuan. Oleh karena itu pembelajaran sains dalam KTSP diarahkan
melalui kegiatan penemuan atau biasa disebut inkuiri ilmiah.
Kegiatan inkuiri ilmiah melibatkan proses serta sikap sains agar peserta didik
mampu mengkonstruk ilmu pengetahuannya sendiri. Melalui kegiatan tersebut
perserta didik diharapkan mampu mengidentifikasi masalah, mengambil
kesimpulanberdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data, serta mampu
memutuskan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan
tujuan literasi sains, yaitu mampu menggunakan pengetahuan, mengidentifikasi
pertanyaan, membuat kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, serta mengambil
keputusan berkenaan dengan alam dan perubahannya.
Penyempurna dari kurikulum KTSP adalah kurikulum 2013. Standar
kompetensi lulusan pada kurikulum KTSP diterjemahkan oleh kurikulum 2013
menjadi kompetensi inti. Sedangkan pendekatan yang digunakan pada kurikulum
2013 adalah pendekatan ilmiah atau scientific approach. Melihat pada komponen-
komponen dalam model literasi sains Graber yakni what people value, what
people know, dan what people do, kompetensi-kompetensi inti dalam kurikulum
2013 telah mengarah pada tercapainya literasi sains. Artinya semua kompetensi
inti pada kurikulum 2013 masuk dalam kategori model literasi sains Graber.
Berdasarkan hal ini, terbukti bahwa literasi sains memang telah menjadi tujuan
dari kurikulum IPA di Indonesia.

B. Konsep atau Teori Relevan


Berdasarkan telaah kepustakaan yang telah dilakukan, ditemukan beberapa
hasil penelitian yang relevan dan berkaitan dengan variabel penelitian ini dengan
hasil yang didapatkan dari penelitian-penelitian sebelumnya sebagai berikut:
1. Penelitian oleh Saeful Rohman, Ani Rusilowati, dan Sulhadi pada tahun
2017 yang berjudul “Analisis Pembelajaran Fisika Kelas X SMA Negeri di
Kota Cirebon Berdasarkan Literasi Sains”.
Hasil pada penelitian ini menyatakan bahwa kemampuan literasi sains
guru dan mahasiswa kelas X SMA Negeri di kota Cirebon dan
pemunculan literasi sains dalam proses pembelajaran sudah merefleksikan
literasi sains, namun proporsi kemunculan kategori literasi sains tidaklah
seimbang (Rohman et al., 2017).
2. Penelitian yang dilakukan oleh Nisa Wulandari dan Hayat Solihin pada
tahun 2016 yang berjudul “Analisis Kemampuan Literasi Sains pada
Aspek Pengetahuan dan Kompetensi Sains Mahasiswa SMP pada Materi
Kalor”.
Hasil pada penelitian ini menyatakan bahwa secara keseluruhan diperoleh
hasil yang baik pada kemampuan literasi sains mahasiswa (Wulandari &
Sholihin, 2016).
3. Penelitian oleh Anggun Winata, Sri Cacik, dan Ifa Seftia R.W. pada tahun
2016 yang berjudul “Analisis Kemampuan Awal Literasi Sains Siswa pada
Konsep IPA”.
Hasil pada penelitian ini menyatakan bahwa kemampuan literasi sains
siswa yang tinggi adalah pada indikator melakukan penelusuran literatur
yang efektif dengan presentase sebesar 40,15%, sedangkan kemampuan
literasi sains siswa yang rendah yakni pada indikator memecahkan
masalah menggunakan keterampilan kualitatif termasuk pula statistik dasar
dengan presentase sebesar 6,82 % (Winata et al., 2016).
4. Penelitian oleh Ahmad Ali Irfan Ardiansyah, Dedi Irwandi, dan Dewi
Murniati pada tahun 2016 yang berjudul “Analisis Literasi Sains
Mahasiswa Kelas XI IPA pada Materi Hukum Dasar Kimia di Jakarta
Selatan”.
Hasil pada penelitian ini menyatakan kemampuan literasi sains mahasiswa
secara keseluruhan masih tergolong rendah (Ardiansyah et al., 2016).
5. Penelitian oleh Abdul Haris Odja dan Citron S. Payu pada tahun 2014
yang berjudul “Analisis Kemampuan Awal Literasi Sains Mahasiswa pada
Konsep IPA”.
Hasil pada penelitian ini menyatakan bahwa kemampuan literasi sains
mahasiswa yang baik adalah pada kategori nominal, sedangkan untuk
kategori fungsional masih tergolong rendah, dan untuk kategori konseptual
dan multidimensional masih sangat rendah (Odja & Payu, 2014).

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode
survey untuk melihat rata-rata skor kemampuan litarasi sains calon guru fisika di
Perguruan Tinggi Pendidikan Islam dan non Pendidikan Islam. Studi dokumentasi
digunakan untuk mengetahui lebih lanjut karakteristik dari program studi masing
masing.

B. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi penelitian adalah seluruh calon guru pendidikan fisika yang sedang
menempuh studi di Program Studi Pendidikan Fisika baik itu Perguruan Tinggi
Islam dan non Pendidikan Islam di Provinsi Lampung. Sampel penelitian diambil
dari dua program studi yang representatif yaitu Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung sebagai perguruan tinggi Islam
dan Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Lampung yang
merepresentasikan perguruan tinggi umum atau non pendidikan Islam. Jumlah
sampel yang dipilih berjumlah 70 calon guru yang terdiri atas 35 orang calon guru
fisika dari kampus pendidikan Islam dan 35 dari kampus non pendidikan Islam.
Sebaran sampel merupakan calon guru yang telah menempuh studi sekurang-
kurangnya 40 sks, dimana mereka telah menempuh mata kuliah dasar sains
(Fisika Dasar, Kimia, dan Biologi).
C. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada dua tempat, dilaksanakan di Program Studi
Pendidikan Fisika Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung dan Program
Studi Pendidikan Fisika Universitas Lampung. Rentang pengambilan data mulai
dilakukan dari tanggal 2 Agustus hingga 2 September 2019.

D. Teknik dan Prosedur Pengumpulan


Pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini menggunakan
instrumen tes. Calon guru diminta untuk mengerjakan soal literasi sains.
Instrumen tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal literasi sains
berbentuk pilihan ganda berjumlah 30 soal. Soal divalidasi secara konstruk dan
substansi oleh ahli. Soal kemudian dimasukkan dalam google formulir untuk
memudahkan pengisian.
Untuk memperkuat data hasil penelitian melalui tes kemampuan literasi sains.
Kemudian dilakukan studi dokumentasi terhadap terhadap kurikulum dari masing-
masing program studi. Studi dokumentasi ditujukan untuk melihat sejauh mana
perbedaan dari masing-masing dan apa yang menjadi karakteristiknya.

E. Teknik Analisis Data


Hasil tes literasi sains kemudian dihitung skor rata-rata. Skor rata-rata
dibuat untuk mengetahui perbandingan skor literasi sains calon guru fisika di
lembaga pendidikan Islam dan non pendidikan Islam.

BAB IV
HASIL PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Hasil Tes Literasi Sains
Total responden calon guru dalam penelitian ini berjumlah 70 orang yang
terdiri dari 10 orang laki-laki dan 60 orang perempuan. Mereka kemudian
diberikan soal literasi sains dalam google form. Soal sebanyak 30 butir dikerjakan
dalam waktu 100 menit.
Berdasarkan hasil tes kemampuan literasi sains diperoleh data sebagai
berikut.

Kampus non-Pendidikan Islam 53.43

Kampus Pendidikan Islam 45.81

Gambar 1. Nilai Rata Literasi Sains Calon Guru Fisika

Berdasarkan Gambar 1, rata-rata perolehan nilai literasi sains calon guru


kampus non-Pendidikan Islam mendapat skor sebanyak 53,43 lebih tinggi
dibandingkan dengan perolehan nilai calon guru dari kampus pendidikan Islam
yaitu 45.81.
2. Hasil Studi Dokumentasi
Berdasarkan studi dokumentasi terhadap kurikulum dan kondisi fasilitas
pembelajaran dari dua program studi pendidikan fisika di kampus pendidikan
Islam dan non pendidikan Islam diperoleh beberapa perbedaan sebagai berikut:
a. Adanya perbedaan jumlah sks mata kuliah keahlian bidang
b. Adanya perbedaan keketatan input mahasiswa yang masuk
c. Adanya perbedaan komposisi dosen
d. Perbedaan fasilitas laboratorium

DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. (2017). Sadar Berprofesi Guru Sains , Sadar Literasi : Tantangan Guru
di Abad 21. In Prosiding Seminar Nasional III Tahun 2017 “Biologi,
Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner.”
Anjarsari, P. (2014). Literasi Sains dalam Kurikulum dan Pembelajaran IPA SMP.
In Prosiding Semnas Pensa VI “Peran Literasi Sains” (p. 602-).
Ardiansyah, A. A. I., Irwandi, D., & Murniati, D. (2016). Analisis Literasi Sains
Mahasiswa Kelas XI IPA dada Materi Hukum Dasar Kimia di Jakarta
Selatan. EduChemia (Jurnal Kimia Dan Pendidikan), 1(2).
Bahriah, E. S. (2015). Peningkatan Literasi Sains Calon Guru Kimia Pada Aspek
Konteks Aplikasi dan Proses Sains. Edusains, 7(1).
Choerunnisa, R., Wardani, S., & Sumarti, S. S. (2017). Keefektifan Pendekatan
Contextual Teaching Learning dengan Model Pembelajaran Inkuiri terhadap
Literasi Sains. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 11(2).
Diana, S. (2016). Pengaruh Penerapan Strategi Peer Assisted Learning (PAL)
Terhadap Kemampuan Literasi Sains Siswa dalam Perkuliahan Morfologi
Tumbuhan. Jurnal Pengajaran MIPA, 21(1), 82–91.
Gherardini, M. (2016). Pengaruh Metode Pembelajaran dan Kemampuan Berpikir
Kritis terhadap Kemampuan Literasi Sains. Jurnal Pendidikan Dasar, 7(2).
Griffin, K. L., & Ramachandran, H. (2014). Science Education and Information
Literacy : A Grass-Roots Effort to Support Science Literacy in Schools.
Science and Technoogy Libraries, (October 2014), 37–41.
https://doi.org/10.1080/0194262X.2010.522945
Holden, I. I. (2015). Science Literacy and Lifelong Learning in the Classroom : A
Measure of Attitudes among University Students. Journal of Library
Administration, 37–41. https://doi.org/10.1080/01930821003635002
Islami, R. A. Z. El, Nahadi, & Permanasari, A. (2015). Hubungan Literasi Sains
dan Kepercayaan Diri Mahasiswa pada Konsep Asam Basa. Jurnal
Penelitian Dan Pembelajaran IPA, 1(1), 16–25.
Matsun, Ramadhani, D., & Lestari, I. (2018). Perancangan Media Pembelajaran
Listrik Magnet Berbasis Android di Program Studi Pendidikan Fisika IKIP
Pontianak. Jurnal Pendidikan Informatika Dan Sains, 7(1), 107–117.
Nahdiah, L., Mahdian, & Hamid, A. (2017). Pengaruh Model Pembelajaran Peer
Led Guided Belajar Mahasiswa pada Materi Hidrolisis Garam Mahasiswa
Kelas XI PMIA SMAN 3 Banjarmasin. Journal of Chemistry and Education,
1(1).
Nisa’, A., Sudarmin, & Samini. (2015). Efektivitas Penggunaan Modul
Terintegrasi Etnosains dalam Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Literasi Sains. Unnes Science Education Journal, 4(3), 1049–
1056.
Novili, W. I., Utari, S., Saepuzaman, D., & Karim, S. (2017). Penerapan Scientific
Approach dalam Upaya Melatihkan Literasi Saintifik dalam Domain
Kompetensi dan Domain Pengetahuan Mahasiswa SMP pada Topik Kalor.
Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika, 8(1).
Nurfaidah, S. S. (2017). Analisis Aspek Literasi Sains Pada Buku Teks Pelajaran
IPA Kelas V SD. Mimbar Sekolah Dasar, 4(1), 56–66.
https://doi.org/10.23819/mimbar-sd.v4i1.5585
Odja, A. H., & Payu, C. S. (2014). Analisis Kemampuan Awal Literasi Sains
Mahasiswa Pada Konsep IPA. In Prosiding Seminar Nasional Kimia (pp.
40–47).
OECD. (2018). Pisa 2015 Results in Focus.
Putra, M. I. S., Widodo, W., & Jatmiko, B. (2016). The Development of Guided
Inquiry Science Learning Materials to Improve Science Literacy Skill of
Prospective MI Teachers. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 5(1), 83–93.
https://doi.org/10.15294/jpii.v5i1.5794
Rohman, S., Rusilowati, A., & Sulhadi. (2017). Analisis Pembelajaran Fisika
Kelas X SMA Negeri di Kota Cirebon Berdasarkan Literasi Sains. Physics
Communication, 1(2).
Rosidah, F. E., & Sunarti, T. (2017). Pengembangan Tes Literasi Sains pada
Materi Kalor di SMA Negeri 5 Surabaya”, Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika.
Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika, 6(3).
Sekarsari Putri, A. (n.d.). Pengembangan LKPD Berbasis Learning Cycle 7E
untuk Meningkatkan Scientific Literacy Peserta Didik. Jurnal Pendidikan
Matematika Dan Sains, 1–7.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suharsimi, A. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suma, K. (2010). Efektivitas Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Peningkatan
Pengusaan Konten dan Penalaran Ilmiah Calon Guru Fisika. Jurnal
Pendidikan Dan Pengajaran, 43(6).
Winata, A., Cacik, S., & W., I. S. R. (2016). Analisis Kemampuan Awal Liteasi
Sains Siswa pada Konsep IPA. Education and Human Development Journal,
1(1).
Wulandari, N., & Sholihin, H. (2016). Analisis Kemampuan Literasi Sains pada
Aspek Pengetahuan dan Kompetensi Sains Mahasiswa SMP Pada Materi
Kalor. EDUSAINS, 8(1).

Anda mungkin juga menyukai