Anda di halaman 1dari 5

HUKUM PUASA 9 HARI DI BULAN DZULHIJJAH

1. Ayat yang pertama adalah Allah menyuruh perhatikan fajar. Yaitu cahaya matahari yang mulai
membayang di sebelah Timur, kira-kira satu jam lagi lebih kurang sebelum matahari itu sendiri terbit. Di
waktu itulah kita diwajibkan Tuhan mengerjakan sembahyang Subuh, dan habis pula waktu Subuh itu
apabila matahari telah terbit.

‫َو ۡالفَ ۡجر‬


“Demi fajar.” (ayat 1).

Saat fajar menyingsing itulah waktu yang amat penting bagi manusia, karena setelah selesai beribadat
kepada Tuhan dengan sembahyang Subuh, mulailah mereka bergerak menghadapi hari yang mulai siang
buat mencari rezeki di muka bumi Allah. Di saat itu pula Allah memberikan modal, sehari semalam
penuh untuk hari yang baru, agar diisi dengan ibadat kepada Allah dan amal yang shalih. Janganlah
hendaknya hari itu pergi dengan percuma tidak berisi. Karena masa yang telah lampau tidak dapat diulang
lagi.

‫ال َع ۡش ۙ ٍر‬
ٍ َ‫ولَي‬
“Demi malam yang sepuluh.” (ayat 2).
Menurut suatu riwayat daripada Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud dengan malam yang sepuluh
ialah sejak satu haribulan Dzul Hijjah sampai 10 hari bulannya. Karena sejak tanggal 1 itu adalah
persiapan buat mengerjakan haji. Hari kedelapan ialah tarwiyah, persiapan berangkat ke Arafah. Hari
kesembilan ialah hari wuquf, yaitu berhenti di padang Arafah, yang menjadi pusat inti dari amalan haji
itu. Dan setelah selesai wuquf, turun lagi ke Mina, dengan singgah dulu ke Muzdalifah berhenti sebentar
memilih batu buat melontar Jumrah di Mina itu. Selesai melontar Jumratul-‘Aqabah di pagi hari
kesepuluh di Mina itu, dinamailah hari kesepuluh itu Yaumun-Nahry hari menyembelih kurban. Dengan
demikian pekerjaan haji yang penting telah selesai dikerjakan. Sehingga pada hari itu juga dapat
diselesaikan sekaligus Thawaf Ifadhah dan Sa’I, sehingga selesai seluruh rukun dan syarat dan wajib haji
sehari itu juga.
Tetapi ada juga tafsiran tentang “Malam yang sepuluh” itu. Ibnu Jarir menerangkan dalam tafsirnya ialah
10 haribulan Muharram. Dan sebuah tafsir lagi dari Ar-Razi, ialah 10 hari yang terakhir dari bulan
Ramadhan, karena Nabi SAW lebih tekun beribadat di malam 10 yang terakhir dari Ramadhan itu, di
seluruh malamnya beliau lebih banyak bangun dan dibangunkannya pula kaum keluarganya.
Dan ada pula riwayat yang mengatakan “Malam yang sepuluh” ialah lima malam di awal bulan dan lima
malam di akhir bulan karena di malam-malam begitu lebih banyak gelap malamnya dari terangnya,
karena bulan masih kecil.
Tafsir-tafsir ini boleh dipakai dan dikenal semua; karena rahasia yang sebenarnya adalah pada Yang
Empunya Firman sendiri; Allah.
Saat fajar menyingsing itulah waktu yang amat penting bagi manusia, karena setelah selesai beribadat
kepada Tuhan dengan sembahyang Subuh, mulailah mereka bergerak menghadapi hari yang mulai siang
buat mencari rezeki di muka bumi Allah. Di saat itu pula Allah memberikan modal, sehari semalam
penuh untuk hari yang baru, agar diisi dengan ibadat kepada Allah dan amal yang shalih. Janganlah
hendaknya hari itu pergi dengan percuma tidak berisi. Karena masa yang telah lampau tidak dapat diulang
lagi.
Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ْال‬
« ‫جهَا ُد‬ َ ‫ قَالُوا يَا َرس‬.‫ يَ ْعنِى أَيَّا َم ْال َع ْش ِر‬.» ‫َما ِم ْن أَي ٍَّام ْال َع َم ُل الصَّالِ ُح فِيهَا أَ َحبُّ إِلَى هَّللا ِ ِم ْن هَ ِذ ِه األَي َِّام‬
َ‫ُول هَّللا ِ َوال‬
ٍ ‫ىء‬ ِ ِ‫ال « َوالَ ْال ِجهَا ُد فِى َسب‬
ْ ‫يل هَّللا ِ إِالَّ َر ُج ٌل َخ َر َج بِنَ ْف ِس ِه َو َمالِ ِه فَلَ ْم يَرْ ِج ْع ِم ْن َذلِكَ بِ َش‬ َ َ‫» فِى َسبِي ِل هَّللا ِ ق‬.

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada
hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan
Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang
yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud
no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Puasa di Awal Dzulhijjah
Adapun dalil yang menunjukkan istimewanya puasa di awal Dzulhijjah karena dilakukan pula oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diceritakan dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya,
beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

‫ورا َء َوثَالَثَةَ أَي ٍَّام ِم ْن ُكلِّ َشه ٍْر أَ َّو َل‬


َ ‫ يَصُو ُ•م تِ ْس َع ِذى ْال ِح َّج ِة َويَوْ َم عَا ُش‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫اثنَي ِْن ِمنَ ال َّشه ِْر َو ْال َخ ِم‬.
‫يس‬ ْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari
‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar.
Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa
pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459)
Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal yang berbeda dengan
riwayat Merujuk berbagai kitab hadits, riwayat yang sering dijadikan landasan puasa awal Dzulhijah ini
adalah sebagai berikut:

‫ َوال َّر ْك َعتَ ْي ِ•ن قَب َْل ْال َغدَا ِة‬، ‫ َوثَالثَةَ أَي ٍَّام ِم ْن ُكلِّ َشه ٍْر‬، ‫ َو ْال َع ْش َر‬، ‫صيَا َم عَا ُشو َرا َء‬ َ ‫أَرْ بَ ٌع لَ ْم يَ ُك ْن يَ َد ُعه َُّن النَّبِ ُّي‬
ِ : ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari
(bulan Dzulhijjah), puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat subuh ‘Aisyah di
atas. Lantas beliau menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah. Sebagian ulama menjelaskan
bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan Hafshoh yang menyatakan bahwa
beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah
perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijah. Hadits ini setidaknya dikeluarkan oleh
4 Imam. Yaitu Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir nomor 354 dan 396, kemudian Imam
Nasa’i dalam al-Sunan al-Kubra li an-Nasa’i nomor 2.724 dan Sunan an-Nasa’i nomor 2.373. Kemudian
juga termaktub dalam Musnad Ahmad nomor 25.254 serta 26.459, Musnad Ahmad bin Hanbal nomor
26.502, serta Shahih Ibnu Hibban nomor 6.422.
Meski tertulis dalam berbagai kitab hadits, ternyata jalur periwayatannya bersifat tunggal sejak thabaqat
(tingkatan perawi) pertama hingga thabaqah keenam. Yaitu Hafshah bin Umar bin Khattab (istri Nabi
Muhammad saw) kemudian Hunaydah bin Khalid al-Khuzaa’i, Al-Hurr bin al-Shayyah, Amru bin Qays
al-Mulaa’i, Abu Ishaq al-Asyja’i, hingga Hasyim bin al-Qaasim.
Namun, layaknya “dalil” yang dibukukan satu abad setelah kewafatan Nabi Muhammad saw, ulama
hadits pun memberikan “catatan” tentang nilai hadits dengan metode yang dikenal “Takhriij al-Hadiits”.
Sebuah metode pengujian validitas hadits dengan menelusuri biografi semua periwayat dan kuat-
lemahnya hafalan mereka. Ia digunakan untuk mengetahui ketersambungan mata rantai sanad
antarperawi, serta mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kecacatan maupun keadilannya (al-
jarh wa al-ta’dil).
Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud
riwayat Hafshoh…ad, Abu Daud, dan At Turmudzi
Konstruksi hadist secara sederhana tersusun atas pengantar pemberitaan (sanad) dan inti berita (matan).
Mudahnya, sanad adalah “tokoh” yang disebut dalam urut-urutan hadits sejak zaman Nabi Muhammad
saw hingga sampai orang yang membukukan hadits tersebut. Sebab, sebelum dibukukan, dalam kurun 1
abad lebih, penyampaikan hadits lebih mengandalkan pada “perkataan” tokoh yang menyampaikannya.
Ilustrasi sanad bisa digambarkan sebagai berikut: Pencatat hadits > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 >
Penutur 2 > Penutur 1 (sahabat Nabi) > Rasulullah.
Dengan demikian, posisi sanad dalam hadits berfungsi untuk membuktikan proses kesejarahan terjadinya
hadist. Sementara matan (isi) hadits mempresentasikan konsep ajaran. Sanad berbicara tentang “siapa-
siapa” yang mengutip/meriwayatkan hadits, sementara matan terkait dengan “apa” yang disampaikan
dalam hadits itu.
Dilihat dari ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), hadits tentang “puasa awal Dzulhijjah” ini berstatus
marfu’ atau tersambung sampai Nabi Muhammad. Dilihat dari sedikit-banyaknya perawi dalam setiap
tingkatan (thabaqah), hadits ini berstatus Ahad, bahkan Ahad Gharib. Sebab, pada thabaqah pertama,
hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu sahabat, yaitu Hafshah bin Umar bin Khattab (istri Nabi
Muhammad saw).
Dari sisi kredibilitas perawi, hadits yang diriwayatkan oleh 4 imam ini ternyata kurang memenuhi syarat
sebagai “hadits shahih”. Memang dalam thabaqah pertama (Hafshah) memang tidak ada masalah.
Hafshah yang juga istri Nabi sudah tentu tergolong orang tsiqqah dan dlabit, yang riwayat darinya bisa
dipertanggungjawabkan. Begitu juga pada thabaqah kedua (Hunaydah), banyak ulama hadits yang
menilainya sebagai orang tsiqqah sehingga bisa diterima periwayatannya.
Begitu juga pada thabaqah ketiga (Hurr bin Shayyaah) juga dinilai sebagai perawi yang tsiqqah dan shalih
al-hadiits (al-Jarh wa at-Ta’diil Juz 3 hal 277 dan Tahdiib al-Kamaal Juz 5 hal 514). Sementara pada
thabaqah keempat (Amru bin Qays al-Mulaa’i) juga dinilai tsiqqah sebagaimana tertulis dalam “al-Jarh
wa at-Ta’diil” Juz 6 hal 255, “Tahdiib al-Tahdiib” Juz 8 hal 82, “Tahdiib al-Kamaal” Juz 22 hal 201-202,
“Miizaan al-I’tidaal” Juz 3 hal 284.
Problem sanad baru muncul pada perawi thabaqah kelima, yaitu Abu Ishaq al-Asyja’i al-Kufiy. Informasi
biografis tentang Abu Ishaq ini tidak banyak ada dalam kitab-kitab rijaal al-hadits (para perawi hadits).
Hanya disebutkan bahwa namanya adalah Abu Ishaq al-Asyja‘i
Dalam berbagai riwayat, dan hanya satu murid yang meriwayatkan haditsnya, yaitu Hasyim bin al-Qasim
yang sering dipanggil Abu an-Nadlr. Selain itu, dia hanya meriwayatkan 1 hadits tentang Puasa Awal
Dzulhijjah ini dari Amru bin Qays al-Mulaa’i (Tahdiib al-Tahddib Juz 12 hal 8). Artinya, meski Amru bin
Qays al-Mulaa’i punya banyak murid yang terpercaya dalam periwayatan hadits, ternyata tidak ada yang
meriwayatkan hadits puasa awal Dzulhijjah ini selain Abu Ishaq al-Asyja’i.
Posisi Abu Ishaq yang tanpa keterangan nama asli dan juga kredibilitasnya ini dalam hadits disebut
sebagai majhul. Terhadap riwayat seperti ini, apalagi untuk masalah ibadah, maka riwayatnya tidak
diterima karena tergolong hadits dla’if. Kedla’ifan tentang ke-majhul-an Abu Ishaq al-Asyja’i ini secara
jelas termaktub dalam al-Mughni fi adl-Dlu‘afa’ juz 2 hal 769 dan al-Muqtiniy fi Sard al-Kunny juz 1 hal
74.
Awal Dzulhijjah, Waktu Utama Beramal Shalih
Intinya, awal Dzulhijjah adalah waktu utama untuk beramal shalih. Di antaranya dengan banyak dzikir,
bertakbir, dan termasuk pula berpuasa.
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar.
Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa
pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459)
Nabi Tidak Melakukan Puasa Awal Dzulhijjah, Benarkah?
Ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,

ُّ َ‫صائِ ًما فِى ْال َع ْش ِر ق‬


‫ط‬ ُ ‫مَا َرأَي‬
َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan
Dzulhijah sama sekali.” (HR. Muslim no. 1176).
Mengenai riwayat di atas, para ulama memiliki beberapa penjelasan.
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika
itu –padahal beliau suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib.
(Fathul Bari, 3: 390, Mawqi’ Al Islam)
Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal yang berbeda dengan
riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah yang menyatakan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan
Hafshoh yang menyatakan bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari
Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari
Dzulhijah.
Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud
riwayat Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi,
hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-
460)
Inti dari penjelasan ini, boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1
sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya saja. Bisa diniatkan dengan puasa Daud atau
bebas pada hari yang mana saja, namun jangan sampai ditinggalkan puasa Arafah. Karena puasa Arafah
akan menghapuskan dosa selama dua tahun.
Merujuk berbagai kitab hadits, riwayat yang sering dijadikan landasan puasa awal Dzulhijah ini adalah
sebagai berikut:

‫َّاح ع َْن هُنَ ْي َدةَ ب ِْن خَالِ ٍد‬


ٍ ‫صي‬ َ ‫ال َح َّدثَنَا َش ْيبَانُ قَا َل َح َّدثَنَا أَبُو َع َوانَةَ ع َْن ْالحُرِّ ْب ِن‬ َ َ‫ أَ ْخبَ َرنِي َز َك ِريَّا بْنُ يَحْ يَى ق‬:٢٣٣٢ ‫سنن النسائي‬
‫ورا َء َوتِ ْسعًا‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يَصُو ُم يَوْ َم عَا ُش‬ َّ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ َ ‫ت َح َّدثَ ْتنِي بَعْضُ نِ َسا ِء النَّبِ ِّي‬ ْ َ‫ع َْن ا ْم َرأَتِ ِه قَال‬
‫ِم ْن ِذي ْال ِح َّج ِة َوثاَل ثة أي ٍَّام ِم ْن الشه ِْر أ َّو َل اثنَ ْي ِن ِم ْن الشه ِْر َو َخ ِمي َسي ِْن‬
َّ ْ َ َّ َ َ َ َ

Sunan Nasa'i 2332: Telah mengabarkan kepadaku Zakaria bin Yahya dia berkata: telah
menceritakan kepada kami Syaibah dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah
dari Al Hurr bin Shayyah dari Hunaidah bin Khalid dari istrinya, dia berkata: telah
menceritakan kepadaku sebagian istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau
berpuasa pada hari Asyura, sembilan hari dari bulan Dzulhijjah dan tiga hari setiap bulan, hari
Senin pertama tiap bulan dan dua hari Kamis."

Anda mungkin juga menyukai