Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri
mulai sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan. Kehamilan,
persalinan, nifas, bayi baru lahir dan pemilihan alat kontrasepsi merupakan
proses fisiologis dan berkesinambungan. (Marmi, 2011:11).
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa masa kehamilan, persalinan, masa nifas, bayi baru
lahir
hingga penggunaan kontrasepsi, wanita akan mengalami berbagai masalah
kesehatan. Agar kehamilan, persalinan serta masa nifas seorang ibu berjalan
normal, ibu membutuhkan pelayanan kesehatan yang baik. Untuk peraturan
pemerintahan Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi
menyatakan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan untuk mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang
sehat dan berkualitas serta mengurangi Angka Kematian Ibu (Bandiyah,
2009).
Pelayanan kesehatan tersebut sangat dibutuhkan selama periode ini.
Karena pelayanan asuhan kebidanan yang bersifat berkelanjutan (continuity
of care) saat di memang sangat penting untuk ibu. Dan dengan asuhan
kebidanan tersebut tenaga kesehatan seperti bidan, dapat memantau dan
memastikan kondisi ibu dari masa kehamilan, bersalin, serta sampai masa
nifas.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sendiri masih sangat tinggi
jika di bandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Menurut Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2015 jumlah AKI di
Indonesia sebanyak 305/100.000 KH (Direktorat Kesehatan Keluarga, 2016).
Kematian Ibu maternal paling banyak adalah sewaktu bersalin sebesar
(49,5%), kematian waktu hamil (26%) pada waktu nifas (24%) (Kementrian
Kesehatan RI, 2012). Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun
2015 di Indonesia sebanyak 22,23/1000 KH (Direktorat Kesehatan Keluarga,
2016). Kematian neonatal paling banyak asfiksia (51%), BBLR (42,9%), SC
(18,9%), prematur (33,3%), kelainan kongenital (2,8%) dan sepsi (12%)

1
(Riskerdas, 2015).
Data provinsi Jawa Timur sendiri untuk tiga tahun terakhir
cenderung menurun.
Hal ini bisa di pahami mengingat selama ini sudah
dilakukan dukungan beberapa program dari provinsi ke kabupaten/kota
berupa beberapa fasilitas yang baik dari segi manajemen program KIA
maupun pencatatan maupun pelaporan, peningkatan ketrampilan dari petugas
di lapangan sendiri serta melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaan
program KIA.
Menurut MDGs tahun 2015 target untuk AKI sebesar
102/100.000 kelahiran hidup. Dan angka ini mengalami penurunan di
bandingkan pada tahun 2014 yang telah mencapai 93,52% per 100.000
kelahiran hidup, untuk penyebab kematian tertinggi pada ibu tahun 2015
adalah eklamsia yaitu sebesar 162 (31%) sedangkan penyebab terkecilnya
adalah infeksi sebesar 34 (6%). Sedangkan untuk masalah yang terkait
dengan KIA, bahwa AKB stagnan di angka 25,3/1000 KH (Dinkes Provinsi
Jawa Timur, 2015).
Data sekunder dari Dinas kesehatan kabupaten Ponorogo tahun
2016, cakupan AKI sebesar 112/100.000 KH, sedangkan AKB sebanyak
16,8/1000 KH. Cakupan K1 murni 11.573 orang (94,1 %) dari target 100 %
cakupan K4 10.435 orang (84,8 %) dari target nasional 95 %. Untuk
persalinan oleh tenaga kesehatan sebanyak 10.724 orang (91,3%) dari target
nasional 95%. Cakupan kunjungan ibu nifas adalah 10.581 (90,1%).
Untuk cakupan Neonatus lengkapnya sebesar 10.635 (95,1 %) dari target 98% .
Cakupan penanganan komplikasi neonatal bayi 1.291 bayi (77%) sedangkan
untuk Keluarga Berencana baru sebesar 86,311 (89,5%) dan peserta KB aktif
mencapai 96.385 (98,5%). Sedangkan untuk KB IUD ada 6.547 (6,8%), KB
MOP ada 312 (0,3%), KB MOW 728 (0,8%), KB Implan ada 2.487 (2,6%),
Kondom 2.607 (2,7%), KB Suntik (progesteron) 55.477 (57,6%) dan untuk
KB Pil 28.227 (29,3%).
Data di PMB I Sambit Ponorogo pada tahun 2016 terdapat 74 orang
kunjungan ibu hamil. Untuk K4 sebanyak 50 ibu hamil (67,6%). 10 ibu hamil
(13,5%) tidak melakukan kunjungan K4 dikarenakan pindah PMB dan untuk
14 ibu hamil (18,9%) telah pindah tempat tinggal. Dari 74 orang ibu hamil

2
tersebut 40 ibu yang bersalin di PMB Ny I. 23 ibu bersalin normal sementara
17 bersalin harus dilakukan rujukan, karena 11 ibu bersalin mengalami
ketuban pecah dini dan 6 ibu bersalin mengalami preeklamsi ringan.
Dari 23 ibu bersalin ada 3 bayi yang tidak dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
itu
semua dikarenakan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), dan 20 bayi lainnya
telah dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Untuk kunjungan ibu nifas
sendiri 40 ibu nifas melakukan kunjungan, dari 40 ibu nifas yang melakukan
kunjungan ada 2 ibu nifas yang mendapatkan masalah mastitis atau
peradangan pada bagian payudara yang di sebabkan oleh kuman yang
menginfeksi payudara ibu, yang dapat berdampak terganggunya proses
menyusuinya ibu, hal ini semua dapat juga di tangani dengan konseling
suportif, konseling suportif sendiri adalah konseling dengan terapi membantu
ibu memperbaiki hisapan bayi pada payudaranya dan mendorong untuk
sering menyusui.
Untuk kunjungan neonatal sendiri terdapat 2 bayi yang
mengalami ikterus fisiologis. Dan untuk kunjungan KB pasca salin sendiri ,
ibu dengan KB Metode Amenorea Laktasi (MAL) sebanyak 15 orang, ibu
dengan KB kondom berjumlah 7 orang dan ibu dengan KB IUD berjumlah 5
orang
Berdasarkan data di atas masih banyak masalah yang terjadi pada
proses kehamilan sampai dengan keluarga berencana, penyebab tingginya
AKI dan AKB di Indonesia sendiri dikarenakan beberapa factor, salah
satunya adalah tidak dilakukannya asuhan secara berkesinambungan yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi pada ibu dan bayi,
komplikasi yang tidak ditangani ini menyebabkan kematian yang
berkontribusi terhadap peningkatannya Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Bayi (AKB). Untuk penyebab tingginya AKI dan AKB di
Indonesia pada ibu hamil sendiri adalah komplikasi, dan yang terjadi adalah
anemia dalam kehamilan, tekanan darah tinggi/hiprtensi dalam kehamilan
(preeklamsia/eklamsia), aborsi dan janin mati dalam rahim, ketuban pecah
dini serta adanya penyakit yang tidak diketahui sehingga dapat mengangu
proses kehamilan (Manuaba, 2012:227-281).

3
Pada saat ibu bersalin sendiri komplikasi yang bisa terjadi diantaranya adalah
kelainan posisi pada janin atau presentasi bukan kepala, distosia, inersia uteri, perdarahan
intrapartum,
prolap tali pusat serta adanya penyakit yang tidak diketahui sehingga dapat
mengganggu jalannya proses persalinan (Manuaba, 2010:371).
Sedangkan untuk masa nifas tercatat ada beberapa ibu yang mengalami komplikasi
yang kemungkinan timbul dalam masa nifas diantaranya perdarahan, demam,
gangguan pada payudara dan infeksi peradangan pada alat genetalia (Gent,
2011:87).
Luka karena pasca setelah persalinan sendiri dapat menyebabkan
kuman masuk ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi dan berubah
menjadi peradangan pada semua alat genetalia saat masa nifas (Manuaba,
2010:415).
Bayi baru lahir sendiri, komplikasi yang ditimbulkan diantaranya
adalah asfiksia neonatorum, berat badan lahir rendah (BBLR), kelainan
konginetal, tetanus neonatorum, dan trauma lahir atau bahkan kematian
perinatal (Manuaba, 2010:421).
Dampaknya yang terjadi, bila tidak dilakukan asuhan kebidanan secara berkala
adalah dapat meningkatkan resiko terjadinya kompliksi pada ibu dan bayi yang tidak
tertangani, sehingga menyebabkan kematian yang berkontribusi terhadap meningkatnya
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Dalam menyikapi tingginya AKI di Indonesia sendiri pemerintah
membentuk suatu program yaitu Safe Motherhood Initiatif yang terdiri dari 4
pilar yang diantaranya adalah Keluarga Berencana, Asuhan Antenatal,
Persalinan yang Aman atau Bersih serta Pelayanan Obstetrik Neonatal
Esensial atau Emergensi (Prawirohardjo, 2010).
Upaya dapat dilakukan oleh bidan yaitu mengacu pada program Safe Motherhood
Initiatif dalam memberikan asuhan kebidanan yang berkesinambungan mulai dari hamil,
bersalin, nifas. Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian
pelayanan antenatal minimal empat kali selama masa kehamilan, dengan
distribusi pemberian pelayanan yang dianjurkan adalah satu kali pada
trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), dan satu kali pada Trimester
ke-dua (usia kehamilan 13-27 minggu), dan dua kali pada Trimester ke- tiga
(usia kehamilan 28 sampai melahirkan) (Ambarwati, 2011:102).

4
Pelayanan antenatal terpadu adalah pelayanan antenatal yang komprehensif dan
berkualitas yang di berikan kepada semua ibu hamil serta terpadu program
lain yang memerlukan intervensi selama kehamilan. Tujuannya adalah untuk
memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal yang
berkualitas, sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin
dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat (Sari, Ulfa, & Daulay,
2015:38).
Standart minimal asuhan kehamilan yang harus dilakukan yaitu
14T seperti Timbang berat badan, Ukur tekanan darah, Ukur tinggi fundus
uteri, Pemberian imunisasi (tetanus toksoid) TT lengkap, Pemberian tablet zat
besi minimal 90 tablet selama kehamilan, Pemeriksaan HB, Pemeriksaan
VDRL, Pemeriksaan protein urin,Pemeriksaan reduksi urin, Perawatan
payudara, Senam hamil, Pemberian obat malaria, Pemberian kapsul minyak
yodium, Temuwicara dalam rangka persiapan rujukan (Pantiawati dan
Suryono, 2010:26).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan sendiri yang bersifat menyeluruh dan bermutu untuk ibu
dan bayi dalam lingkup kebidanan adalah melakukan asuhan kebidanan
secara komprehensif (continuity of care). Dengan rencana yang sesuai
strategis ini, ibu, bayi, balita dan Keluarga Berencana (KB) (Kemenkes,
2010).
Diharapkan dengan dilakukan asuhan kebidanan secara continuity of
care dapat mencegah sedini mungkin terjadinya komplikasi dan
meningkatkan kesejahteraan ibu dan bayi dari masa kehamilan, persalinan,
nifas, bayi baru lahir, dan kontrasepsi berencana.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun Asuhan
Kebidanan Pada masa kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan
keluarga berencana secara continuty of care dengan menggunakan
pendekatan managemen kebidanan dan di dokumentasikan dengan
pendekatan metode SOAP.

1.2 Pembatasan Masalah


Asuhan kebidanan ini diberikan pada ibu hamil trimester III, bersalin,
nifas, neonatus dan keluarga berencana.

5
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memberikan asuhan kebidanan secara continuty of care pada ibu hamil
trimester III, bersalin, nifas, neonatus dan keluarga berencana dengan
menggunakan pendekatan managemen kebidanan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan Asuhan Kebidanan secara continuity of care pada
kehamilan TM III meliputi: Pengkajian, merumuskan Diagnosa,
merencanakan, melaksanakan asuhan kebidanan, dan melakukan
evaluasi serta mendokumentasikan asuhan kebidanan dengan
managemen kebidanan.
2. Melakukan asuhan kebidanan secara continuity of care pada ibu
bersalin meliputi: Pengkajian, merumuskan Diagnosa,
merencanakan, melaksanakan asuhan kebidanan, dan melakukan
evaluasi serta mendokumentasi asuhan kebidanan dengan
managemen kebidanan.
3. Melakukan asuhan kebidanan secara continuity of care pada ibu
nifas meliputi: Pengkajian, merumuskan diagnosa, merencanakan,
melaksanakan asuhan kebidanan, dan melakukan evaluasi serta,
mendokumentasikan asuhan kebidanan dengan managemen
kebidanan.
4. Melakukan asuhan kebidanan secara continuity of care pada Bayi
Baru Lahir meliputi: Pengkajian, merumuskan diagnosa,
merencanakan, melaksanakan asuhan kebidanan dan melakukan
evaluasi serta mendokumentasikan asuhan kebidanan dengan
managemen kebidanan.
5. Melakukan asuhan kebidanan secara continuity of care pada ibu
calon akseptor Keluarga Berencana meliputi: Pengkajian,
merumuskan Diagnosa, merencanakan, melaksanakan asuhan
kebidanan dan melakukan evaluasi serta mendokumentasikan asuhan
kebidanan dengan managemen kebidanan.

1.4 Manfaat

6
1.4.1 Manfaat Teoritis
Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat di terapkan dalam
pelayanan asuhan kebidanan kepada ibu secara continuity of care pada
ibu hamil TM III, persalinan, nifas, neonatus dan keluarga berencana.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai metode penilaian pada para mahasiswa dalam
melaksanakan tugasnya dalam menyusun laporan tugas akhir,
membimbing dan mendidik mahasiswa agar lebih terampil dalam
memberikan asuhan kebidanan serta sebagai tambahan bahan
referensi di perpustakaan tentang asuhan kebidanan secara
kesinambungan (continuity of care).
2. Bagi Ibu dan Keluarga
Ibu dan Keluarga mendapatkan pelayanan asuhan kebidanan secara
komprehensif (continuity of care) yang sesuai dengan standar
pelayanan kebidanan mulai dari kehamilan TM III, persalinan,
nifas, neonatus dan Keluarga Berencana.
3. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman tentang pemberian
asuhan kebidanan secara continuity of care pada kehamilan TM
III, persalinan, nifas, neonatus, dan keluarga berencana secara
berkesinambungan dengan pendekatan manejemen kebidanan.

7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA MENGENAI ABORSI

2.1 Pengertian dan Tatacara Aborsi


2.1.1 Pengertian Aborsi
Aborsi diserap dari bahasa Inggris yaitu abortion yang berasal dari
bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan atau keguguran.
Namun, aborsi dalam literatur fikih berasal dari bahasa Arab al-ijhahd,
,merupakan mashdar dari ajhadha atau juga dalam istilah lain bisa disebut
dengan isqath al-haml, keduanya mempunyai arti perempuan yang
melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaanya.
Secara bahasa disebut juga lahirnya janin karena dipaksa atau dengan
sendirinya sebelum waktunya. Sedangkan makna gugurnya kandungan,
menurut ahli fikih tidak keluar dari makna bahasa, diungkapkan dengan
istilah menjatuhkan (isqath), membuang (tharh), melempar (ilqaa’), dan
melahirkan dalam keadaan mati (imlaash).
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia sendiri aborsi
adalah terpencarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup sebelum habis
bulan keempat dari kehamilan atau aborsi bisa didenfinisikan pengguran
janin atau embrio setelah melebihi masa dua bulan kehamilan.
Sedangkan definisi aborsi menurut kedokteran sebagaimana
dikatakan Dr. Gulardi: ”Aborsi ialah berhentinya (mati) dan dikeluarkannya
kehamilan sebelum 20 minggu (dihitung dari haid terakhir) atau berat janin
kurang dari 500 gram atau panjang janin kurang dari 25 cm. Pada
umumnya abortus terjadi sebelum kehamilan tiga bulan”.
Pengertian aborsi menurut kedokteran tersebut berbeda dengan
ahli fikih, karena tidak menetapkan usia maksimal, baik pengguran
kandungan dilakukan dalam usia kehamilan nol minggui, 20 minggu
maupun lebih dari itu dianggap sama sebagai aborsi. Pengertian aborsi
menurut para ahli fikih seperti yang dijelaskan oleh al-Ghazali, aborsi
adalah pelenyapan nyawa yang ada di dalam janin, atau merusak sesuatu
yang sudah terkonsepsi, jika tes urine ternyata hasilnya positif, itulah awal
dari suatu kehidupan. Dan, jika dirusak, maka hal itu merupakan
pelanggaran pidana (jinayah), sebagaimana beliau mengatakan :

8
Pengguguran setelah terjadi pembuahan adalah merupakan
perbuatan jinayah, dikarenakan fase kehidupan janin tersebut bertingkat.
Fase pertama adalah terpencarnya sperma ke dalam vagina yang
kemudian bertemu dengan ovum perempuan. Setelah terjadi konsepsi,
berarti sudah mulai ada kehidupan (sel-sel tersebut terus berkembang),
dan jika dirusak, maka tergolong Jinayah.
2. Tatacara Aborsi
Banyak cara yang dilakukan orang di dalam melakukan aborsi.
Eckholm melihat ada 4 hal yang sering dilakukan dalam melakukan
aborsi, yaitu:
1. Menggunakan jasa medis di rumah sakit atau tempat-tempat
praktek;
2. Menggunakan jasa dukun pijat;
3. Menggugurkan sendiri kandunganya dengan alat-alat kasar; dan
4. Menggunakan obat-obatan tertentu.
Kehamilan yang diperoleh melalui pasangan suami-isteri yang sah
lebih banyak menggunakan jasa yang pertama, sedangkan kehamilan
sebagai hasil hubungan gelap pada umumnya menggunakan cara kedua,
ketiga, atau keempat.

2.2 Alasan dan Motivasi Aborsi


2.2.1 Alasan Aborsi
Menurut Husein Muhammad, Pengguguran kandungan hanya
dapat dibolehkan karena sejumlah alasan. Beberapa di antaranya adalah
keringnya air susu ibu yang disebabkan kehamilan, sementara ia sendiri
sedang menyusui bayinya. Dalam keadaan demikian, dia atau suaminya
tidak mampu membayar air susu lain. Alasan lain adalah ketidakmampuan
ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh.7
Pada kalangan wanita yang sudah menikah, alasan melakukan
aborsi juga bermacam-macam, diantaranya adalah karena kegagalan KB/
alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang
terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, faktor sosial-ekonomi (tidak
sanggup membiayai lagi anak-anaknya/khawatir masa depan anak tak
terjamin), alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan

9
suaminya, ataupun karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya
tidak menginginkan kelahiran anak dari istri kedua tersebut.8 Prof. Sudraji
Supraja menyatakan ”99,7% perempuan yang melakukan aborsi adalah
ibu-ibu yang sudah menikah”.
Sedangkan pada wanita yang belum/ tidak menikah ditemukan
bahwa alasan-alasan mereka melakukan aborsi adalah diantaranya
karena masih berusia remaja, pacar tidak mau bertanggung jawab,
takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar nikah, berstatus
sebagai simpanan seseorang dan dilarang hamil oleh pasangannya.10
Menurut Lysa Angrayni, Aborsi sebagai suatu pengguguran
kandungan yang dilakukan oleh wanita akhir-akhir ini mempunyai
sejumlah alasan yang berbeda-beda.
Banyak alasan mengapa wanita
melakukan aborsi, diantaranya disebabkan oleh hal-hal yaitu :
a. Alasan sosial ekonomi untuk mengakhiri kehamilan dikarenakan
tidak mampu membiayai atau membesarkan anak.
b. Adanya alasan bahwa seorang wanita tersebut ingin membatasi
atau menangguhkan perawatan anak karena ingin melanjutkan
pendidikan atau ingin mencapai suatu karir tertentu.
c. Alasan usia terlalu muda atau terlalu tua untuk mempunyai bayi.
d. Akibat adanya hubungan yang bermasalah (hamil diluar nikah)
atau kehamilan karena perkosaan dan incest sehingga seorang
wanita melakukan aborsi karena menganggap kehamilan
tersebut merupakan aib yang harus ditutupi.
e. Alasan bahwa kehamilan akan dapat mempengaruhi kesehatan
baik bagi si ibu maupun bayinya. Mungkin untuk alasan ini
aborsi dapat dibenarkan.
2.2.2 Motivasi Aborsi
Dalam hal ini yang akan dilihat dari perspektif hukum Islam adalah
hanya aborsi yang disengaja yaitu abortus provocatus, lebih khusus lagi
mengacu pada abortus provocatus criminalis karena dapat menimbulkan
konsekuensi hukum, sementara aborsi spontan kita anggap sebagai
kejadian di luar kemampuan manusia. Alasan-alasan seseorang
perempuan melakukan abortus provocatus criminalis.

10
Menurut Huzaemah T. Yanggo abortus provocatus criminalis ini didorong oleh beberapa
hal, antara lain:
1. Dorongan ekonomi/ dorongan individual:
Dorongan ini timbul karena kekhawatiran terhadap kemiskinan, tidak ingin
mempunyai keluarga besar. Hal ini biasanya terjadi juga
pada Banyak pasangan muda yang tergesa-gesa menikah
tanpa persiapan terlebih dahulu. Akibat banyak diantara
mereka yang hidup masih menumpang pada orang tuanya
apalagi ekonomi orang tuanya kurang. Padahal konsekuensi
logis dari sebuah perkawinan adalah lahirnya anak.
Lahirnya anak tentunya meperberat tanggung jawab orang
tuanya. Oleh karena itu mereka sepakat untuk tidak
mempunyai anak terlebih dulu dalam jangka waktu tertentu.
Jika sudah terlanjur hamil dan betul-betul tidak ada
persiapan untuk menyambut kelahiran sang anak, mereka
menempuh jalan pintas dengan cara menggurkan
kandungan.
2. Dorongan fisik: Dorongan ini seperti memelihara kecantikan
dan mempertahankan status sebagai perempuan karir dan
sebagainya yang aktifitasnya harus menampilkan
kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
3. Indikasi psikologis: Jika kehamilan diteruskan akan
memberatkan penyakit jiwa yang dibawa ibu, seperti :
perempuan yang hamil akibat perkosaan, hamil sebelum
nikah atau hamil sebab kena guna-guna.
4. Indikasi eugenetik: Dorongan ini timbul jika khawatir akan
penyakit bawaan pada keturunan seperti adanya kelainan
dari buah kehamilan, sebab trauma mekanis (benturan
aktifitas fisik yang berlebihan), maupun karena kecelakaan,
kelainan pada alat kandungan, pendarahan, penyakit yang
berhubungan dengan kondisi ibu seperti penyakit syphilis,
virus toxoplasma, anemia, demam yang tinggi, penyakit
ginjal, TBC, dan sebagainya.
5. Dorongan kecantikan: Dorongan ini timbul biasanya bila ada

11
kekhawatiran bahwa janin dalam kandungan akan lahir
dalam keadaan cacat, akibat radiasi, obat-obatan,
keracunan dan sebagainya. Keadaan yang terjadi di dalam
kandungan ibu yang menandung janin adalah sudah
ketentuan dari Allah, baik itu keadaan yang baik dan
sempurna ataupun dalam keadaan cacat tubuhnya. Cacat
dari janin yang dikandung wanita tersebut apabila tidak
mengganggu kesehatan ibu, maka aborsi dilarang, tetapi
apabila cacat tubuh tersebut mengganggu kesehatan ibu,
maka aborsi semacam ini merupakan termasuk abortus
provocatus mecicialis sehingga diperbolehkan.
6. Dorongan Sanksi moral: Dorongan ini muncul biasanya
karena perempuan yang hamil tidak sanggup menerima
sanksi sosial masyarakat, disebabkan hubungan biologis
yang tidak memperhatikan moral dan agama, seperti
kumpul kebo dan hamil di luar nikah.
7. Dorongan lingkungan: Faktor lingkungan juga
mempengaruhi insiden pengguguran kehamilan muda,
misalnya kemudahan fasilitas, sikap dari penolong (Dokter,
bidan, dukun dan yang lainnya), pemakaian kontrasepsi,
norma tentang aktifitas sexual dan hubungan sexual di luar
pernikahan, norma agama dan moral.
2.3.1 Resiko Aborsi
Menurut Dadang Hawari, statistik membuktikan resiko bagi
perempuan jika melakukan Aborsi adalah :
1. Kematian Perempuan karena aborsi jauh lebih besar dari
kematian ibu karena melahirkan (bersalin) secara normal.
2. Perempuan yang melakukan aborsi berlatar belakang kriminal
biasanya banyak pertimbangan. Antara lain karena hamil akibat
hubungan yang tidak sah, lalu pacar atau keluarganya
mendesaknya untuk menggurkan kandungan, karena malu
menanggung aib. Padahal perempuan yang bersangkutan sama
sekali tidak menghendakinya. Akibatnya dirinya menjadi serba
salah dan pasrah.

12
3. Perempuan yang melakukan aborsi akan mengalami gangguan
kejiwaan seperti stres pasca trauma aborsi.13

2.4.1 Hukum Aborsi di Indonesia


Mengenai Hukum Aborsi di Indonesia, terdapat beberapa UndangUndang yang
berkaitan dengan masalah aborsi yang masih berlaku
hingga saat ini, diantara Undang-Undang tersebut yang paling berkaitan
adalah :
1. Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana
Pada Pasal 346-349 KUHP tersebut
mengkategorikan aborsi sebagai tindak pidana, sebagaimana
bunyi lengkap pasal-pasal tersebut di bawah ini :
a. Pasal 346: “Seorang wanita yang dengan sengaja
menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
paling lama empat tahun”
b. Pasal 347:
1) Barangsiapa dengan sengaja mengggugurkan
kandungan atau mematikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
penjara pidana paling lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut, diancam dengan pidana paling lama lima
belas tahun.
c. Pasal 348 :
1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama
d. Pasal 349: “Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang
obat membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang

13
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan ia dapat dipecat dari jabatan yang digunakan
untuk melakukan kejahatan”.
2. Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Meskipun aborsi secara teknis ilegal dalam Hukum Pidana tapi
pada tahun 1992, muncul Undang-Undang yang lebih
liberal yaitu,: Undang-Undang nomor 23 tahun 1992.
Although abortion was tecnically ilegal under the criminal code,
a judcial interpretation in the early 1970s permitted medical
professionals to offer the procedure so long as they were
discreet and careful. The numbers of medical abortions carried
out in Indonesia rose dramatically, and there was evidence of
matching declines in the incedence of morbidity and mortality
caused by dangerous illegal procedures. Medical and
community groups campaigned for a more liberal abortion law to
protect legal pratitioners and stamp out illegal traditional
practices (Studies In Family Planning, 1993; 24, 4 : 241-251).
Dalam Pasal 15 ayat 1,2, dan 3 Undang-Undang ini yang
berkaitan dengan aborsi berbunyi sebagai berikut :
a) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk
menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat
dilakukan tindakan medis tertentu.
b) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Ayat1 hanya dapat dilakukan :
1) Berdasarkan indikasi medis yang mengaharuskan
diambil tindakan tersebut.
2) Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai
dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli.
3) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
atau suami atau keluarga.
4) Ada sarana kesehatan tertentu.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenaI tindakan medis

14
3.1 Penyakit Trofoblas Gestational
Hippocrates (400 BC) pertama kali mendeskripsikan penyakit
trofoblas gestational ini dengan “dropsy of the uterus”. Pengamatan lain telah
dilakukan oleh Marchand, pertama sekali mengenai molahidatidosa pada tahun 1895.
Jaringan trofoblas yang sehat secara agresif menginvasi endometrium dan
meningkatkan vaskularisasi uterus, menghasilkan hubungan antara janin dan ibu
yang biasa dikenal sebagai plasenta. Invasi merupakan salah satu ciri khas dari suatu
keganasan.
Untungnya prilaku ganas dapat dikontrol pada trofoblas yang sehat. Namun, pada
penyakit trofoblas ganas terjadi kegagalan mekanisme regulasi, sehingga
menghasilkan tumor yang sangat invasif, dapat
menyebar dan hipervaskular.9
Penyakit trofoblas gestasional terdiri dari kondisi premalignant
(molahidatidosa komplit dan parsial) dan kondisi malignant berupa mola invasif,
koriokarsinoma dan plasental site trophoblastic tumour(PSTT) serta molahidatidosa
dengan nilai β-hGC yang menetap atau meningkat biasa disebut dengan Persisten
Trophoblasic Disease (PTD). Bentuk ganas ini biasa disebut dengan penyakit
trofoblas ganas/PTG (Gestational Trophoblastic Neoplasia/GTN). Molahidatidosa
ini adalah bentuk
manifestasi yang paling sering, baik bentuk jinak maupun ganas.

3.2 Insidensi dan epidemiologi


Di Inggris, semua kasus penyakit trofoblas gestasional terdaftar secara
nasional, dengan data pusat patologi. Kejadian diperkirakan 1-3 : 1000 kehamilan
untuk mola komplit dan 3 : 1000 kehamilan untuk mola parsial, negara Barat lainnya
melaporkan data yang sama. Penyakit trofoblas gestasional ini lebih sering di Asia
daripada di Amerika Utara atau Eropa. Hal ini mungkin karena perbedaan antara
populasi dan data rumah sakit, ketersediaan data pusat patologis atau mungkin
mencerminkan diet dan pengaruh genetik.
Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Aziz MF dkk di RS. Cipto
Mangunkusumo tahun 1977-1981. Melaporkan angka kejadian yang tinggi dari
molahidatidosa sebanyak 1:77 kehamilan dan insidensi malignansi sebanyak 1:185
kehamilan. Dari 406 kasus molahidatidosa, 22,9% berlanjut menjadi keganasan.

15
Peningkatan risiko kehamilan mola terlihat pada wanita muda (<16 tahun),
tetapi sebagian besar dijumpai pada wanita usia lanjut (>45 tahun). Dengan riwayat
kehamilan mola sebelumnya, risiko mola komplit dan parsial meningkat 1%. Dengan
riwayat dua kehamilan mola, risiko mola ketiga adalah 15%-20% dan tidak menurun
dengan mengubah pasangan. Frekuensi koriokarsinoma dan PSTT masih kurang
jelas, dan dapat timbul setelah semua jenis kehamilan. Risiko berkembang menjadi
koriokarsinoma sekitar 1:50000 kehamilan, sedangkan data terakhir menunjukkan
bahwa PSTT menyumbang 0,2% dari PTG di UK. Risiko PTG juga berhubungan
dengan faktor hormonal karena wanita dengan menarche setelah 12 tahun dan
penggunaan kontrasepsi oral akan meningkatkan risiko. Selain itu, risiko keganasan
setelah mola hidatidosa dikaitkan beberapa jenis kontrasepsi oral, jika dikonsumsi
saat β-hCG masih meningkat. Hormon ini sangat penting untuk diagnosis,
manajemen dan pengawasan PTG selanjutnya.

3.3 Patofisiologi Penyakit Trofoblas Ganas


Kehamilan molahidatidosa dan penyakit trofoblas ganas berasal dari trofoblas
plasenta. Molahidatidosa merupakan lesi prekursor pada beberapa keganasan
trofoblas.
Kajii et al dan Lawler dkk, menunjukkan bahwa pada kasus molahidatidosa
lebih banyak ditemukan kelainan keseimbangan translokasi dibandingkan dengan
populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada kemungkinan pada wanita dengan kelainan
sitogenetik seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan proses meiosis berupa
nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau yang intinya
tidak
aktif.
Banyak teori yang disebutkan tentang patogenesis molahidatidosa
komplit, yaitu:
1. Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah
akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion), sehinggga
terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentukah
kista-kista yang makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah
gelembung mola, sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari
tekanan vili yang oedemateus tadi.

16
2. Park, mengatakan bahwa yang etiologi primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun neoplasi.
Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal.
Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian
embrio.
3. Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik
umumnya kehamilan molahidatidosa komplit terjadi karena sebuah ovum
yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh
sperma yang mengandung haploid 23 X, terjadilah hasil konsepsi dengan
kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi
umumnya MHK bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak
(androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu sehingga disebut Diploid
Androgenetik.

3.4 Teori Diploid Androgenetik


Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang
akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk
membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang.
Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada
hanya bagian ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis yang mengalami
degenerasi hidropik seperti anggur. Ovum kosong bisa terjadi karena gangguan pada
proses meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi
peristiwa yang disebut nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46
XX. Pada molahidatidosa komplit ovum inilah yang dibuahi. Gangguan proses
meosis ini, antara lain terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa balance
translocation.
Molahidatidosa komplit dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong
oleh 2 sperma sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23
X dan atu haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada
pembuahan dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil
reduplikasi dan 46 XX hasil pembuahan dispermi, walaupun tampak sama, namun
sesungguhnya berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot)
sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada yang menganggap

17
bahwa 46XX heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih besar. Pembuahan
dispermi dengan dua haploid 23 Y (46 YY)
dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable).
Pada molahidatidosa parsial, Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum
normal dari ibu (23 X) dibuahi secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu
haploid 23 X san satu haploid 23Y atau dua haploid 2 Y. Hasil konsepsi bisa berupa
69 XXX, 69 XXY, 69 XYY. Kromosom 69 YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP
mempunyai satu haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro
Triploid. Karena disini ada unsur ibu, ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu
dan unsur ayah tidak seimbang, satu berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal
itu menyebabkan pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang merupakan
gabungan dari vili korialis yang normal dan yang mengalami degenerasi hidropik.
Oleh karena itu fungsinya pun tidak bisa penuh sehingga janin tidak bisa bertahan
sampai besar. Biasanya kematian terjadi sangat dini. 13

3.5 Teori Diandro Triploid


Berbeda dengan molahidatidosa komplit, pada molahidatidosa parsial sama
sekali tidak ditemukan gejala maupun tanda-tanda yang khas. Keluhannya pada
permulaan sama seperti kehamilan biasa. Kalau ada perdarahan sering dianggap
seperti abortus biasa. Jarang sekali ditemukan MHP dengan besar uterus yang
melebihi tuanya kehamilan.
Biasanya sama atau lebih kecil. Dalam hal terakhir disebut Dying Mole. Gambaran
USG tidak selalu khas, tapi dapat didiagnosis bila ditemukan hal-hal sebagai berikut.
Pada jaringan plasenta tampak gambaran yang menyerupai kista-kista kecil
disertaipeningkatan diameter transversa dari kantong janin.
Trofoblas normal terdiri dari sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas dan trofoblas
intermediet. Sinsitiotrofoblas menginvasi stroma endometrium dengan implantasi
blastokis dan merupakan jenis sel yang memproduksi hCG. Fungsi sitotrofoblas
untuk memasok syncytium dengan sel selain membentuk bagian luar korion yang
menjadi vili korionik yang menutupi kantung korionik. Vili korionik berbatasan
dengan endometrium dan lapisan basal endometrium bersama-sama membentuk
plasenta fungsional untuk nutrisi ibu janin dan pertukaran sisa metabolisme.
Trofoblas intermediet terletak pada vili, tempat implantasi, dan kantung korionik.
Semua 3 jenis trofoblas dapat berkembang biak menjadi Penyakit Trofoblas Ganas. 12

18
Dasar molekuler dan seluler dalam pengembangan sebenarnya dari penyakit
trofoblas ganas ini masih kurang dipahami, penyakit trofoblas ganas ini telah lama
dianggap sebagai kelompok penyakit yang timbul dari transformasi neoplastik sel
trofoblas. Namun penelitian klinikopatologi baru-baru ini menunjukkan bahwa
analisis molekuler dari kehamilan trofoblas ganas sebagian besar didasarkan pada
karakteristik profil ekspresi gen dari berbagai tipe keganasan dan pola dari ekspresi
gen yang unik dapat digunakan untuk membedakan populasi trofoblas yang berbeda
pada awal plasenta yang sehat. Setelah transformasi sel induk trofoblas, yang
kemungkinan adalah sititrofoblas, program diferensiasi spesifik menentukan jenis
tumor trofoblas yang berkembang.12

Gambar 2.3.1 . Patogenesis penyakit trofoblas ganas (dikutip dari Shih IeM, 2007,
Gestational Trophoblastic Neoplasia-pathogenesis and potential therapeutic
targets)12

Disamping studi tentang histogenesis dari kehamilan trofoblas ganas,


penelitian saat ini difokuskan pada faktor biologi dari keganasan dengan menentukan
karakteristik ekspresi gen yang penting dalam proses tumorigenesis.

19
3.6 Diagnosis dan Stadium PTG
Molahidatidosa (komplit dan parsial) paling sering datang dengan keluhan
perdarahan pervaginam pada trimester awal kehamilan. Sering terdiagnosis pada
pemeriksaan ultrasonografi trimester pertama kehamilan dengan gambaran berupa
massa heterogen menyerupai badai salju (snowstorm) tanpa adanya gambaran janin
pada mola komplit, dijumpai juga kista ovarium teka lutein. Pada akhirnya harus
dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi.
Pilihan metode yang paling aman untuk evakuasi adalah dilatasi dan
kuretase hisap dengan panduan ultrasonografi untuk memastikan pengosongan yang
memadai isi rahim dan untuk menghindari perforasi uterus. Sebagian wanita yang
mengalami keguguran atau yang menjalani terminasi kehamilan dengan indikasi
medis, dapat menjadi kasus PTG yang tidak terduga jika tidak dilakukan
pemeriksaan histopatologi jaringan konsepsi rutin, terlambatnya diagnosis akan
meningkatkan morbiditas. Pemeriksaan histologis dari setiap pengakhiran kehamilan
tidaklah praktis,
pengukuran sederhana β-hCG 3-4 minggu paska kuretase dapat dilakukan untuk
memastikan nilai β-hCG kembali normal. Semua wanita dengan diagnosis kehamilan
mola memerlukan pemantauan nilai hCG untuk melihat kemungkinan kambuhnya
penyakit, peningkatan dan pendataran nilai β-hCG pada tiga dan dua pemeriksaan
berturut. Pengulangan biopsi untuk mengkonfirmasi perubahan ganas tidak
disarankan karena berisiko memicu perdarahan yang mengancam jiwa.
Bentuk koriokarsinoma dan PSTT / ETT bisa jauh lebih sulit untuk
didiagnosis karena penyakit dapat berkembang dalam hitungan bulan atau tahun
setelah kehamilan sebelumnya. Oleh karena itu penting untuk mengukur hCG pada
wanita usia subur dengan penyakit metastasis yang tidak dapat dijelaskan. Biopsi lesi
tanpa kemampuan untuk mengendalikan perdarahan sangat berisiko pada penyakit
ini dan tidak diperlukan untuk memulai kemoterapi. Namun, pengangkatan seluruh
massa dapat memberikan konfirmasi histologis untuk konfirmasi diagnostik atau
analisis genetik.
Hampir keseluruhan pasien PTG paska molahidatidosa terdeteksi melalui
pemantauan hCG. Informasi yang diperlukan untuk menentukan terapi dapat
diperoleh dari riwayat klinis, pemeriksaan, pengukuran hCG serum dan USG doppler
pelvik untuk konfirmasi tidak adanya kehamilan, untuk mengukur ukuran dan
volume rahim, penyebaran penyakit pelvis dan vaskularisasi. Penilaian pulsatility

20
index dengan doppler nantinya dapat menjadi faktor prognostik independen untuk
resistensi terhadap kemoterapi agen tunggal metotreksat (MTX) dan saat ini sedang
dievaluasi dalam penelitian prospektif. Metastasis paru adalah penyebaran yang
paling umum, sehingga rontgen dada sangat penting.
Computed tomography (CT) dada tidak diperlukan jika rontgen dada normal,
karena penemuan mikrometastasis, yang didapati pada 40% pasien, tidak
mempengaruhi hasil akhir. Namun, jika dijumpai lesi pada toraks, magnetic
resonance imaging (MRI) otak dan CT tubuh diperlukan untuk menyingkirkan
penyebaran penyakit lainnya, seperti pada otak dan hati yang secara signifikan akan
mengubah penanganan. FIGO melaporkan data pada penggunaan sistem skor
prognostik dan sistem stadium anatomis pada PTG. Sejak tahun 2002, semua
penanganan PTG harus menggunakan sistem ini untuk memungkinkan perbandingan
data.
Skor prognostik digunakan untuk memprediksi kemungkinan resistensi
terhadap kemoterapi agen tunggal dengan MTX atau Act-D. Skor 0-6 dan ≥7
menunjukkan risiko rendah dan tinggi terhadap resistensi.
Risiko tinggi hampir tidak memiliki kemungkinan sembuh dengan terapi agen
tunggal dan membutuhkan pemberian agen multiple. Stadium anatomis tidak
membantu penentuan terapi, tetapi memberikan informasi tambahan untuk
membantu klinisi yang membutuhkan perbandingan data antar pusat PTG. 11
Berdasarkan FIGO 2012, diagnosis PTG dibuat berdasarkan peningkatan
kadar hCG, jika memungkinkan diperlukan bukti histologis atau radiologis. Kriteria
diagnosis PTG meliputi:3
1. Sekurang-kurangnya 4 nilai plateu hCG yang meningkat secara persisten (hari 1,
7, 14 dan 21) atau lebih lama, atau peningkatan hCG secara sekuensial selama 2
minggu (hari 1, 7, 14) atau lebih lama.
2. Metastasis paru yang ditemukan pada X-Ray toraks.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam diagnosis maupun
monitoring PTG adalah:3
1. Pemeriksaan klinis (menilai ada tidaknya metastasis vagina)
2. Pengukuran hCG serum serial mingguan
3. Pemeriksaan darah lengkap dan trombosit, PT, PTT, fibrinogen,
BUN, kreatinin, tes fungsi hati

21
4. Foto toraks
5. CT Scan atau MRI otak (menilai ada tidaknya metastasis otak)
6. CT Scan hati bila ada indikasi. CT Scan seluruh tubuh biasanya dilakukan
pada pasien yang memiliki metastasis paru
7. Kuretase harus dilakukan bila ada perdarahan uterus. Biopsi dilakukan pada
daerah yang memungkinkan. Ada risiko perdarahan hebat pada tempat biopsi.
8. MRI bila diindikasikan.
9. T4, tes fungsi tiroid bila diindikasikan.
10. Scanning selektif dengan antibodi anti-hCG radioaktif iodin atau indium bila
ada resistensi terhadap kemoterapi.

Pada tahun 2000, FIGO merekomendasikan stadium klinis tumor


trofoblastik gestasional seperti di bawah ini:3
Stadium FIGO Deskripsi

I Tumor trofoblastik gestasional terbatas pada korpus uterus

II
Tumor trofoblastik gestasional meluas ke adneksa atau ke vagina,
tetapi terbatas pada struktur genitalia

III
Tumor trofoblastik gestasional meluas ke paru, dengan atau tanpa
keterlibatan traktus genitalia

IV Adanya metastasis

Table 2.4.1. Stadium Klinis PTG, FIGO 2000 (dikutip dari Ngan HY, 2003,
FIGO
Cancer Report 2012 : Trophoblastic Disease)

Molahidatidosa tidak boleh dikategorikan stadium 0 karena bila hCG tetap


meningkat dan pasien memerlukan kemoterapi, diperlukan penilaian ulang stadium. 3
Pada tahun 2000, FIGO menerima sistem skor WHO berdasarkan faktor
prognostik yang pertama kali dikenalkan oleh Bagshawe. Nilai untuk faktor risiko

22
adalah 1,2 dan 4. Ambang batas neoplasia risiko rendah dan tinggi disepakati oleh
FIGO pada angka 6. Skor ≤ 6 dikategorikan risiko rendah dan skor ≥ 7 dikategorikan
risiko tinggi. Kombinasi stadium FIGO dan WHO telah disetujui sejak tahun 2002. 3

Tabel 2.4.2. Sistem skoring FIGO/WHO berdasarkan faktor prognostik (dikutip


dari
Ngan HY, 2003, FIGO Cancer Report 2012 : Trophoblastic Disease. Int J Gynecol
Obstetri)

3.7 Penatalaksaan PTG risiko rendah


PTG risiko rendah, di mana skor WHO kurang atau sama dengan 6 pada
FIGO stadium I-III. Hampir seluruh pasien risiko rendah diterapi dengan kemoterapi
agen tunggal dengan MTX atau Act-D. Kemoterapi agen tunggal menunjukkan 50-
90% kasus remisi. Terdapat variasi dalam dosis, frekuensi, dan rute pemberian
kemoterapi. Pasien yang gagal pada terapi lini pertama, biasanya disebabkan
resistensi, dapat dilanjutkan
dengan lini kedua bahkan lini ketiga, dengan survival sampai 100%.

23
Molahidatidosa komplit Koriokarsinoma
& parsial (hislopatologi)
(PersistenTrophoblastic
Disease/PTD)

Diagnosis PTG

Penjajakan, staging dan scoring faktor risiko

hCG, Darah rutin, RFT, LFT, HST, Foto toraks, USG pelvic (jika foto toraks
(+)  CT/USG abdomen, terutama hepar, CT & MRI otak (jika ada indikasi)

Stadium I, skor Stadium II, skor Stadium III, skor Stadium IV, skor

Kemoterapi agen Kemoterapi multi agen


tunggal

No Response
Resolus
Ganti agen atau rejimen kemoterapi

Follow up (klinis & hCG 12


bulan sebelum No Response
diperbolehkan hamil)

Kemoterapi kombinasi
Kemoterapi multi agen No Response
(pertimbangan histerektomi)

Gambar 2.5.1. Panduan penatalaksanaan PTG risiko rendah (dikutip dari May
T,
2011. Chemotherapy Research and Practice : Current Chemotherapeutic
Management of Patient with Gestational Trophoblastic Neoplasia )

3.7.1 Rejimen kemoterapi agen tunggal


Berikut ini berbagai macam rejimen pemberian kemoterapi agen
tunggal :

24
a. Metotreksat 0,4 mg/kg intramuskular selama 5 hari, berulang setiap 2 minggu.
Ini adalah satu dari protokol konvensional pada PTG dan masih digunakan di
Universitas Yale. Rejimen kemoterapi ini masih merupakan protokol standar
di Chicago, di mana obat ini digunakan secara intravena. Angka kegagalan 11-
15% untuk penyakit non metastasis dan 27-33% untuk penyakit dengan
metastasis (Level of evidence C).
b. Metotreksat dengan selingan pemberian leukovorin. Metotreksat 50 mg secara
intramuskular atau 1mg/kgBB 4 dosis diselingi leukovorin
15 mg atau 0,1 mg/kgBB 24-30 jam setelah setiap dosis metotreksat. Protokol
ini paling banyak dianut di Inggris dan Amerika dengan angka kegagalan 20-
25% (Level of evidence C).
c. Metotreksat 50mg/m2 intramuskular yang diberikan setiap minggu. Regimen
ini berhubungan dengan angka kegagalan sebanyak 30%. Bila terjadi
kegagalan, diberikan metotreksat 0,4 mg/kg intramuskular untuk 5 hari.
Rejimen ini dapat diganti dengan aktinomisin-D 12mikrogram/kg selama 5
hari (Level of evidence C).
d. Aktinomisin-D 1,25 mg/m2 secara intravena selama 2 minggu. Protokol ini
memiliki angka kegagalan sebesar 20%. Protokol ini dapat menjadi alternatif
mingguan dengan protokol metotreksat. Aktinosmisin D dapat menyebabkan
kulit terkelupas bila terinfiltrasi ke kulit dan harus diinjeksi via infus intravena
yang baru. Bila terdapat ekstravasasi, area ini harus diinfiltrasi dengan
hidrokortison
100 mg dan lidokain 2 mL.
e. Aktinomisin-D 12 mikrogram/kg yang diberikan secara intravena atau 0,5 mg
secara intravena setiap hari selama 5 hari, diulangi setiap 2 minggu. Protokol
ini adalah alternatif untuk protokol metotreksat selama 5 hari. Protokol ini
dapat digunakan pada pasien yang memiliki gangguan hepatik. Angka
kegagalan ditemukan sebesar 8%.
f. Metotreksat 250 mg drips selama 12 jam. Kemoterapi ini adalah bagaian
metotreksat pada protokol EMA-CO (etoposide, metotreksat dengan
leucovorin, aktimosiin D, yang diberikan pada hari 1 dan 2 serta siklofosfamid
dan vinkristin (Oncovin) yang diberikan pada hari 8). Regimen ini memiliki
angka kegagalan sebesar 30% (Level of evidence C).

25
Bila regimen di atas tidak berespon, hal ini dikarenakan ketidakcukupan
pajanan sel selama siklus pemberian obat kemoterapi, tidak mencapai kadar efektif
obat di sirkulasi. Dapat digunakan metotreksat 0,4 mg/kg setiap hari selama 4 hari
atau aktinomisin D 12 mikrogram/kg selama 5 hari sebelum dijumpai indikasi
kemoterapi multiagen.6
Pada meta analisis Cochrane tahun 2009, ditunjukkan bahwa aktinomisin D
ditemukan lebih superior dibandingkan metotreksat (Level of evidence A). RCT baru
yang membandingkan metotreksat intramuskular mingguan dan aktinomisin D
intravena setiap 2 minggu menunjukkan respon yang lebih baik dan toksisitas sedang
pada grup aktinomisin D (Level of evidence A). Beberapa pedoman juga telah
meletakkan
aktinomisin D sebagai regimen lini pertama.19
Evakuasi sekunder sangatlah terbatas, hal ini dilakukan bila hCG <5000
IU/L. Akan tetapi, bila kasus yang didapat adalah jaringan mola parsial, dapat
dipertimbangkan untuk histerektomi. Histerektomi akan
menurunkan durasi dan dosis kemoterapi.20,21

3.7.2 Kemoterapi Konsolidasi


Setelah nilai β-hCG mencapai normal, setidaknya dibutuhkan tambahan 2
siklus kemoterapi lagi (3 siklus kemoterapi konsolidasi), karena tidak terdeteksinya
β-hCG di serum menunjukkan bahwa jumlah sel ganas di dalam tubuh kurang dari
105, dan ini tidak berarti penyakit sudah benar-benar hilang. 3
Lybol dkk tahun 2012 mencoba membandingkan angka
kekambuhan antara pemberian kemoterapi konsolidasi di Belanda (2 siklus
kemoterapi) dan Inggris (3 siklus kemoterapi), didapati angka kekambuhan lebih
tinggi pada pemberian 2 siklus kemoterapi konsolidasi yaitu 8,3% berbanding 4%. 20

3.8 Faktor Prognostik Keberhasilan Pemberian Kemoterapi MTX


Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan secara statistik terkait dengan
respon terhadap pemberian MTX tunggal pada PTG risiko rendah adalah usia pasien,
nilai hCG pra kemoterapi dan skor FIGO.22
Davis dkk tahun 2012 menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
resistensi terhadap pemberian MTX tunggal, didapati hubungan yang signifikan

26
resistensi terhadap faktor metastasis, penigkatan skor FIGO, histopatologi (terutama
koriokarsinoma) dan kadar b-hCG yang
lebih tinggi.23
1. Usia
Pada penelitian Chalouhi dkk (2009), pasien resisten MTX didapati lebih tua
(33,7 tahun, SD 7,81) dibandingkan dengan pasien remisi komplit (31,7 tahun, SD
9,2).22 Nilai median (kelompok remisi komplit dan resisten) yang sama (median : 30
tahun) dijumpai pada penelitian yang dilakukan Trommel dkk (2006) di Belanda. 8
Sementara Chan dkk (2006) mendapat hasil sedikit lebih tinggi, yaitu median usia
untuk kelompok remisi komplit adalah 33,7 tahun dan kelompok resisten adalah 33,6
tahun.24
Penelitian-penelitian sebelumnya tidak semua sepakat mengenai peran usia
terhadap respon kemoterapi MTX ini, tanpa adanya perbedaan yang signifikan antara
kedua hasil, namun beberapa penulis menyatakan usia yang lebih tua cenderung
menjadi faktor resistensi, sementara peneliti lain menyatakan bahwa usia tidak
berpengaruh terhadap
resistensi.22,23,25,26

2. Hasil Patologi Anatomi


Mengingat angka kejadian molahidatidosa komplit adalah yang terbanyak
dari seluruh pasien penyakit trofoblas gestasional, beberapa penelitian menunjukkan
hasil yang serupa. Chan dkk (2006), mendapat hasil terbanyak adalah molahidatidosa
komplit (kelompok remisi komplit
30 pasien (83%) dan kelompok resisten 35 pasien (66%)). 24 Maesta dkk (2003) dan
Gillani dkk (2013) juga mendapat hasil yang tidak jauh
berbeda.6,27
Garrett dkk (2002), menyatakan bahwa hasil patologi anatomi jaringan
(molahidatidosa komplit atau parsial) merupakan faktor prediktor independen atas
kebutuhan 1 dosis kemoterapi lebih banyak.28
Sebuah penelitian lain juga menyebutkan bahwa hasil histopatologi
koriokarsinoma meningkatkan risiko persisten dan resistensi kemoterapi. David dkk
(2012) menyebutkan diagnosis koriokarsinoma mengalami resistensi terhadap MTX
sebesar 31%, lebih besar dibandingkan dengan
PTG postmolar sebesar 17%.23,29

27
3. Nilai β-hCG pra Kemoterapi
Banyak studi yang menyatakan bahwa nilai hCG pra kemoterapi
yang tinggi secara signifikan meningkatkan risiko resisten MTX. 1,22,30 Trommel dkk.
(2006), mendapatkan nilai median kelompok resisten MTX lebih tinggi dibanding
kelompok remisi komplit (median 2098mcg/L (6212.000) dan 251mcg/L (6,2 –
12.000)).8 Sesuai dengan hasil penelitian Davis dkk (2012) yang menyebutkan
tingginya kadar hCG pra kemoterapi memiliki ubungan yang bermakna dengan
peningkatan risiko resistensi
(p=0,001).23
Hal ini didukung hasil penelitian Chan dkk, 2006, yang mendapatkan hasil
penurunan keberhasilan kemoterapi pada nilai b-hCG
yang semakin tinggi, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 24

Nilai b-hCG Keberhasilan,%


100 - 999 62.3 - 88.2 45.1
1000 - 2999 - 62.3 25.5 -
3000 - 5999 45.1
6000 - 9999 19.6 - 25.5
10,000 - 49,999 7.8 - 19.6
50,000 - 99,999 2.0 - 7.8
100,000 atau lebih 2.0 atau kurang
Tabel 2.6.1. persentase keberhasilan kemoterapi berdasarkan kadar b-hCG
prakemoterapi (dikutip dari Chan KL, 2006, Single-dose methotrexate Regimen
in
the treatment of lowrisk gestational trophoblastic neoplasia).

4. Metastasis
Chan dkk (2006) mendapati persentase yang lebih tinggi untuk metastasis
pada kelompok resisten dibanding kelompok remisi komplit, yaitu kelompok remisi
komplit hanya 2%, sementara kelompok resisten adalah 17,5%. 24
Davis dkk (2012), pasien dengan metastasis memiliki persentase resistensi
yang lebih tinggi (31%) dibandingkan dengan pasien tanpa
metastasis (17%).23

28
5. Skor FIGO resiko rendah
Banyak penelitian melaporkan bahwa skor FIGO yang lebih tinggi secara
signifikan meningkatkan risiko resisten MTX.1,22,30 Davis dkk (2012) mendapati
peningkatan skor FIGO berhubungan dengan resistensi MTX tunggal, yaitu 13%
pada skor 0-2, 32% pada skor 3-4 dan 48% pada skor 5-6. 23

6. Siklus kemoterapi
Trommel dkk (2006), mendapat hasil median jumlah siklus kemoterapi
MTX kelompok remisi komplit adalah 5 siklus (range 3-17 siklus), sementara pada
kelompok resisten adalah 7 siklus (range 3-16
siklus).8

2.7. Resistensi MTX


MTX merupakan antagonis folat, mekanisme kerja MTX terhadap
keganasan adalah melalui penghambatan dihidrofolat reduktase (DHFR), suatu
enzim yang berpartisipasi dalam sintesis tetrahidrofolat. Afinitas MTX terhadap
DHFR sekitar seribu kali lipat daripada folat. Asam folat diperlukan untuk sintesis
denovo dari timidin nukleosida, yang dibutuhkan dalam sintesis DNA. Juga folat
sangat penting untuk purin dan pirimidin sebagai dasar biosintesis, sehingga
biosintesis DNA, RNA, thymidylates dan protein akan terhambat, dan akan berakhir
dengan kematian sel,
terutama sel yang aktif membelah.31,32

29
Gambar 2.7.1. Mekanisme kerja MTX sebagai antagonis folat (dikutip dari
Rajagopalan PT, 2002, Interaction of dihidrofolate reductase with
Methotrexate:
Ensemble and Single-molecule kinetics)

Meskipun pengembangan rejimen kemoterapi yang efektif dari MTX telah


meningkatkan terapi sejumlah keganasan, untuk mencapai masa bebas penyakit yang
lama masih sangat sulit, bahkan pada keganasan yang sensitif kemoterapi. Khasiat
MTX seperti agen kemoterapi lainnya akhirnya dibatasi oleh resistensi. 18
Beberapa study mendapatkan angka resistensi MTX yang bervariasi, tetapi
masih dibawah 50%, seperti Lurain dkk (1995), mendapat hasil resisten MTX
sebesar 10,7% (27 pasien).33 Chalouhi dkk
(2009) mendapatkan angka resistensi sebesar 22,5% (32 pasien). 22
Chan dkk, 2006, dalam jurnalnya mengatakan bahwa penggunaan
kemoterapi rejimen yang berbeda dari MTX tunggal seperti, MTX 5hari ataupun
MTX+FA 8hari dapat digunakan dengan angka remisi komplit yang tinggi yaitu 60-
90%.24
Tetapi sampai saat ini, belum ada kesepakatan internasional mengenai
definisi resisten terhadap kemoterapi lini pertama ini. Beberapa klinisi
mendefinisikan resistensi sebagai pendataran atau peningkatan nilai hCG serum

30
dan/atau adanya perkembangan metastasis baru. Sebagai contoh, Mc.Neish dkk
tahun 2002 mendefinisikan resistensi dengan adanya peningkatan nilai β-hCG (tanpa
disebutkan berapa persen kenaikannya) atau jika dijumpai nilai yang tetap pada dua
kali pemeriksaan.18 Matsui H dkk tahun 2005 mendefinisikan resistensi dengan
adanya nilai tetap (kurang dari 50% penurunan hCG titer) atau
peningkatan nilai hCG pada dua siklus berturut.26

3.9 Pemantauan Paska Kemoterapi dan Pemeriksaan hCG


Risiko relaps setelah kemoterapi adalah sampai 3% dan diperlukan
monitoring hCG serial. Metode kontrasepsi apapun dapat digunakan mencakup
kontrasepsi oral. hCG dimonitor setiap minggu sampai 6 minggu post kemoterapi
sebelum penggantian ke analisis urin. Penelitian Pfeffer dkk. (2007) menunjukkan
bahwa pada 15.279 pasien tidak ada rekurensi yang signfikan setelah terapi MTX.
Akan tetapi, pada peneltiian Rustin dkk. (1996) pada 26 pasien yang menerima
kemoterapi kombinasi,
ditunjukkan adanya metastasis.34,35

Tabel 2.8.1. Protokol follow up pasien PTG setelah kemoterapi (UK)


(dikutip dari Seckl MJ, 2013, Gestational Trophoblastic Disease: ESMO Clinical
Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up)

3.10 Evaluasi hormon human Chorionic Gonadotrophin (hCG)


Evaluasi hCG serial dapat digunakan untuk diagnosis kehamilan normal dan
abnormal. hCG adalah hormon glikoprotein yang memiliki 2 subunit, alfa dan β, dan

31
merupakan indeks yang penting untuk penyakit tropoblastik gestasional. hCG
mencakup subunit alfa pada LH dan subunit β pada TSH. Pemeriksaan untuk deteksi
hCG menggunakan antibodi yang langsung pada subunit β. Pada kehamilan, subunit
ini biasanya intak dan hiperglikosilasi selama trimester pertama. Di sisi lain, β-hCG
yang meningkat akibat kanker dapat tampak pada beberapa bentuk atau fragmen
yang berbeda meliputi β nicked bebas, peptida c terminal, β-hCG hiperglikosilasi.
Pada tahun 2011, SOCG menunjukkan bahwa level hCG dapat memberikan hasil
positif palsu sampai 800 mIU/mL. Hal ini disebabkan antibodi antimencit, antibodi
heterofil, dan interface protein non spesifik. Lebih lanjut, hal ini disebabkan
banyaknya variasi alat pemeriksaan yang digunakan. 36
Pemantauan β-hCG juga dilakukan sebagai monitor terapi pada PTG, beberapa
peneliti berupaya membuat kurva regresi β-hCG sebagai alat untuk memantau
keberhasilan pemberian kemoterapi ataupun
kecenderungan resistensi yang dapat dideteksi lebih dini. 36
Seckl dkk. (2010) menggambarkan kurva regresi β-hCG pada PTG risiko
rendah yang diterapi dengan kemoterapi lini tunggal terhadap satu pasien. 9

Gambar 3.10.1 Grafik penanda pengobatan tumor (hCG)


mendemonstrasikan seorang pasien yang respon terhadap kemoterapi risiko
rendah. Evakuasi molahidatidosa komplit, nilai plateu hCG mengindikasikan
PTG persisten, maka pasien diberikan MTX dan folinic acid (MTX-FA). Terapi
dilanjutkan sampai 6 minggu normal (<5 IU/l). (dikutip dari Seckl MJ, 2010,
Gestational trophoblastic disease)

32
Trommel dkk (2009), merancang suatu kurva regresi β-hCG selama terapi PTG
risiko rendah untuk identifikasi resistensi MTX secara dini. Dari kurva tersebut
didapat 2,5% pasien mencapai nilai β-hCG normal setelah siklus pertama (minggu
ke-2) dan 50% pasien mencapai nilai normal βhCG setelah mendapat kemoterapi
siklus ke-4 (minggu ke-8). Sementara pada persentil 97.5 normalisasi berakhir di
kadar β-hCG 4,3 ᴫg/L (cut off 2 ᴫg/L) disebabkan kurva dihentikan pada siklus ke-
8.8
Berdasarkan kurva resistensi yang dibandingkan dengan kurva regresi
normal, sebelum memulai siklus kemoterapi didapati 4 pasien resisten MTX (13,8%)
berada diatas garis p97.5 kurva remisi komplit.
Sebelum memasuki siklus ke-4, didapati 22 dari 29 pasien (76%) resisten MTX
berada di atas garis p97.5.8
Dengan analisis kurva ROC dapat diidentifikasi 14% pasien yang
membutuhkan terapi alternatif sebelum dimulai kemoterapi lini pertama dengan
spesifisitas 97.5% (cutoff 9.600ᴫg/L). Pengukuran hCG serum sebelum kemoterapi
MTX siklus ke-4 (minggu ke-7), dapat
mengidentifikasi 50% pasien yang tidak respon terhadap kemoterapi MTX dengan
spesifisitas 97.5% (cutoff 56 ᴫg/L). Pengukuran hCG serum sebelum kemoterapi
MTX siklus ke-6 (minggu ke-11), dapat diidentifikasi 60% pasien yang tidak respon
terhadap kemoterapi MTX dengan
spesifisitas 97.5% (cutoff 24 ᴫg/L).8

33
Gambar 3.10.2 A. Kurva regresi hCG serum normal pasien yang
mendapat MTX (grup control, n=79) B. Kurva regresi hCG serum normal
grup kontrol dengan pengukuran individual pada grup kasus (n=29) (dikutip
dari Trommel FC, 2005,
Diagnosis of hydatidiform mole and persistent trophoblastic disease: Diagnosis
accuracy of total human chorionic gonadotropin (hCG), free hCG α-and β-
subunits, and their ratios,” European Journal of Endocrinology)

Sebagai analogi, Lybol dkk (2012) membentuk dua kurva regresi untuk
memprediksi resistensi kemoterapi terhadap pemberian kemoterapi EMA/CO.
Konsentrasi hCG inisial pada kelompok PTG risiko tinggi lebih tinggi dikarenakan
load tumor yang lebih tinggi pada grup resisten MTX yang telah mengalami regresi

34
tumor dengan MTX (p<0,001). Tujuan analisis kurva untuk menurunkan mortalitas
dengan perubahan awal ke regimen platinum (EMA-EP). Persentil 90 dipilih sebagai
lini atas kurva regresi. Kurva regresi pasien yang diterapi dengan EMA/CO untuk
penyakit resisten MTX ditunjukkan pada gambar di bawah. Konsentrasi hCG median
sebelum onset terapi adalah 21 ng/mL dan sebelum siklus
EMA/CO ketiga, hampir setengah pasien memiliki kadar hCG normal. Persentil 90
adalah 148 ng/ml sebelum mulai terapi. Sebanyak 90 persen pasien dengan resistensi
MTX memiliki kadar hCG normal sebelum siklus EMA/CO keempat mulai.
Persentil 10 adalah kurang dari 3 ng/ml sebelum dimulainya siklus pertama. 37

Gambar 3.10.3. Kurva regresi pasien PTG resisten MTX yang diterapi dengan
EMA/CO (dikutip dari Lybol C. Westerdijk K. Sweep FC. Ottevanger PB.
Massuger
LF. Thomas CM. Human chorionic gonadotropin (hCG) regression s for
patients with high-risk gestational trophoblastic neoplasia treated with EMA/CO
(etoposide, methotrexate, actinomycin D, cyclophosphamide and Vincristine)
Chemotherapy)
Kurva regresi pasien yang diterapi dengan EMA/CO untuk PTG risiko tinggi
ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Persentil 90 adalah di kadar 32.781 ng/ml.
Pada 90% pasien, konsentrasi hCG mengalami regresi ke normal sebelum siklus
EMA/CO kedelapan. Level hCG median adalah 7059 ng/ml pada siklus pertama dan

35
50% setelah siklus kelima akan memiliki konsentrasi hCG normal. Persentil
kesepuluh dimulai dari konsentrasi hCG 1520 ng/ml, dan 10% mengalami remisi
sebelum siklus keempat.37

Gambar 3.10.4. Kurva regresi pasien yang diterapi dengan EMA/CO pada PTG
risiko tinggi (dikutip dari Lybol C. Westerdijk K. Sweep FC. Ottevanger PB.
Massuger LF.
Thomas CM. Human chorionic gonadotropin (hCG) regression s for patients
with high-risk gestational trophoblastic neoplasia treated with EMA/CO
(etoposide,
methotrexate, actinomycin D, cyclophosphamide and Vincristine) Chemotherapy)

Kebanyakan pasien dapat mengharapkan fungsi reproduksi normal 6 bulan


setelah terapi. Penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara pasien yang
diterapi dengan kemoterapi kombinasi dan yang diterapi dengan kemoterapi agen
tunggal. Pasien harus menunggu 12 bulan setelah kemoterapi dihentikan sebelum
merencanakan kehamilan (Level
of eveidence C).38,39

36
3.11. Kerangka Teori

Folic acid

DHFR

MTX Dihidrofolinic acid

DHFR

Tetrahidrofolic

Sintesis purin dan thymidilate

DNA & RNA biosinthesis damage (sincytiotrophoblast cell)

Sperma Empty
- 46XX oocyte /
Cell Death
- 46XY normal

Proliferasi trofoblas Pembelahan Sel sinsitiotrofoblas β-hCG

Edema villous stroma

Grape appearance

Keterangan gambar :
Variabel penelitian
Proses terhambat

37
4.1. Pengertian Kehamilan Ektopik
Kehamilan Ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni dalam
endometrium kavum uteri (Wiknjosastro, 2007).
Kehamilan Ektopik adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi,
implantasi terjadi di luar endometrium kavum uteri (Saifuddin, 2008)
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di suatu lokasi
selain uterus (Dutton dkk, 2010).

4.2. Etiologi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi
wanita yang bersangkutan dengan besarnya kemungkinan terjadi
keadaan yang gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila
kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu
merupakan peristiwa yang dapat dihadapi oleh setiap dokter, karena
beragamnya gambaran klinik kehamilan ektopik terganggu itu. Perlu
diketahui oleh setiap dokter klinik kehamilan ektopik terganggu serta
diagnosisnya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa pada setiap wanita
dalam masa gangguan atau keterlambatan haid yang disertai nyeri
perut bagian bawah, perlu difikirkan kehamilan ektopik terganggu
(Saifuddin, 2007).
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, tetapi sebagian
besar penyebabnya tidak begitu diketahui. Tiap kehamilan dimulai
dengan pembuahan telur dibagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan
ke uterus telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih
di tuba.
Menurut Saifuddin tahun 2009 faktor-faktor yang memegang peranan
dalam hal ini ialah sebagai berikut:
a. Faktor tuba
1) Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan
lumen tuba menyempit atau buntu.
2) Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran
tuba yang berkelok-kelok panjang yang dapat menyebabkan
fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan baik.

38
3) Keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba dapat merupakan
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
4) Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis
tuba atau divertikel saluran tuba yang bersifat congenital
5) Adanya tumor disekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri
atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk
juga dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik terganggu.
b. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran
besar, maka zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat
melalui tuba, kemudian berhenti dan tumbuh di saluran tuba.
c. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba
dapat membutuhkan konsep khusus atau waktu yang lebih
panjang sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik
lebih besar.
d. Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB, yang hanya mengandung progesteron
dapat mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi
pembuahan dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
e. Faktor lain
Termasuk disini antara lain adalah pemakaian IUD dimana
proses peradangan yang dapat timbul pada endometrium dan
endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
Faktor umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok
juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.

4.3. Tanda dan gejala menurut Wiknjosastro tahun 2007 antara lain :
a. Adanya amenorea sering ditemukan walaupun hanya pendek saja
sebelum diikuti perdarahan
b. Mual dan muntah
c. Rasa nyeri di bagian kanan atau kiri perut ibu
d. Perut semakin membesar dan keras
e. Suhu badan agak naik

39
f. Nadi cepat
g. Tekanan darah menurun
4.4. Beberapa Jenis Kehamilan Ektopik Lainnya
(Wiknjosastro, 2007)
a. Kehamilan servikal
Kehamilan ini jarang dijumpai dan biasanya terjadi abortus spontan
dan didahului oleh perdarahan yang makin lama semakin banyak.
Kehamilan ini jarang sekali berlangsung lewat 20 minggu.
Perdarahan yang banyak merupakan indikasi untuk ,mengambil
tindakan terdiri atas kerokan kavum uteri dan kanalis servikalis.
Diagnosis biasanya baru dibuat pada waktu itu. Dengan USG dapat
ditegakkan lebih dini.
b. Kehamilan dalam divertikulum uterus
Kehamilan ini jarang sekali terjadi dan sangat sulit sekali untuk
membuat diagnosisnya. USG dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kiranya dapat menegakkan diagnosis. Akibat kehamilan
ini rupture ke luar dari uterus atau abortus. Kadang-kadang
kehamilan dapat berlangsung terus dan memerlukan laparatomi
untuk melahirkan janin diikuti oleh histerektomi.
c. Kehamilan ovarial
Kehamilan ini yang jarang terdapat, terjadi apabila spermatozoon
memasuki folikel de Graaf yang baru saja pecah, dan menyatukan
diri dengan ovum yang masih tinggal dengan folikel. Nasib
kehamilan ini adalah ovum yang dibuahi mati, atau terjadi ruptura.
Untuk dapat membuat diagnosa kehamilan ovarial murni harus
memenuhi beberapa syarat antara lain:
1) Tuba pada tempat kehamilan harus normal, bebas dan terpisah
dari ovarium.
2) Kantong janin harus terletak dalam ovarium.
3) Ovarium yang mengandung kantong janin harus berhubungan
dengan uterus lewat ligamentum ovary propium.
4) Harus ditemukan jaringan ovarium dalam dinding kantong
janin.
d. Kehamilan intra dan ekstra uterin

40
Kombinasi kehamilan intrauteri dan kehamilan tuba terjadi kurang
lebih satu kali diantara 6000 kehamilan. Kombinasi ini biasanya
terjadi pada kehamilan kembar dengan satu ovum yang dibuahi
berimpalanatsi di kavum uteri dan ovum yang lain berimplantasi di
tuba. Dalam hal ini biasanya terjadi gangguan kehamilan tuba yang
memerlukan tindakan operasi, dan kemudian ternyata bahwa uterus
tumbuh terus berhubung dengan masih adanya kehamilan dalam
uterus.
e. Kehamilan abdominal
Kehamilan ini sangat jarang ditemukan, kehamilan abdominal bisa
primer atau sekunder, kehamilan abdominal primer terjadi apabila
ovum dan spermatozoon bertemu dan bersatu didalam satu tempat
peritoneum dalam rongga perut, dan kemudian juga berimplantasi
ditempat tersebut. Berhubung syarat-syarat untuk impantasi kurang
baik maka kehamilan berhenti dengan kematian mudigah di sertai
dengan perdarahan.
4.5. Patofisiologi
Sementara tanda-tanda dini kehamilan yang biasa didapati pada
serviks muncul, uterus menjadi sedikit membesar dan agak melunak
pada kehamilan ektopik. Endometrium berisi desidua (tapi tidak ada
trofoblas) dan mempunyai gambaran mikroskopik yang khas.
Pada kehamilan ektopik, korpus luteum kehamilan berfungsi,
amenorea terjadi akibat produksi HCG oleh trofoblas dan sekresi
progesterone oleh korpus luteum. Biasanya terjadi perdarahan
endometrium ringan, dipekirakan karena pola hormonal yang tidak
normal, setelah suatu interval amenore yang bervariasi. Lepasnya
endometrium dan perdarahan terjadi ketika trofoblas berkurang (akibat
rupture). Hanya pada kehamilan interstisial yang tidak lazim, darah
dari tuba mengalir melalui uterus ke vagina.
Nyeri abdomen bagian bawah, pelvis, atau punggung bawah dapat
terjai sekunder akibat distenci atau rupture tuba. Kehamilan ismus
biasanya rupture dalam waktu sekitar 6 minggu dan perdarahan akibat
kehamilan ampula terjadi pada 8-12 minggu. Kehamilan kornu paling
sering mencapai trimester kedua sebelum rupture. Kehamilan intra

41
abdominal dapat berakhir setiap waktu disertai dengan perdarahan.
Massa pelvis disebabkan oleh pembesaran hasil konsepsi,
pembentukan hematoma, distorsi usus akibat adhesi atau infeksi. Jika
janin meninggal tanpa perdarahan hebat, mungkin dapat menjadi
terinfeksi, termumifiksasi, terkalsifikasi (litopedioon) atau menjadi
adiposera (penggantian oleh lemak).
4.6. Komplikasi kehamian ektopik terganggu
Menurut Syaifuddin (2008) kehamilan ektopik ini akan mengalami
abortus atau rupture apabila masa kehamilan berkembang melebihi
kapasitas ruang implantasi (misalnya di tuba).
Tanpa intervensi bedah, kehamilan ektopik yang rupture dapat
menyebabkan perdarahan yang mengancam nyawa (≥ 0,1 %
mengakibatkan kematian ibu). Infeksi sering terjadi setelah rupture
kehamilan ektopik yang terabaikan (Benson dan Martin, 2009).
4.7. Manajemen Kehamilan Ektopik Terganggu
Menurut Saifuddin tahun 2008 antara lain:
a. Setelah diagnosis ditegakkan, segera lakukan persiapan untuk
tindakan operatif gawat darurat
b. Ketersediaan darah pengganti bukan menjadi syarat untuk
melakukan tindakan operatif karena sumber perdarahan harus
segera dihentikan
c. Upaya stabilisasi dilakukan dengan segera merestorasi cairan tubuh
dengan larutan kristaloid NS atau RL (500 ml dalam 15 menit
pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama (termasuk dalam tindakan
berlangsung).
d. Bila darah pengganti belum tersedia berikan autotransfusion
berikut ini:
1) Pastikan darah yang dihisap dalam rongga abdomen telah
melalui alat penghisap dan wadah penampung yang steril.
2) Saring darah yang tertampung dengan kain steril dan masukan
kedalam kantung darah (blood bag). Apabila kantung darah
tidak tersedia, masukan dalam botol bekas cairan infus (yang
baru terpakai dan bersih) dengan diberikan larutan sodium
sitrat 10 ml untuk setiap 90 ml darah.

42
3) Transfusikan darah melalui selang transfuse yang mempunyai
saringan pada bagian tabung tetesan.
e. Tindakan pada tuba dapat berupa:
1) Parsial salpingektomi yaitu melakukan eksisi pada bagian tuba
yang mengandung hasil konsepsi.
2) Salpingostomi (hanya dilakukan sebagai upaya konservasi
dimana tuba tersebut merupakan salah satu yang masih ada)
yaitu mengeluarkan hasil konsepsi pada satu segmen tuba
kemudian diikuti dengan reparasi bagian tersebut. Resiko
tindakan ini adalah control perdarahan yang kurang sempurna
atau rekurensi (hamil ektopik ulangan).
f. Mengingat kehamilan ektopik berkaitan dengan gangguan fungsi
transportasi tuba yang disebabkan oleh proses infeksi maka
sebaiknya pasien diberi antibiotika kombinasi atau tunggal dengan
spectrum yang luas.
g. Untuk kendali nyeri pasca tindakan dapat diberikan:
1) Ketoprofen 100 mg supositoria
2) Tramadol 200 mg IV
3) Pethidin 50 mg IV
h. Atasi anemia dengan tablet besi (SF) 600 mg per hari
i. Konseling pasca tindakan
1) Kelanjutan fungsi reproduksi
2) Resiko hamil ektopik berulang
3) Kontrasepsi yang sesuai
4) Asuhan mandiri elama dirumah
5) Jadwal kunjungan ulang

4.8. Standar Operasional Prosedure (SOP) Kehamilan Ektopik menurut


Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa tahun 2010 sebagai berikut :
4.8.1. Pengertian
Pelayanan seleksi wanita hamil resiko tinggi
4.8.2. Tujuan
a. Memberikan pelayanan ibu hamil agar secara fisik dan mental
dapat siap menghadapi kehamilan

43
b. Mencegah secara dini timbulnya kehamilan resiko tinggi pada
kasus-kasus yang masih dapat diintervensi
c. Melakukan deteksi dini adanya kehamilan risiko
d. Memberikan terapi sebaik-baiknya
4.8.3. Kebijakan
Kebijakan Direktur RSUD Ambarawa Nomor 800/1000/2010 tentang
pemberlakuan SPO
4.8.4 Prosedur
a. Pelayanan dilakukan di poli kebidanan dan kandungan
b. Penderita harus menyelesaikan administrasi diloket pendaftaran
c. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter ahli kandungan/ dokter
d. Pencatatan dan anamesis dilakukan oleh bidan / perawat/ petugas
kesehatan
e. Bila dirujuk ke poli klinik lain atau di rawat di instalasi rawat inap
dilakukan pencatatan petugas rumah sakit dan catatan medis
dibawa oleh petugas rumah sakit
f. Bila ada pemeriksaan penunjang (Labolaturium pemeriksaan
klinik, patologi anatomi, mikrobiologi radiologi, USG) maka
dokter akan membawakan surat pengantar kemudian penderita
menyelesaikan administrasinya. Bila sudah ada hasil diserahkan
kembali ke dokter
g. Setelah penderita dating dan catatan medis sudah ada maka
dilakukan pencatatan dan anamesis serta pemeriksaan fisik awal
(tinggi badan, berat badan, dan tanda-tanda vital) oleh bidan/
perawat/ petugas kesehatan
4.8.5. Unit terkait
a. Instalasi Rawat Jalan
b. POLI OBSGYN
c. Instalasi Rawat Inap

44

Anda mungkin juga menyukai