Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PENDAHULUAN KRANIOTOMI

A. Konsep Kraniotomi
1. Definisi Kraniotomi
Menurut Chesnut RM (2016), Craniotomy adalah prosedur untuk menghapus
luka di otak melalui lubang di tengkorak (kranium). Berdasarkan pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Craniotomy adalah operasi membuka
tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang
diakibatkan oleh adanya luka yang ada di otak. Menurut Hamilton M (2017),
Craniotomy adalah operasi pengangkatan sebagian tengkorak.
Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang
tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah
atau menghentikan perdarahan.
2. Klasifikasi Kraniotomi
a. Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang
dan lapisan duramater.
b. Subdural hematoma (SDH)  adalah suatu perdarahan yang terdapat pada rongga
diantara lapisan duramater dengan araknoidea
3. Indikasi Kraniotomi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
b. Mengurangi tekanan intrakranial.
c. Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah,
e. Pembenahan organ-organ intrakranial,
f. Tumor otak,
g. Perdarahan (hemorrage),
h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
i. Peradangan dalam otak
j. Trauma pada tengkorak.
4. Etiologi Kraniotomi
a. Oleh benda tajam
b. Pukulan benda tumpul
c. Pukulan benda tajam
d. Kecelakaan lalu lintas
e. Terjatuh
f. Kecelakaan kerja
5. Manifestasi Klinis Kraniotomi
Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF).

a. Sakit kepala
b. Nausea atau muntah proyektil
c. Pusing
d. Perubahan mental
e. Kejang
Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) :
a. Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan,
tanda-tanda  papil edema.
b. Perubahan bicara, msalnya: aphasia
c. Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik.
d. Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
e. Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan
konstipasi.
f. Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness.
g. Perubahan dalam seksual

6. Patofisiologi Kraniotomi
Setelah dilakukannya op kraniotomi terjadi insisi pada bagian kepala frontalis
sehingga timbul luka pada daerah kepala yang dilakukan operasi. Akibat adanya luka
insisi pada kepala timbul gejala seperti gatal, panas, nyeri, kulit mengelupas atau
kemerahan, bahkan terjadi perdarahan. Dari gejala-gejala tersebut sehingga timbul
masalah resiko terjadinya infeksi, nyeri akut, kerusakan intregitas kulit, terjadi
gangguan perfusi jaringan, bahkan bisa kehilangan atau kekurangan volume cairan.
Akibat adanya luka insisi pada bagian kepala timbul gejala dan masalah seperti
yang disebutkan diatas. Karena adanya luka insisi supaya keadaan lebih membaik,
biasanya diberikan obat anestesi sesuai indikasi yang diberikan oleh dokter. Namun
pemberian obat anestesi juga menimbulkan efek samping pada tubuh maupun pada
luka yang dialami.
Efek pada obat anestesi bisa menimbulkan masalah yang bermacam-macam.
Sebagai contoh pola nafas yang tidak efektif terjadi akibat diberikannya obat anestesi
sehingga bisa timbul penekanan pada pusat pernapasan. Karena terjadi penekanan
sehingga kerja organ pernapasan tidak bisa bekerja secara efektif sehingga ekspansi
paru mengalami penurunan dan suplai O2 untuk tubuh menjadi berkurang. Selain
ekspansi paru akibat fungsi organ pernapasan tidak bisa bekerja secara efektif, bisa
timbul penumpukan secret pada organ pernapasan sehingga timbul masalah
ketidakbersihan jalan napas.
Selain organ pernapasan yang terganggu, efek obat anestesi juga bisa mengganggu
sistem perkemihan. Efek dari obat-obatan biasanya bisa menimbulkan masalah pada
ginjal kita. Karena terjadi gangguan pada ginjal, reflek berkemih bisa mengalami
penuran sehingga seseorang tidak bisa menahan reflek berkemihnya. Kemudian
timbul masalah perubahan pola eliminasi urin. Tidak hanya sistem perkemihan,
sistem pencernaan juga bisa terganggu akibat diberikannya obat anestesi. Efek dari
obat sendiri biasanya menyebabkan nafsu makan pada seseorang menjadi menurun.
Sehingga menstimulasi medulla kemudian bisa terjadi reflek muntah atau mual.
Karena makanan yang sudah dicerna dikeluarkan kembali sehingga tubuh bisa
menjadi kekurangan nutrisi.
7. Komplikasi Pascabedah Kraniotomi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah intrakranial atau
kraniotomi adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan tekanan intrakranial
b.  Perdarahan dan syok hipovolemik
c. Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit
d. Infeksi
e. Kejang
8. Pemeriksaan Diagnostik Kraniotomi
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi : (Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong.
2012)
a. Tomografi komputer (pemindaian CT)
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya,
ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik.
Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark
mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
b. Pencitraan resonans magnetik (MRI)
Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di
potongan lain.
c. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
d. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang
otak
e. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid
f. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK
9. Penatalaksanaan Medis
a. Praoperasi
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan
medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pascaoperasi.
Sebelum pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk
mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik
(manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara intravena segera
sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien cenderung menahan air,
yang terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial. Kateter
urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk
mengalirkan kandung kemih selama pemberian diuretik dan untuk
memungkinkan haluaran urinarius dipantau.
Pasien dapat diberikan antibiotik bila serebral sempat terkontaminasi atau
deazepam pada praoperasi untuk menghilangkan ansietas. Kulit kepala di cukur
segera sebelum pembedahan (biasanya di ruang operasi) sehingga adanya abrasi
superfisial tidak semua mengalami infeksi.
b. Pascaoperasi
Jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP) dapat dipasang untuk
memantau tekanan darah dan mengukur CVP. Pasien mungkin atau tidak
diintubasi dan mendapat terapi oksigen tambahan.
Mengurangi Edema Serebral : Terapi medikasi untuk mengurangi edema
serebral meliputi pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan
menarik air bebas dari area otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini
kemudian dieksresikan malalui diuresis osmotik. Deksametason dapat diberikan
melalui intravena setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam ;  selanjutnya dosisnya
dikurangi secara bertahap.
Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang :Asetaminofen biasanya diberikan
selama suhu di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien akan mengalami
sakit kepala setelah kraniotomi, biasanya sebagai akibat syaraf kulit kepala
diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein, diberikan lewat parenteral,
biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala. Medikasi
antikonvulsan (fenitoin, deazepam) diresepkan untuk pasien yang telah menjalani
kraniotomi supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah
neuro supratentorial. Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi
dalam rentang terapeutik.
Memantau Tekanan Intrakranial : Kateter ventrikel, atau beberapa tipe
drainase, sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor
fossa posterior. Kateter disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan
kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat di kaji dengan
menyusun sistem dengan sambungan stopkok ke selang bertekanan dan tranduser.
TIK dalam dipantau dengan memutar stopkok. Perawatan diperlukan untuk
menjamin bahwa sistem tersebut kencang pada semua sambungan dan bahwa
stopkok ada pada posisi yang tepat untuk menghindari drainase cairan
serebrospinal, yang dapat mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu
banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan ventrikel normal dan stabil.
Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter tanpak tersumbat.
Pirau ventrikel kadang dilakukan sebelum prosedur bedah tertentu untuk
mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien tumor fossa posterior.

Anda mungkin juga menyukai