Anda di halaman 1dari 6

PROBLEMATIKA PERKEMBANGAN

PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA

Pendidikan dengan standar global mengalami masa perkembangan


signifikan dengan diserbunya tempat-tempat pendidikan di kota-kota besar1.
Calon mahasiswi beruapaya masuk ke perguruan tinggi favorit, negeri maupun
swasta. Karena di masyarakat sekarang bisa dikatakan bahwa yang terpenting
adalah diploma/sarjana atau gelar. Didalam dunia kerja sering kali gelar dijadikan
standar untuk mengukur kemampuan seseorang, didalam dunia kerja tidak hanya
memperhitungkan hal tersebut, tetapi juga memperhitungkan universitas, jurusan
dan fakultas apa ia belajar dan apakah penuh waktu atau parus waktu. Namun hal
ini tidak dapat menjamin kualitas dari seseorang yang sudah mendapat gelar tinggi
jika tidak diimbangi dengan kiprahnya di masyarakat. inilah promlematika
perguraun tinggi dalam mewujudkan sarjana yang berkualitas.

Mari kita bahas satu per satu apa saja yang menjadi problem
pengembangan Perguruan Tinggi di Indonesia. apakah ada kemungkinan bisa di

1
Persada Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001),
hal. 67
perbaiki? Dan siapa yang berperan untuk mengembangkan kembali perguruan
tinggi di Indonesia?

Pertama, banyak pelayanan jasa pendidikan tinggi baru dinikmati oleh


mayoritas kalangan keluarga kelas menengah ae atas atau hanya segelintir
kalangan kelas menengah ke bawah yang dapat menikmati jasa pendidikan tinggi.
seharusnya pejabat perguruan tinggi harus bisa memfasilitasi mahasiswa yang
kurang mampu tapi berprestasi untuk memperoleh subsidi atau beasiswa yang
dapat menunjang studi mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah tersebut.

Kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil
(antara 2 sampai 4 sks permata kuliah). Kemudian, penelitian yang memakan
waktu satu sampai dua semester ironisnya hanya dinilai dengan bobot SKS yang
sangat kecil (sekitar 4 sampai 6 sks) jika dibandingkan bobot SKS penelitian
mahasiswa di luar negeri. Sehingga seharusnya mahasiswa belajar sedikit mata
kuliah tapi mendalam (in-depth) seperti yang terjadi di negara-negara maju.

Kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya


menawarkan program full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat
SKS. Pendidikan tinggi seperti ini sangat membebani mahasiswa terutama yang
sudah bekerja karena mereka terbebani oleh bobot SKS yang padat (overloading)
ditambah dengan tugas-tugas pokok mereka di instansi pemerintah atau swasta.
Seharusnya ada alternatif untuk menawarkan program part-time students yang
dapat meringankan beban mahasiswa yang sudah bekerja walaupun program
pendidikannya relatif lebih lama tapi pasti.

Stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi


akademik yang gemilang, misalnya untuk melanjutkan pendidikan S3 seorang
mahasiswa harus menyelesaikan pendidikan S2 dulu walaupun mahasiswa yang
bersangkutan mendapat nilai Cum-laude. Dengan kata lain pendidikan tinggi kita
belum menawarkan program honours seperti kebanyakan perguruan tinggi di luar
negeri, yaitu bagi mahasiswa S1 yang mendapat nilai Cum-laude bisa langsung
mengambil program S3 (leading to PhD) tanpa melalui pendidikan Magister (S2).
Program combined course work atau kuliah dan setelah itu diikuti dengan
tugas akhir kegiatan penelitian, misalnya seperti versi di Indonesia. Program ini
sebaiknya direvisi menjadi program yang lebih fleksibel yaitu mahasiswa
ditawarkan salah satu dari beberapa alternatif program pendidikan tinggi, pertama
" program yang bobot sks mata kuliah lebih banyak misalnya 80% dan bobot
penelitian lebih kecil atau sekitar 20% atau sebaliknya mata kuliah 20% dan bobot
penelitian 80% dan atau fifty-fity yaitu 50% bobot mata kuliah dan 50%
penelitian.

Dalam melakukan evaluasi program pendidikan seharusnya bersifat fair dan


tidak diskriminatif. Selama ini evaluasi dan assessment pendidikan baru
diterapkan secara sepihak. Dengan kata lain, setiap semester hanya mahasiswa
yang dievaluasi hasil belajarnya misalnya, melalui tengah semester dan akhir
semester. Seharusnya perguruan tinggi juga melakukan evaluasi kinerja staf dosen
(academic performance) misalnya melalui penyebaran angket kepada mahasiswa
setiap akhir semester. Angket tersebut harus diisi oleh mahasiswa dengan tujuan
untuk memberikan umpan balik atau penilaian mengenai kemampuan mengajar
dosen yang bersangkutan.

Perguruan tinggi harus merancang program orientasi mahasiswa baru yang


menekankan pada program orientasi yang bersifat informatif dan edukatif. Sudah
saatnya perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru,
yaitu;

 Materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat informatif yakni


pemberian informasi yang cukup komprehensif dan lugas mengenai
fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemanfaatannya serta
beberapa informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan tinggi.
 Program orientasi haruslah bersifat mendidik (edukatif), misalnya
memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai
mekanisme pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh beberbeda dengan
model pebelajaran di sekolah menengah.
 Pembangunan karakter dan penguatan nilai nilai kebangsaan dan
nasionalisme dengan pendidikan karakter dan materi bela negara2.

Pendidikan tinggi Indonesia masih menghadapi berbagai masalah internal


yang cukup mendasar dan kompleks. Salah satu masalah yang mendasar adalah
“MUTU”3. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, mutu pendidikan tinggi
Indonesia masih ketinggallan jauh. Upaya untuk membangun sumber daya
manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan
berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relatif ringan.

a. Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam


(IPA), matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal
penguasaan materi tersebut merupakan kunci dalam menguasai dan
mengembangkan iptek. Rendahnya efisiensi internal karena lamanya masa
studi melampaui waktu standart yang sudah ditentukan.

b. Rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan tinggi yang disebut


dengan relevansi pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran
tenaga terdidik yang cenderung terus meningkat. Secara empiris
kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik disebabkan
oleh perkembangan dunia usaha yang masih di dominasi oleh pengusaha
besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat
modal dan padat teknologi). Dengan demikian pertambahan kebutuhan
akan tenaga kerja jauh lebIh kecil dibandingkan pertambahan jumlah
lulusan lembaga pendidikan

c. Rendahnya mutu kinerja sistem pendidikan tidak hanya disebabkan oleh


adanya kelemahan menejemen pendidikan tingkat mikro, tetapi karena
juga menejemen pendidikan pada tingkat makro seperti rendahnya
efisiensi dan efektivitas pengolahan sistem pendidikan.

2
Yusrin Ahmad Tosepu, “Arah Perkembangan Pendidikan Tinggi di Indonesia”, (Makassar,
2017), hal. 91
3
Dan yang Harus Berperan dalam Mengembangkan Kualitas Universitas di
Indonesia adalah Dosen sebagai Pengajar, Mahasiswa sebagai Pelajar.

Cita-cita pendidikan tinggi Indonesia sudah dicanangkan pendiri bangsa


ini4. Ia termaktub dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
khususnya Pasal 31 Ayat 1 tentang Pendidikan Nasional5. Mulai saat ini jika kita
menginginkan kemajuan dalam mutu pendidikan kita, amak kita harus sadar dan
melek dengan perkembangan zaman. Dosen dan mahasiswi harus saling
bersinergi atau bersama-sama dan saling menguatkan untuk mengembangkan
kualitas pendidikan perguruan tinggi di Indonesia.

Dosen bukan lagi yang hanya masuk kelas dan memberikan tugas namun
tidak menjelaskan materi. Dosen harus menyiapkan materi-materi pendukung
untuk kelancaran proyek peserta didik, demikian pula peserta didik harus mampu
membuat dan mengerjakan hasil tugasnya untuk ditampilkan atau dipresentasikan
di depan temannya. Pada saat presentasi hasil proyeknya peserta didik mendapat
kesempatan untuk melakukan assessmen terhadap temannya – peer assessmen,
memberikan feedback pada hasil kerjanya.

Dengan sosok kekiniannya, seorang dosen harus manjadi manusia yang


dinamis dan berfikir ke depan(futuristic) dengan tanda-tanda dimilikinya sifat
informatif, modern, bersemangat, dan komitmen untuk pengembangan individu
maupun bersama-sama. Dan yang tak kalah penting, dosen diharuskan mampu
menguasai IT, atau setidak-tidaknya mampu mengoperasionalkan. Dosen
diharapkan benarbenar mampu mengajak mahasiswanya siap dalam menghadapi
tantangan zaman.

Begitu pula dengan mahasiswanya, jangan hanya karena dosen yang tidak
hadir mahasiswa juga tidak hadir. Mahasiswa adalah bukti di mana wujud kampus
itu hidup. Mahasiswa tidak perlu lagi menjadi pengingat fakta dan prinsip tapi
akan berperan sebagai periset, problem-solver, dan pembuat strategi. Mahasiswi
juga harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan misinya sebagai pelajar yang

4
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 134
5
Tito Edy Priandono, Hadaiq Rolis Sanabila, Muhammad Heychael, Rahmad Mahendra,
“Pupawarna Pendidik Tinggi Indonesia”, (Jakarta: RISTEKDIKTI: 2016), hal. 8
kelak akan menggantikan posisi dosennya sebagai pengajar. Karena pada
hakikiatnya pelajar belajar untuk menjadi seorang pengajar.

(Artikel di tulis oleh: Helma Autharina S.N, PBA/3A)

Anda mungkin juga menyukai