Anda di halaman 1dari 11

STRATEGI PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP

PENJAJAHAN BANGSA EROPA


“ACEH VS BELANDA”

Oleh :

Nama : Ni Nyoman Bintang Anjani Putri Suparta


Kelas : XI MIPA 4
No. : 30

SMA NEGERI 1 MENGWI


TAHUN PELAJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatNya-lah maka saya bisa menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang “Perlawanan Rakyat Aceh Vs
Portugis dan VOC”, yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk
mempelajari berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa mengetahui perjuangan
dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Dengan ini, saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat untuk
semua pihak.

Mengwi, 3 September 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………
1
1.1 Latar belakang………………………………………………………………………………..…1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………………2
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………………2
1.4 Manfaat ………………………………………………………………………………………….3
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………….4
2.1 Latar Belakang Perlawanan Teuku Umar dalam Menentang Kolonialisme
Belanda……….4
2.2 Periode Perang
Aceh…………………………………………………………………………….5
2.3 Strategi Teuku Umar dalam Menentang Kolonialisme Belanda……….
…………………….5
2.4 Alasan Teuku Umar Kembali Menyerah………………………………………………………
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………….7
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………………7
3.2 Saran …………………………………………………………………………………………….7
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….……8
ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah berdasarkan posisi geografisnya Aceh berada di pintu gerbang masuk wilayah
Indonesia bagian barat. Karena letaknya berada pada pantai selat Malaka, maka daerah ini penting
pula dilihat sebagai jalur perdagangan Internasional, Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang
serta hasil hutan. oleh karena itu, banyak bangsa asing berambisi untuk menduduki daerah ini, dan
membawa dampak Aceh banyak didatangi oleh berbagai bangsa Asing dengan bermacam motif dan
kepentingan baik politis, maupun ekonomis. Bangsa Asing yang menduduki Aceh pada tahun 1511
adalah Portugis, sehingga kedudukan Aceh terancam, dan Portugis mendapat perlawanan dari
Rakyat Aceh dan berusaha mengusir Portugis dari Malaka.
Bangsa Asing lain bermaksud menancapkan kekuasaannya di Aceh adalah Belanda, Rintisan
pemakluman perang Aceh oleh belanda di umumkan oleh komisaris pemerintah yang merangkap
wakil presiden Dewan Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuizen, diawali dengan penandatanganan
Traktat Sumatera antara Belanda dan Inggris dalam tahun 1871, yang antara lain “memberi
kebebasan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di pulau Sumatera” sehingga tidak ada
kewajiban lagi bagi Belanda untuk menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang sebelumnya telah
diakui, baik oleh Belanda maupun Inggris seperti yang tercantum didalam Traktat London yang
ditandatangani pada tahun 1824.
Pada tanggal 26 maret 1873 dari geladak kapal perang citadel van antwerpen yang berlabuh
diantara pulau weh (Sabang) dengan daratan AcehBelanda memaklumkan perang kepada Aceh.
Namun demikian, permakluman perang tersebut tidak serta merta diikuti dengan kegiatan fisik
militer karena Belanda masih menunggu terhimpunnya kekuatan perangnya yang sedang bergerak
menuju Aceh dan kapal- kapal perang Belanda yang telah tiba di Aceh terus melakukan pengintaian
dan provakasi di perairan Aceh. Selain itu, Belanda mengirim surat kepada Sultan Aceh
menunjukkan bahwa Belanda benar-benar akan menyerang. Belanda membuka perang di Aceh
bukan hanya untuk merenggut kemerdekaan politik dan kemerdekaan ekonomi, tetapi juga dengan
maksud menggoncangkan keyakinan rakyat Aceh kepada agamanya.
Dalam rangka menghancurkan Aceh ini, belanda mengerahkan seluruh potensi yang
dimilikinya, termasuk sebagian dari putra putri Indonesia sendiri, dalam menghadapi ancaman
Belanda pada abad ke 19, rakyat Aceh telah merelakan dirinya menjadi syuhada. Perjuangan rakyat
Aceh baik dalam bentuk konfrontasi total, maupun bergerilya selama bertahun-tahun telah membuat
Belanda hampir putus asa. Perlawanan yang telah ditunjukkan oleh rakyat Aceh adalah suatu
perlawanan yang sengit dan militant, yang sukar dicari bandingannya dalam sejarah dunia pada
waktu itu.
Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan menghadapi serangan
Belanda. Sepanjang pantai Aceh Besar di bangun benteng-benteng untuk memperkuat wilayah.
Demikian juga untuk tempat-tempat yang penting seperti istana raja, Masjid Raya Baiturrahman,
dan gunongan juga diperkuat.

Terdapat sekitar 3000 laskar pejuang Aceh yang bersiaga disepanjang pantai dan 4000
pasukan lain yang menjaga istana Sultan. Masyarakat Aceh mengobarkan semangat juang untuk
mempertahankan negerinya dari serangan Belanda.
Peran Ulama dan Uleebang dalam perang Aceh juga sangat besar. Karna masyarakat Aceh sebagian
besar adalah pemeluk agama Islam yang kuat sehingga begitu ulama menyerukan kepada umat
untuk perang fisabilillah maka rakyat Aceh dengan serentak akan menyerahkan jiwa dan raganya
untuk berjuang dijalan Tuhan dan demi mempertahankan negerinya dari serangan Belanda.
Salah satu tokoh yang berjuang melawan Belanda adalah Teuku Umar bersama pejuang-
pejuang Aceh lainnya. Teuku Umar mencari Strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak
Belanda, Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Ketika bergabung dengan
Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal tersebut dilakukan Teuku Umar
secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Dan
taktik tersebut akhirnya berhasil. Pada tahun 1896 Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda. Ia
melancarkan serangan berdasarkan siasat dan strategi perang miliknya, Teuku Umar dibantu Teuku
Panglima Polim dan para pengikutnya membantai Belanda. Gubernur Deykerhof sebagai gubernur
yang telah memberi kepercayaan kepada Teuku Umar selama ini telah dikhianati Teuku Umar. Ia
lantas memerintah Van Heutsz bersama pasukan besarnya untuk menangkap Teuku Umar. Serangan
mendadak kedaerah Meulaboh itulah yang merenggut nyawa Teuku Umar. Ia ditembak dan gugur
di medan perang, tepatnya dikampung Mugo pada Februari 1899.
Maka Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk mengangkat judul “Strategi Teuku Umar
dalam Menentang Kolonialisme Belanda (1873- 1899)”.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang perlawanan Teuku Umar dalam menentang kolonialisme Belanda?
2. Bagaimana periode Perang Aceh?
3. Bagaimana strategi Teuku Umar dalam menentang kolonialisme Belanda?
4. Apa alasan Teuku Umar kembali menyerah?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang perlawanan Teuku Umar dalam menentang Kolonialisme
Belanda.
2. Untuk mengetahui tindakan-tindakan yang dilakukan Belanda di Aceh Besar.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan Teuku Umar dalam menentang kolonialisme
Belanda di Aceh.

2
1.4 Manfaat
a. Untuk mengetahui sejarah perlawanan rakyat Aceh.
b. Untuk meneladani sikap kepahlawanan rakyat Aceh.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Perlawanan Teuku Umar dalam Menentang Kolonialisme Belanda
Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkam wilayah Deli, Langkat,
Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda,
berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian
London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan
tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura.
Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga
kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh
ini didukung Britania.
Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh
menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London
1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda
untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka.
Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana
Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan
Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga
mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut,
Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan
Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta
keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi
Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
2.2 Periode Perang Aceh
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud
Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat
dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian,
perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya
Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk,
Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan
dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten.
Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat
pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh
Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri.
Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan
mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-
tempat lain.

4
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang
gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada
tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar
gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang
gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan
Kesultanan.

2.3 Strategi Teuku Umar dalam Menentang Kolonialisme Belanda


Teuku Umar pernah diberi gelar Teuku Johan Pahlawan oleh Belanda. Umar pernah
berpura-pura menyerah dan berdamai dengan Belanda pada 1883, sebagai bagian dari strateginya
untuk bisa mendapatkan persenjataan dari Belanda. Gubernur Jenderal Belanda Van Teijn lantas
berusaha untuk mendapatkan hati rakyat Aceh dengan memanfaatkan Teuku Umar. 
Saat dirinya bergabung dengan Belanda, Teuku Umar berusaha menundukkan pos-pos
pertahanan Aceh. Hal itu dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi pihak
Belanda agar Teuku Umar bisa diberi peran yang lebih besar oleh Belanda. Strategi Umar pun
berhasil dan Belanda mengabulkan permintaan Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120
orang prajurit, termasuk seorang Panglima Laut.
Pada tahun 1884, Teuku Umar pernah ditugasi Belanda untuk membebaskan kapal Nicero
milik Inggris yang disandera oleh Raja Teunom. Peristiwa penyanderaan kapal Nicero ini sempat
menyulut ketegangan antara Belanda dan Inggris. Teuku Umar pun menyatakan diri sanggup
membebaskan kapal tersebut asal diberi persenjataan dan logistik yang banyak.
Teuku Umar lantas berangkat menggunakan kapal Bengkulen ke Aceh Barat dengan
membawa perbekalan perang yang cukup, beserta 32 tentara Belanda dan beberapa panglimanya.
Namun tak lama setelah Umar berlayar, Belanda dikejutkan oleh berita yang menyatakan bahwa
seluruh tentara Belanda yang ikut dibunuh di tengah laut. Semua senjata dan perlengkapan perang
lainnya juga dirampas. Sejak itu, Teuku Umar pun kembali berpihak pada rakyat Aceh.
Setelah berhasil membawa persenjataan milik Belanda, Teuku Umar lantas membagikan
senjata-senjata hasil rampasan tersebut kepada tentara Aceh, dan memimpin kembali perlawanan
rakyat Aceh terhadap Belanda. Teuku Umar berhasil merebut kembali beberapa daerah yang
sebelumnya dikuasai oleh Belanda.

2.4 Alasan Teuku Umar Kembali Menyerah


Di pihak lain, Teuku Umar sendiri merasa bahwa perang ini sangat menyengsarakan rakyat
karena mereka tak bisa lagi bekerja dengan leluasa. Teuku Umar pun merubah strategi dan kembali
menyerah pada 1893. Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama
13 orang Panglima bawahannya. Saat itulah, Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan
Panglima Besar Nederland.
Setelah sekian lama menjadi pemimpin prajurit Belanda, pada 30 Maret 1896, Teuku Umar
kembali memimpin rakyat Aceh dan keluar dari kesatuan militer Belanda dengan membawa
pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.
Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda hingga Gubernur
Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter.
5
Belanda pun segera mendatangkan pasukan bantuan dari Jawa dan Gubernur Vetter
ultimatum agar Umar menyerahkan kembali semua senjatanya. Karena Umar tidak mau memenuhi
tuntutannya, pada tanggal 26 April 1896 gelar Teuku Johan Pahlawan sebagai Uleebalang Leupung
dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda dicabut.
Setelah itu, Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi
Belanda. Umar pun menjadi pemimpin seluruh rakyat Aceh melawan Belanda pada tahun 1896,
dengan dibantu oleh Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku
Panglima Polem Muhammad Daud. Untuk pertamakalinya rakyat Aceh berjuang dalam satu
komando.
Teuku Umar bersama pasukannya tiba di wilayah Pidie pada Februari 1898 dan bergabung
dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar
dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja
Aceh Sultan Muhammad Daud Syah.
Belanda yang mendapat laporan kedatangan Teuku Umar yang bergerak menuju Meulaboh
ini segera menempatkan pasukannya untuk mencegat di perbatasan Meulaboh. Pada Februari 1899
pasukan Teuku Umar yang tiba di pinggiran kota Meulaboh ini terkejut karena dihadang pasukan
Belanda.
Mendapat serangan secara tiba-tiba, Teuku Umar dan pasukannya yang dalam posisi terjepit
ini tak bisa mundur untuk mengatur siasat. Saat itu, bertempur adalah satu-satunya jalan untuk bisa
selamat. Teuku Umar pun gugur dalam pertempuran ini karena tertembak di bagian dadanya.
Jenazah pahlawan besar Aceh ini kemudian dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai
Meulaboh.

6
BAB II
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Perang Aceh merupakan perang yang berlangsung antara kerajaan Aceh dan Belanda.
Perang tersebut berlangsung kurang lebih sekitar tahun 1873 -1904. Semangat juang rakyat Aceh
yang tidak pernah surut membuat pihak Belanda kesulitan untuk menakhlukkan Aceh. Apalagi
dengan semangat perang sabil yang semakin membuat rakyat Aceh semangat dalam menyerang
Belanda. berbagai strategi perang telah digunakan Belanda untuk melemahkan rakyat Aceh, tetapi
usaha tersebut selalu mengalami kegagalan. Sampai pada akhirnya Belanda meminta nasihat dari
seorang pengamat masyarakat aceh yakni Snouck Hurgronje untuk menyelidiki kelemahan rakyat
Aceh. Dengan adanya bantuan dari snouck Hurgronje, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda dapat
melaksanakan siasat licik untuk menakhlukkan Aceh dan hal tersebut ternyata berhasil dan pada
tahun 1903 sultan Muhammad Daud Syah menyerah kepada Belanda.
            Walaupun akhirnya Belanda berhasil menguasai Aceh dan mengikat Sultan Aceh dengan
perjanjian, tetapi perlawanan-perlawanan dari rakyat Aceh kepada pihak belanda masih terus
berlangsung selama awal abad 20.

3.2 Saran
            Perang Aceh dapat menjadi suatu pembelajaran bagi bangsa Indonesia akan pentingnya rasa
persatuan dan persaudaraan antar seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya rasa persatuan dan
persaudaraan yang terjalin kokoh, maka suatu bangsa akan sulit untuk dihancurkan.

7
DAFTAR PUSTAKA

https://imansofyan-bisanet2014.blogspot.com/2015/03/makalah-perlawanan-rakyat-aceh-
terhadap.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh

Anda mungkin juga menyukai