Anda di halaman 1dari 35

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini pembangunan berkelanjutan sedang marak dibicarakan di negara

berkembang. Menjadi tantangan tersendiri bagi negara berkembang dalam

mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga

pilar utama yang harus diperhatikan, yakni keseimbangan antar aspek ekonomi, aspek

sosial, serta aspek lingkungan. Dalam perkembangannya, pertumbuhan penduduk

yang terjadi di dalam sebuah kota cenderung akan selalu meningkat, untuk itu akan

selalu menjadi tantangan bagi sebuah kota untuk memenuhi dan memiliki tempat

tinggal bagi penduduknya yang dapat bertahan dan berkelanjutan.

Permukiman secara jelas dan rinci dapat ditemukan dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Menurut

Undang-Undang tersebut, kawasan permukiman memiliki pengertian sebagai bagian

dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan

maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan

hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Kawasan permukiman harus memiliki jaringan sarana dan prasarana yang

mampu melayani kebutuhan masyarakatnya. Sarana yang harus disediakan seperti

fasilitas pendidikan, kesehatan, perbelanjaan dan niaga, peribadatan, pemerintahan

dan pelayanan umum dan lain-lain. Prasarana yang harus ada, seperti jalan, drainase,

listrik, telepon, sanitasi, persampahan dan air bersih. Keberadaan sarana dan

prasarana tersebut mendukung aktivitas yang ada di dalamnya. Penyediaan prasarana

1
dengan kondisi yang baik juga diperlukan dalam mendukung kelancaran kegiatan

Industri Kecil Menengah (IKM) seperti tersedianya jaringan jalan yang baik, listrik,

air bersih dan telepon yang dapat di akses dengan mudah .

Pengembangan permukiman dalam skala besar tidak dapat dipisahkan dengan

perencanaan suatu kota. Hal ini karena pada hakekatnya kota adalah tempat

terkonsentrasinya permukiman penduduk dalam skala besar. Kirmanto (2005)

menyatakan bahwa pembangunan kota termasuk di dalamnya pengembangan

kawasan permukiman atau pembangunan permukiman. Dengan memperhatikan

pengertian permukiman, perumahan dan kota maka perencanaan pembangunan

permukiman tidak terlepas dari perencanaan kota. Praktek perencanaan kota atau

permukiman modern terkait dengan membentuk dan menata lingkungan fisik buatan

dan sosial manusia melalui desain maupun kebijakan yang rasional. Perencanaan kota

ini merupakan respon terhadap buruknya lingkungan fisik buatan dan sosial kota yang

unliveable, antara lain lingkungan yang tidak sehat, tidak aman, tidak nyaman, tidak

tersedianya lapangan pekerjaan, tidak tersedianya perumahan yang layak dan tuntutan

akan kualitas hidup tetap tidak berubah.

Pendekatan perencanaan kota senantiasa mengalami perubahan. Pembangunan

berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam

penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang layak. Pembangunan perumahan

dan permukiman merupakan kegiatan yang terus menerus atau berkelanjutan

sehingga memerlukan dukungan sumber daya pendukung yang memadai berupa

ruang dan lingkungan alam, kelembagaan dan finansial maupun sumber daya lainnya.

2
Kecamatan Mandau merupakan kawasan strategis dalam pengembangan

wilayah karena berada pada wilayah yang diarahkan sebagai kota dengan kegiatan

utama perdagangan dan jasa, industri dan teknologi tinggi. Selain itu, Kecamatan

Mandau merupakan pusat perekonomian tertinggi di Kabupaten Bengkalis

dikarenakan adanya PT. Chevron Pacific Indonesia sebagai perusahaan migas yang

menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja menjadi besar.

Keterbatasan lahan di Kecamatan Mandau tidak dapat mengimbangi

kebutuhan akan pembangunan fisik seperti perumahan, perkantoran, kegiatan

komersial, dan lain-lain. Tingginya pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 1,34% per

tahun (BPS Kabupaten Bengkalis, 2018) membuat daya dukung lingkungan

permukiman melampui batas di Kecamatan Mandau. Hal ini dirasakan dengan

terbatasnya ruang terbuka hijau, terjadinya pencemaran lingkungan, krisis air bersih,

sanitasi yang buruk, timbulnya kerawanan dan pengelolaan limbah yang tidak sehat

serta berpotensi timbulnya degradasi fisik habitat.

Intensitas pembangunan yang tinggi berakibat munculnya permukiman kumuh

yang berbatasan dengan kawasan industri Mandau sehingga tidak sesuai dengan daya

tampung lahan. Laju alih fungsi lahan sulit dikendalikan karena tigginya

pembangunan di perkotaan terhadap lahan permukiman sehingga terjadi alih fungsi

penggunaan lahan menjadi perumahan terutama yang berada di Kecamatan Mandau

serta tingginya urbanisasi.

Wilayah Kecamatan Mandau telah mengalami proses pertumbuhan fisik

secara cepat namun tidak teratur (acak), tidak terkendali dan tidak terencana yang

ditandai dengan munculnya kawasan-kawasan permukiman baru yang tidak tertata.

3
Pertumbuhan fisik kawasan permukiman dalam pengelolaannya belum

memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan ekologi yang terintegrasi. Akibat dari

pengabaian ini menjadikan kawasan permukiman mengalami degradasi lingkungan.

Pesatnya perkembangan kawasan permukiman mengakibatkan tingginya tekanan dan

konflik kepentingan dalam pengelolaan kawasan permukiman.

Melihat potret sekilas mengenai kondisi potensi ekonomi kawasan yang

ditunjukan dengan keberadaan industri kecil dan menengah berupa sentra industri

serta kegiatan perdagangan dan jasa yang terletak diantara kawasan permukiman

yang padat, muncullah suatu harmonisasi antara berbagai sektor yang ada, yakni

sektor hunian, sektor industri kecil dan menengah, serta sektor perdagangan dan jasa.

Upaya terciptanya kondisi yang harmonis antar beberapa sektor yang ada di

Kecamatan Mandau ini ternyata tidak didukung dengan kondisi infrastruktur

permukiman yang baik guna memperlancar aktivitas yang berlangsung di dalamnya,

yakni aktivitas permukiman, perdagangan dan jasa, serta kegiatan industri. Terlihat

kondisi jalan yang berada di kawasan tersebut dibeberapa tempat masih ditemukan

dalam kondisi yang rusak. Sedangkan drainase dibanyak titik ditemukan

penyumbatan sehingga aliran limbah tidak lancar. Menjadi pertanyaan bagi peneliti

mengapa permasalahan infrastruktur serta kondisi hunian warga masih berada dalam

kondisi yang buruk dan menjadi masalah yang muncul ke permukaan ketika

masyarakat Kecamatan Mandau sendiri memiliki potensi ekonomi yang begitu baik

dibidang ekonomi.

Kondisi Kecamatan Mandau juga semakin padat dengan pendatang untuk

mencari kerja dari berbagai daerah. Tingginya tingkat urbanisasi di Kecamatan

4
Mandau menjadi permasalahan tersendiri terhadap wilayah tersebut. Hingga saat ini

perkembangan kawasan permukiman yang terjadi cukup merisaukan yang

ditunjukkan dengan gejala-gejala seperti terjadinya kemacetan, banjir, kekumuhan,

polusi udara ataupun kekeringan. Permasalahan ini menjadi penting dalam

pengelolaan ruang dan terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan

daya tampung lingkungan dengan kondisi wilayah yang semakin padat terutama

kawasan permukiman sehingga diperlukan suatu pengelolaan yang memuat kebijakan

yang efektif dan komprehensif secara terintegrasi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan kondisi yang telah diuraikan tersebut maka

permasalahan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi kawasan permukiman di Kecamatan Mandau Kabupaten

Bengkalis?

2. Bagaimana indeks dan status keberlanjutan kawasan permukiman di Kecamatan

Mandau Kabupaten Bengkalis?

3. Strategi apa yang harus dilakukan untuk keberlanjutan kawasan permukiman di

Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah diungkapkan tersebut maka tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kondisi kawasan permukiman di Kecamatan Mandau Kabupaten

Bengkalis.

5
2. Menganalisis indeks dan status keberlanjutan kawasan permukiman di Kecamatan

Mandau Kabupaten Bengkalis.

3. Merumuskan strategi yang tepat untuk keberlanjutan kawasan permukiman di

Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut:

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terkait perencanaan pengelolaan kawasan

permukiman di suatu wilayah.

2. Memberikan masukan bagi Pemerintah khususnya Kecamatan Mandau,

Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Provinsi Riau dalam melakukan

penataan permukiman yang berkelanjutan.

3. Memberikan informasi bagi masyarakat umum agar dapat berperan dalam

pembangunan terutama dalam mewujudkan kawasan permukiman yang

berkelanjutan.

1.5. Kerangka Pemikiran

Perkembangan wilayah dipicu oleh faktor pendorong (push factor) dan faktor

penarik (pull factor). Keadaan ini menimbulkan terjadinya proses perpindahan

penduduk akibat dari pengadaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan ruang yang

diselenggarakan untuk kawasan permukiman yang sering tanpa mengindahkan

dampak sosial, ekonomi terhadap prasarana dan sarana wilayah yang telah ada serta

persyaratan-persyaratan atau kaidah-kaidah lingkungan. Saat ini lahan yang ada

cenderung mengalami perubahan fungsi (konversi) menjadi kawasan permukiman

6
tanpa memperkirakan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap kondisi awal

dan keberlangsungan pembangunan kawasan perkotaan itu sendiri. Terbentuknya

kota-kota kecil tanpa perencanaan tata kota yang tepat berakibat pada memburuknya

kondisi lingkungan untuk mendukung kehidupan masyarakat di dalamnya.

Pembangunan perumahan secara liar dengan mengabaikan fungsi tata ruang,

perdagangan dan jasa ataupun industri menjadikan pertumbuhan kawasan

permukiman di Kecamatan Mandau menjadi tidak tertib dan tidak teratur. Dengan

kata lain, pemanfaatan ruang tidak konsisten dengan rencana tata ruang yang berlaku

untuk mengatur kawasan permukiman di wilayah tersebut. Perubahan ini

menimbulkan masalah-masalah baru di Kecamatan Mandau, dan secara keseluruhan

dalam rencana ruang Kabupaten Bengkalis, banjir pada musim penghujan, kebakaran

lahan dan kekeringan pada musim kemarau, penurunan kualitas lingkungan hidup

akibat peningkatan limbah, dan kemacetan di sepanjang jaringan jalan.

Kawasan permukiman yang tidak terkelola saat ini menyebabkan degradasi

lingkungan di wilayah Kecamatan Mandau, dimana pelaksanaan pengelolaan kurang

memperhatikan aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan kelembagaan sehingga tidak

menjamin keberlanjutan lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlu dirumuskan suatu

strategi untuk mengestimasi peningkatan kerusakan lingkungan dan dampak yang

ditimbulkan akibat pertumbuhan kawasan permukiman yang tidak terkendali. Kriteria

pengelolaan kawasan permukiman dari setiap aspek keberlanjutan dapat dianalisis

dan dinilai secara cepat (rapid rural appraisal) sehingga diperoleh status

keberlanjutan pengelolaan kawasan permukiman dengan menggunakan metode multi

variabel non-parametrik. Strategi yang dirumuskan dapat dijadikan landasan untuk

7
penyusunan alternatif-alternatif kebijakan strategis dalam pengelolaan kawasan

permukiman (Gambar 1.1).

Perkembangan Kawasan Permukiman

· Konversi Lahan
· Degradasi Lingkungan
· Konflik antar Stakeholder
· Ketidakberlanjutan Pembangunan

Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan

Fungsi dan Peran Kualitas Lingkungan Peran dan Sinergi


Kawasan Fisik Kawasan Stakeholder

Status Keberlanjutan Kawasan Permukiman

· Ekologi · Sosial · Ekonomi · Kelembagaan

Alternatif Strategi Pengelolaan


Kawasan Permukiman Berkelanjutan

Gambar 1. 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Keberlanjutan Kawasan


Permukiman di Kecamatan Mandau

8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Permukiman dan Perkembangan Kota

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman dinyatakan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan

hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana,

sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan

perkotaan atau kawasan perdesaan. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai

bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan

prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang

layak huni. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar

kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang

mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Permukiman sebagai suatu lingkungan hunian penduduk akan berkembang

secara perlahan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya bahkan tanpa suatu

perencanaan yang baik seiring bertambahnya jumlah penduduk, perdagangan dan jasa

serta industri sehingga dapat mengakibatkan timbulnya permukiman yang tidak layak

huni. Permukiman yang tidak layak huni terjadi karena ketidakteraturan bangunan,

tingkat kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana

yang tidak memenuhi syarat (Ervianto dan Felasari, 2019).

Kota pada umumnya berawal dari suatu kawasan permukiman kecil yang

secara spasial mempunyai lokasi yang strategis bagi kegiatan perdagangan. Seiring

9
dengan berjalannya waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat dari

pertambahan penduduk, perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta interaksi

dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Pertumbuhan perkotaan (urban growth)

merupakan proses spasial dan populasi multidimensi dimana kota dan permukiman

perkotaan dianggap sebagai pusat fokus populasi karena fasilitas ekonomi dan sosial

yang spesifik, yang merupakan komponen vital dalam pemenuhan kebutuhan

manusia (Dadras et al., 2015).

Secara fisik perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari penduduknya yang

semakin bertambah padat, bangunan yang semakin rapat dan wilayah terbangun

terutama kawasan permukiman yang cenderung semakin luas, serta semakin

lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial ekonomi kota (Sujarto,

2005). Perkembangan permukiman, perdagangan dan jasa dimasa depan dengan

adanya kawasan industri tidak serta merta langsung mendekati lokasi kawasan

industri, akan tetapi masih mempertimbangkan faktor sosial ekonomi, aksesbilitas,

sarana dan prasarana serta ketetanggaan sehingga memiliki kecenderungan

perkembangannya dimulai dari titik kota (kecamatan) yang terdekat dengan lokasi

kawasan industri (Sadewo dan Buchori, 2018).

Yunus (2000) mengklasifikasikan kota di Indonesia menjadi 4 (empat)

kategori berdasarkan jumlah penduduk, yaitu: (1) kota metropolitan dengan penduduk

berjumlah > 1.000.000 jiwa; (2) kota besar dengan penduduk berjumlah 500.000 –

1.000.000 jiwa; (3) kota sedang dengan penduduk berjumlah 100.000 – 500.000 jiwa;

dan (4) kota kecil dengan penduduk berjumlah < 100.000 jiwa. Kota sebagai bagian

integral dari suatu lingkungan, umumnya berkembang tanpa dilandasi perencanaan

10
kota yang menyeluruh dan terpadu serta tidak betul-betul direncanakan untuk dapat

menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam kurun waktu yang singkat.

2.2. Urbanisasi

Secara umum, urbanisasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dari

perdesaan ke perkotaan. Pengertian urbanisasi sesungguhnya adalah proporsi

penduduk yang tinggal di perkotaan (urban area). Urbanisasi merupakan tren dari

kemajuan ekonomi di negara berkembang dan menjadi sebuah tantangan di dalam

pengembangan perekonomian (Tjiptoherijanto, 1999).

Menurut World Bank (2012), perkembangan urbanisasi di Indonesia cukup

signifikan. Tahun 1971 penduduk kota di Indonesia sebesar 17,2% dan terus

meningkat mencapai 49,8% di tahun 2010 serta diproyeksikan akan mencapai 67,5%

di tahun 2025 sehingga peningkatan urbanisasi perlu mendapat perhatian karena

dengan banyaknya penduduk kota maka suatu kota harus mempersiapkan diri dalam

menampung jumlah penduduk yang lebih besar melalui penyiapan infrastruktur yang

lebih baik, membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas, dan meningkatkan investasi

untuk pelayanan publik yang lebih baik.

Hofmann dan Wan (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi

berpengaruh signifikan terhadap urbanisasi dan efek dari pendidikan dan

industrialisasi adalah positif terhadap urbanisasi. Menurut Glaeser (2014), urbanisasi

dapat dipengaruhi oleh kurang majunya sektor pertanian (untuk negara dengan

perekonomian terbuka).

11
Perambahan lahan pertanian produktif di perdesaan untuk permukiman

mengancam keberlangsungan produktivitas lahan pertanian. Wilayah yang awalnya

lebih didominasi oleh karakteristik perdesaan mulai berubah menjadi kota-kota kecil

dan wilayah terbangun yang cenderung terus berkembang secara sporadis. Dalam

dimensi sosiologis, segregasi sosio-spasial dan kesenjangan sosial-ekonomi-budaya,

menjadi persoalan yang muncul seiring berkembangnya wilayah terbangun. Dalam

aspek kelestarian lingkungan, tingginya permintan lahan berakibat pada konversi

lahan pertanian dan berimplikasi pada perubahan struktur ekonomi masyarakat petani

yang memaksa buruh tani beralih mata pencaharian di sektor perdagangan dan jasa

yang pada kenyataannya belum mampu memberikan jaminan kesejahteraan dan

kelangsungan hidup bagi keluarga buruh tani (Pradoto, 2015).

Menurut Harahap (2013), terjadinya urbanisasi memberikan dampak terhadap

semakin sedikitnya lahan kosong di daerah perkotaan sebagai ruang untuk kelancaran

lalu lintas kendaraan dan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) karena lahan

kosong yang terdapat di daerah perkotaan telah banyak dimanfaatkan para urban

untuk pemukiman, perdagangan, dan perindustrian yang legal maupun ilegal.

Untuk mengendalikan arus urbanisasi dan mendorong arah urbanisasi agar

tidak berlebihan maka pemerintah perlu memahami kondisi industrialisasi, tingkat

pendapatan dan tingkat pendidikan di Indonesia. Rekomendasi kebijakan yang dapat

dilakukan pemerintah, meliputi: (a) perlu meningkatkan kualitas hasil panen dan daya

beli petani; (b) membangun kawasan desa dengan meningkatkan sarana prasarana

infrastruktur dan pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan; dan (c)

12
mendorong masyarakat untuk memperoleh pendidikan hingga perguruan tinggi agar

kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak dapat tercapai (Fazaalloh, 2017).

2.3. Penggunaan Lahan dan Perubahannya

Lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air

dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

penggunaan lahan. Lahan mempunyai fungsi secara ekologis sebagai muka bumi,

tempat dimana ada kehidupan, namun lahan juga memiliki fungsi sosial ekonomi

yang dipandang sebagai sarana produksi, benda kekayaan bernilai ekonomi, dan

mempunyai fungsi sosial untuk kepentingan masyarakat umum. Ada tiga kepentingan

pokok sumber daya lahan bagi kehidupan manusia, yaitu: (1) lahan diperlukan

manusia untuk tempat tinggal, tempat bercocok tanam, berternak, memelihara ikan,

dan lainnya; (2) lahan mendukung berbagai jenis vegetasi dan satwa; dan (3) lahan

mengandung bahan tambang yang bermanfaat bagi manusia. Sumber daya lahan

adalah bagian dari bentangan lahan yang mencakup pengertian lingkungan termasuk

iklim, topografi atau relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang

semuanya memiliki potensi akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus,

2009).

Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua

istilah yang keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Lillesand dan Kiefer

(2000) menyatakan bahwa penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia

pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik

obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek

13
tersebut. Penggunaan lahan diartikan sebagai perwujudan fisik obyek yang menutupi

lahan dan terkait dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan. (Sitorus, 2004)

menyatakan bahwa makna penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan

intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik

material maupun spiritual.

Pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan material cenderung

menyebabkan persaingan dan konflik diantara pengguna lahan. Pertambahan

penduduk yang pesat dan peningkatan kesejahteraan penduduk mengakibatkan

peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, industri, dan rekreasi.

Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sering kurang

mengikuti kaidah konservasi alam (Munibah et al., 2009).

Perubahan atau perkembangan pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua

faktor utama yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami antara lain: tanah,

air, iklim, pola musiman, landform, erosi dan kemiringan lereng. Faktor manusia

berpengaruh lebih dominan dibandingkan faktor alami dan dipengaruhi oleh keadaan

sosial ekonomi dan pengaruh dari luar, seperti kebijakan nasional dan internasional

(Sitorus, 2004). Perubahan orientasi pemanfaatan lahan akan berpengaruh terhadap

produksi dan hasil penggunaan lahan yang erat kaitannya dengan kondisi sosial

ekonomi pemilik lahan. Kondisi ini juga mengakibatkan perubahan budaya

masyarakat agraris yang telah berlangsung sejak lama menuju ke budaya nonagraris

(Prihatin, 2015).

Kebutuhan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu dipicu oleh

pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan perekonomian

14
sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Menurut Rustiadi (2001), proses

alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari

adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat

yang sedang berkembang yang tercermin dari: (1) adanya pertumbuhan aktivitas

pemanfaatan sumber daya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap

penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan per

kapita, dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor pembangunan dari sektor primer

(pertanian dan pengolahan sumber daya alam) ke aktivitas sektor sekunder

(manufaktur) dan tersier (jasa). Yunus (2000) menyatakan bahwa selain faktor

ekonomi yang menjadi penentu penggunaan lahan, masih ada faktor-faktor lain yang

juga mempengaruhi penggunaan lahan, seperti faktor sosial dan politik, tetapi faktor

ekonomi masih merupakan faktor yang dominan dan tidak dapat diabaikan dalam

setiap analisis penggunaan lahan.

Proses peralihan fungsi lahan dapat dipandang sebagai pergeseran dinamika

alokasi dan distribusi sumber daya menuju keseimbangan yang lebih optimal namun

sering terjadi berbagai distorsi yang menyebabkan alokasi pemanfaatan lahan

berlangsung menjadi tidak efektif. Umumnya proses alih fungsi lahan didahului

adanya proses alih penguasaan lahan dan di balik proses alih fungsi lahan terdapat

proses memburuknya struktur penguasaan sumber daya lahan (Rustiadi et al., 2003).

2.4. Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan

Kawasan permukiman selain terdapat perumahan dan sarana prasarananya,

juga terdapat kawasan untuk kegiatan ekonomi (perdagangan, jasa, rekreasi, industri

15
kecil) dan kegiatan sosial. Dalam istilah lain kawasan permukiman sering disebut

sebagai kawasan terbangun. Kawasan permukiman merupakan wadah kehidupan

manusia, bukan hanya menyangkut aspek fisik dan teknis saja tetapi juga aspek

sosial, ekonomi dan budaya dari penghuninya. Tidak hanya menyangkut tempat

hunian tetapi juga tempat kerja, berbelanja, bersekolah, bersantai dan wahana untuk

bepergian oleh karena permukiman tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia

itu sendiri (Budihardjo, 2015).

Perkembangan permukiman berkaitan dengan pengembangan kota yang selalu

memangsa lahan pertanian untuk dijadikan perumahan dan sering terjadi suatu

konflik. Pengembangan kawasan permukiman terbentuk atas perumahan yang

dibangun pengembang dengan skala luas dan dikelilingi rumah-rumah yang dibangun

secara individual sehingga perlu ada kebijakan pengembangan permukiman di

pinggiran kota di Indonesia (Heripoerwanto, 2009).

Perwujudan lingkungan permukiman berkelanjutan sangat krusial dengan

memfasilitasi pembangunan sosial, kultural dan ekonomi karena aktivitas

permukiman berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang

peranan penting dalam perbaikan kesejahteraan manusia. Keberlanjutan kualitas

permukiman tidak hanya tergantung pada masyarakat pemukimnya melainkan juga

faktor luar permukiman. Sekitar 80% permukiman di Indonesia dibangun dan

dikembangkan oleh masyarakat sendiri sehingga pemukim adalah unsur utama yang

menjamin perkembangan yang berkelanjutan (URDI, 2006).

Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan dan permukiman diartikan

sebagai pembangunan perumahan dan permukiman termasuk di dalamnya

16
pembangunan kota berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial,

ekonomi dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti

pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan adalah upaya untuk

meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan (Kirmanto, 2005).

Pembangunan berkelanjutan sektor permukiman mendominasi penggunaan

lahan dan pemanfaatan ruang sehingga perlu mempertimbangkan: 1) pembangunan

yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung jawabkan, 2)

pembangunan yang secara politis dapat diterima, 3) pembangunan yang layak secara

ekonomis, dan 4) pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan dari segi

lingkungan. Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara

konsisten dan konsekuen, pembangunan perumahan dan permukiman dapat berjalan

secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Soenarno, 2004).

Konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya ditujukan untuk

keharmonisan lingkungan akan tetapi juga keberlanjutan jangka panjang dengan

berbasis sumber daya alam. Tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan adalah

dimensi lingkungan, sosial dan ekonomi. The United Nation Commision on

Sustainable Development (UNCSD) menambahkan pilar ke empat pembangunan

berkelanjutan yaitu kelembagaan (UNCSD, 2001).

Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan dilakukan melalui konsep

daya dukung sehingga daya dukung fisik kawasan permukiman diartikan sebagai

kemampuan lingkungan untuk mendukung kegiatan permukiman. Dalam konsep

berkelanjutan maka hal ini ditentukan oleh kapasitas pendukung, kapasitas asimilasi

dan alokasi optimal sumber daya. Dalam implementasinya, kapasitas pendukung

17
permukiman berkelanjutan dijabarkan menjadi status keberlanjutan permukiman,

kapasitas asimilasi kawasan permukiman dijabarkan menjadi kemampuan kawasan

permukiman untuk menampung penduduk, dan alokasi optimal dari sumber daya

dijabarkan sebagai alokasi lahan untuk dijadikan permukiman (Dewi, 2010).

2.5. Indeks Keberlanjutan

Indeks keberlanjutan merupakan agregrasi dari indikator-indikator

keberlanjutan yang mencerminkan status keberlanjutan dari obyek yang dikaji. CSD

(Commission on Sustainable Development) mendapatkan banyak inisiatif tentang

metode agregrasi yang telah digunakan dalam pengukuran pembangunan yang

berkelanjutan, akan tetapi banyak diantaranya yang bersifat spesifik berdasarkan

perpektif bidang tertentu saja sehingga kurang sesuai jika digunakan untuk

pengukuran keberlanjutan yang bersifat multidisiplin. Dalam menentukan metode

indeks keberlanjutan ini CSD memberikan pedoman yaitu 1) bersifat fleksibel dan

mempunyai kemungkinan tingkat adaptasi yang tinggi atas indikator-indikator

keberlanjutan yang digunakan, 2) adanya sistem pembobotan yang mampu

mengintegrasikan indikator tanpa kehilangan maknanya atau bersifat sangat

subyektif, dan 3) bobot prioritas tidak selalu sama untuk setiap wilayah dan tidak

memaksakan suatu konsensus. Berdasarkan arahan CSD tersebut, peluang untuk

memilih, menerapkan ataupun mengembangkan metode agregrasi sangatlah terbuka.

Salah satu metode yang saat ini banyak digunakan untuk menentukan indeks

keberlanjutan adalah teknik MDS (multidimensional scaling). Teknik ini mempunyai

beberapa kelebihan disamping dapat dilakukan pembobotan secara fleksibel pada

18
aspek/atribut keberlanjutan, juga mampu memvisualisasikan keberlanjutan untuk

setiap dimensi maupun secara agregat dalam suatu dimensi sederhana atau secara

horizontal dengan rentang skala keberlanjutan antara 0 (bad) sampai 100 (good)

sehingga dapat meningkatkan pemahaman akan status keberlanjutan setiap dimensi

(CSD, 2001).

Rapfish merupakan teknik analisis keberlanjutan yang menggunakan teknik

MDS yang dikembangkan untuk membantu penerapan The Code of Conduct for

Responsible Fisheries yang diluncurkan FAO tahun 1995 (Pitcher, 1999). Rapfish

merupakan teknik multidisplin yang berupaya mengevaluasi status keberlanjutan

perikanan didasarkan pada skoring yang bersifat transparan dan semi kuantitatif pada

aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik. Teknik ini menggunakan ordinasi

non parametrik untuk menyediakan nilai-nilai yang mengindikasikan keberlanjutan

relatif pada kondisi dengan data atau informasi kuantitatif tidak tersedia dengan

cukup. Data diperoleh dari pendapat pakar yang mendefinisikan ketidakpastian dalam

bentuk skor (Tesfamichael dan Pitcher, 2006).

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat indikator yang paling sensitif

memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan. Analisis dilakukan dengan

melihat perubahan ordinasi apabila sejumlah indikator atau atribut dihilangkan dari

analisis. Pengaruh setiap atribut atau indikator dilihat dalam bentuk perubahan RMS

(Root Mean Square) ordinasi, khususnya pada aksis horizontal atau skala

keberlanjutan. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut

atau indikator, semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan

indeks keberlanjutan atau sebaliknya (Kavangh dan Pitcher, 2004).

19
Posisi titik keberlanjutan pada analisis MDS divisualisasikan dalam dua

dimensi yaitu sumbu vertikal (Y) dan sumbu horizontal (X) yang diproyeksikan pada

garis mendatar dengan titik ekstrem buruk bernilai 0% dan titik ekstrem baik bernilai

100%. Jika nilai yang dikaji mendapatkan nilai lebih dari 50% berarti dapat

dikategorikan berkelanjutan, akan tetapi jika kurang dari 50% berarti dapat

dikategorikan belum berkelanjutan (Fauzi dan Anna, 2005).

2.6. Multidimensi Keberlanjutan Kawasan Permukiman

2.6.1. Ekologis

Dimensi ekologi merupakan keadaan fisik lingkungan yang dapat memberikan

daya dukung yang optimal dan selaras bagi kelangsungan hidup masyarakat. Menurut

Hidajat et al. (2013), termasuk dalam dimensi ekologis penilaian kawasan

permukiman berkelanjutan, yaitu: kepadatan penduduk di permukiman, kepadatan

bangunan, luas lahan terbangun, laju perkembangan lahan terbangun, kondisi

drainase dan sanitasi lingkungan, kondisi lalu lintas (kemacetan), ketersediaan air

bersih, pengelolaan persampahan, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan

kondisi aksesibilitas.

Permukiman secara lebih khusus terkait dengan rumah sehingga kualitas

rumah dapat dilihat dengan penempatan lokasi pembangunan perumahan yang tidak

mengganggu lingkungan hidup dalam bentuk apapun. Keseimbangan penggunaan

ruang, membangun ruang terbuka hijau, ruang tangkapan air hujan, dan

merencanakan perumahan yang terintegrasi dengan alam. Memanfaatkan unsur alam

20
secara maksimal (angin, matahari, dan vegetasi) untuk mendukung konsep rumah

yang hemat energi (Widodo dan Yuliastuti, 2013).

2.6.2. Sosial

Dimensi sosial merupakan salah satu aspek yang berpengaruh besar terhadap

perkembangan suatu kawasan permukiman. Sebuah sistem sosial terbentuk dari

karakter penduduknya yang beraneka ragam. Pemenuhan terhadap kebutuhan dalam

mewujudkan keberlanjutan sosial sangat diperlukan seperti wadah yang dapat

menampung kegiatan-kegiatan masyarakat didalam suatu lingkungan permukiman

(Widodo dan Yuliastuti, 2013).

Menurut Hidajat et al. (2013), termasuk dalam dimensi sosial dalam

melakukan penilaian kawasan permukiman berkelanjutan, meliputi: laju pertumbuhan

penduduk, tingkat pendidikan penduduk, tingkat keamanan (kriminalitas), tingkat

pelayanan kesehatan, tingkat pelayanan pendidikan, tingkat pelayanan fasilitas sosial,

konflik sosial, partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah, persepsi masyarakat

terhadap lingkungan hidup, dan pemberdayaan masyarakat di bidang lingkungan

hidup.

2.6.3. Ekonomi

Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, maka tingkat pemenuhan

kebutuhan dasar sandang, pangan dan perumahan juga dianggap rendah. Sebaliknya

dengan tingkat perekonomian yang tinggi, maka pemenuhan kebutuhan dasar juga

akan semakin tinggi (Widodo dan Yuliastuti, 2013). Menurut Hidajat et al. (2013),

termasuk dalam dimensi ekonomi dalam melakukan penilaian kawasan permukiman

21
berkelanjutan, meliputi: jumlah penduduk miskin, jumlah penduduk di sektor

pertanian, jumlah penduduk di sektor perdagangan dan jasa, ketersediaan angkutan

umum, akses ke pusat kegiatan, luas lahan yang dapat dikembangkan untuk

permukiman, ketersediaan jaringan dan infrastruktur, peningkatan PAD, dan nilai

ekonomi lahan.

2.6.4. Kelembagaan

Menurut Hidajat et al. (2013), termasuk dalam dimensi kelembagaan dalam

melakukan penilaian kawasan permukiman berkelanjutan, meliputi: kerjasama antar

pemerintah daerah, koordinasi di bidang lingkungan hidup, koordinasi di bidang

penyediaan sarana dan prasarana, ketersediaan Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW), ketersediaan rencana rinci (RDTR), penegakan sanksi dalam pelanggaran

tata ruang, dan ketersediaan mekanisme perizinan.

2.7. Penelitian Terdahulu

Belum banyak yang melakukan penelitian yang berkaitan dengan dengan

topik penelitian ini di Kecamatan Mandau, berikut beberapa hasil penelitian terdahulu

yang terkait dengan topik penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ade Wahyudi (2019) melakukan penelitian tentang evaluasi kesesuaian lahan

dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang di Kecamatan Mandau, dijelaskan

Kecamatan Mandau diperuntukkan sebagai kawasan permukiman perkotaan, kawasan

priorotas pertumbuhan cepat dan kawasan pusat pelayanan utama di Kabupaten

Bengkalis, pemanfaatan ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2004.

Selain itu, arahan pengendalian pemanfaatan ruang sangat diperlukan di Kecamatan

22
Mandau agar terciptanya tertib ruang, hal ini dilakukan dengan arahan peningkatan

pengendalian pemanfaatan ruang adalah segera menyusun peraturan zonasi dan

melaksanakan insentif dan disinsentif agar pemanfaatan ruang kedepan bisa lebih

selaras dengan pola ruang RTRW.

Penelitian oleh Santoso (2012) mengenai analisis keberlanjutan kawasan

permukiman perkotaan Cisauk di DAS Cisadane mengungkapkan status

keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat ini secara multi dimensi

menunjukkan kondisi yang cukup berkelanjutan dengan nilai 55,93%. Demikian juga

kondisi keberlanjutan kawasan untuk dimensi sosial dengan nilai 57,61% dan dimensi

ekonomi dengan nilai 64,82% tergolong cukup berkelanjutan. Namun untuk dimensi

ekologi kurang berkelanjutan dengan nilai 45,35%. Hal ini menunjukkan bahwa

kegiatan pengelolaan kawasan permukiman yang dilakukan selama ini masih kurang

memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Faktor-faktor yang paling berpengaruh

terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dimasa

mendatang adalah alih fungsi lahan pertanian produktif, pengembangan prasarana dan

sarana dasar, kohesi sosial, dan perkembangan penduduk serta penyebarannya. Selain

ke empat faktor tersebut, faktor kondisi sub DAS Cisadane merupakan faktor yang

mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi.

Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor kritis yang

menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk.

23
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2021.

Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kecamatan Mandau Kabupaten

Bengkalis Provinsi Riau. Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Pemilihan

lokasi penelitian didasarkan pada geografis wilayah, tingkat urbanisasi, kepadatan

penduduk, kultur sosial yang berbeda dan wilayah ini memiliki sumber daya minyak

bumi yang dikelola PT. Chevron Pacific Indonesia.

Lokasi Penelitian

Gambar 3.1 Peta Administrasi Wilayah Penelitian

24
3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini berupa Global Positioning System

(GPS), kamera digital, alat tulis untuk mencatat aktivitas penelitian dan kamera untuk

mendokumentasikan aktivitas penelitian. Bahan penelitian berupa kuesioner yang

digunakan untuk mengumpulkan data primer, lembar tilik telaah dokumen untuk

mengumpulkan data sekunder dari instansi pemerintah terkait penelitian ini dan

panduan wawancara untuk memperoleh potret umum wilayah penelitian.

3.3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Melalui pendekatan ini, peneliti berusaha untuk mendapatkan besaran status

keberlanjutan kawasan permukiman penduduk Kecamatan Mandau Kabupaten

Bengkalis berdasarkan dimensi ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan.

Menurut Sudaryono (2017), penelitian deskriptif merupakan metode

penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai

keadaan apa adanya. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan

utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau

subjek yang diteliti secara tepat.

Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan tahapan berikut;

1. Analisis status keberlanjutan wilayah penelitian sebagai kawasan permukiman

yang berkelanjutan meliputi analisis status keberlanjutan yang terdiri atas :

dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi dan dimensi

kelembagaan/institusi.

25
2. Analisis kondisi pengelolaan meliputi analisis terhadap elemen-elemen sebagai

berikut: kendala yang dihadapi, aktivitas/program yang dibutuhkan, perubahan

yang diharapkan dan stakeholder yang terlibat.

Perkembangan Kawasan
Permukiman (Desk Study)

Faktor Perubahan Indeks Sprawl Kecenderungan


Penggunaan Lahan Faktor yang berpengaruh Pertumbuhan Kawasan
terhadap tutupan lahan Permukiman

Pengelolaan kawasan
Permukiman
Berkelanjutan

Data: Status Keberlanjutan


- Fisik lingkungan Kawasan
Multi-
- Sosial & Pendidikan - Dimensi Ekologi
Dimensional
- Ekonomi - Dimensi Sosial
Scalling (MDS)
- Kebijakan/Regulasi - Dimensi Ekonomi
- Dimensi Kelembagaan

Gambar 3.2 Kerangka Alur Penelitian

26
3.4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data kualitatif dan kuantitatif yang

bersumber primer dan sekunder. Sumber data primer melalui survei dan penyebaran

kuesioner. Sumber data sekunder adalah dari berbagai literatur yang terkait dengan

penelitian ini.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui pengamatan langsung,

penyebaran kuesioner penelitian dan melalui wawancara. Teknik pengumpulan data

dideskripsikan sebagai berikut:

Observasi

Observasi dilakukan melalui pengamatan lapangan terhadap kondisi kawasan

permukiman di lokasi penelitian yang merupakan cerminan dari keberlanjutan

kawasan. Hal ini untuk memperkuat keyakinan peneliti dalam melakukan analisis

terhadap data yang digunakan dan untuk memperoleh data/informasi terbaru terkait

penelitian yang dilakukan.

Kuesioner

Kuesioner penelitian disebarkan pada responden untuk dapat dijawab terkait

variabel penelitian yang terdiri dari karakteristik responden dan dimensi

keberlanjutan kawasan permukiman, meliputi: dimensi ekologi, sosial, ekonomi dan

kelembagaan.

27
Wawancara

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam (depth interview) yang dilakukan untuk memperoleh informasi langsung

dari sumbernya. Wawancara digunakan untuk pengambilan data mengenai kondisi

kawasan permukiman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya yang ditujukan pada

masyarakat, tokoh masyarakat, pemerintah desa dan instansi terkait pengelolaan

permukiman penduduk di lokasi penelitian.

3.6. Populasi dan Sampel

Populasi (N) dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk di lokasi penelitian

sehingga sampel (n) atau responden penelitian mewakili populasi tersebut. Penentuan

responden atau penarikan sampel (n) penelitian menggunakan formula Slovin

sebagaimana dijelaskan Setiawan (2007), sebagai berikut:

N
n= ............................................................................................................(1)
1+ N . e 2

Keterangan:
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = nilai kesalahan yang ditetapkan (10%)
1 = angka konstan

Mandau dengan populasi 163.414 jiwa, dengan ketelitian 10%, maka jumlah

sampel untuk penelitian didapat sampel sebagai berikut :

163.414
n=
1+163.414 . ¿ ¿

163.414
n=
1635,14

28
n = 99,93

Dari hasil diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel dalam

penelitian ini adalah 99,93 orang dan dibulatkan menjadi 100 orang. Sedangkan

teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel ini adalah Teknik Cluster Random

Sampling. Pengambilan sampel metode ini berdasar kelompok wilayah dari anggota

populasi penelitian. Pada teknik ini subyek penelitian dikelompokkan berdasarkan

area atau tempat anggota populasi berdomisili. 

Tujuannya antara lain untuk meneliti tentang suatu hal pada bagian-bagian

yang berbeda di dalam suatu wilayah tertentu, baik pada tingkat kecamatan, desa,

hingga dusun. Untuk memudahkan dalam pencarian data informasi serta untuk lebih

jelasnya tentang populasi dan sampel dalam penelitian ini maka dapat dilihat dalam

tabel 3.1 dibawah ini.

Tabel 3.1 Perincian Populasi dan Sampel

Desa/Kelurahan Dusun RW RT Jlh Sampel


1. Talang Mandi 15 68 13
2. Harapan Baru 3 6 26 5
3. Gajah Sakti 11 51 9
4. Batang Serosa 5 16 4
5. Balik Alam 10 35 8
6. Duri Barat 13 59 11
7. Duri Timur 6 29 5
8. Babussalam 8 53 7
9. Air Jamban 24 128 20
10. Pematang Pudu 17 93 14
11. Bathin Betuah 2 4 18 3
119 100
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis 2018

Dari tabel diatas dapat dilihat dengan populasi 163.414 jiwa dan sampel

penelitian ini berjumlah 100 orang. Serta informasi tambahan di dapat dari Dinas

29
Perumahan, Permukiman dan Pertanahan, Camat Kecamatan Mandau dan koordinasi

dengan Lurah dan Kepala Desa setempat.

3.6.1. Definisi Operasional Variabel

Operasional variabel adalah definisi yang memberikan makna tentang variabel

yang dinyatakan dalam kriteria yang dapat diukur (Sudaryono, 2017). Definisi

operasional variabel sebagai pemaknaan terhadap variabel penelitian disajikan pada

Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Skala
Konsep Operasional Variabel Indikator
Ukur
Ekologi Keadaan fisik lingkungan a) Kepadatan penduduk di permukiman Ordinal
yang dapat memberikan b) Kepadatan bangunan
daya dukung yang c) Ketersediaan air bersih
optimal dan selaras bagi d) Luas lahan terbangun
kelangsungan hidup e) Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau
masyarakat f) Kondisi aksesibilitas
g) Pengelolaan persampahan
Sosial Keadaan yang a) Tingkat pendidikan penduduk Ordinal
mempengaruhi aspek b) Laju pertumbuhan penduduk
sosial masyarakat dan c) Konflik sosial
memiliki pengaruh d) Tingkat keamanan/kriminalitas
terhadap kelangsungan e) Tingkat pelayanan kesehatan
hidup masyarakat di f) Pemberdayaan masyarakat
suatu kawasan g) Tingkat pelayanan pendidikan
permukiman
Ekonomi Keadaan yang a) Jumlah penduduk miskin Ordinal
mempengaruhi aspek b) Jumlah penduduk di sektor pertanian
ekonomi masyarakat dan c) Ketersediaan jaringan dan
memiliki pengaruh infrastruktur
terhadap kelangsungan d) Ketersediaan angkutan umum
hidup masyarakat di e) Akses ke pusat kegiatan
suatu kawasan f) Nilai ekonomi lahan
permukiman
Kelembagaan Stakeholder yang dapat a) Kerjasama antar pemerintah daerah Ordinal
memberikan suatu b) Ketersediaan RTRW
kebijakan dan dapat c) Koordinasi di bidang lingkungan
mempengaruhi hidup
kelangsungan hidup d) Koordinasi di bidang penyediaan
masyarakat di suatu sarana dan prasarana
kawasan permukiman e) Ketersediaan rencana rinci (RDTR)
f) Penegakan sanksi dalam pelanggaran

30
Skala
Konsep Operasional Variabel Indikator
Ukur
tata ruang

3.8. Analisis Data

1. Analisis kondisi kawasan permukiman

Analisis kondisi kawasan permukiman penduduk di Kecamatan Mandau

Kabupaten Bengkalis diperoleh dari data dimensi ekologi, sosial, ekonomi dan

kelembagaan. Data dianalisis secara deskriptif kemudian dibandingkan dengan hasil

penelitian sebelumnya dan dibandingkan dengan Rapfish (Tesfamichael dan Pitcher,

2006).

2. Analisis indeks dan status keberlanjutan kawasan permukiman


Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kawasan

permukiman adalah analisis indeks dan status keberlanjutan kawasan permukiman di

Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis. Analisis status keberlanjutan

menggunakan metode penilaian cepat multidisiplin (multi disiplinary rapid rural

appraisal) yaitu Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan perangkat lunak Rap-fish

(Fauzy dan Anna, 2005) yang dimodifikasi menjadi Rap Residential Areas(Hidajat et

al., 2013). Dimensi keberlanjutan yang dianalisis adalah dimensi ekologi, sosial,

ekonomi dan kelembagaan.

Tabel 3.3. Dimensi dan Atribut Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Permukiman


Berkelanjutan di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau

Atribut dan Dimensi


No Atribut Keterangan
Skor Baik Buruk
A EKOLOGI
1 Kepadatan penduduk 0;1;2;3 3 0 (0) Sangat padat (>400 jiwa/ha)
di permukiman (1) Tinggi (201-400 jiwa/ha)

31
(2) Sedang (151-200 jiwa/ha)
(3) Rendah (<150 jiwa/ha)
2 Kepadatan bangunan 0;1;2 2 0 (1) Tinggi (>100 unit/ha)
(2) Sedang (60-100 unit/ha)
(3) Rendah (<60 unit/ha)
3 Ketersediaan air 0;1;2 2 0 (1) Tidak mencukupi
bersih (2) Kurang mencukupi
(3) Mencukupi
4 Luas lahan terbangun 0;1;2 2 0 (1) >70%
(2) 50-70%
(3) <50%
5 Ketersediaan Ruang 0;1 1 0 (1) Tidak mencukupi (<30%)
Terbuka Hijau (2) Mencukupi (>30%)
6 Kondisi aksesibilitas 0;1;2 2 0 (1) Tidak baik
(2) Cukup
(3) Baik
7 Pengelolaan 0;1;2 2 0 (1) Tidak dilakukan
persampahan (2) Dilakukan tapi tidak maksimal
(3) Maksimal dilakukan
B SOSIAL
1 Tingkat pendidikan 0;1;2;3 3 0 (1) Tidak sekolah dan hanya lulusan
masyarakat SD
(2) Lulusan SMP
(3) Lulusan SMA
(4) Lulusan D1-S3
2 Laju pertumbuhan 0;1;2 2 0 (1) Cepat (>2% tiap tahunnya)
penduduk (2) Sedang (1-2% tiap tahunnya)
(3) Lambat (<1% tiap tahunnya)
3 Konflik sosial 0;1;2 2 0 (1) Banyak
(2) Beberapa
(3) Sedikit
4 Tingkat keamanan/ 0;1;2 2 0 (1) Tidak baik
kriminalitas (2) Cukup
(3) Baik
5 Tingkat pelayanan 0;1;2 2 0 (1) Tidak baik
kesehatan (2) Tersedia tapi tidak mencukupi
(3) Tersedia dan mencukupi
6 Pemberdayaan 0;1;2 2 0 (1) Tidak ada
masyarakat (2) Ada namun tidak efektif
(3) Ada dan efektif
7 Tingkat pelayanan 0;1;2 2 0 (1) Tidak baik
pendidikan (2) Tersedia tapi tidak mencukupi
(3) Tersedia dan mencukupi
C EKONOMI
1 Jumlah penduduk 0;1 1 0 (1) >5%
miskin (2) ≤5%
2 Jumlah penduduk di 0;1 1 0 (1) >5%
sektor pertanian (2) ≤5%
3 Ketersediaan 0;1 1 0 (1) Tersedia namun tidak mencukupi

32
jaringan dan (2) Tersedia dan mencukupi
infrastruktur
4 Ketersediaan 0;1;2 2 0 (1) Tidak tersedia
angkutan umum (2) Tersedia namun tidak mencukupi
(3) Tersedia dan mencukupi
5 Akses ke pusat 0;1;2 2 0 (1) Sulit
kegiatan (2) Sedang
(3) Mudah
6 Nilai ekonomi lahan 0;1;2 2 0 (1) Menurun
(2) Tetap
(3) Meningkat
D KELEMBAGAAN
1 Kerjasama antar 0;1 1 0 (1) Ada namun tidak efektif
pemerintah daerah (2) Ada dan efektif
2 Ketersediaan RTRW 0;1;2 2 0 (1) Tidak tersedia
(2) Tersedia namun tidak efektif
(3) Tersedia dan efektif
3 Koordinasi di bidang 0;1;2 2 0 (1) Tidak ada
lingkungan hidup (2) Ada namun tidak efektif
(3) Ada dan efektif
4 Koordinasi di bidang 0;1;2 2 0 (1) Tidak ada
penyediaan sarana (2) Ada namun tidak efektif
dan prasarana (3) Ada dan efektif
5 Ketersediaan rencana 0;1;2 2 0 (1) Tidak tersedia
rinci (RDTR) (2) Tersedia namun tidak terlaksana
(3) Tersedia dan terlaksana
6 Penegakan sanksi 0;1;2 2 0 (1) Belum diimplementasikan
dalam pelanggaran (2) Diimplentasikan, tapi tidak
tata ruang efektif
(3) Diimplementasikan dan efektif
Sumber: Budihardjo (2015), Dewi (2010), Direktorat Jenderal Cipta Karya (2006),
Ervianto (2019), Fazalloh (2017), Observasi dan Wawancara

Analisis ordinasi MDS ini akan menunjukkan status keberlanjutan kawasan

permukiman secara multidimensi dan status keberlanjutan masing-masing dimensi.

Dimensi yang menjadi variabel penelitian ini, meliputi: dimensi ekologi, sosial,

ekonomi dan kelembagaan. Nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan

setiap dimensi ditafsirkan dalam skala 0 hingga 100 pada 4 (empat) kategori nilai

indeks, sebagaimana Tabel 3.4.

33
Tabel 3.4. Kategori Keberlanjutan Berdasarkan Nilai Indeks Hasil Analisis MDS

No Nilai Indeks Tafsiran Kategori


1. 0,00 – 24,99 Buruk/tidak berkelanjutan
2. 25,00 – 49,99 Kurang berkelanjutan
3. 50,00 – 74,99 Adequate/Cukup berkelanjutan
4. 75,00 – 100,00 Good/berkelanjutan
Sumber: Fauzi dan Anna (2005)

Selanjutnya dilakukan uji sensitivitas Leverage (daya ungkit) dengan tujuan

untuk mengetahui atribut yang paling sensitif dan intervensi yang perlu dilakukan.

Faktor pengungkit adalah atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap

peningkatan atau penurunan status keberlanjutan. Analisis sensitivitas dilakukan

dengan melihat bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X.

Semakin besar nilai RMS maka semakin besar peranan atribut tersebut terhadap

sensitivitas status keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher, 2004).

Uji selanjutnya adalah uji sensitivitas Monte Carlo. Menurut Kavanagh

(2001), analisis Monte Carlo dilakukan guna menduga pengaruh galat pada selang

kepercayaan 95%. Analisis ini merupakan metode simulasi statistik untuk mengetahui

pengaruh random error pada proses pendugaan dan diperlukan untuk mempelajari

efek ketidakpastian dari beberapa faktor, seperti pengaruh kesalahan pembuatan skor

atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum

sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor

atribut, pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian

peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan

pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data).

34
35

Anda mungkin juga menyukai