Anda di halaman 1dari 3

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah, Ramadhan telah lewat dan kita memasuki bulan Syawal

lalu bulan-bulan berikutnya yang mungkin bagi kebanyakan orang “kurang istimewa”.
Ramadhan yang istimewa hadir dengan janji pelipatgandaan pahala, menekankan pengekangan
hawa nafsu, dan momen menumpuk amal saleh sebanyak-banyaknya. Ramadhan dengan
demikian menjadi saat-saat penggemblengan hamba menjadi orang yang semakin dekat
dengan Allah atau dalam bahasa Al-Qur’an mencetak insan yang bertakwa (la‘allakum
tattaqûn).
Di dalam Ramadhan umat Islam dianugerahi sebuah malam spesial bernama Lailatul Qadar
yang setara dengan seribu bulan. Artinya melakukan satu amal kebaikan pada malam itu setara
dengan seribu amal kebaikan pada malam-malam di luarnya. Tidurnya orang berpuasa bernilai
ibadah, diamnya orang yang berpuasa bernilai tasbih, doanya dikabulkan, dan balasan atas
perbuatan baiknya dilipatgandakan.

“Setiap amal kebaikan manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal
hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa.
Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia
telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan
mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika
berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah
daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah, Yang menjadi pertanyaan, mengapa Allah memberikan
anugerah yang luar biasa semacam itu? Hal ini bisa dipahami setidaknya dalam dua sudut
pandang. Pertama, ini merupakan kemurahan dari Allah untuk hamba-Nya. Sebagaimana Allah
mengistimewakan hari Jumat di tengah hari-hari lain dalam satu minggu, Allah pun
mengistimewakan Ramadhan di tengah bulan-bulan lain dalam satu tahun. Momen tersebut
menjadi kesempatan terbaik bagi setiap hamba meningkatkannya
Kedua, Ramadhan juga bisa dibaca sebagai sindiran kepada mereka yang umumnya terlalu
tenggelam dengan kesibukan duniawi. Jam-jamnya, hari-harinya, dan bulan-bulannya, dipenuhi
dengan aktivitas untuk kepentingan dirinya sendiri—atau paling jauh untuk keluarga sendiri.
Sementara kegiatan yang benar-benar diniatkan untuk ibadah mendekatkan diri kepada Allah
nyaris terlupakan.
Kita sering mendengar seorang ibu yang merayu anaknya dengan iming-iming hadiah untuk
mencegahnya dari tindakan-tindakan bandel tertentu. Jangan-jangan Ramadhan adalah hadiah
karena Allah tahu kita terlalu “bandel”, tak cukup waktu untuk bermesraan dengan-Nya, tak
banyak waktu untuk mengingat-Nya. Itulah mengapa pada malam Lailatul Qadar kita justru
dianjurkan banyak meminta ampun dengan membaca:

"Ya Allah Engkaulah maha pengampun, senang kepada ampunan, maka ampunilah aku.”

Anjuran memohon ampunan adalah sinyal bahwa umat manusia memiliki kecenderungan


berbuat lalai dan dosa. Ini adalah pesan tentang pentingnya muhasabah atau introspeksi diri
seberapa besar kesalahan kita selama ini. Sudahkah seluruh harta yang kita makan didapatkan
dengan cara yang halal? Sudahkah kita bebas dari tindakan menyakiti orang lain? Seberapa
ikhlas kita meninfakkan sebagian kekayaan kita untuk di luar kepentingan kita? Seberapa
semangat kita beribadah dibanding semangat kita melakukan aktivitas dunia? Dan seterusnya
dan sebagainya.

Pembicaraan ampunan juga muncul dalam janji dalam sebuah hadits bahwa siapa yang
berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan mendapat
ampunan atas dosa-dosanya yang telah lewat (man shâma ramadhâna îmânan wa-htisâbah
ghufira lahu mâ taqaddama min dzanbihi). Ini juga menyiratkan pesan tentang betapa manusia
telah melewati hari-hari mereka dengan penuh kedurhakaan. Melalui Ramadhan dan Lailatul
Qadar, dosa-dosa yang pernah kita lakukan diharapkan terhapuskan.
Memahami Ramadhan sebagai momen koreksi diri merupakan hal yang penting agar kita
menghargai waktu dengan cara mengisinya secara positif dan memiliki kaitan dengan
pendekatan diri kepada Allah subhânahu wata‘âlâ. Tidak meremehkan bulan-bulan di luar
Ramadhan. Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang
tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia sedang menghampiri
suatu kerugian yang besar. Sebagaimana yang ia nyatakan—dengan mengutip hadits—dalam
kitab Ayyuhal Walad:
Artinya: "Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya
hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang
menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.”
Semoga Ramadhan yang telah kita lewati membawa manfaat bagi perbaikan diri kita sehingga
melewati hari-hari dan bulan-bulan setelahnya dengan lebih baik sampai kita dipertemukan
dengan Ramadhan-Ramadhan berikutnya. Wallahu a’lam bish-shawâb.

Anda mungkin juga menyukai