Anda di halaman 1dari 6

Pendidikan di Era Kolonial: Penyebaran Sekularisasi Pendidikan

di Indonesia

Pendidikan sekuler di Indonesia pertama kali sebetulnya dikenalkan oleh


penjajah Belanda yang dilakukan oleh komunitas Mason Bebas (freemasonry).
Gerakan tarekat Mason Bebas adalah sebutan lain di kalangan Jawa dari gerakan
kebatinan Freemasonry. Keberadaanya bersamaan dengan kedatangan penjajah
Belanda . salah satu yang diproyeksikan sejak kedatangannya, mereka merintis
sekolah-sekolah .Belanda datang ke kepulauan Indonesia tidak saja menjajah
secara fisik, namun imperialisme juga dilakukan dalam bentuk fikiran.
Imperialisme ini dilakukan dengan cara membuka sekolah-sekolah sekuler. Dan
juga penyelenggaraan pendidikan berlandaskan liberalisme kapitalistik, yaitu
perluasan pendidikan bumi putra yang diselaraskan dengan kepentingan
penanaman modal terutama para kapitalis Belanda. Tujuan pendidikan adalah
lebih menojolkan kepentingan ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan tenaga kerja
atau buruh bagi pemilik modal Belanda1.

Menginjak paruh abad ke-19, telah dimulai penjajahan di bidang


pendidikan Indonesia secara sistemik oleh Belanda. Penjajah Belanda sendiri
1
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 262
datang ke Nusantara membawa beberapa kelompok, seperti kelompok Mason
Bebas, misionaris dan orientalis. Tarekat Mason Bebas atau Teosofi
(perkumpulan penganut kebatinan Yahudi) memprakarsai pendirian lembaga
pendidikan, untuk ‘pembinaan’ pribumi di Indonesia. Pendirian ini dikendalikan
oleh loge-loge (tempat peribadatan kaum Teosofi). Selain untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan orang-orang Indo-Eropa di Jawa, pendirian sekolah-sekolah
bentukan Mason Bebas tersebut juga untuk menyaingi pesantren. Sekolah tersebut
difungsikan mengendalikan pribumi agar tidak memasuki lembaga pesantren yang
telah menjadi basis perjuangan yang melawan penjajah. Keberadaan pesantren
diawasi oleh Belanda. Dan perannya dimasyarakat berusaha diminimalisir. Jadi,
pendirian sekolah-sekolah Belanda bertujuan untuk memisahkan kaum pribumi
dengan dunia pesantren.

Sejak 1864, orang-orang jawa sudah ada yang mulai bersekolah di


lembaga milik Belanda, Europeesche Logere School (ELS). Selain itu kaum
Tarekat Mason Bebas juga telah mendirikan sekolah STOVIA dan OSVIA atau
Sekolah Pamong Praja, Recht School (Sekolah Humum). Hampir semua sekolah
milik kolonial Belanda tidak lepas dari pengaruh gerakan Mason Bebas. Mereka
ingin menarik kaum elit pribumi untuk bisa dikendalikan penjajah. Petinggi
Belanda juga menyediakan beasiswa bernama Dienaren van Indie.

Lembaga Dienaren van Indie diketuai oleh Ir. Leeuwen yang juga ketua
perkumpulan Teosofi pada masa itu. Beberapa nama pemuda ningrat yang
berpengaruh mendapat beasiswa tersebut adalah Thabrani, Soepomo, dan Siti
Soemandari. Belanda memiliki misi khusus mendidik kaum pribumi ini. Alimni-
alumni Belanda kebanyakan lebih mudah diajak berkompromi dengan penjajah,
dan pemikirannya tidak seperti kaum santri yang kuat memegang ajaran Islam.
Menurut pengakuan Thabrani beberapa tokoh pergerakan yang pernah menerima
beasiswa tersebut antara lain: Prof. Soepomo, Prof. M. Yamin, Prof. Soekanto,
Tirtawinata, dr. M. Amir dan lain-lain.

Inilah bagian strategi Belanda menjalankan ‘Politik Balas Budi’. Belanda


berlagak membantu pendidikan pribumi, namun misi sesungguhnya dalah
memperkuat kekuasaan penjajah. Sesungguhnya balas busi Belanda ini justru
merugikan identitas keislaman Nusantara kelak. Dengan politik ini Belanda
menampilkan tokoh-tokoh yang nasionalis sekuler. Sedangkan tokoh santri
berusaha dimarginalkan. Pribumi didikan Belanda cederung sekulerdan tidak
terlalu memperdulikan agama. Berkat siasat Belanda, para alumni sekolah
Belanda mendapat posisi penting di organisasi kepemudaandan kemerdekaan. Siti
Soemandri misalnya, ketika menjabat redaktur majalah Bangoen no. 9 tahun 1937
ia menurunkan tulisan yang berisi menghina istri-istri Rasulullah SAW. Thabrani
pernah diberiakn kedudukan sebagai Pejabat Tinggi Badan Penerangan di awal
kemerdekaan. Setelah itu itu memimpin perusahaan Coca-Cola hingga wafat.
Keosoema Joedha, putra dari Paku Alam V menjadi pribumi pertama yang kuliah
di Universitas Leiden Belanda. Joedha dikenal sebagai intelektual yang
mempropogandakan pentingnya mempelajari kebudayaan Barat. Ia pernah
menjadi redaktur surat kabar Bintang Hindia. Ia juga perna menjadi anggota
Dewan Rakyat (volksrad) Ponorogo pada 1916.

Pada zaman itu, kolonial Belanda sudah membagi masyarakat Indonesia


menjadi dua, yakni kaum santxntren sedangkan kaum abangan belajar di ‘sekolah
umum’. kaum santri tidak etis belajar di sekolah umum dan kaum abangan sama
sekali tidak mendapatkan pelajaran agama. Efek dikotomisasi ini menguat hingga
saat ini. Kaum abangan dianggap maju, sedangkan kaum santri dianggap kaum
terbelakang.

Sekolah-sekolah yang didirikan oleh kaum Tarekat Mason Bebas


mengajarkan pandangan hidup Barat seperti: humanisme, sekularisme dan
pluralisme. Sejak munculnya sekolah-sekolah milik Mason Bebas, kota-kota Jawa
menjadi pusat penyebaran kebudayaan dan faham Eropa. Orang-orang Eropa
membawa suatu dunia Barat didaerah perkotaan Jawa .

Selain interaksi keilmuan di sekolah-sekolah. Penyebaran pandangan


hidup Barat juga terjadi di Loge-Loge. Di Loge Mataram misalnya, van Niels
mencatat tempat peribadatan kaum Teosofi ini menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang terpelajar anggota Tarekat Mason Bebas dengan elit-elit Jawa.

Teosofi adalah sayap dari pergerakan Mason Bebas. Aliran kebatinan


Yahudi yang mengajarkan mistisisme dan okultisme. Aliran ini bahkan
menyembah setan. Tokoh-tokoh Mason Bebas Belanda melihat ada kesamaan
tradisi Teosofi dengan ajaran Jawa Kuno. Dari sinilah interaksi sangat erat dan
Belanda berusaha menguatkan daya tarik terhadap orang-orang Jawa Kuno.
Ajaran-ajaran kejawen akhirnya banyak terinfiltrasi oleh kebudayaan Teosofi.

Ajaran Teosi menjadi doktrin kuat dalam sekolah-sekolah Belanda.


Biasanya ajaran yang mereka usung adalah mementingkan toleransi denga segala
perbedaan, dan doktrin adanya kesatuan kemanusiaan. doktrin ajarannya mirip
multikulturalisme saat ini.ajaran ini sempat menjadi perdebatan pejabat kolonial,
karena akan memberi tempat bagi pribumi. Namun seorang Mason bernama Van
der Linden mendesak agar elit-elit jawa diterima. Ternyata gagasan Linden ini
bagian dari ‘politik etis’ yang dikeluarkan Ratu Belanda Wilhelmina pada 1901.
Politik ini menginstruksikan dihapusnya perbedaan-perbedaan dengan
mengasimilasipribumi kedalam peradaban Barat.

Trnyata ‘politik etis’ Belanda tersebut bagian dari strategi pembaratan


terhadap tokoh-tokoh pribumi. Antara penjajah dan kaum Tarekat Mason Bebas
sama-sama memiliki kepentingan dalam kebijakan polotik etis ini. Bagi kolonial,
masyarakat Indonesia akan lebih mudah ditundukan untuk diajak kompromi.
Orang sekuler lebih mudah ditundukan dari pada kaum santri. Kaum Mason jelas
dengan leluasa menyebarkan paham kebatina Yahudinya.

Paham humanisme menjadi doktrin paling kental dalam pengajaran


gerakan Mason Bebas. Th. Stevens menulis bahwa dalam tarekan Mason Bebas,
nilai tinggi keberadaan manusia berada didepan. Manusia sebagai individu dalam
pemikiran masonik di tempat-tempat secara sentral. Manusia bisa menjadi
‘manusia yang baik’ tanpa harus beriman kepada Tuhan. Doktrin Humanisme ini
yang menjadi asas pergerakan Mason Bebas2.

2
Kholili Hasib, Membangun Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Adab, (Ponorogo: UNIDA
Gontor Press, 2016
Sistem pendidikan yang diterapkan disebut sistem pendidikan netral.
Dalam pendidikan netral tidak diajarkan agama. Bahkan sistem itu merusak
aqidah. Mereka juga mengajarkan netral agama. Salah satu pokok ajaran Teosofi
mengajarkan semua sagama yang digelari di dunia ini sama saja. Yakni sama-
sama berisi Teosofi. Pendidikan netral ini juga di usung oleh Ki Hajar Dewantoro.
Ki Hajar Dewantoro sendiri adalah keturunan Paku Alam yang tercatat menjadi
anggota perkumpulan tarekat Mason Bebas di Yogyakarta. Lembaga
pendidikannya Taman Siswa tidak mencantumkan asas ketuhanan dalam sistem
pendidikannya. Akan tetapi asas yang diterapkan merupakan pengaruh Teosofi.
Tiga asanya adalah; mengabdi kepada keprimanusiaan, kepribadian sesuai kodrat
alam, dan kemerdekaan. Tampak sekali paham humanisme menjadi asas
pendidikannya3.

Maka sejak abad ke 19 terjadi ‘prtarungan budaya’ antara Islam dan


kebatinan bentukan Mason Bebas. Sebenarnya budaya kebatinan telah terkikis
oleh Islamisasi. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menulis bahwa kedatangan
Islam mengubah kehidupan dan dunia manusia Nusantara secara radikal.
Terutama kaum sufi dan ahli kalam telah berperan besar dalam mengIslamkan
jiwa Nusantara. Hanya saja pengaruh filosofis agama Hindu, menurut Al-Attas
terlalu dibesar-besarkan oleh Belanda. Padahal kebudayaan Hindu hanya
meninggalkan estetika bukan filosofi, sedangkan Islam mengesankan secara kuat
estetika dan filosofis.

Belanda menghidupkan kebatinan Jawa melalui infiltrasi mistisisme


Mason Bebas kepada elit-elit Jawa. Kepada elit-elit priyai Belanda mengaburkan
sejarah Nusantara dengan mendoktrinkan bahwa identitas Nusantara bukan
budaya Islam-Melayu tapi kebatinan Jawa. Terhadap elit-elit jawa yang tersangkut
gerakan Mason Bebas ini di populerkan bahwa kebatinan adalah identitas asli
sehingga perlu disebarkan, sedangkan pandangan hidup Islam adalah infiltrasi dari
luar Nusantara. Tujuan keduanya sama, melenyapkan ajaran asli Islam dari
Nusantara.

3
Dewantara, Ki Hajar,  Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta:
Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), hal. 13
Jadi misi dalam pendidikan ini sebenarnya memiliki tujuan jangka
panjang. Belanda ingin menjajah pikiran dan pendidikan. Pengaruhnya msih
dirasakan hingga zaman kemerdekaan ini. Secara politis strateginya cukup
mengakar. Sebab Belanda mengkader tokoh-tokoh nasionalis untuk memainkan
peran penting dalam menjalankan Negara dan Pendidikan Nsional. Jadi proses
sekularisasi pendidikan di Indonesia sudah berakar lama sejak kolonial belanda.
Namun zaman itu belum memiliki daya kuat, sehingga pengaruhnya tidak terlalu
meluas.

Kini sekularisasi makin meluas setelah pengiriman dosen-dosen agama


Islam yang belajar ke kampus-kampus Barat pada tahun 70-an. Ketika kembali
ketanah air, mereka membawa cara pandang baru dalam pendidikan. Misalnya
menerapkan hermeneutika dalam tafsir, stusi Islam berbasis gender dan lain-lain4.

(Artikel di tulis oleh: Helma Autharina S.N, PBA/3A)

4
Sangkot Nasution, “Strategi Pendidikan Benlanda pada Masa Kolonial di Indonesia”, (Jurnal
Ihyaul ‘Arabiyyah: Vol. 2 Desember 2016)

Anda mungkin juga menyukai