Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Mata Kuliah Tata
Bahasa Baku
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
makalah yang berjudul “Bahasa Indonesia Baku dan Pembakuan Bahasa” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Keberhasilan kami dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk
itu kami mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini,
sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Kelompok
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Bahasa Indonesia Baku....................................................................2
B. Pembakuan Bahasa...........................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah bahasa baku telah dikenal oleh masyarakat secara luas, namn
pengenalan istilah tidak menjamin bahwa mereka memahami secara
komprehensif konsep dan maka istilah bahasa baku itu. Hal ini terbukti bahwa
masih banyak orang atau masyarakat berpendapat bahasa baku sama dengan
bahasa yang baik dan benar. Mereka tidak mampu membedakan antara bahasa
yang baku dan ang tidak baku. Masyarakat masih terpengaruh dengan bahasa
daerahnya masing-masing jika mereka berbahasa indonesia secara lisan.
Dengan gambaran kondisi yang demikian itu, dimakalah ini dibahas tentang
pengertian bahasa baku, pengertian bahasa non baku, fungsi pemakaian
bahasa baku, dan bahasa non baku, akan dibahas juga ciri-ciri bahasa baku
dan bahasa non bau, serta berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
B.Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud bahasa baku?
b. Apa yang dimaksud dengan bahasa non baku?
c. Apa fungsi pemakaian bahasa baku dan non baku?
d. Apa ciri-ciri bahasa baku dan non baku?
e. Bagaimana pemakaian bahasa indonesia yang baik dan benar?
B. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian bahasa baku.
b. Untuk mengetahui bahasa non baku.
c. Untuk mengetahui fungsi pemakaian bahasa baku dan non baku.
d. Untuk mengetahui ciri-ciri bahasa baku dan non baku.
e. Untuk mengetahui cara pemakaian bahasa indonesia baku dan non baku
dengan baik dan benar.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Lambang yang digunakan dalam sistem bahasa adalah berupa bunyi, yaitu
bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Karena lambang yang
digunakan berupa bunyi, maka yang dianggap primer di dalam bahasa adalah
bahasa yang diucapkan, atau yang sering disebut bahasa lisan.karena itu pula,
bahasa tulisan, yang walupun dalam dunia moderen sangat penting, hanyalah
bersifat sekunder. Bahasa tulisan sesungguhnya tidak lain adalah rekaman
visual, dalam bentuk huruf-huruf dan tanda-tanda baca dari bahasa lisan.
Dalam dunia moderen, penguasaan terhadap bahasa lisandan bahasa tulisan
sama pentingnya. Jadi, kedua macam bentuk bahasa itu harus pula dipelajari
dengan sungguh-sungguh.
2
dengan horse, dan orang di Amsterdam, Belanda, tidak akan menyebutnya
dengan paard.
Namun, walaupun lambang-lambang bahasa bersifat arbitrer, tetapi bila
terjadi penyimpangan terhadap penggunaan lambang, pasti akan terjadi
kemacetan komunikasi. Komunikasi akan terganggu jika aturan-aturan sistem
lambang tidak dipatuhi.
1. Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa yang terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau
berkomunikasi di dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Untuk
berkomunikasi sebenarnya dapat juga digunakan cara lain misalnya
isyarat,lambang-lambang gambar atau kode-kode tertentu lainnya. Tetapi
dengan bahasa komunikasi dapat berlangsung lebih baik dan lebih
sempurna.
3
kebudayaan nasional indonesia dapat dan harus ditampung dengan
media bahasa indonesia.
Secara tradisional jika ditanyakan apakah bahasa itu, pasti akan dijawab
bahwa bahasa adalah alat untuk berkomunikasi dalam arti, alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan. Konsep bahwa
bahasa indonesia adalah alat untuk menyampaikan pikiran sudah
mempunyai sejarah yang panjang jika kita menelusuri sejarah studi bahasa
pada masa lalu. Pada abad pertengahan (500-1500 M) studi bahasa
kebanyakan dilakukan oleh para ahli logika atau ahli filsafat. Mereka
menitik beratkan penyelidikan bahasa pada satuan-satuan kalimat yang
dapat dianalisissebagai alat untuk menyatakan proposisi benar atau salah.
Dalam hal ini, Wardhaugh (1972:3-8) juga mengatakan bahwa fungsi
bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik tertulis maupun lisan. Namun
fungsi ini sudah mencakup lima fungsi dasar yang menurut Kinneavy
disebut expression, information, exploration, persuasion, dan entertainment
(Michel 1967:51).
Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk
menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit,sebab seperti dikemukakan
Fishman (1972) bahwa yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “who
speak what language to whom, when and to what end”. Oleh karena itu,
fungsi-fungsi bahasa itu antara lain dapat dilihat dari sudut penutur,
pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.
Dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (lihat
Halliday 1973, Finnocchiaro 1974, Jakobson 1960 menyebutnya fungsi
emotif. Maksudnya si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang
dituturkannya, si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa,
tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya.
Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur
sedih, marah, atau gembira.
4
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi
direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar (lihat Finnocchiaro 1974,
Halliday 1973, menyebutnya fungsi instrumental dan Jakobson 1960
menyebutnya fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak hanya membuatbsi
pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai
dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan
menggunakan kaimat-kalimat yang menyatakan perintah,himbawan,
perintah, maupun rayuan.
Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa
disini berfungsi fatik (Jakobson 1960, Finnocchiaro 1974, menyebutnya
interpersonal dan Halliday 1973 menyebutnya interactional) yaitu fungsi
menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau
solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah
berpola tetap, sereti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca atau
menyatakan keadaan keluarga. Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga
disertai dengan unsur-unsur pralinguistik,seperti senyuman, gelengan
kepala, gerak-gerik tangan, air muka, dan kedipan mata. Ungkapan-
ungkapan tersebut disertai unsur pralinguistik tidak mempunyai arti, dalam
arti memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial antara para
partisipan didalam pertuturan itu.
Bila dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial
(Finnocchiaro 1974, Halliday 1973 menyebutnya representational, Jakobson
1960 menyebutnya fungsikognitif, ada juga yang menyebutnya fungsi
denotatif, atau fungsi informatif. Disini bahasa itu berfungsi sebagai alat
untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling kita atau
yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang
melahirkan paham tradisional pada bahasa itu adalah alat untuk menyatakan
pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat sipenutur tentang dunia di
sekelilingnya.
5
Kalau dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi
metalingual atau metalinguistik (Jakobson 1960, Finnocchiaro 1974, yakni
bahasa itudigunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Memang
tampaknya agak aneh, biasanya itu digunakan untuk membicarakan masalah
lain, seperti masalah politik, ekonomi, atau pertanian. Tetapi dalam
fungsinya disini bahasa itu digunakan untuk membicarakan untuk
menjelaskan bahasa. Hal ini dapat digunakan dalam proses pembelajaran
bhasa dimana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan
bahasa, juga dalam kamus monolingual, bahasa iu digunakan untuk
menjelaskan arti bahasa itu sendiri.
Kalau dilihat dari segi amanat (massage) yang akan disampaikan maka
bahasa itu berfungsi imaginatif (Halliday 1973, Finnocchiaro 1974,
Jakobson 1960 menyebutnya fungsi poetic speech). Sesungguhnya bahasa
itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, perasaan. Baik
yangsebenarnya, maupun yang Cuma imaginasi (khayalan, rekaan) saja.
Fungsi imaginatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng,
lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para
pendengarnya.
2. Ragam Bahasa
Setiap bahasa sebenarnya mempunyai ketetapan atau kesamaan dalam hal
tata bunyi, tata bentuk, tata-kata, tata-kalimat,dan tata makna. Tetapi
karena berbagai faktor yang terdapat didalam masyarat pemakai bahasa
itu, seperti usia, pendidikan, agama, bidang kegiatan dan profesi,latar
belakang budaya daerah, maka bahasa itu menjadi tidak seragam benar.
Bahasa itu menjadi beragam. Mungkin tata bunyinya menjadi tidak persis
sama, mungkin tata bentuk dan tata katanya, dan mungkin juga tata
kalimatnya.
6
Keragaman bahasa ini terjadi juga dalam bahasa indonesia akibat berbagai
faktor seperti yang disebutkan diatas, maka bahasa indonesia pun
mempunyai ragam bahasa. Ragam bahasa indonesia yang ada antara lain:
a. Ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Biasa disebut dengan
dialek. Setiap orang tentu mempunyai ragam atau gaya bahasa sendiri-
sendiri yang sering tidak disadarinya. Perbedaan dialek ini dapat kita
lihat, sebagai contoh gaya bahasa Sutan Takdir Alisyahbana, yang
tidak sama dengan gaya bahasa Pramudya Ananta Toer.
b. Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat
dari wilayah tertentu, biasanya disebut dengan istilah dialek. Misalnya
ragam bahasa indonesia di Jakarta, yang jelas tidak sama dengan
ragam bahasa masyarakat di Medan, di Yogyakarta, atau pun di
Denpasar.
c. Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakatdari golongan sosial tertentu, biasanya disebut sosialek.
Misalnya ragam bahasa golongan terdidik, jelas tidak sama dengan
ragam bahasa dari golongan buruh kasar, atau pun golongan
masyarakat umum.
d. Ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu,
seperti kegiatan ilmiah, jurnalistik, sastra, hukum, matematika, dan
militer. Ragam bahsa ini biasanya disebut dengan istilah fungsiolek.
Ragam bahasa ilmiah biasanya bersifat logis dan eksak, tetapi ragam
bahsa sastra penuh dengan kiasan dan ungkapan.
e. Ragam bahasa yang digunakan dalam situasi formal atau situasi resmi,
biasanya disebut dengan istilah ragam bahasa baku atau bahasa
standar. Kaidah-kaidah dalam ragam bahasa baku, baik dalam bidang
fonologi, morfologi, sintaksis, maupun kosakata, biasanya digunakan
secara konsisten.
f. Ragam bahasa yang digunakan dalam situasi informal atau situasi
tidak resmi, biasanya disebut dengan istilah ragam nonbaku atau non
7
standar. dalam ragam bahasa non baku ini kaidah-kaidah tata bahasa
biasa tidak digunakan secara konsisten, sering kali di langgar.
g. Ragam bahasa yang digunakan secara lisan yang biasanya disebut
dengan bahsa lisan. Lawannya, ragam bahasa yang digunakan secara
tertulis, atau yang biasa disebut bahasa tulisan atau bahasa tertulis.
Ragam bahasa lisan tidak sama dengan bahasa tulisan. Bahasa lisan
dalam realisasinya sering dibantu dengan mimik, gerak-gerik anggota
tubuh, dan intonasi tidak diwujudkan. Karena itu, agar komunikasi
dalam bahasa tulisan dapat mencapai sasarannya dengan baik, maka
harus diupayakan menyusun srtuktur kalimat dan penggunaan tanda-
tanda baca sedemikian rupa, agar pembaca dapat menangkap bahasa
tulisan itu dengan baik dan benar.
8
Pembicaraan di depan umum, seperti dalam ceramah,kuliah, khotbah,
dan sebagainya.
Pembicaraan dengan orang yang dihormati dan sebagainya.
Ragam bahasa baku dapat ditandai dengan ciri-cirinya, yang antara lain
sebagai berikut:
9
Pemakaian pola frase untuk predikat aspek + pelaku +kata +kerja
secara konsisten, misalnya:
Bahasa Baku
- Surat Anda sudah saya terima.
- Acara berikutnya akan kami putarkan lagu-lagu perjuangan.
- Rencana itu sedang kami garap.
10
Maksudnya, kata-kata yang digunakanadalah kata-kata umum yang sudah
lazim digunakan atau yang yang frekuensi penggunaannya cukup tinggi,
kata- kata yang belum lazim atau yang masih bersifat kedaerahan
Bahasa baku
Bahasa tidak baku
- Bersama-sama
- Bersama2
- Melipatgandakan
- Melipat-gandakan
- Pergi ke pasar
- Pergi kepasar
- Ekspres
- Ekpres, espres
- Sistem
- Sistim
11
d. Penggunaan lafal baku dalam ragam lisan
Hingga saat ini lafal yang benar atau baku dalam bahasa Indonesia belum
pernah ditetapkan. Tetapi ada pendapat umum bahwa lafal baku dalam
bahasa Indonesia adalah lafal yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek
setempat atau ciri-ciri lafal bahasa daerah. Misalnya:
Bahasa Baku
Bahasa tidak baku
- Atap
- Atep
- Menggunakan
- Menggunaken
- Kalaw
- Kalo
- Pendidikan
- Pendidi’an
- Habis
- Abis
- Dengan
- De’ngan
- Subuh
- Subueh
12
- Tindakan-tindakan kekerasan itu menyebabkan penduduk dan
keluarganya merasa tidak nyaman.
13
- Dengan pisaulah dikupasnya mangga itu
- Karena dia tidak datang kami pun segera berangkat.
B. Pembakuan Bahasa
1. Bahasa Baku
Berbicara tentang bahasa baku (lebih tepat disebut ragam bahasa baku)
dan bahasa nonbaku, berarti kita membicarakan tentang variasi
(Inggris:variety) bahasa, karena yang disebut bahasa baku itu adalah
salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi ) yang diangkat dan
disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur sebagai
bahasa yang “baik dan benar” dalam komunikasi yang bersifat resmi,
baik secara lisan maupun tulisan. Keputusan untuk memilih dan
mengangkat salah satu ragam bahasa, baik ragam regional maupun sosial,
merupakan keputusan yang bersifat politis, sosial, dan linguistis. Disebut
keputusan politis karena menyangkut strategi politik yang berkaitan
dengan kehidupan bangsa dan negara secara nasional di masa-masa
mendatang.
Disebut keputusan sosial karena ragam yang dipilih itu pada mulanya
hanyalah digunakan oleh satu kelompok anggota masyarakat tutur, yang
kelak akan menjadi alat komunikasi dalam status social yang lebih tinggi,
yaitu dalam situasi komunikasi yang bersifat resmi kenegaraan, padahal
ragam-ragam lain (yang tidak diangkat menjadi ragam baku) tetap
digunakan dalam kelompok-kelompok social yang tidak bersifat resmi
kenegaraan.
14
Disebut keputusan linguitis karena ragam yang dipilih menjadi ragam
bahasa baku itu harus mempunayi dan memenuhi persyaratan-
persyaratan linguistik tertentu. Artinya, dilihat dari segi linguistik ragam
bahasa itu mempunyai kepadaan falam hal-hal tersebut,tentu ragam itu
kelak sukar di gunakan untuk komunikasi resmi itu.
Dalam hal kestatusan sering muncul pertanyaan,apakah bahasa baku itu
sama dengan bahasa nasional,bahasa persatuan,bahasa negara,dan bahasa
Tinggi (yang ada dalam masyarakat yang diglosik). Pertanyaan-
pertanyan yang memang wajar untuk di tanyakan ini sebenarnya
menampakkan pencampuradukan konsep dari pihak yang bertanya.
Penyebuta nama atau pemberian nama terhadap suatu bahasa menjadi
bahasa nasional, basa persatuan, bahasa negara dan juga bahasa Tinggi
adalah penamaan bahasa sebagai langue, sebagai kode secara utuh
keseluruhan; padahal penamaan bahasa baku adalah penamaan terhadap
salah satu ragam dari sejumlah ragam yang ada dalam suatu bahasa.
Oleh karena itulah, sejak awal sudah perlu dijelaskan bahwa penamaan
yang lebih tepat adalah ragam bahasa baku atau ragam bahasa baku.
dan bukan bahasa baku saja. Jadi, penamaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, bahasa resmi, atau bahasa persatuan, adalah penamaan
terhadap keseluruhan bahasa Indonesia sebagai sebuah langue dengan
segala macam ragam dan variasinya. Sedangkan bahasa Indonesia baku
hanyalah salah satu ragam dari sekian banyak ragam bahasa Indonesia
yang ada, yang hanya digunakan dalam situasi resmi kenegaraan. Dalam
hal ini yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan adalah memang
hanya ragam baku inilah, dan tidak ragam yang lain. Dalam hal istilah
bahasa Tinggi, seperti yang ada dalam masyarakat yang diglosik (lihat
kembali bab 6) maka bahasa Tinggi itu tidak sama dengan bahasa baku,
sebab bahasa baku masih digunakan, sedangkan bahasa Tinggi bisa juga
sudah tidak digunakan lagi, dan sudah dianggap sebagai klasik. Dalam
hal konsep diglosia menurut Fishman dan Fasold, maka bahasa baku itu
15
bisa sama dengan bahasa Tinggi, atau paling tidak mengacu pada kode
bahasa yang sama.
Di atas sudah disebutkan bahwa bahasa ragam baku adalah ragam bahasa
yang sama dengan bahasa resmi kenegaraan yang digunakan dalam
situasi resmi kenegaraan, termasuk dalam pendidikan, dalam buku
pelajaran, dalam undang-undang, dan sebagainya. Tetapi sebenarnya
bahasa baku pun ada pada tingkat kedaerahan. Bahasa Bali seperti
dilaporkan Jendra (1981), pada bahasa Sunda seperti dilaporkan
Widjajakusumah (1981), mempunyai ragam bahasa baku. Begitu juga
dengan bahasa Jawa. Malah bahasa Jawa telah mempunyai Tata bahasa
baku Bahasa Jawa yang disusun oleh Sudaryanto, dkk (1991). Fungsi
penggunaannya juga sama, yaitu untuk komunikasi yang bersifat resmi;
tentu saja dalam lingkup kedaerahan, bukan kenegaraan.
Lalu, kini pertanyaan kita dalah, apakah sebenarnya bahasa baku itu.
Baiklah kita lihat pendapat beberapa pakar. Halim (1980) mengatakan
bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui
oleh sebagian warga masyarakat pemakainya sebagai ragam resmi dan
sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaannya. Sedangkan
ragam yang tidak baku adalah ragam ragam yang tidak dilembagakan dan
ditandai oleh cirri-ciri yang menyimpang dari norma bahasa baku.
Sebagai kerangka rujukan, ragam baku ditandai oleh norma dan kaidah
yang digunakan sebagai pengukur benar atau tidaknya penggunaan
bahasa.
Dittmar (1976:8) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam ujaran
dari satu masyarakat bahasa yang disahkan sebagai norma keharusan bagi
pergaulan sosial atas kepentingan dari berbagai pihak yang dominan
didalam masyarakat itu. Tindakan pengesahan norma itu dilakukan
melalui pertimbangan nilai yang bermotivasi sosiopolitik. Hampir sejalan
dengan Dittmar, maka Hartmar dan Stork (1972:218) mengatakan bahwa
16
bahasa bakuadalah ragam bahasa yang secara sosial lebih digandrungi,
seringkali lebih berdasarkan pada ujaran orang-orang yang berpendidikan
didalam dan disekitar pusat kebudayaan dan atau politik suatu
masyarakat tutur. Sedangkan Pei dan Geynor (1954:203) mengatakan
bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang memiliki
keistimewaan sastra dan budaya melebihi dialek-dialek lainnya, dan
disepakati penutur dialek-dialek lain sebagai bentuk bahasa yang paling
sempurna.
2. Fungsi Bahasa Baku
Selain fungsi penggunaannya untuk situasi-situasi resmi, ragam bahasa
baku menurut Gravin dan Mathiot (1956:785-787) juga mempunyai
fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2)
fungsi pemisah, (3) fungsi harga diri, (4) fungsi kerangka acuan. Secara
singkat keempat fungsi itu dibicarakan dibawah ini.
17
menggunakan ragam yang baku dan kapan pula yang tidak baku.
Pemisahan fungsi ragam baku dan ragam nonbaku tidak akan
menimbulkan persoalan atau gejolak sosial selama ragam-ragam tersebut
digunakan pada tempatnya. Jika penutur tidak dapat memisahkan fungsi
ragam baku dari nonbaku mungkin saja bisa terjadi masalah sosial itu.
Keempat fungsi itu akan dapat dilakukan oleh sebuah ragam bahasa baku
kalau ragam bahasa baku itu telah memiliki tiga cirri yang sangat
penting, yaitu (1) memiliki cirri kemantapan yang dinamis, (2) memiliki
ciri kecendekiaan, dan (3) memiliki cirri kerasionalan. Ketiga cirri ini
bukan merupakan sesuatu yang sudah tersedia di dalam kode bahasa itu,
melainkan harus diusahakan keberadaannya melalui usaha yang terus-
menerus yang harus dilakukan dan tidak terlepas dari rangkaian kegiatan
perencanaan bahasa.
18
Ciri kemantapan yang dinamis, wujudnya berupa kaidah dan aturan yang
tetap. Namun, kemantapan kaidah itu cukup luwes sehingga dapat
menerima kemungkinan perubahan dan perkembangan yang bersistem,
baik dibidang kaidah gramatikal maupun dibidang kosa kata,
peristilahan, dam berbagai ragam gaya di bidang sintaksis dan semantik.
Ciri kemantapan ini dapat diusahakan dengan melakukan kodifikasi
bahasa terhadap dua aspek yang penting, yaitu (1) bahasa menurut situasi
pemakai dan pemakainya; dan (2) berkenaan dengan strukturnya sebagai
sistem komunikasi. Kodifikasi pada aspek yang kedua inilah yang akan
menghasilkan kumpulan kaidah yang berkenaan dengan struktur bahasa
itu. Sesudah itu penentuan kosakata baku dan bentuk-bentuk kata baku
dapat dijabarkan dari kaidah-kaidah tersebut. Seperti sudah disebutkan
diatas kaidah-kaidah ini harus bersifat dinamis. Artinya, mempunyai
kemungkinan untuk berubah dalam jangka waktu tertentu, sebab secara
teoritis tidak ada bahasa yang statis. Bahasa itu akan selalu berubah
sesuai dengan perkembangan dan perubahan budaya yang terjadi pada
masyarakat penutur bahasa itu.
Ciri kecendekiaan bahasa baku harus diupayakan agar bahasa itu dapat
digunakan untuk membicarakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kehidupan modern. Kecendekiaan ini dapat dilakukan dengan
memperkaya kosakata dalam segala bidang kegiatan dan keilmuan. Mana
mungkin kita dapat menggunakan suatu bahasa di bidang perekonomian,
misalnya, kalau kosakata dalam bidang perekonomian tidak dimiliki oleh
bahasa tersebut. Ciri-ciri kecendekiaan bahasa ini harus tampak pula
secara struktural. Misalnya, bentuk-bentuk komplek, ekpres,dan pilem
bukanlah bentuk-bentuk bahasa baku. Bentuk baku ketiga kata itu adalah
kompleks, ekspres, dan film.
19
makna yang paradoksal dan controversial tidak mencerminkan
kerasionalan. Struktur kalimat seperti,”Uang iuran terpaksa dinaikkan
karena sudah lama tidak naik”, tidak mencerminkan kerasionalan bahasa.
Begitu juga dengan kalimat, “Kesebelasan sepak bola kita kalah karena
memang belum waktunya menang”. Jadi, kerasionalan bahasa baku ini
sangat tergantung pada kecendekiaan penutur untuk menyusun kalimat
yang secara logika dapat diterima isinya.
Kalau kita simak baik- baik yang dikatakan Moeliono, lalu kita bisa
mengajukan pertanyaan, benarkah bahasa mereka, yang disebutkan itu
(pejabat Negara, alimulama, guru dan cendekiawan). Bisa dijamin untuk
diteladani, karena mereka sudah menggunakan bahasa yang baik?
Jawabannya mungkin bisa mungkin juga tidak. Dalam konteks
pembakuan bahasa Indonesia kita sukar untuk menjawab pertanyaan itu
dengan kata”bisa”, entah kalu dalam konteks pembakuan bahasa lain.
20
bicarakan secara singkat, dengan bertumpu pada Baradja (1975). Dasar
otoritas, maksudnya, penentuan baku atau tidak baku berdasar pada
kewenangan orang yang dinggap ahli, atau pada kewenangan buku tata
bahasa atau kamus. Dasar otoritas ini diajukan karena pada umumnya
manusia belum merasa puas bahwa yang dikerjakan atau yang
dikatakannya itu benar. Maka dia akan bertanya kepada guru atau kepada
orang yang dinggap pandai, atau pada buku pegangan yang ada.
Dalam hal masalah bahasa tentu kepada guru bahasa atau ahli bahasa,
lembaga kebahasaan, atau kepada buku tata bahasa atau kamus. Apa
yang dilakukan seseorang untuk mengetahui benar tidaknya atau baku
tidaknya suatu bentuk ujaran dengan mengacu kepada pemegang otoritas
ini memng tidak ada salahnya. Tetapi perlu diingat dasar otoritas ini ada
bahayanya. Bisa saja buku tata bahasa dan kamus yang digunakan sudah
kedaluarsa, sudah ketinggalan zaman, sudah tidak cocok lagi dengan
keadaan kebahasaan pada waktu kini. Bahasa sebagai alat komunikasi
dan sebagai bagian dari budaya manusia tidak terlepas dari hukum
perubahan.
Jadi aturan-aturan dalam bahasa apapun akan berubah sesuai dengan
perubahan zaman dan perkembangan budaya. Apa yang dulu dianggap
benar, pada waktu kini atau masa yang akan datang mungkin tidak benar.
Bisa juga sebaliknya, apa yang dulu dianggap salah, tetapi sekarang
dianggap tidak salah. Pada tahun lima puluhan bentuk dimengerti dalam
bahasa Indonesia dinggap salah, karena, katanya, tidak mungkin awalan
di/ yang pasif bergabung dengan walan me/ yang aktif; tetapi sekarang
ini bentuk tersebut tidak dianggap salah. Kata bisa untuk menyatakan
‘sanggup, dapat’dulu tidak boleh digunakan (karena berarti “racun ular’),
tetapi sekarang boleh saja digunakan. Kesimpulan kita otoritas orang dan
buku tata bahasa atau kamus boleh saja digunakan asal saja pemikiran
orang yang ditanya, dan buku-buku yng digunakan masih sesuai dengan
21
kenyataan sekarang. Orang yang pemikirannya atau pendapatnta sudah
tidak sesuai dengan keadaan sekarang tidak boleh diikuti lagi.
Ketiga, karena penulis-penulis terkenal itu berada pada zaman yang lalu,
maka pertanyaan kita untuk menyatakan keberatan, apakah bahasa
penulis-penulis terkenal itu bahasanya masih sesuai dengan keadaan
sekarang. Dalam masyarakat Inggris, Shakespeare adalah pengarang
yang paling terkenal dan karyanya paling banyak dibaca orang. Tentunya
bahasa Shakespeare yang hidup pada abad ke-16 tidak bisa dijadikan
tolak ukur akan kebakuan bahasa Inggris sekarang. Contoh lain, akhir
tahun 80-an pengarang Indonesia yang apling “terkenal” adalah Hilman
Hari Wijaya dengan novel-novel Lupus-nya. Siapa yang pernah membaca
karya-karya Hilman dengan novel Lupus-nya tentu juga akan sependapat
bahwa bahasa novel Lupus tidak bisa dijadikan tolak ukur akan kebakuan
bahasa Indonesia. Jadi, kesimpulan kita bahasa para pengarang terkenal
tidak dapat dijadikan dasar untuk pembakuan bahasa.
22
Dasar demokrasi, maksudnya, untuk menentukan bentuk bahasa yang
benar dan tidak benar atau baku dan tidak baku, tentunya kita harus
menggunakan data statistik. Setiap bentuk satuan bahasa harus diselidiki,
di catat, lalu dihitung frekuensi penggunaannya. Mana yang terbanyak
itulah yang dinggap benar; yang frekuensinya sedikit dianggap tidak
benar. Masalahnya di sini, dapatkah hal itu dilaksanakan. Umpamanya,
untuk menyelidiki pemakaian bentuk silakan (tanpa h) dan silahkan
(dengan h) saja akan memakan waktu yang lama dan memerlukan biaya
yang besar. Andai kata hasil perhitungan menunjukkan 60% dari orang
Indonesia menggunakan silakan dan 40% menggunakan silahkan,
persoalan pun belum selesai, sebab masih ada pertanyaan: siapakah
orang-orang yang menggunakan silakan atau silahka, dari daerah mana,
dari lapisan social apa, dan apakah mereka konsisten dalam
menggunakannya.
Andai kata dasar demokrasi ini digunakan, maka ragam-ragam bahasa
Indonesia yang digunakan di Jawa pasti akan menang, dan bentuk-bentuk
seperti aken, semangkin, dapet, dan ketawa akan menjadi kosakata
bahasa Indonesia baku. Dasar demokrasi memang baik untuk
menentukan keputusan-keputusan politisi; tetapi tidak dapat digunakan
untuk menentukan keputusan-keputusan kebahasaan. Sejarah telah
membuktikan, dalam pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia ternyata dasar demokrasi seperti itu tidak digunakan: meskipun
penutur bahasa Jawa jauh lebih banyak, namun, yang yang dipilih
menjadi bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, yang jumlah
penuturnya jauh lebih sedikit.
23
dengan pemikiran logika. Umpamanya, dalam bahasa Indonesia kita
dapat menerima tutur kalimat seperti ini “Truk itu mengangkut tanah”,
karena menurut logika memang benar; tetapi kita juga menerima
kebenaran kalimat seperti ini,”Dia menggali lubang” padahal menurut
logika yang digali adalah tanah, bukan lubang. Secara linguistik tentu
dapat dicari alasan karena keberterimaan kalimat yang kedua itu (lihat
Chaer 1933). Begitu juga dengan persoalan kontruksi yang persis sama,
tetapi memiliki makna gramatikal yang berbeda, seperti anak asuh yang
bermakna anak yang diasuh dan ibu asuh yang berarti ibu yang
mengasuh. Dimana letak logikanya, sehingga kedua kontruksi itu
memiliki makna yang berbeda.
24
dalam proses pembakuan bahasa Indonesia sudah seharusnya lembaga ini
mencari dan mengumpulkan data (yang diambil dari orang-orang
terkemuka), menganalisis, mengatur, dan menyusun kaidah-kaidah lalu
menyebarluaskan-nya kepada masyarakat luas.
25
massa baik tulis maupun elektronik akan menjamin tercapainya
pembakuan bahasa dengan lebih luas.
6. Tenaga. Pembakuan bahasa juga memerlukan tenaga-tenaga terlatih
dan terdidik dalam bidang kebahasaan. Tiadanya atau kurangnya
tenaga kebahasaan ini akan menyulitkan proses pembakuan bahasa.
Maka alangkah baiknya bila pada tempat-tempat tertentu tersedia
tenaga kebahasaan ini sehingga masyarakat memerlukan informasi
kebahasaan dapat dipermudah dengan keberadaan mereka.
7. Penelitian. Tanpa adanya penelitian yang terus-menerus di bidang
kebahasaan (tentunya harus di lakukan dengan professional) usaha
pengembangan dan pembakuan bahasa tidak akan mencapai
kemajuan.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata-kata baku adalah kata-kata yang standar sesuai dengan aturan
kebahasaan yang berlaku, didasarkan atas kajian berbagai ilmu, termasuk ilmu
bahasa dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ragam bahasa baku yang
lazim digunakan dalam komunikasi resmi, yakni dalam surat menyurat resmi,
surat menyurat dinas, pengumuman-pengumuan yang dikeluarkan oleh
instansi resmi, perundang-undangan, penamaan dan peristilahan resmi, dan
sebagainya. Wacana teknis seperti dalam laporan resmi,karang ilmiah, buku
pelajaran, dan sebagainya. Pembicaraan didepan umum, seperti dalam
ceramah, kuliah, pidato dan sebagainya. Pembicaraan dengan orang yang
dihormati dan sebagainya.
B. Saran
Penulis menyarankan agar kiranya kita sebagai warga negara indonesia dapat
menggunkan bahasa indonesia sebagai bahasa pemersatu, bahasa baku
digunakan agar tercapai pemakaian bahasa yang cermat, tepat, efesien, dalam
berkomunikasi. Penulis menydarai bahwa tidak ada yang sempurna
dibandingkan Tuhan Yang Maha Esa, maka dari itu apabila terdapat sesuatu
hal daam makalah yang saya buat ini penulis minta maaf sedalam-dalamnya.
27
DAFTAR PUSTAKA
28