Anda di halaman 1dari 36

Bab 4

Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu

4.1 Manusia dan Peradaban


4.1.1. Hakikat peradaban
Peradaban berkaitan erat dengan kebudayaan. Kebudayaan pada dasarnya
adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam usaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, kemampuan cipta (akal) manusia dapat menghasilkan
ilmu pengetahuan dan kemampuan rasa manusia melalui alat- alat indranya
menghasilkan beragam kerajinan seni dan bentuk-bentuk seni lainnya.
Sedangkan karsa manusia menginginkan kesempurnaan hidup, kemuliaan, dan
kebahagiaan untuk melakukan berbagai aktivitas hidup manusia dalam
memenuhi kebutuhannya. (Mulyono, 2018)
Koentjaraningrat (1990) menjelaskan istilah kebudayaan dan peradaban yang
menyatakan hal ini sama dengan istilah dalam bahasa Inggris yaitu civilization
yang sering digunakan untuk menyebutkan bagian atau unsur dari kebudayaan
haruslah maju dan indah.
Kebudayaan berasal dari kata culture, sedangkan istilah peradaban biasanya
dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian seseorang terhadap
perkembangan kebudayaan.
Peradaban bersumber dari kata adab, yang dapat berarti sopan, berbudi pekerti,
luhur, mulia, berakhalak, yang semuanya menunjuk pada sifat yang tinggi dan
mulia. Huntington (2001) mendefinisikan perdaban (civilization) sebagai the
highest social grouping of people and the broadest level of cultural identity
people have short of that which distinguish humans from other species.
Peradaban merupakan tahap tertentu dari kebudayaan kelompok masyarakat
tertentu pula, yang telah mecapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju. Kemajuan teknologi
dan ilmu pengetahuan sangat berpengaruh pada peradaban sebuah bangsa
sehingga dapat menjadikan anggapan bahwa bangsa tersebut sudah lebih muju
dari bangsa-bangsa yang lain pada zamannya.
Salah satu ciri yang penting dalam devenisi peradaban adalab berbudaya.
Yang dalam Bahasa ingris disebut Cultured. Orang yang cultured adalah yang
juga lettered dalam hal ini tidak sekedar hanya bisa membaca dan menulis hal
yang sederhana.(Mulyono, 2018)

4.1.2. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab


Peradaban tidak hanya menunjuk pada hasil-hasil kebudayaan manusia yang
sifatnya fisik, seperti barang, bangunan, dan benda-benda. Kebudayaan
merupakan keseluruhan dari budi daya manusia, baik cipta, karsa, dan rasa.
Adab berarti sopan. Manusia sebagai makhluk beradab artinya manusia itu
memiliki potensi pribadi untuk berlaku sopan, berahlak dan berbudi pekerti
yang luhur menuju pada prilaku yang baik. Manusia beradab dapat diartikan
manusia yang bisa menyelaraskan antara, cipata, rasa, dan karsa.
Kaelan (2002) menyatakan manusia yang beradab adalah manusi yang mampu
melaksanakan hakikatnya sebagai manusia (monopluraris secara optimal).
Manusia adalah makhluk yang beradab sebab dianugrahi karkat, martabat,
serta potensi kemanusiaan yang tinggi.
Konsep masyarakat adab berasal dari konsep civil society, dari asal kata
cociety civilis. Istilah masyarakat adab dikenal dengan kata lain masyarakat
sipil, masyarakat warga, atau masyarakat madani. Pada mulanya, civil society
berasal dari dunia barat. Dato’ Anwar Ibrahim (mantan wakil perdana mentri
malaysia) adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah masyarakat
madani sebagaia istilah lain dari civil society. Nurcholish madjid
mengindonesiakan civil society dengan masyarakat madani. Oleh beberapa
tokoh menterjemahkan istilah civil society dengan berbagai pendapat antara
lain :
1. Civil society diterjemah dengan istilah masyrakat sipil, civil artinya
sipil sedangkan society artinya masyarakat.

2. Civil society diterjemahkan dengan masyarkat beradap atau


keberadaban, ini merupakan terjemahan dari civilizet (beradab) dan
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 3

society (masyarakat) sebagai lawan dari masyarakat yang tidak


beradab(uncivilzet society).

3. Civil society diterjemahkan sebagai masyarakat madani. Kata


madani merujuk pada kata madinah, kota tempat kelahiran nabi
muhamad saw. Madinah berasal dari kata madaniyah yang berati
peradaban.

4. Berkaitan dengan nomor 3, Civil society diartikatikan masyarakat


kota. Dal ini dikarnakan madinah adalah sebuah negara kota (city-
state) yang mengigakan kita kepada polis dizaman yunani kuno .
masyarakat kota sebagai model masyarakat beradab.

5. Civil society diterjemahkan sebagai masyarakat warga atau


kewarganegaraan. Masyarakat disini adalah pengelompokan
masyarakat yang bersifat otonom dari negara

Nurcholis majid menyebut masyarakat madani sebagai masyarakat yang


berkeberadaban dengan ciri – ciri seperti egalitarianisme, menghargai prestasi,
keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan. Toleransi dan pluralisme, serta
keterbukaan dan penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme,
serta musyawarah. Muhamad A.S. Hikam (1990) didalam bukunya demokrasi
dan civil society memberikan defenisi civil society sebagai wilayah kehidupan
sosial yang terorganisasi dan bercirikan antaralain bersukarelaan (Voluntari),
keswasembedaan (self generating), keswadayaan (self sporting), kemandirian
yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma atau
nilai hukum yang diikuti oleh warganya.

4.1.3. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan sosial


budaya
Kebudayaan itu telah mengalami proses perkembangan secara bertahap dan
berkeseimbangan yang kita konsepkan sebagai evolusi kebudayaan. Evolusi
kebudayan ini berlangsung sesuai dengan perkembangan budidaya atau akal
pikiran dalam menghadapi tantangan hidup dari waktu atau kewaktu.
4 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Masa dalam kehidupan manusia dapat kita bagi dua, yaitu masa prasejarah
(masa sebelum manusia mengenal tulisan sampai manusia mengenal tulisan)
dan masa sejarak (masa manusia telah mengenal tulisan) Ada dua produk
revolusioner hasil dari akal manusia dalam zaman prasejarah, yaitu
1. Penemuan roda untuk transportasi, pada mulanya, roda hanya
digunakan untuk mengangkat barang berat diatas batang pohom.
2. Bahasa, bahasa adalah suara yang diterima sebagai cara untuk
menyampaikan pikiran seseorang kepada orang lain.

Untuk masa prasejarah, ada dua pendekatan untuk membagi zaman prasejah,
yaitu
1. Pendekatan berdasarkan hasil teknologi, terdiri dari zaman batu tua
(palaeolitikum), zaman batu tengah/ madya (mesolitikum), dan
zaman batu baru.
2. Pendekatan berdasarkan model sosial ekonomi atau mata
pencaharian hidup yang terdiri atas :
a. Masa berburu dan mengumpulkan makanan,meliputi masa
berburu sederhana (tradisi Paleolit) dan masa berburu tingkat
lanjut ( tradisi Epipaleolitik).
b. Masa bercocok tanam, meliputi tradisi Neolitik dan megalitik.
c. Masa kemahiran teknik atau perundingan, meliputi tradisi
senituang perunggu dan tradisi senituang besi.

Beberapa pendapat juga membagi periode praperadaban manusia kedalam


empat bagian, yaitu prapalaeolitik, palaeolitik, neolitik dan era perunggu.
Manusia tidak lagi sekedar homo yang hanya menginginkan makanan, tetapi
juga berkembang dari homo menjadi human karena kebudayaan dan
peradaban yang telah diciptakannya.
Sejarah kebudayaan di indonesia, R.Soekmono (1973), membagi menjadi
empat masa yaitu :
1. Zaman prasejarah, yaitu sejak permulaan adanya manusia dan
kebudayaan sampai kira-kira abad ke-5 Masehi.
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 5

2. Zaman purba, yaitu sejak datangnya pengaruh India pada abad


pertama Masehi sampai dengan runtuhnya Majapahit sekitar tahun
1500 Masehi.
3. Zaman madya, yaitu sejak datangnya pengaruh islam menjelang
akhir kerajaan Majapahit sampai dengan akhir abad ke-19.
4. Zaman baru / Modern, yaitu sejak masuknya anasir Barat ( Eropa)
dan teknik Moder kira-kira tahun 1900 sampai sekarang.

Peradaban merupakan tahapan dari evolusi budaya yang telah berjalan


bertahap dan berkesinambungan, memperlihatkan kerakter yang khas pada
tahab tersebut, yang dicirikan oleh kualitas tertentu dari unsur budaya yang
menonjol, meliputi tinkat ilmu pengatahuan, seni, teknologi, dan spiritualitas
yang tinggi.
Lahirnya peradaban barat dieropa dimulai dengan adanya revolusi pemikiran.
Masyarakat adab ingin keluar dari abad gelap (dart ages) mulai renaissance.
Melalui revolusi pemikiran inilah lahir sains dan teknologi.

4.1.4. Dinamika peradaban gelobal


Menurut arnold y. toynbee seorang sejaraan asal inggris, lahirnya peradaban
itu diuraikan dengan teori challenge end respons. Peradaban itu lahir sebagai
respons (tanggapan) manusia yang dengan segenap daya upaya dan akalnya
menghadapi, menaglukan, dan mengola alam sebagai tantangan (chalenge)
guna mencakup kebutuhan dan melestarikan kelansungan hidupnya.
Alvin toffler menganalisis agar meningkatkan efesiensi dan pembaharuan dan
peradaban masyarakat akibat majunya ilmu dan teknologi. Dalam bukunya the
third wave (1981), ia menyatakan bahwa gelombang perubahan peradaban
umat manusia sampai saat ini mengalami tiga gelombang yaitu :
1. Gelombang I, peradaban teknologi pertanian berlangsung mulai 800
sm-1500 m
2. Gelombang II, peradaban teknologi industri berlangsung mulai 1500
m-1970 m
3. Gelombang III, peradaban teknologi informasi berlangsung mulai
1970 m-sekarang
6 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Gelombang pertama (the first wave) gelombang kedua adalah revolusi industri
terutama di dunia barat yang dimulai dengan revolusi industri yaitu kira-kira
tahun 1700 m-1970m. masa ini dimulai dengan penemuan mesin uap pada
tahun 1712, gelombang ketiga merupakan refolusi informasi yang ditandai
dengan kemajuan teknologi informasi yang memudahkan manusia untuk
berkomunikasi dalam berbagai bidang, gelombang ketiga terjadi dengan
kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi dan data prosesing,
penerbangan dan angksa laut, energi alternatif dan energi yang dapat
diperbaharui dan terjadinya urbanisasi, yang disebabkan oleh kemajuan
teknologi, komunikasi dan transportasi.

4.1.5. Pengaruh globalisasi


Globalisai sebagai fenomena abad sekarang memberi implikasi yang luas bagi
semua bangsa dan masyarakat internasional. Pangaruh globalisasi terhadap
ideologi dan politik adalah akan semakin menguatnya pengaruh ideologi
liberal dalam perpolitikan negara-negara berkembang yang ditandai dengan
menguatnya ide kebebasan dan demokrasi. Pengaruh globalisai terhadap sosial
budaya adalah masuknya nilai-nilai peradaban lain.

4.1.6. Efek globalisai bagi indonesia


Globalisasi telah melanda kehidupan berbangsa dan bernegara indonesia. Hal
ini memberi pengaruh besar dalam kehidupan bersama, baik pengaruh positif
maupun pengaruh negatif. Proses saling memegaruhi sesunguhnya adalah
gejala yang wajar dalam intraksi antar masyarakat. Pengaruh tersebut
selamanya mempunyai dua sisi , yaitu sisi negatif dan positif.
Adapun aspek positif globalisasi antara lain sebagai berikut.
1. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mempermudah
manusia dalam berinteraksi.
2. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mempercepat manusia
untuk berhubungan dengan manusia lain.
3. Kemajuan teknologi komunikasi, informasi, dan transportasi
meningkatkan efisiensi.

Adapun aspek negatif globalisasi antara lain sebagai berikut.


Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 7

1. Masuknya nilai budaya luar akan menghilangkan nilai-nilai tradisi


suatu bangsa dan identitas suatu bangsa.
2. Eksploitasi alam dan sumber daya lain akan memuncak karena
kebutuhan yang makin membesar.
3. Dalam bidang ekonomi, berkembang nilai-nilai konsumerisme dan
individual yang menggeser nilai-nilai masyrakat.
4. Terjadi dehumanisasi, yaitu derajat manusia nantinya tidak dihargai
karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.

4.1.7. Sikap terhadap Globalisasi


Dalam menghadapi globalisasi ini, bangsa-bangsa di dunia memberi respon
atau tanggapan yang dapat dikategorikan sebagai berikut
1. Sebagai bangsa menyambut positif globalisasi karena dianggap
sebagai jalan keluar baru untuk perbaikan nasib umat manusia.
2. Sebagai masyarakat yang kritis menolak globalisasi karena dianggap
sebagai bentuk baru penjajahan (kolonialisme) melalui cara-cara baru
yang bersifat transnasional dibidang politik, ekonomi, dan budaya.
3. Sebagian yang lain tetap menerima globalisasi sebagai sebuah
kepastian akibat perkembangan teknologi.

4.2. Esensi berpikir dan bertindak Logis, Sistematis dan


Radikal
Berpikir logis, sistimatis radikal dan universal adalah Rule of the game (aturan
mainnya) jika seseorang ingin berfilsafat bahkan jika ingin menekuni hingga
dalam tahapan filsuf. Untuk itu perlu diketahui dulu arti dari filsafat.
Achmadi (2003:1), menulis bahwa filsafat secara etimologi berasal dari kata
Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai
kebijaksanaan. Kata Filsafat juga berasal dari kata Yunani Philosophis yang
berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia yang berarti
cinta, dan Sophia yang berarti kearifan. Dalam Bahasa Inggris disebut dengan
philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Di Indonesia
sendiri menggunakan kata filsafat, kata sifatnya yaitu filsafati bukan filosofis.
Apabila mengacu pada orangnya, kata yang tepat digunakan yaitu filsuf dan
8 Filsafat Ilmu di Era Milenial

bukan filosof. Kecuali jika digunakan kata filosofi dan bukan filsafat maka
ajektivnya yang tepat adalah filosofis, sedangkan mengacu kepada orangnya
yaitu filosof (Rapar, 1996:14)
Suriasumantri dalam Ilmu dalam perspektif (2003:4) menyebutkan bahwa
filsafat adalah suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara
berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Pemikiran serupa
mengenai filsafat dikemukakan oleh Latif (2014:4) filsafat adalah hasil akar
seorang manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran dengan
sedalam-dalamnnya (radic). Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat keberaan segala sesuai.
Kemudian lebih rinci pengetian filsafat ditulisan oleh Muliono (2019:9) yang
menyatakan bahwa filsafat adalah refleksi rasional, kritis dan radikal mengenai
hal-hal mendasar dalam kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan refleksi
rasional disini ialah merupakan perenungan yakni perenungan ilmiah, yang
tidak bertolak dari wahyu, tradisi apalagi mitos melainkan semata-mata
bersandar pada rasio atau akal dan penalaran. Adapun refleksi kritis bermakna
filsafat merupakan seni bertanya mempertanyakan apapun tanpa tabu,
mempertanyakan apa yang ada (being) maupun yang mungkin ada, sehingga
filsafat kerap disebut berpikir spekulatif. Pertanyaan yang diajukan filsafat
memiliki ciri khas yang mendalam (radikal), dimana pertanyaan tersebut
diperdalam sampai ke akar-akarnya.
Berdasarkan ketiga definisi filsafat tersebut diatas sangat jelas menunjukan
bahwa filsafat sangat ditentukan oleh kemampuan manusia dalam
menggunakan rasio atau akalnya dalam berpikir mempertanyakan sesuatu
sampai pada akar (radic) atau pada hal yang sangat mendasar dan juga berpikir
untuk menjawab setiap pertanyaan sampai pada kebenaran yang
sebenarbenarnyanya atau pada hakikat kebenaran itu sendiri.(Sutisna et al.,
2017)

4.2.1. Berpikir Filsafat


Berpikir menjadi salah satu karakateristik kehidupan manusia, dengan berpikir
manusia akan eksis dalam kehidupannya, oleh sebab itu agar manusia
senantiasa keberadaanya diakui oleh lingkungan maka dia harus berpikir
mengenai dirinya dan lingkunganya.
Ada 4 (empat) jenis berpikir yang dilakukan manusia (Toenlioe, 2016 : 2-5),
yaitu berpikir awam, berpikir ilmah, berpikir filsafat dan berpikir religi. Yang
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 9

akan dibahas dalam makalah ini yaitu berpikir filsafat, namun sekilas akan
dijelaskan tiga jenis berpikri lainnya selain filsafat.
Berpikir awam yaitu berpikir yang dilakukan oleh orang kebanyakan, tanpa
menggunakan kerangka teori atau ilmu tertentu. Kemudian berpikir ilmiah
yaitu berpikir secara keilmuan. Berikutnya berpikir religi yaitu cara berpikir
yang berbasis pada suatu yang diyakini sebagai kebenaran hakiki.
Seperti yang dikemukakan diatas bahawa akatifitas manusia dalam menjalani
kehidupan sehari-sehari selalu dihadapkan dalam aktifitas berpikir, beragam
masalah datang untuk kita selesaikan dengan memikirkan cara
penyelesaiannya. Keadaan berpikir sehari-hari yang dilakukan oleh manusia
untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang ditemukannya menjadi ciri
dari orang tersebut sedang berfilsafat. Apakah orang lapar dan kemudian
berpikir untuk mencari solusi agar tidak lapar, itu juga merupakan berpikir
filsafat, tentu menurut saya itu bukan ciri berfikir filsafat. Untuk menjawab
seperti apa cara berpikir orang filsafat, berikut ini karakteristik cara berfikir
filsafat (Latif, 2014:4) yaitu :
1. Bersifat menyeluruh maksudnya seorang ilmuwan tidak akan pernah
puas jika hanya megenal ilmu dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia
ingin mengetahui hakikat ilmu dari sudut pandang yang lain, kaitanya
dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini membawa
kebahagiaan dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak akan
merasa sombong dan mengangkuk paling hebat atau diatas langit
masih ada langit, sebagaimana Socrates yang meyatakan tidak tau
apa-apa.
2. Bersifat mendasar, maksudnya sifat yang tidak begitu saja percaya
bahwa ilmu itu benar, mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses
penilaian berdasarkan kriteria dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri
benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti suatu pertanyaan yang
melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3. Bersifat spekulatif, maksudnya menyusun sebuah lingkaran dan
menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik,
akhirnya dibutuhkan suatu sifat spekulatif baik dari segi proses,
analisis maupun pembuktiannya, sehingga dapat dipisahkan mana
yang logis atau tidak.
10 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Lebih rinci bagaimana cara berpikir filsafat dikemukakan oleh Achmadi


(1995:4), yaitu sebagai berikut :
1. Harus sistematis. Pemikiran yang sistematis ini dimaksudkan untuk
menyusun suatu pola pengetahuan yang rasional. Sistematis adalah
masing-masing unsur saling berkaitan satu dengan yang lain secara
teratur dalam suatu keseluruhan.
2. Harus konsepsional. Secara umum konsepsional berkaitan dengan ide
atau gambaran yang melekat pada akal pikiran yang berada dalam
intelektual. Gambaran tersebut mempunyai bentuk tangkapan sesuai
dengan nilainya.
3. Harus koheren. Koheren atau runtut adalah unsur-unsurnya tidak
boleh mengandung uraian-uraian yang bertentangan satu sama
lainnya. Koheren atau runtut didalamnya memuat suatu kebenaran
logis.
4. Harus rasional, yaitu unsur-unsurnya berhubungan secara logis.
Artinya pemikiran filsafat harus diuraikan dalam bentuk yang logis.
5. Harus sinoptik, yaitu pemikiran filsafat harus melihat hal-hal secara
menyeluruh atau dalam keadaan kebersamaan secara integral.
6. Harus mengarah kepada pandangan dunia. Pemikiran filsafat sebagai
upaya untuk memahami semua realitas kehidupan dengan jalan
meyusun suatu pandangan (hidup) dunia, termasuk didalamnya
menerangkan tentang dunia dan semua hal yang berada didalamnya
(dunia).

Karakteristik berfikir filsafat juga dikemukakan oleh Nasution (2016: 30-31),


yaitu sebagai berikut :
1. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan.
2. Universal, yaitu berpikir secara menyeluruh. Tidak terbatas pada
bagian-bagian tertentu, tapi mencakup keseluruhan aspek yang
konkret dan abstrak atau yang fisik dan metafisik.
3. Konseptual, merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman
manusia.
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 11

4. Koheren dan konsisten yaitu sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir


logis. Sedangkan konsisten adalah tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik, yaitu berpikir logis, yang bergerak selangkah demi
selangkah (step by step) penuh kesadaran, berurutan dan penuh rasa
tanggung jawab.
6. Komprehensif. Mencakup atau menyeluruh.
7. Bebas. Pemikiran filsafat boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran
yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka social, historis,
kultural bahkan religious.
8. Bertanggungjawab. Seseorang berfilsafat adalah orang yang berpikir
sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya paling tidak
terhadap hati nuraninya sendiri.

Berpikir filosofis yaitu berpikir untuk memahami hakikat dari kenyataan


dalam rangka menemukan kebenaran sejati. Kalau berpikir ilmiah adalah
berpikir yang menggunakan hasil penelitian ilmiah sebagai acuan, maka pada
berpikir filosofis sang pemikir tidak lagi tergantung pada hasil penelitian
ilmiah. Hasil penelitian ilmiah berupa teori masih tetap digunakan dalam
berpikri filosofis, namun kesimpulannya tidak lagi ilmiah dan dapat dibuktikan
secara empiris, melainkan bersifat holistic, radikal, dan spekulatif
(Poedjawinatna, dalam Tienlioe, 2016:4). Pada berpikir filosofis, sang pemikir
berusaha mendapatkan jawaban tentang makna di balik sesuatu yang ilmiah
dan juga segala hal yang nyata ada dan mungkin ada namun tidak atau belum
terjangkau kajian ilmiah. Oleh karena itu, filsafat antara lain disebut metafisika
atau makna dibalik obyek-obyek yang dapat diindera, mapun yang diduga ada,
namun tidak terindera. Untuk sampai pada berpikir filosofis, maka ada obyek
yang menjadi fokus berfiksi. Obyek berfikir filosofis adalah sesuatu dibalik
hal-hal yang ada dan yang mungkin ada. Sesuatu di balik hal-hal yang ada
adalah hal-hal yang dapat diamati, maupun hal-hal dibalik hasil kajian ilmiah.
Sedangkan hal-hal dibalik sesuatu yang mungkin ada adalah hal-hal yang
dipikirkan ada berdasarkan kenyataan yang ada, namun tidak mungkin ada
atau belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Kenyataan yang ada namun tidak
atau belum dapat dijelaskan secara ilmah tersebut, misalnya hal-hal yang nyata
dan diyakini dalam religi, termasuk agama.
Berdasarkan penjelasan dari ketiga sumber tersebut diatas, jelas bahwa
kegiatan berpikir filsafat tidak sama dengan kegiatan berpikir sehari-hari yang
biasa dilakukan oleh kebanyakan orang pada umumnya. Berfikir filsafat
12 Filsafat Ilmu di Era Milenial

memiliki karakteristik tersendiri dan ada kaidah-kaidah didalamnya yang harus


diikuti sehingga proses berpikir yang diakukan oleh seseorang itu masuk
dalam kategori berfikir filsafat. Karakteristik berpikir filsafat berdasarkan
ketiga sumber tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik berpikir filsafat
meliputi harus sistematis, bersifat universal, radikal (mendasar), rasional,
menyeluruh, koheren, konseptual, bebas dan bertanggungjawab. (Sutisna et
al., 2017)

4.2.2. Kegunaan Filsafat


Filsafat merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu filsafat harus memiliki
kegunaan atau kemanfaatan bagi yang menggunakannya. Oleh sebab itu pada
bagian ini akan dijelaskan beragam manfaat yang diberikan filsafat. Tentunya
sangat banyak manfaat yang diberikan oleh filsafat sebagai suatu ilmu, apalagi
kita semua tahu bahwa filsafat sebagai induknya ilmu pengetahuan (mater
scientiarium). Dengan keyakinan bahawa filsafat merupakan induknya ilmu
pengetahuan, tentunya hal ini akan memberikan kontribusi lebih dari filsafat.
Namun demikian sering dengan perkembangan masyarakat dan juga semakin
kompleksnya persoalan-persoalan yang mucul dimasyarakat yang tidak
mungkin lagi filsafat secara umum dapat memberikan solusi pada pada setiap
permasalahan tersebut, maka muculah spesifikasi dari filsafat berupa cabang-
cabang filsafat.
Dalam buku filsafat umum yang ditulis oleh Achmadi (2003: 11-12)
disebutkan ada empat cabang filsafat yaitu filsafat tentang pengetahuan,
filsafat tentang keseluruhan kenyataan, filsafat tentang tindakan dan sejarah
filsafat. Will Durant membagi cabang filsafat menjai 5 (lima) cabang yaitu
logika, estetika, etika, politika dan metafisika (Rapar, 1996: 35). Sedangkan
Rahayu (2009:30) menyebutkan ada 3 (tiga) cabang filsafat yaitu ontologis,
epistimologis dan aksiologis. Masih banyak lagi pembagian cabang-cabang
filsafat yang ada, namun pada tulisan ini dirasa cukup hanya tiga yang relative
umum dari pembagian cabang filsafat tersebut. Kemudian Cabang-cabang
filsafat tersebut menungi kajian-kajian fisafat secara spesifik.Pembagian
filsafat berdasarkan struktur pengetahuan dikelompokkan menjadi tiga bidang
yaitu filsafat sistematis, filsafat khusus dan filsafat keilmuan (Achmadi, 1995:
12-13).
Berdasarkan deskripsi diatas jelas bahwa filsafat sangat memberikan manfaat
dalam menentukan arah perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 13

secara khusus tentunya terhadap ilmu Pendidikan. Berikut ini beberapa


kegunaan filsafat yang disarikan dari beberapa referensi yang ditemukan oleh
penulis. Achmadi (1995: 18)
1. Menambah ilmu pengetahuan
2. Ide akan memberikan kesadaran akan diri sebagai manusia,
3. Sebagai alternative dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Sedangkan menurut Gilles Deleuze manfaat filsafat yang paling besar adalah
untuk menciptkan konsep, bukan untuk pembangunan teori, tapi demi konsep
itu sendiri (Turnbull, 2005: 186).

4.3 Manusia antara ada dan Tiada


4.3.1. Kefilsafatan Tentang Manusia
Untuk apakah kita terlahir sebagai manusia?, pertanyaan itulah yang akan
selalu ada dari dahulu hingga sekarang, pertanyaan yang akan selalu terdengar
dari saat manusia lahir hingga manusia meninggal. Sesuai dengan tinjauan
kefilsafatan tentang manusia, disebutkan bahwa manusia adalah mahluk yang
bertanya, dalam hal ini manusia sebagai mahluk yang mempertanyakan
dirinya sendiri dan keberadaannya dalam kosmos secara menyeluruh. Atas
keingintahuan manusia akan posisinya dalam alam itulah manusia sadar
bahwa dirinya adalah seorang penanya. Jika kita merunut jauh kebelakang
sebelum manusia mengenal peradaban, persoalan persoalan filsafati sudah
menjadi bagian dari kehidupan seorang manusia.
Jika kita melihat segi dayanya, manusia memiliki dua macam daya, di satu sisi
manusia memiliki daya untuk mengenal dunia rohani, yang nous, intuitip,
supranatural, dikarenakan oleh kerjasama yang dilakukan dengan akal
(dianoia) menjadikan manusia dapat memikirkan serta memperbincangkan
hal-hal yang bersifat rohani. Di lain sisi manusia memiliki daya pengamatan
(aesthesis), karena pengamatan yang disertai dengan daya penggambaran atau
penggagasan manusia pada akhirnya memiliki pengetahuan yang luas.

4.3.2. Pemikiran Filsuf Tentang Manusia


14 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Ada beberapa pandangan para filsuf mengenai manusia, manusia memiliki 2


elemen dalam dirinya, yaitu jiwa dan tubuh, yang keduanya merupakan
elemen yang berdiri sendiri, yang satu lepas dari yang lain. Jiwa berada di
dalam tubuh layaknya dalam sebuah penjara seperti yang diungkapkan oleh
plato (428-348 SM) bahwa tubuh adalah musuh jiwa karena tubuh penuh
dengan berbagai kejahatan dan jiwa berada dalam tubuh yang demikian itu,
maka tubuh merupakan penjara jiwa.
Menurut pemikiran plato jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu nous
(akal), thumos (semangat), ephitumia (nafsu), karena pengaruh nafsu, jiwa
manusia terpenjara dalam tubuh. Hanya kematian yang akan melepaskan jiwa
dari belenggu tersebut. Lalu Demokritos (460-370) mengajarkan bahwa
manusia adalah materi. Jiwapun adalah materi yang terdiri dari atom-atom
khusus yang bundar, halis dan licin, oleh sebab itu tidak saling mengait satu
sama lain. Demikian juga atom-atom yang berbentuk lain.
Namun ada juga aliran yang mengajarkan tentang aliran perpindahan, seperti
phytagoras. Phytagoras mengajarkan keabadian jiwa manusia dan
perpindahanya kedalam jasad hewan apabila telah mati, dan jika hewan
tersebut mati maka jasadnya akan berpindah ke jasad lainnya, demikianlah
seterusnya. Perpindahan jiwa yang demikian disebut dengan suatu proses
penyucian jiwa. Jiwa akan kembali ke tempat asalnya di langit apabila proses
penyuciannya telah selesai. Oleh karena kajahatan dianggap telah bersemayam
dalam benda, maka tugas manusia adalah membebaskan diri dari pengaruh
tubuhnya dengan tidak makan daging, bermusik, tidak mengadakan
persetubuhan, dan lainya, paham Pythagoras ini dianut oleh Appolonius dari
Tyana.
Tinjauan kefilsafatan tentang manusia di atas menitikberatkan kepada
dayanya, akan tetapi pandangan philo yang mempertemukan filsafat helinisme
dengan agama yahudi lebih menitikberatkan pada aspek lain. Hal ini tampak
jelas dalam pandanganya bahwa dalam strukturnya manusia adalah gambar
alam semesta. Akan tetapi manusia sebagai idea yaitu sebagai manusia yang
tidak bertubuh, telah ada sejak kekal di dalam logos, jiwa manusia dibedakan
antara jiwa sebagai kekuatan hidup (psukhe) dan jiwa yang bersifat akali
(nous, dianoia, psukhe logika). Jiwa sebagai kekuatan hidup berada di dalam
darah dan tidak akan binasa. Jiwa yang bersifat akali atau nous adalah jiwa
yang lebih tinggi, yang bersifat illahi.
Sebelum manusia dilahirkan jiwanya sudah ada. Jiwa ini tidak dapat binasa, ia
memasuki tubuh dari luar, di dalam tubuh jiwa itu terpenjara. Oleh karena itu
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 15

hidup didalam dunia adalah sebuah kejahatan. Kematian mewujudkan suatu


kebebasan, dimana orang dibangkitkan kepada hidup yang sejati dan kepada
kebebasan. Dalam hal ini philo ingin menyebutkan bahwa tujuan hidup
manusia ialah menjadi sama dengan Illah, adapun caranya adalah dengan
menahan diri dari dunia dan segala nafsu, menentang perangsang yang datang
dari luar dan mengarahkan diri kepada dirinya saja.
Namun saya punya pandangan lain tentang manusia, Manusia adalah jiwa dan
raga (tubuh) yang satu, keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lain. Jika ada jiwa tanpa tubuh, maka ia hanya dapat disebut sebagai ruh,
dan jika ada raga tanpa jiwa maka ia hanya dapat disebut dengan mayat. Jiwa
itu bagaikan seorang pemimpin, dan raga adalah fasilitatornya. Sebuah jiwa
akan berarti menjadi seorang manusia apabila ia memiliki raga yang akan
dikendalikannya, begitupun sebaliknya raga akan berarti menjadi seorang
manusia apabila ia memiliki jiwa yang mengendalikannya. Kesatuan antara
jiwa dan raga itu merupakan wujud keutuhan seorang manusia yang sejati, hal
itu mutlak sifatnya dan tidak kekal.
Tujuan manusia adalah mencapai sebuah tempat tertentu setelah kematian
yang disebut dengan surga, untuk dapat mencapai tahapan tersebut manusia
haruslah menjauhi hal-hal yang tidak baik seperti Mencuri, membunuh,
Merendahkan orang lain, dan sebagainya. Selain itu manusia juga harus
melakukan hal-hal yang baik baik terhadap sesama manusia dan alam
sekitarnya. Aturan-aturan mengenai hal yang baik dan hal yang buruk tersebut
merupakan sebuah komitmen antara manusia dengan Tuhan. Bisa dibilang
tujuan akhir manusia adalah sebuah kebahagiaan yang abadi, tanpa ada lagi
akhir dari kebahagiaan tersebut.
Pendapat ini hampir serupa dengan pemikiran Thomas Hobbes. Menurut
Thomas Hobbes manusia tidak lebih pada suatu bagian alam bendawi yang
mengelilinginya, oleh karena itu maka segala sesuatu yang terjadi padanya
dapat diterangkan dengan cara yang sama dengan cara menerangkan kejadian-
kejadian alamiah, yaitu secara mekanis. Dengan kata lain manusia hidup
selama darahnya beredar dan jantungnya bekerja, yang disebabkan pengaruh
mekanis dari hawa atmosfir. Hidup manusia adalah gerak anggot-anggota
tubuhnya. Aristoteles pun berpikiran serupa bahwa manusia merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan dua segi dari
manusia yang satu, tubuh adalah materi dan jiwa adalah bentuk. Manusia
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka pada saat manusia
mati, maka kedua-duanya akan mati. Itu berarti jiwa manusia tidak abadi.
16 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Namun aristoteles berpikiran bahwa tidak ada kehidupan setelah mati, jadi
kematian adalah akhir dari segala-galanya.
Pemikiran para filsuf tentang manusia terus berkembang, akan tetapi didalam
perkembangan tersebut tidak dapat disimpulkan tenalitasnya, terutama yang
menyangkut kesempurnaan pemikirannya. Perkembangan pemikiran tentang
manusia menunjukkan adanya upaya yang terus-menerus untuk menemukan
hakikat manusia. Hal ini berarti ingin dicapai pengertian yang mendalam dan
radikal tentang manusia.

4.3.2. Eksistensi Manusia


Karl Marx berpandangan lain dengan filsuf sebelumnya, akan tetapi dalam
aspek-aspek tertentu pandangan tersebut sama. Hakikat pemikiran para filsuf
tentang manusia pada umumnya mengacu kepada hakikat manusia itu sendiri.
Apabila pemikiran tersebut menyangkut masalah kemampuan dan makna
hidup serta eksistensinya, maka untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak
terlalu mudah.
Menurut Kerkeegard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah
keadaanya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi harus ditekankan,
bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu
“menjadi”, yang mengandung didalamnya suatu perpindahan, yaitu
perpindahan dari “kemungkinan” ke “kenyataan”. Atau merubah sesuatu yang
sebelumnya hanya bersifat abstrak menjadi nyata. Dengan kata lain eksistensi
berarti : Berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Maka barang
siapa tidak berani mengambil keputusan, ia tidak bereksistensi dalam arti
sebenarnya. Tiap eksistensi memiliki cirinya yang khas. Kierkegard
membedakanya adanya 3 bentuk eksistensi, yaitu : bentuk estetis, bentuk etis
dan bentuk religius.
Kaum eksistensialis terus berpikir tentang manusia. Dalam hal Gabriel Marcel
(1889-1973) menegaskan bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi
bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia adalah makhluk yang
menjadikan manusia dapat mentransendir dirinya sendiri, dapat mengadakan
pemilihan, dengan mengatakan “ya” atau “tidak”, terhadap segala sesuatu
yang dihadapinya.
Pandangan filsuf mengenai manusia menggambarkan betapa manusia hadir
sebagai mahluk yang multi dimensi. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 17

individu benar-benar berdiri kokoh dalam kemandiriannya. Demikian pula


manusia sebagai mahluk sosial senantiasa mengatur dengan kehidupan
kehidupan masyarakat yang beraneka ragam. Keberadaan manusia sangat
akrab dengan alam sekitarnya yang tidak mengangkat manusia, melainkan
mengangkat benda-benda fisik lainnya. Para filsuf yang telah menunjukan
kemampuannya untuk menerobos ruang batas yang amat sulit tentang
manusia, pada akhirnya sampai kepada tingkat pemikiran bahwa terlepas dari
dimensi-dimensi tersebut di atas jelaslah bahwa pada hakikatnya adalah
makhluk ciptaan tuhan.

4.3.3. Paham tentang manusia


1. Materialisme

Materialisme telah diawali sejak filsafat yunani yakni sejak munculnya filsuf
alam Yunani, kemudian kaum Stoa dan Epikurisme. Paham ini mulai
memuncak pada abad ke-19 di eropa. Materialisme ekstrim memandang
bahwa manusia adalah terdiri dari materi belaka. Lamettrie (1709-1751)
sebagai seorang pelopor materialisme berpandangan bahwa manusia tidak lain
daripada binatang, binatang tak berjiwa, material belaka.

2. Idealisme

Idealisme adalah kebalikan dari materialisme, kalau pandangan materialisme


didasarkan atas material, jadi yang berubah-ubah dan tidak kekal, yang hilang
sesudah hidup ini hilang, maka aliran yang disebut idealisme ini dalam
pandangannya terhadap manusia memangkalkannya pada yang umum, yang
tidak berubah-ubah, abadi, yang masih terus ada sesudah hidup ini habis.
Dalam pandangan ini semuanya membedakan manusia dari binatang,
bukanlah manusia itu material belaka, tetapi adalah bahagiannya yang lain,
yang bukan material dan bersifat lain dari yang material itu. Dalam idealisme
terdapat beberapa corak, yaitu : idealisme etis, idealisme estetik, dan idealisme
hegel.

3. Rasionalisme
18 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Pandangan rasionalisme dipelopori oleh Rene Descarles, ia menyatakan


dengan tegas bahwa manusia itu terdiri dari jasmaninya dengan keluasanya
(extensio) serta budi dengan kesadaranya. Kesadaran ini rohani dan yang
bertindak itu adalah budi. Seperti pengetahuan dan pengenalan, pengetahuan
yang benar itu datangnya dari kesadaran. Hubungan anatara jiwa dana badan
adalah sejajar, tapi bukanlah merupakan sebuah keatuan. Dari renungan
rasionalisme ini muncul paham panteisme, yitu spinoza.

4. Irrasionalisme

Kalau rasionalisme adalah sebuah pandangan berdasarkan atas rasio atau


sekurang-kurangnya amat mementingkan arti rasio dalam kemanusiaan
irrasionalisme belum tentu mengingkari rasio atau mengabaikan adanya rasio
itu serta artinya bagi manusia. Yang dimaksud dengan pandangan manusia
yang irrasionallistis ialah pandangan-pandangan :
 Yang mangingkari adanya adanya rasio,
 Yang kurang menggunakan rasio walaupun tidak engingkarinya,
 Terutama pandangan yang mencoba mendekati manusia dari
pihak lain serta, kalau dapat dari keseluruhan pribadinya.

Jadi, penggolongan filsafat manusia dalam rasionalisme-irrasionalisme


bukanlah penggolongn yang lain sekali dari penggolongan idealisme-
materialisme pandangan ini hanyalah pandangan dari sudut lain. Dengan
demikian semua aliran materialisme harus dimasukan ke dalam irrasionalisme.
Hal ini dapat dibuktikan dalam gagasan-gagasannya menjadi manusia.
Manusia memang memiliki akal yang tidak ada batasnya, seperti yang terlihat
pada pembahasan tentang manusia pada halaman sebelumnya begitu banyak
pandangan-pandangan para filsuf tentang manusia. Namun jika kita cermati
tidak ada kesepakatan bulat dari para filsuf mengenai hakikat manusia, dari hal
tersebut dapat diambil beberapa hal mengapa tidak ada suara yang sama dari
para filsuf mengenai manusia, secara tidak langsung para filsuf
mengungkapkan hakikat manusia berdasarkan latar belakang dan ego dari para
filsuf itu sendiri.
Namun secara garis besar dapat diambil 2 garis besar mengenai hakikat
manusia tersebut.yang pertama, Manusia adalah ragawi yang didalamnya
terdapat jiwa, raga adalah sebagai bentuk gerak kehidupan dari seorang
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 19

manusia, sedangkan jiwa adalah tempat akal dan budi yang membuat manusia
dapat berpikir dan merasakan kehidupan yang ada di sekitarnya, jiwa inilah
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya seperti binatang atau
benda mati. Manusia sebagai sebuah satuan yang kompleks tentu tidak dapat
berdiri dengan sendirinya, seperti benda yang diciptakan oleh manusia, benda
itu butuh bantuan manusia agar dapat terangkai menjadi sebuah benda.
Begitupun manusia yang butuh kekuatan diluar dirinya untuk dapat menjadi
manusia, atau yang disebut dengan kekuasaan tuhan.
Garis besar yang kedua adalah yang ekstrem. Pandangan itu menyebutkan
bahwa kita sama saja dengan binatang, hanya material belaka, dan manusia
pun memiliki jiwa kebinatangan, derajat manusia lebih tinggi hanya karena
menyandang nama manusia. Sebagai manusia layaknya kita bijak menanggapi
berbagai pendapat tersebut, karena apapun bentuknya, itu merupakan bagian
dari sejarah ilmu pengetahuan manusia. nfprasetyo.blogspot.com
Kekuatan berpikir dengan menggunakan rasio atau akal menjadi bagian yang
sangat penting untuk menunjukan eksistensi diri seorang manusia. Hal besar
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya yaitu diberikan
kemampuan berpikir, sehingga dengan kemampuan ini manusia bisa survive
dan melangsungkan kehidupannnya kearah yang lebih baik dari waktu ke
waktu. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang, yang sama-
sama mereka diberikan otak untuk berpikir, namun kemampuanya tersebut
tidak berkembang sehingga tidak ada perubahan kearah yang lebih baik dan
major. Kondisi seperti ini pulalah yang sebagaimana dikemukakan oleh
Descrates yang dikutip dan ditulis oleh banyak penulis buku filsafat yaitu “I
Think There fore I Think” atau bias juga ditulis dengan kata “Cogito Ergu
Sum” yang diartikan “aku berpikir maka aku ada” (Muliono 2019:1).

4.4 Sejak Kapan Manusia mengenal Pengetahuan


Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tercanggih. Dengan akalnya
manusia mampu. Berpikir. Dengan pikirannya memperoleh pengetahuan,
dengan pengetahuannya manusia memiliki ilmu, dengan ilmunya manusia
mampu berpikir rasional, logis dan sistematis.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi
dari usaha-usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam
semesta maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi,
20 Filsafat Ilmu di Era Milenial

serta mengembangkan dan melestarikan hasil yang sudah dicapai oleh


manusia sebelumnya. Usaha-usaha tersebut terakumulasi sedemikian rupa
sehingga membentuk tubuh ilmu pengetahuan yang memiliki strukturnya
sendiri. Struktur tubuh ilmu pengetahuan bukan barang jadi, karena struktur
tersebut selalu berubah seiring dengan perubahan manusia baik dalam
mengindentifikasikan dirinya, memahami alam semesta, maupun dalam cara
mereka berpikir.
Ilmu bukan merupakan suatu bangunan abadi, karena ilmu sebenarnya
merupakan sesuatu yang tidak pernah selesai. Kendati ilmu didasarkan pada
kerangka obyektif, rasional, sistematis, logis, dan empiris, dalam
perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan
terhadap koreksi. Dengan kata lain, kebenaran ilmu bukanlah kebenaran
mutlak. Itulah sebabnya manusia dituntut untuk selalu mencari
alternatifalternatif pengembangan, baik yang menyangkut aspek metodologis,
ontologis, aksiologis, maupun epistemologisnya. Oleh karena itu setiap
pengembangan ilmu yang dilahirkan, validitas dan kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan. Muncul persoalan bagaimana kelahiran,
perkembangan, klasifikasi ilmu, dan strategi pengembangan ilmu itu ?

4.4.1 Pengertian dan ciri-ciri ilmu pengetahuan


The Liang Gie ( 1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai
seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai
gejala yang ingin dimengerti manusia.
Aktivitas Ilmu Metode Pengetahuan Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas
manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan
akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 ciri pokok :
1. Empiris. Pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan
percobaan.
2. Sistematis. Berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai
kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan
teratur.
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 21

3. Obyektif. Ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka


perseorangan dan kesukaan pribadi.
4. Analitis. Pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok-
soalnya ke dalam bagian-bagian yang terperinci untuk memahami
berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.
5. Verifikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.

Sedangkan Daoed Joesoef (1987) menunjukkan bahwa pengertian ilmu


mengacu pada tiga hal, yaitu : produk, proses, masyarakat. Ilmu pengetahuan
sebagai produk yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan diakui
kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini
terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk
disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji dan dibantah oleh seseorang.
Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang
dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya,
bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai
dalam proses ini adalah analisis-rasional, obyektif, sejauh mungkin
‘impersonal’ dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data
yang dapat diamati.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak-
tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan
yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang teratur.
Van Melsen (1985) menuliskan ada delapan ciri yang menadai ilmu, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan
yang secara logis koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian
(metode) maupun harus (susunan logis).
2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan
tanggung jawab ilmuwan.
3. Universalitas ilmu pengetahuan.
4. Obyektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh obyek dan tidak
didistorsi oleh prasangka-prasangka subyektif.
5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah
yang bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat
dikomunikasikan.
22 Filsafat Ilmu di Era Milenial

6. Progresivitas artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah


sungguh-sungguh, bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan
menimbulkan problem-problem baru lagi.
7. Kritis, artinya tidak ada teori yang difinitif, setiap teori terbuka bagi
suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan
kebertauan antara teori dengan praktis.

4.4.2. Kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan


Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung
secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif. Oleh karena
untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus
melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode
menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada
peradaban Yunani. Oleh karena itu periodisasi perkembangan ilmu disini
dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer.
1. Zaman Pra Yunani Kuno.

Pada zaman ini ditandai oleh kemampuan :


a. Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada
pengalaman.
b. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai
fakta dengan sikap receptive mind, keterangan masih
dihubungkan dengan kekuatan magis.
c. Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam sudah
menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat
abstraksi.
d. Kemampuan menulis, berhitung, menyusun kalender yang
didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan.
e. Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-
peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi. (Rizal Muntazir, 1996)
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 23

2. Zaman Yunani Kuno.

Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada
masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau
pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan filsafat,
karena Bangsa Yunani pada masa itu tidak lagi mempercayai mitologi-
mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman yang
didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja),
melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang
menyelidiki sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal
bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. Sikap kritis inilah menjadikan
bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli pikir terkenal sepanjang masa.
Beberapa filsuf pada masa itu antara lain Thales, Phytagoras, Sokrates, Plato,
Aristoteles.

3. Zaman Abad Pertengahan.

Zaman Abad Pertengahan ditandai dengan tampilnya para theolog di lapangan


ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah para
theolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan.
Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah Ancilla Theologia
atau abdi agama. Namun demikian harus diakui bahwa banyak juga temuan
dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa ini.

4. Zaman Renaissance.

Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang


bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance ialah zaman peralihan ketika
kebudayaan Abad Pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan
modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran
yang bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak
didasarkan atas campur tangan ilahi. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
modern sudah mulai dirintis pada Zaman Renaissance. Ilmu pengetahuan yang
berkembang maju pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokoh yang
terkenal seperti Roger Bacon, Copernicus, Johannes Keppler, Galileo Galilei.
24 Filsafat Ilmu di Era Milenial

5. Zaman Modern. ( 17 – 19 M)

Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah.


Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah
dirintis sejak Zaman Renaissance. Seperti Rene Descartes, tokoph yang
terkenal sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes juga seorang ahli ilmu
pasti. Penemuannya dalam ilmu pasti adalah sistem koordinat yang terdiri dari
dua garis lurus X dan Y dalam bidang datar. Isaac Newton dengan temuannya
teori gravitasi. Charles Darwin dengan teorinya struggle for life (perjuangan
untuk hidup). J.J Thompson dengan temuannya elektron.

6. Zaman Kontemporer (abad 20 – dan seterusnya).

Fisikawan termashur abad keduapuluh adalah Albert Einstein. Ia menyatakan


bahwa alam itu tak berhingga besarnya dan tak terbatas, tetapi juga tak
berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein
percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat
kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam.
Disamping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain maka
Zaman Kontemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi
canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang
mengalami kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai
satelit komunikasi, internet, dan lain sebagainya. Bidang ilmu lain juga
mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi-spesialisasi ilmu yang
semakin tajam.
Jadi pengetahuan itu ada semenjak manusia itu ada, sejak manusia berpikir,
sejak manusia berinteraksi dengan alam.

4.5 Siklus Ilmu Pengetahuan


Siklus ilmu pengetahuan dapat digambarkan seperti bagan dibawah
ini
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 25

Dari segi maknanya ilmu sekurang-kurangnya merujuk tiga hal:


1. Pengetahuan
2. Aktivitas
3. Metode

Ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan. Ilmu berarti
semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah (John G.
Kemeny)
Menurut Norman Campbell, Ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang
berguna dan praktis dan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu
tidak bersangkutan dengan kehidupan praktis dan tidak dapat
mempengaruhinya kecuali dalam cara yang paling tak langsung, baik kebaikan
atau keburukan.
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan
berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga
menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala
kealaman, kemasyarakatan atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran,
memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan
penerapan.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan
manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya, hasil usaha manusia
untuk memahami suatu obyek tertentu. Cabang filsafat yang membahas
pengetahuan disebut Epistemologi. Istilah lain dalam kepustakaan filsafat dari
epistemologi adalah Filsafat pengetahuan, Gnosiologi, Kritika pengetahuan,
logika material, teori pengetahuan, kriteriologi. (Sumantri, 2015)
26 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya


pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat,
metode dan validity pengetahuan. Ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa
Inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja
scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya
pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap
pengetahuan sistematik. Dalam Bahasa Jerman wissenschaft.
The Liang Gie ( 1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai
seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai
gejala yang ingin dimengerti manusia.

4.5.1 Metode Ilmiah


1. Metode ilmiah yang bersifat umum.

Metode ilmiah yang bersifat umum masih dapat dibagi dua, yaitu metode
analitiko-sintesa dan metode non-deduksi. Metode analitiko-sistesa merupakan
gabungan dari metode analisa dan metode sintesa. Metode non-deduksi
merupakan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi.
Apabila kita menggunakan metode analisa, maka dalam babak terakhir kita
memperoleh pengetahuan analitik. Pengetahuan analitik itu ada dua macam,
yaitu: pengetahuan analitik a priori dan pengetahuan analitik a posteriori.
Metode „analisa‟ ialah cara penanganan terhadap barang sesuatu atau sesuatu
obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milahkan pengertian yang satu
dengan pengertian-pengertian yang lainnya. Pengetahuan analitik a priori
misalnya, definisi segitiga yang mengatakan bahwa segitiga itu merupakan
suatu bidang yang dibatasi oleh tiga garis lurus yang saling beririsan yang
membentuk sudut-sudut yang berjumlah 180 derajat.
Pengetahuan analitik a posteriori berarti bahwa kita dengan menerapkan
metode Analisa terhadap sesuatu bahan yang terdapat di alam empirik atau
dalam pengalaman sehari-hari memperoleh sesuatu pengetahuan tertentu.
Misalnya, setelah kita mengamati sejumlah kursi-kursi yang ada, kemudian
kita berusaha untuk menentukan apakah yang dinamakan kursi itu?
Definisinya misalnya, kursi adalah perabot kantor atau rumah tangga yang
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 27

khusus disediakan untuk tempat duduk. Pengetahuan yang diperoleh dengan


menerapkan metode sintetik dapat berupa pengetahuan sintetik a priori dan
pengetahuan sintetik a posteriori.
Metode sintesa ialah cara penanganan terhadap sesuatu obyek tertentu dengan
cara menggabung-gabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang
lainnya sehingga menghasilkan sesuatu pengetahuan yang baru. Pengetahuan
sintetik a priori misalnya, pengetahuan bahwa satu ditambah empat sama
dengan lima. A posteriori menunjuk kepada hal-hal yang adanya berdasarkan
atau terdapat melalui pengalaman atau dapat dibuktikan dengan melakukan
sesuatu tangkapan inderawi. Pengetahuan sintetik a posteriori itu merupakan
pengetahuan yang diperoleh dengan cara menggabung-gabungkan pengertian
yang satu dengan yang lain yang menyangkut hal-hal yang tertadapat dalam
alam tangkapan inderawi atau yang adanya dalam pengalaman empirik.
Metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu obyek tertentu dengan
jalan menarik kesimpulan-kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat khusus
berdasarkan atas ketentuan-ketentuan hal-hal yang bersifat umum.
Metode induksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu obyek tertentu dengan
jalan menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum atau yang bersifat
lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah
hal yang bersifat khusus. (Soejono Soemargono, 1983, hal. 13-16)

2. Metode Penyelidikan Ilmiah.

Metode penyelidikan ilmiah dapat dibagi menjadi dua, yaitu: metode


penyelidikan yang berbentuk daur/metode siklus empirik dan metode vertikal
atau yang berbentuk garis lempang/metode linier.
Yang dinamakan metode siklus-empirik ialah suatu cara penanganan terhadap
sesuatu obyek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat empirik-kealaman dan
yang penerapannya terjadi di tempat yang tertutup, seperti di dalam
laboratorium-laboratorium, dan sebagainya.
Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa penerapan metode siklus-empirik itu
berupa, pertamatama pengamatan terhadap sejumlah hal atau kasus yang
sejenis, kemudian berdasarkan atas pengamatan itu kita menarik kesimpulan-
kesimpulan yang bersifat sementara berupa „hipotesahipotesa‟ dan dalam
28 Filsafat Ilmu di Era Milenial

babak terakhir, kita menguji atau mengadakan pengujian terhadap


hipotesahipotesa itu dalam eksperimen-eksperimen.

Apabila kita sudah berulang-ulang mengadakan eksperimen-eksperimen dan


hasilnya juga sama, artinya menunjukkan bahwa hipotesa-hipotesa itu
mengandung kebenaran, maka dalam hal yang demikian ini berarti bahwa
hipotesa-hipotesa tersebut telah dikukuhkan kebenarannya.
Apabila sifat halnya atau obyeknya begitu pentingnya, maka orang melakukan
kajian-kajian lebih lanjut. Dan apabila ternyata hipotesa-hipotesa yang
bersangkutan dapat bertahan juga, maka dapatlah hipotesa-hipotesa yang
bersangkutan ditingkatkan martabatnya menadi „teori-teori‟.
Tetapi apabila ternyata halnya atau obyeknya dipandang sangat menentukan
bagi kehidupan manusia, maka dengan melakukan kajian-kajian berikutnya
dapatlah teori-teori yang bersangkutan (bila dapat bertahan) ditingkatkan
menjadi „hukum-hukum alam‟. Dalam hal yang demikian ini berarti bahwa isi
kebenaran dari teori-teori tersebut telah diperiksa sekali lagi atau telah diteliti
secara dalamdalam mengenai isi kebenarannya (verifikasi terhadap teori-teori).
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa manakala kita menerapkan
metode penyelidikan ilmiah yang berbentuk daur/metode siklus-empirik, maka
pengetahuan yang dapat dihasilkannya akan berupa: 1. Hipotesa. 2. Teori. 3.
Hukum-hukum alam. (Soejono Soemargono, 1983)
Metode vertikal/berbentuk garis tegak lurus atau metode linier/berbentuk garis
lempang digunakan dalam penyelidikan-penyelidikan yang pada umumnya
mempunyai obyek materialnya hal-hal yang pada dasarnya bersifat kejiwaan,
yaitu yang lazimnya berupa atau terjelma dalam tingkah laku manusia dalam
pelbagai bidang kehidupan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
sebagainya. (Soejono Soemargono, 1983, hal. 16-18)
Penerapan metode semacam ini apabila dikatakan mengambil bentuk garis
tegak lurus berarti merupakan suatu proses yang bertahap-tahap, dan apabila
dikatakan mengambil bentuk garis lempang berarti merupakan proses yang
bersifat setapak demi setapak.
Penerapan metode semacam ini diawali dengan pengumpulan bahan-bahan
penyelidikan secukupnya, kemudian bahan-bahan yang masuk tadi
dikelompok-kelompokkan menurut suatu pola atau suatu bagan tertentu, dan
dalam babak terakhir kita menarik kesimpulan-kesimpulan yang umum
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 29

berdasarkan atas pengelompokan bahan semacam itu dan apabila dipandang


perlu kita pun dapat pula mengadakan peramalan-peramalan/prediksi-prediksi
yang menyangkut obyek penyelidikan yang bersangkutan. Penyelidikan
semacam ini biasanya dilakukan di alam bebas atau di alam terbuka, yaitu
kelompok-kelompok manusia tertentu.(Surajiyo and Sriyono, 2017)

4.5.2. Susunan Pengetahuan Ilmiah


1. Langkah-langkah dalam ilmu pengetahuan.

Setiap penyelidikan ilmiah selalu diawali dengan situasi masalah dan


berlangsung dalam tahap-tahap sebagai berikut:
a. Perumusan masalah.

Setiap penyelidikan ilmiah dimulai dengan masalah yang dirumuskan secara


tepat dan jelas dalam bentuk pertanyaan agar ilmuwan mempunyai jalan untuk
mengetahui fakta-fakta apa saja yang harus dikumpulkan.
b. Pengamatan dan pengumpulan data/observasi.

Penyelidikan ilmiah dalam tahap ini mempunyai corak empiris dan induktif di
mana seluruh kegiatan diarahkan pada pengumpulan data dengan melalui
pengamatan yang cermat sambil didukung oleh berbagai sarana yang canggih.
Hasil observasi ini kemudian dituangkan dalam bentuk pernyataanpernyataan.
c. Pengamatan dan klasifikasi data.

Dalam tahap ini ditekankan penyusunan fakta-fakta dalam kelompok tertentu,


jenis tertentu, kelas tertentu berdasarkan sifat yang sama. Kegiatan inilah yang
disebut klasifikasi. Dengan klasifikasi, menganalisa, membandng-bandingkan
dan membeda-bedakan data-data yang relevan.
d. Perumusan pengetahuan (definisi)

Dalam tahap ini, ilmuwan mengadakan analisa dan sintesa secara induktif.
Lewat analisa dan sintesa ilmuwan mengadakan generalisasi (kesimpulan
umum). Generalisasi merupakan pengetahuan umum yang dituangkan dalam
pernyataan-pernyataan umum/universal. Dari sinilah teori terbentuk.
e. Tahap ramalan (prediksi)
30 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Dalam tahap ini, deduksi mulai memainkan peranan. Disini dari teori yang
sudah terbentuk tadi, diturunkan hipotesa baru dan dari hipotesa ini, lewat
deduksi pula, ilmuwan mulai menyusun implikasi-implikasi logis agar ia dapat
mengadakan ramalan-ramalan tentang gejala-gejala yang perlu diketahui atau
yang masih terjadi. Deduksi ini selalu dirumuskan dalam bentuk silogisme.
f. Pengujian kebenaran hipotesa (verifikasi)

Dalam tahap ini dilakukan pengujian kebenaran hipotesa dan itu artinya
menguji kebenaran ramalan-ramalan tadi melalui pengamatan/observasi
terhadap fakta yang sebenarnya atau percobaanpercobaan. Dalam hal ini
keputusan terakhir terletak pada fakta. Jika fakta tidak mendukung hipotesa,
maka hipotesa itu harus dibongkar dan diganti dengan hipotesa lain dan
seluruh kegiatan ilmiah harus dimulai lagi dari permulaan. Itu berarti data
empiris merupakan penentu bagi benar tidaknya hipotesa. Dengan demikian
langkah terakhir dari seluruh kegiatan ilmiah adalah pengujian kebenaran
ilmiah dan itu artinya menguji konsekuensi-konsekuensi yang telah dijabarkan
secara deduktif. (Beerling, 1988)

2. Limas ilmu.

Dalam tradisi, ilmu-ilmu biasa digambarkan dalam bentuk limas. Dasar limas
meliputi semua data yang diperoleh suatu disiplin ilmu tertentu melalui
pengamatan (observasi), percobaan-percobaan (eksperimen). Sedang puncak
limas tadi diduduki oleh teori. Antara dasar dan puncak limas masih terdapat
lagi beberapa tahap, misalnya klasifikasi data, perumusan hipotesa, pengujian
hipotesa dan lain-lain. Limas sebagai keseluruhan merupakan sistem ilmu.
Atas dasar kesatuan ilmu-ilmu ada tedensi untuk menerpakan gambar limas ini
pada keseluruhan ilmu dan memang hal ini dapat dimengerti karena ilmu pada
dasarnya merupakan kesatuan metode dan dalam kesatuan metode ini tiap-tiap
ilmu mendapat tempatnya meskipun masih ada metode yang sangat teoritis.
Lebih lanjut setiap ilmu mempunyai bahasa sendiri yang berbeda dengan
bahasa sehari-hari. Karena itu untuk mengerti ciri khas ilmu perlulah dia
dibedakan dari bahasa sehari-hari.

3. Siklus Empirik.
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 31

Ilmu empirik memperoleh bahan-bahannya melalui pengalaman. Proses


penyelidikan ilmiah yang dapat digambarkan sebagai suatu daur yang terdiri
dari lima tahap.
a. Observasi.

Pengamatan yang biasa. Ilmu empirik memperoleh bahan-bahan dari


kenyataan empirik yang dapat diamati dengan pelbagai cara. Bahan itu
disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi, diverifikasi, diidentifikasi, didaftar,
diklasifikasi secara ilmiah.
Observasi dibedakan observasi sehari-hari dan observasi ilmiah. Observasi
sehari-hari bersifat emosional, dikaitkan dengan emosi si pengamat,
pengamatannya bersifat subyektif, sangat dipengaruhi oleh persepsi sosial,
dipengaruhi oleh suatu kepentingan yang bersifat pribadi, menguntungkan
dirinya sendiri.
Observasi ilmiah emosi harus dikeampingkan bahkan unsur subyektif
dihilangkan, hal-hal yang dikenal dan berpengaruh subyek dan variasi-variasi
yang ada tidak diperhatikan, tidak ada kepentingan dirinya sendiri, dipakai
sarana-sarana tertentu, ditingkatkan.
b. Induksi.

Hal-hal yang diamati harus dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan


kemudian disimpulkan kembali dalam pernyataan-pernyataan umum. Setelah
terulang-ulang kembali maka pernyataan umum tersebut memperoleh
kedudukan sebagai hukum.
c. Deduksi..

Matematika serta logika memungkinkan pengolahan lebih lanjut bahan-bahan


empirik begitu bahan ini tercakup dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.
d. Kajian (eksperimentasi).

Berdasarkan atas sistem itu dapatlah dijabarkan pernyataan-pernyataan khusus


tertentu, yang kemudian dapat dikaji lagi dalam kerangka observasi
eksperimental atau tidak epksperimental tertentu. Dengan kajian eksperimental
maka pernyataan yang telah dijabarkan secara deduktif mendapatkan verifikasi
atau falsifikasi secara empirik.
32 Filsafat Ilmu di Era Milenial

e. Hasil-hasil kajian membawa kita kepada tahap evaluasi, suatu teori


yang disusun dengan menggunakan induksi dan deduksi. (Beerling,
1988)

4. Penjelasan dan ramalan

Seorang ilmuwan jika telah selesai melakukan pengamatan, ia harus membuat


suatu uraian atau tuturan dari hal yang dicatatnya. Keserbanekaan masalah
dalam suatu penelitian menyebabkan adanya kebutuhan untuk memberikan
penjelasan, ramalan, dan batasan, yang sudah barang tentu harus sesuai dengan
sistem ilmu itu sendiri apakah ia ilmu sosial, ilmu alam, filsafat, sejarah,
kedokteran dll.
Penjelasan.
Penjelasan yang lazimnya selalu disertai dengan pemahaman (verstehen)
adalah merupakan pelengkap dari permulaan dalam penelitidan dari suatu
yang dicatat untuk disusun suatu hipotesa yang baik dan menarik. Adapun
macam penjelasan dalam pengetahuan ilmiah antara lain adalah:
a. Penjelasan logis.

Penjelasan deduktif. Penjelasan ini terdiri dari serangkaian tindakan berpikir


untuk menarik kesimpulan berdasar hal-hal yang bersifat umum, dengan
demikian dalam penjelasan deduktif diperlukan adanya suatu pernyataan yang
bersifat umum yang dipergunakan sebagai pangkal tolak atau dalil.
Penejalasan induktif. atau biasa disebut juga sebagai penjelasan kausal, adalah
penjelasan yang mempergunakan pangkal tolak pada hal-hal khusus tertentu
untuk sampai pada hal yang umum.
b. Penjelasan probabilistik.

Penjelasan probabilistik atau keadaan boleh jadi adalah apabila terdapat suatu
pertanyaan yang tak dapat dijawab secara pasti yang biasa dikemukakan
dengan mengajukan kata-kata 'mungkin', 'hampir pasti' atau 'boleh jadi'.
Penjelasan probabilistik banyak diperguanakan dalam ilmu sosial utamanya
ilmu politik.
c. Penjelasan finalistik.
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 33

Penjelasan finalistik adalah penjelasan dengan berpangkal tolak atau mengacu


pada tujuan. Penjelasan semacam ini bersifat pragmatik karena menerangkan
sesuatu dari segi keguannnya.
d. Penjelasan historik atau genetik.

Penjelasan ini berusaha untuk menjawab pertanyaan mengapa sesuatu itu


terjadi. Jelas hal ini menuntut suatu jawaban tentang sesuatu yang terjadi pada
waktu yang lampau.
e. Penjelasan fungsional.

Penjelasan fungsional adalah bentuk penjelasan yang hendak memberikan


gambaran atas sesuatu dengan mengemukakan apa yang diselidiki dalam
hubungannya dengan tempat atau keadaan yang sedang diteliti dalam
keseluruhan sistem dunia obyek tersebut berada.

Ramalan.
Seorang ilmuwan yang baik tidak lekas puas karena hal yang berupa
kebenaran yang telah dicapainya jika belum diuji dengan cara yang sesuai
dengan masalahnya. Satu hal yang patut dipakai dalam persiapan pengujian
disamping penjelasan atau verstehen juga ramalan atau prediksi. Bentuk-
bentuk ramalan yang banyak dipakai antara lain adalah:
a. Ramalan menurut hukum.

Bentuk ramalan yang paling tua adalah ramalan yang berupa dan berpangkal
tolak pada keajegan-keajegan. Keajegan ini diperlukan untuk memecahkan
atau menghampiri suatu permasalahan yang hampir mirif baik dalam ilmu
sosial maupun ilmu alam, karena hukum adalah suatu keteraturan yang
fundamental yang dapat diterapkan pada setiap keadaan atau persoalan.
b. Ramalan menurut struktur.

Ramalan ini secara langsung mampu memperhitungkan untuk keadaan dimasa


yang akan datang berdasarkan pada suatu kemajuan baik yang vertikal
maupun horizontal, karena perubahan menurut struktur ini memang
seharusnya terjadi demikian.
c. Ramalan menurut proyeksi.
34 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Ramalan ini mempelajari kejadian-kejadian yang terdahulu sehingga diperoleh


suatu pernyataan berdasar kejadian itu. Ramalan proyeksi ini banyak
dipergunakan dalam perkembangan ilmu social dengan dibantu oleh faktor
peluang.
d. Ramalan menurut utopia.

Ramalan yang terjadi berdasar pengetahuan teoritik yang sekarang dimiliki


untuk mengetahui kejadian dan keadaan di masa yang akan datang. Sebagai
contoh dewasa ini ada penjelajah ruang angkasa. al ini sebelumnya hanya
merupakan fantasi belaka dan kebetulan sudah difilmkan. (Abbas Hamami,
M., 1980, 31-35)
Bab 4 Eksistensi Manusia Sebagai Pencetus Ilmu 35

Pustaka
Mulyono (2018) ‘Buku Ajar Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar’, pp. 1–
54.
Sumantri, M. S. (2015) ‘Modul Hakikat Manusia dan Pendidikan’, pp. 1–43.
Surajiyo and Sriyono (2017) ‘Sikap Ilmiah Ilmuwan’, Prosiding Diskusi
Panel Pendidikan “Menjadi Guru Pembelajar” Keluarga Alumni
Universitas Indraprasta PGRI, (April), pp. 12–22.
Sutisna, I. et al. (2017) ‘Relasional Ilmu Filsafat Dengan Pendidikan
Drs. Herimanto, M.Pd., M.Si and Winarno, S.Pd., M.Si , Ilmu Sosial &
Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2016, vol. 10
Achmadi, Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Suriasumantri, Jujun S. (ed). 2003. Ilmu Dalam Perspektif (sebuah kumpulan
krangan tentang hakikat ilmu). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Toenlioe, Anselmus JE. 2016. Teori dan Filsafat Pendidikan. Malang: Gunung
Samudra
36 Filsafat Ilmu di Era Milenial

Biodata Penulis:
Ir. I Putu Artawan, ST., lahir di Kendari, 26
Mei 1980. Pendidikan formal yang telah diikuti
SD Negeri Tridana Mulya Tahun 1986-1992,
SMP Negeri 2 Kendari Tahun 1992-1995, dan
SMA Negeri 1 Kendari 1995-1998. Gelar
sarjana Teknik disandang tahun 2005, di
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas 45 Makassar, menyelesaikan
Pendidikan profesi Insinyur di Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin tahun 2020.

Email : artawanputu@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai