Anda di halaman 1dari 23

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA PELAKU

KERUSAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

Bunga Asoka Iswandari, S.H.


Mohamad Taufiqurrahman, S.H.
Putri Wanda Nisyah Bela, S.H.
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jl. Prof. Mr Djokosoetono, Kota Depok

Abstrak

Hukum Lingkungan berdasarkan prinsip-prinsipnya memberikan kedudukan


hukum yang sama seperti subjek hukum lain yang memiliki hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum. Indonesia sebagai paru-paru dunia memiliki
porsi khusus untuk mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah maupun dan
global. bentuk perlindungan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku
kerusakan lingkungan adalah melakukan penegakan hukum baik secara
administrasi, perdata maupun pidana. Penulisan ini akan secara khusus mengulas
kembali konsep pertanggungjawaban hukum dari sudut pandang hukum perdata.
Sehingga dalam penulisan ini memberikan gambaran tentang subjek hukum yang
dapat dimintai pertanggugjawaban secara hukum perdata baik mengacu kepada
Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun undang-undang nomor 32 Tahun
2009 dan bagaimana bentuk pertanggungjawabannya.

Kata Kunci : Kerusakan, lingkungan, Pertanggungjawaban, Perdata

Abstract

Environmental law, based on its principles, gives the same legal position as other
legal subjects who have the right to obtain legal protection. Indonesia as the
world's lungs has a special portion to get attention from both the government and
globally. One form of legal protection that can be done against perpetrators of
environmental damage is to carry out law enforcement both administratively,
civilally and criminally. This writing will specifically review the concept of legal
liability from the perspective of civil law. So that in this writing provides an
overview of the legal subject that can be held accountable for civil law both
referring to the Civil Code and Law number 32 of 2009 and how the form of
accountability.

Keywords: Damage, Environment, Liability, Civil

1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lingkungan hidup merupakan keseluruhan organisme hidup dan
benda yang terdapat dalam kesatuan ruang, yang dimana termasuk
manusia di dalamnya yang akan sangat mempengaruhi keberlangsungan
kehidupannya, baik dalam waktu saat ini maupun untuk waktu
kedepannya.
Sehingga lingkungan hidup terbagi dalam beberapa aspek antara lain
lingkungan fisik, biologi, ekonomi, sosial, dan budaya.1
Merupakan sebuah keniscayaan bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai aspek fundamental atas
keberlangsungan dan terjaminnya berbagai jenis hak asasi bagi manusia
seperti hak untuk hidup, hak untuk hidup yang layak, dan hak atas
kesehatan dan tinggal di lingkungan yang bersih. 2 Konstitusi memberikan
jaminan dan pemenuhan hak asasi terhadap lingkungan hidup yang baik
dan sehat, hal tersebut membutuhkan instrumen-instrumen hukum yang
dapat mengarah pada perbaikan hubungan antara manusia dengan
lingkungan hidup yang berkaitan erat dengan kehidupan di bumu.3
Munadjat Danusaputro berpandangan salah satu sarana yang efektif
melindungi lingkungan hidup adalah instrument hukum yang dapat
mengatur perlindungan lingkungan hidup (Environmental Protection
Law).4
Hukum lingkungan dilihat dari aspek hukum perdata secara
substansi mengatur tentang pemenuhan hak perdata individual, kelompok
serta badan hukum yang memiliki hubungan atau keterkaitan dengan

1
Muhammad Akbar Eka Pradana, Pertanggungjawaban Perdata Korporasi Dalam
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Komparasi Hukum Positif Dan Hukum Islam
(Studi Kasus: Kebakaran Hutan dan Lahan PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten
Kepulauan Meranti, Provinsi Riau), hlm. 47, <file:///C:/Users/Yoga%20520/Downloads/1881-
4056-1-SM.pdf >, diakses pada 25 Mei 2020.
2
Abdurahman Supardi Usman, Lingkungan Hidup Sebagai Subjek Hukum: Redefinisi
Relasi Hak Asasi Manusia Dan Hak Asasi Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Negara Hukum,
“Legality”, Vol.26 No.1, Maret 2018-Agustus 2018, hlm. 3
3
Ibid., hlm. 4
4
Munadjat Danusaputra, Hukum Lingkungan, (Bandung: Binacipta, 1985), hlm. 70.

2
lingkungan hidup yang baik. Apabila hak-hak ini dirugikan oleh salah satu
pihak ditinjau dari aspek keperdataan, misalnya yang disebabkan adanya
perusakan lingkungan, maka upaya perlindungan secara hukum digunakan
sarana hukum lingkungan Perdata. Perlindungan lingkungan bagi pihak
yang terdampak pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan didapat
dengan memberikan hak kepada pihak tersebut untuk mengajukan gugatan
untuk ganti kerugian atau untuk melakukan tindakan pemulihan
lingkungan terhadap pelaku pencemaran dan/atau pengerusakan.5
Perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
adalah suatu tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain,
sehingga pelaku perusak dan/atau pencemar lingkungan hidup memiliki
kewajiban untuk memberikan ganti rugi, dan juga melakukan perbuatan
yang telah ditentukan untuk memperbaiki perbuatannya kepada korban.
Liability dengan memberikan kewajiban untuk melakukan ganti kerugian
muncul akibat adanya kesalahan pencemar dan/atau perusak lingkungan
hidup yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Kerugian yang
dirasakan seseorang akibat perbuatan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan dapat dilakukan dengan upaya penyelesaian melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Pasal 85 ayat (2) UU PPLH
menyatakan bahwa pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dilakukan secara sesuai kerelaan para pihak yang bersengketa. Pihak yang
memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat menempuh
gugatan melalui pengadilan hanya jika upaya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang sebelumnya dilakukan tidak berhasil dengan minimal
salah satu pihak yang bersengketa tidak menemukan titik terang dalam
penyelesaian tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa harus ada
penyelesaian di luar pengadilan terlebih dahulu, baru dapat dilakukan
gugatan melalui pengadilan. Selain itu, untuk tindak pidana lingkungan
hidup tidak ada jalan penyelesaian sengketa di luar pengadilan melainkan
melalui pengadilan saja.

5
Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan – Dinamika dan Refleksinya Dalam
Produk Hukum Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 180.

3
Prinsip tanggung jawab dalam hukum secara garis besar dapat
dibedakan sebagai antara lain:6
1) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah, subjek
hukum dapat memintakan pertanggungjawaban sesuai hukum apabila
terdapat unsur kesalahan dalam perbuatannya. Kesalahan tersebut
berarti adalah hal-hal yang melanggar dengan hukum. Pelanggaran
hukum tersebut tidak hanya bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan tertulis lain, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam
masyarakat.
2) Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini berarti ketika tergugat harus selalu dianggap bertanggung
jawab terhadap sangkaan penggugat atau yang disebut dengan
presumption of liability principle, sampai dapat membuktikan bahwa
ia tidak bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of
liability” adalah hal yang penting karena dapat dimungkinan tergugat
berusaha untuk terbabas dari tanggung jawab, yaitu ketika tergugat
mampu membuktikan bahwa ia telah melakukan semua tindakan yang
diperlukan agar terhindar dari adanya dampak kerugian.7
3) Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini biasanya hanya dikenal dalam masalah transaksi konsumen
yang sangat terbatas.
4) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab yang menjadikan kesalahan
bukan sebagai faktor yang menentukan. Walaupun terdapat
pengecualian yang dapat dimungkinkan Tergugat bebas dari tanggung
jawab, misalnya pada keadaan kahar. Pelaku kerusakan lingkungan
tersebut dapat bertanggung jawab secara hukum, meskipun dalam

6
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2006), hlm. 73-79.
7
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa
Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), (Bandung: Alumni, 1979),
hlm. 21.

4
perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan sengaja, dan tiada pula
dalam keadaan kelalaian.8
5) Prinsip Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip pertanggungjawaban dengan konsep pembatasan atau
limitation of liability principle dimana para pelaku usaha sangat
cenderung memuat kententuan agar pemilik usaha terbebas dari
tanggung jawab hukum dalam perjanjian standar yang dibuatnya.
Tulisan ini menggunakan Metode Normatif (Legal Research), yaitu
penelitian mengkaji penerapan norma-norma dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.9 Yang menjadi fokus pembahsan dalam tulisan ini
adalah tentang konsep pertaggungjawaban perdata terhadap pelaku
kerusakan lingkungan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
2. Rumusan masalah
2.1. Bagaimana konsep pertanggungjawaban perdata terhadap Tindakan
Perusakan Lingkungan?
2.2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban perdata terhadap
Tindakan Perusakan Pada Lingkungan yang terjadi di Indonesia?

B. PEMBAHASAN
1. Konsep Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Tindakan
Pencemaran atau Perusakan Lingkungan
Pertanggungjawaban perdata merupakan salah satu cara penegakan
hukum lingkungan selain penegakan hukum secara administratif dan
penegakan hukum secara pidana. Pada prinsipnya sengketa perdata
diajukan oleh pihak yang merasa haknya dilanggar dan tujuan dari gugatan
perdata salah satunya adalah untuk memberikan kesempatan kepada
korban agar kerugiannya diganti oleh pihak yang menyebabkan kerugian

8
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2013), hlm. 111.
9
Johny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Banyu Media,
2008), hlm. 295

5
tersebut. Gugatan perdata ini dapat ditujukan kepada pihak yang
melakukan tindakan nyata atau terhadap suatu kebijakan pemerintah yang
dinilai gagal untuk melindungi masyarakat dan/atau lingkungan hidup.
Namun pada kasus pencemaran lingkungan, penggugat seringkali
mengalani kesulitan untuk membuktikan bahwa tergugat merupakan
pihak-pihak yang benar-benar telah menyebabkan kerugian. Hukum
Lingkungan Internasional terdapat beberapa prinsip yang dapat digunakan
oleh negara untuk meminta pertanggungjawaban kepada para pihak dalam
hal kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perbuatan para pihak.
Salah satu dari prinsip tersebut adalah Polluter Pays Principle (prinsip
yang mengharuskan siapa yang melakukan pencemaran ia yang
membayar). Prinsip pencemar membayar ini kemudian harus didasarkan
pada adanya dua prinsip lainnya yang terkait bilamana terjadi adanya
pencemaran lingkungan yaitu liability based on fault principle atau
pertanggung jawaban yang muncul karena adanya unsur kesalahan yang
berarti adanya perbuatan melawan hukum (PMH) didalamnya dan strict
liabilty principle atau pertanggungjawaban mutlak.
Upaya ganti kerugian sengketa lingkungan hidup dengan upaya
penyelesaian melalui pengadilan, didasarkan pada perbuatan melanggar
hukum sebagaimana pada pasal 87 UU PPLH dan tanggung jawab mutlak
sebagaimana pada Pasal 88 UU PPLH. Kedua pasal tersebut menysaratkan
dua hal yang berbeda, karena berdasarkan Pasal 1365 KUHPer
menyatakan dalam hal adanya PMH, mensyaratkan adanya unsur
kesalahan yang harus dibuktikan. Dalam KUHPer, pihak yang mengajukan
suatu ganti rugi diharuskan membuktikan adanya kesalahan yang terjadi,
namun terdapat pembuktian terbalik dalam tuntutan kerugian yang
diakibatkan tindakan pencemaran lingkungan.10 Tanggung jawab mutlak
sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 88 UU PPLH tidak memerlukan
kesalahan karena setiap orang yang tindakan, usaha, ataupun kegiatannya
memanfaatkan bahan berbahaya dan beracun (B3), menghasilkan serta
mengolah limbah B3, menyebabkan ancaman serius atas lingkungan
10
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembanganya di
Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm. 133-134

6
dikenai tanggung jawab mutlak apabila terjadi suatu kerugian. Selanjutnya
akan dibahas ganti rugi sebagai langkah penyelesaian perkara melalui
pengadilan yang didasarkan atas PMH dan tanggung jawab mutlak (strict
liability).
1.1. Pertanggungjawaban yang Disebabkan Unsur PMH
Upaya ganti rugi tidak lepas dari penyelesaian dengan hukum
perdata. Ganti rugi pada sengketa lingkungan hidup dengan upaya
penyelesaian melalui pengadilan, didasarkan pada perbuatan
melanggar hukum sebagaimana pada pasal 87 UU PPLH yang
menyatakan bahwa kerugian kepada orang atau lingkungan hidup
yang ditimbulkan sebagai akibat perbuatan melanggar hukum yang
berbentuk pencemaran atau kerusakan lingkungan yang dilakukan
oleh penanggung jawab usaha wajib untuk diberikan ganti rugi
maupun dilakukan suatu tindakan tertentu atas hal tersebut. Ganti
rugi yang didasarkan oleh PMH diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal
1366 KUHPer, dimana menurut Pasal 1365 KUHPer mengenai PMH
yaitu suatu perbuatan yang diakibatkan kesalahannya dan
menyebabkan kerugian, maka orang tersebut mengganti kerugian
yang disebabkannya itu. Sementara di dalam Pasal 1366 KUHPer
menerangkan mengenai dasar tanggung jawab kerugian yang tidak
hanya karena perbuatan namun juga karena lalai atau kurang hati-
hati.11
PMH memiliki 2 (dua) pengertian yaitu pengertian dalam arti
sempit dan pengertian dalam arti luas. Pengertian dalam arti sempit
mengartikan PMH sebagai perbuatan yang mengganggu hak orang
lain sesuai Undang-undang.12 Pengertian dalam arti luas, dipioneri
oleh Molengraaff, yang mengartikan PMH terjadi apabila seseorang
itu melakukan perbuatan yang tidak sesuai dalam pergaulan di
masyarakat yang berkaitan dengan pergaulan seorang atau benda

11
Soesilo dan Pramudji R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Surabaya: Rhedbook
Publisher, 2008), hlm. 306
12
M.A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1979), hlm. 21.

7
lain.13 Pengertian secara luas ini muncul pada tahun 1911, pada saat
pengajuan rancangan undang-undang. Dalam rancangan undang-
undangn tersebut, PMH diartikan sebagai perbuatan atau kealpaan
berbuat, yang hal tersebut menyebabkan pelanggaran atas hak orang
lain, melanggar kewajiban hukum pelanggar sendiri atau melanggar
kesusilaan, melanggar keharusan yang harus dipatuhi dalam
berhubungan antar masyarakat mengenai orang lain atau barang. 14
Kemudian, semakin diperjelas pada putusan Hoge Raad tanggal 31
Januari 1919 yaitu pada kasus Lindenbaum vs. Cohen, dimana
onrechmatige daad diperluas sebagai pelanggaran yang tidak hanya
terhadap hukum yang berlaku.
Ganti rugi karena PMH sendiri merupakan suatu bentuk ganti
rugi dari pihak yang melakukan kesalahan yang menyebabkan
kerugian pada pihak lain. Ganti rugi PMH datang akibat adanya
kesalahan, bukan datang dari adanya perjanjian. PMH menurut pasal
1365 KUHPer mengandung unsur:
1) Adanya suatu perbuatan.
Suatu PMH mensyaratkan adanya perbuatan dari si pelakunya.
Perbuatan disini dapat dilakukan secara aktif dan pasif, berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu dalam artian seharusnya dia
mempunyai kewajiban untuk membuat suatu perbuatan itu, yang
mana kewajiban tersebut datang dari hukum yang berlaku (atau
bisa juga karena adanya kewajiban sebagai hasil suatu kontrak).
Atas hal tersebut, dalam PMH tidak terdapat suatu persetujuan
atau kesepakatan dan tidak terdapat juga suatu causa yang
diperbolehkan seperti di dalam kontrak. 15
2) Perbuatan bersifat melawan hukum.
Perbuatan yang dilakukan haruslah perbuatan yang termasuk
melawan hukum. Sebagaimana dijelaskan di awal, unsur

13
Ibid., hlm. 24.
14
Ibid., hlm. 24-25.
15
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.10.

8
melawan hukum telah mendapatkan arti yang luas, dimana
perbuatan meliputi selain perbuatan yang melanggar hukum
positif, juga perbuatan yang bersebrangan dengan hak orang lain
yang dilindungi oleh hukum, perbuatan yang bersebrangan
dengan kewajiban hukum pelaku, perbuatan yang bersebrangan
dengan kesusilaan serta perbuatan yang bersebrangan dengan
kesusilaan.16
3) Adanya kesalahan.
PMH mensyaratkan adanya kesalahan yang dilakukan pelaku
dalam suatu perbuatannya itu. Dengan demikian, tanggung jawab
yang tidak disertai dengan kesalahan dapat dikatakan bukan
tanggung jawab yang didasarkan pada tanggung jawab
sebagaimana diterangkan dalam pasal 1365 KUHPer. Kalaupun
dalam hal tertentu diberlakukan, pemberlakukan tersebut tidak
dapat dimaknai sebagai tanggung jawab berdasarkan padal 1365
KHUPer tetapi dari undang-undang lain. Adapun secara hukum,
perbuatan yang dilakukan dengan unsur kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum adalah perbuatan yang
mana ia memenuhi unsur kesengajaan dan unsur kelalaian. Selain
itu, dalam perbuatan itu tidak terdapat sebab yang membenarkan
atau memaafkan pelaku seperti force majeur, pembelaan diri,
tidak waras dan lain-lain.17
4) Ada kerugian menimpa korban.
Unsur yang keempat yaitu timbulnya kerugian bagi korban. Hal
tersebut menjadi syarat bagi gugatan yang didasarkan pada Pasal
1365 KUHPerdata. Terdapat perbedaan antara kerugian yang
disebabkan wanprestasi dengan kerugian berdasarkan PMH,
dimana dalam kerugian karena wanprestasi hanya dikenal
kerugian materiil sedangkan dalam kerugian berdasarkan PMH
selain dengan kerugian materiil, dalam perkembangan

16
Ibid., hlm.11.
17
Ibid., hlm. 11-12.

9
yurisprudensi juga mengakui akan adanya kerugian immateriil
yang nantinya akan dihitung dengan nilai uang.18
5) Hubungan kausalitas perbuatan dengan kerugian.
Hubungan kausalitas ini memiliki 2 (dua) teori, yaitu teori
hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Teori hubungan
secara faktual berarti mempersoalkan masalah fakta yang secara
nyata terjadi ataupun telah terjadi. Penyebab yang
mengakibatkan adanya kerugian bisa saja merupakan penyebab
secara faktual, dengan syarat krugian yang dimaksud tidak
mungkin terjadi tanpa adanya penyebab. Sebab akibat tipe ini
juga dikenal dengan “but for” atau “sine qua non”.19 Teori
penyebab kira-kira atau proximate cause memiliki tujuan
kepraktisan dan demi tercapainya suatu kepastian hukum dan
keadilan.
Tujuan pengaturan pasal 1365 KUHPer yaitu agar keadaan
kembali pada keadaan semula korban kerugian pada keadaan yang
paling memungkinkan untuk diperoleh jika tidak ada PMH.
Sebagaimana pada putusan Hoge raad tanggal 24 Mei 1918 yang
memberikan pertimbangannya bahwa pengembalian keadaan semula
merupakan pembayaran ganti rugi yang dianggap sesuai, oleh
karenanya atas pemberian ganti rugi ini diupayakan dengan
mengembalikan secara nyata yang mendekati sesuai dibandingkan
ganti kerugian berupa uang, karena hal ganti kerugian berupa uang
adalah nilai yang equivalent saja.20
Terdapat empat bentuk tuntutan ganti kerugian yang dapat
diajukan yang didasarkan atas PMH, yakni tuntutan berupa uang atas
kerugian yang ditimbulkan, tuntutan berupa natura (pengembalian
keadaan semula), tuntutan atas pernyataan bahwa perbuatan yang

18
Ibid., hlm. 13.
19
Ibid., hlm. 13-14.
20
Djojodirjo, M. A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1979), hlm. 102

10
terjadi adalah melawan hukum dan tuntutan atas pelarangan
perbuatan tertentu.21
KUHPer dapat dikatakan tidak mengatur lebih lanjut secara
spesifik mengenai ganti rugi dalam PMH. Adapun, Pasal 1371 ayat
(2) KUHPer menyatakan untuk mengganti kerugian dapat
dipertimbangkan didasarkan kedudukan, kemampuan masing-masing
dan menurut keadaan. Dengan demikian pasal 1372 ayat (2) KUHPer
tersebut dapat dikatakan berlaku untuk ganti rugi dalam PMH
dengan melakuan penilaian ganti rugi dengan memperhatikan
kondisi-kondisi dimaksud.
Adapun asas pertanggungjawaban yang didasarkan atas
kesalahan (fault) sebagaimana yang termaktub dalam pasal 1365 dan
1366 KUHPer disandarkan pada prinsip tiada ada
pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan atau dikenal sebagai
Tortious Liability atau Liability Based on Fault.22 Sebagai pihak
yang menuntut akan suatu ganti rugi, maka pihak itulah yang wajib
untuk membuktikan adanya unsur kesalahan yang terjadi, sehingga
dengan demikian penggugat memiliki beban pembuktian. Hal
tersebut sesuai dengan yang ditentukan oleh Pasal 1865 KUHPer
yang menyatakan bahwa barang siapa yang mendalilkan bahwasanya
ia memiliki hak ataupun untuk menegakkan haknya maupun
menentang hak orang lain, menuduh suatu peristiwa, maka orang
tersebut wajib membuktikan hal yang didalilkannya tersebut tentang
adanya hak atau suatu peristiwa tersebut.23 Ketentuan mengenai
PMH bertujuan untuk melindungi serta memberikan ganti rugi

21
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003), hlm. 12.
22
Andria Luhur Prakoso, Prinsip Pertanggungjawaban Perdata Dalam Perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang0-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Prosiding Seminar Nasional “Tanggung
Jawab Pelaku Bisnis dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”,
<https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/9457/16.%20Andria%20Luhur
%20Prakosa.pdf?sequence=1&isAllowed=y>, diakses pada 25 Mei 2020.
23
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ps. 1865.

11
kepada pihak yang dirugikan.24 Sebagai contoh dalam korporasi,
secara umum yang tanggung jawab korporasi pada PMH ada pada
orang yang dianggap mewakili korporasi tersebut bisa pengurus atau
anggota dari pengurus tersebut, dan biasanya hal tersebut
dicantumkan dalam Anggaran Dasar sebagai sebuah badan hukum.25

1.2. Pertanggungjawaban Karena Adanya Prinsip Strict Liability


UU PLH menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability). UU PPLH menganut asas atau doktrin
pertanggungjawaban mutlak yang termaktub dalam Pasal 88 UU
PPLH bahwa tanggung jawab mutlak terjadi untuk setiap tindakan
yang mengolah limbah B3, yang menimbulkan ancaman atas
lingkungan, tanpa harus membuktikan adanya kesalahan. 26 Asas
strict liability ini merupakan doktrin tentang pertanggungjawaban di
sektor lingkungan hidup dimana tanggung jawab ada seketika dan
tanpa perlu didasarkan atas adanya suatu kesalahan dulu. Strict
liability ini ada pada kegiatan tertentu yaitu pada kelompok
extrahazardous atau abnormally dangerous sehingga segala kerugian
yang muncul walaupun subyek telah menjalankan kegiatannya
dengan berhati-hati dan mencegahnya, ataupun dilakukan tanpa
unsur kesengajaan, wajib bertanggung jawab. Atas hal tersebut,
beban pembuktian jadi tidak ada di penggugat dan tergugat menjadi
pihak yang harus membuktikan perbuatan atau tindakannya tidak
merusak atau pun mencemari lingkungan (pembuktian terbalik).27
Strict liability yakni tanggung jawab yang dididasarkan unsur
kesalahan yang tidak memerlukan upaya pembuktian oleh pihak
penggugat yang digunakan sebagai dasar pembayaran ganti rugi.

24
Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2001), hlm. 12.
25
Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit Vorkink Van
Hoeve, 1959), hlm. 22.
26
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
27
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), hlm. 209-211.

12
Pengaturan ini sebagai asas lex specialis terkait gugatan pembuatan
melawan hukum. Mengenai besarnya jumlah ganti rugi yang
dibayarkan dapat ditetapkan dengan batas tertentu. “Batas tertentu”
berarti jika menurut peraturan perundang-undangan diatur suatu
keharusan asuransi terhadap usaha ataupun kegiatan atau telah
menyediakan dana lingkungan hidup.
Unsur tanggung jawab mutlak sebagaimana dalam Pasal 88
UU PPLH yaitu:
1) Tindakan, usaha, atau kegiatan menggunakan B3, menghasilkan
atau mengelola limbah B3.
Terkait B3 dan limbah B3 ini telah diatur secara tegas dan jelas
dalam UU PLH, dimana untuk B3 dan limbah B3 ini akan
memerlukan izin, sehingga tidak sulit mencari pelaku tanggung
jawab mutlak yang tindakan, usaha atau kegiatannya
menggunakan B3 dan limbah B3. Menurut Pasal 58 dan Pasal 59
UU PPLH, pengelolaan B3 dan pengelolaan limbah B3 ini wajib
dilakukan. Pengelolaan limbah B3 wajib tersebut harus mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
2) Tindakan, usaha, atau kegiatan menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup.
Unsur ancaman serius hanya diterangkan dalam pasal 1 angka 34
sebagai ancaman yang memiliki dampak yang luas pada
lingkungan dan memunculkan keresahan masyarakat, yang mana
definisi tersebut masih abstrak dan dapat berbeda-beda
pandangan masing-masing orang, sehingga pada unsur ini,
permintaan ganti rugi dengan pertanggungjawaban mutlak akan
belum tentu dapat diterapkan dalam semua kasus karena tidak
memiliki standar yang sama. Namun, pembuktian dengan
pertanggungan jawab mutlak (strict liability) dapat juga
ditentukan dengan adanya persyaratan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Amdal) untuk suatu usaha ataupun
kegiatan. Persyaratan Amdal pada suatu usaha atau pun kegiatan

13
menunjukkan usaha tersebut mempunyai resiko akan ancaman
serius terhadap lingkungan.28 Usaha atau kegiatan yang
berdampak penting bagi lingkungan hidup wajib mempunyai
Amdal. Kriteria “dampak penting” tersebut memiliki definisi
yang mendekati “ancaman yang berdampak luas” berdasarkan
pasal 22 ayat (2) yaitu melalui jumlah penduduk yang akan
terkena; luas wilayah penyebaran; intensitas dan lamanya;
banyaknya komponen lingkungan hidup lain; sifat kumulatif;
keberbalikan dampak; dan kriteria lain sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Implementasi di Indonesia untuk Pertanggungjawaban Perdata
terhadap Tindakan Pencemaran dan/ atau Perusakan Pada
Lingkungan
Pertanggungjawaban perdata bagi pencemar lingkungan pada
peraturan normatif di Indonesia diatur dalam Pasal 87 ayat (1) UU PPLH
yang menyatakan bahwa setiap pelaku lerusakan/pencemaran lingkungan
yang menimbulkan kerugian, mereka wajib membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan sesuatu untuk memperbaikinya. Peraturan tersebut
merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPer tentang ganti kerugian.
Pertanggungjawaban ganti rugi dalam penegakan hukum perdata bagi
perusak dan/atau pencemar lingkungan menggunakan konsep diamana
beban kerugian lingkungan hidup ditanggung oleh suatu korporasi atau
badan hukum atau perorangan yang melakukan perusakan/pencemaran
lingkungan dengan dikenakan tanggung jawab mutlak (strict liability)
sesuai dengan ketentuan Pasal 88 UU PPLH. Prinsip pertanggungjawaban
strict liability kemudian dipertegas kembali tidak hanya berdasarkan
ketentuan Pasal 88 UU PPLH, tetapi terdapat juga pada ketentuan Pasal 51
ayat (1) PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan
dan Lahan dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36/
KMA.SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara
28
Prim Haryadi, Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Pengeakan Hukum
Perdata di Indonesia, “Jurnal Konstitusi”, Vol. 14, No. 1, Maret 2017, hlm. 140.

14
Lingkungan Hidup Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Untuk
penentuan besaran ganti rugi pada kasus kerusakan/pencemaran
lingkungan berpedoman pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7
Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.29
Strict Liability mulai dikenalkan di Indonesia pertama kali dengan
adanya ratifikasi Civil Liability Convention for Oil Polluttion Damage
pada tahun 1969. Penerapan strict liability pertama kali digunakan pada
tahun 2003 pada Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg.
Penggunaan strict liability dalam pengadilan selanjutnya pada Putusan PN
Jakarta Selatan No. 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel yang menghukum
sebuah perusahaan dengan ganti rugi mencapai Rp 466 miliar. Didalam
Putusan PN Jakarta Selatan No. 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel terdapat
gugatan penggugat dengan registrasi Nomor 456/Pdt.G-
LH/2016/PN.Jkt.Sel tertanggal 18 Juli 2016 yang salah satu dalilnya
bahwa penggugat mengajukan gugatan dengan PMH. Gugatan tersebut
menjabarkan bukti-bukti yang ada yaitu dengan penjabaran pembuktian
serta fakta-fakta tentang terjadinya kebakaran di area lahan perkebunan
kelapa sawit milik tergugat guna membuktikan bahwa tergugat telah
melakukan PMH dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh
peraturan normatif yang berlaku peraturan dan tergugat tidak melakukan
atau melalaikan kewajiban hukumnya. Namun pada gugatan tersebut juga
terdapat dalil yang disebutkan oleh penggugat bahwa tergugat harus
bertanggung jawab secara mutlak atas kebakaran yang telah terjadi karena
telah menimbulkan kerugian.30
Di Indonesia, gugatan strict liability dianggap sebagai bagian dari
gugatan PMH dapat dilihat pada kasus dalam Putusan PN Jakarta Selatan
No. 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel yang telah dijabarkan. Gugatan strict
liability dalam kasus kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan masuk
29
Muhammad Akbar Eka, Pertanggungjawaban Perdata Korporasi Dalam Perlindungan
dan Pengellaan Lingkngan Hidup Komparasi Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kasus:
Kebakaran Hutan dan Lahan PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten Kepulauan Meranti,
Provinsi Riau), “Jurnal Al-Mazahib”, Vol. 7 No. 2, 2019, hlm. 153-153.
30
Putusan PN Jakarta Selatan No. 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel

15
secara bersamaan dengan gugatan PMH. Di dalam beberapa kasus,
penggugat menyertakan bukti dengan unsur-unsur PMH guna
membuktikan tergugat harus bertanggungjawab berdasarkan adanya unsur
PMH tersebut.31 Di sisi lain, strict liability di Indonesia juga dipandang
sebagai pertanggungjawaban di mana unsur kesalahan tergugat telah
terbukti dan karena adanya kesalahan ini tergugat dinyatakan bertanggung
jawab. Sehingga strict liability di Indonesia dalam melakukan tanggung
jawab masih didasarkan pada adanya unsur kesalahan, tetapi unsur
kesalahan tersebut dianggap telah terbukti dan tidak perlu dibuktikan oleh
penggugat sehingga munculah pembuktian terbalik atas kesalahan yang
harus dibuktikan oleh tergugat. Prinsip strict liability dalam perkembangan
undang-undang lingkungan hidup di Indonesia, dapat dipahami bahwa
penanggung jawab atau pengelola kegiatan di bidang lingkungan hidup
dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi dan/aatau
bentuk tanggung jawab lain apabila mereka dapat membuktikan bahwa
kerusakan lingkungan yang tejadi bukanlah akibat perbuatannya dengan
alasan hal-hal yang termasuk dalam alasan pemaaf (defences).32
Keberadaan konsep strict liability dalam Pasal 88 UU PPLH dirasa
belum dapat diterapkan secara maksimal, karena konsep strict liability
tersebut tidak sesuai dengan sistem hukum acara perdata dalam hal
pembuktian yang terdapat pada Pasal 1865 KUHPer yang menyatakan
bahwa siapa saja yang mendalilkan suatu hak, maka pihak tersebut wajib
membuktikan adanya dalilnya tersebut. Hal ini apabila dibawa kedalam
kasus gugatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan berarti bahwa
penggugat yang mendalilkan suatu gugatan pencemaran lingkungan
diwajibkan untuk membuktikan telah terjadi adanya pencemaran
lingkungan yang mengakibatkan kerugian, selain itu penggugat harus
membuktikan adanya unsur kesalahan si pelaku dalam pencemaran

31
Andri G. Wibisana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban
Perdata, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017), hlm. 113.
32
Andria Luhur Prakoso, Prinsip Pertanggungjawaban Perdata…

16
dan/atau perusakan lingkungan tersebut. Jika unsur kesalahan tidak dapat
dibuktikan gugatan ganti kerugian tidak dapat dikabulkan.33
Bukan hanya persoalan beban pembuktian yang menjadi masalah
dalam penerapan konsep strict liability di Indonesia, akan tetapi penerapan
strict liability juga belum dapat digunakan secara maksimal karena
ketentuan dalam Pasal 88 UU PPLH telah membatasi penggunaan strict
liability hanya dapat digunakan hal tertentu saja yaitu hanya terhadap
pencemaran dan/atau pengerusakan lingkungan yang menggunakan bahan
dan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, jika terjadi
perbuatan merusak dan/atau mencemari lingkungan di luar penggunaan
bahan dan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun maka
upaya hukum yang harus digunakan berpaling kepada Pasal 1365 KUHPer
mengenai persyaratan terjadinya PMH, seperti adanya kesalahan (schuld)
sehingga harus menggunakan konsep liability based on fault. Padahal
dalam fakta yang terjadi di lapangan, pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan tidak hanya menyangkut pada penggunaan bahan berbahaya
dan beracun saja. Sekecil apapun pencemaran dan/atau pengerusakan
lingkungan dengan cara apapun pasti akan berdampak pada berkurangnya
kualitas lingkungan yang dirusak yang akan berdampak pada
keberlangsungan hidup manusia karena lingkungan sebagai penunjang
kehidupan manusia di bumi ini.
Strict liability sebenarnya merupakan suatu konsep tanggung jawab
dengan prinsip yang sederhana dan untuk pembuktiannya tergolong
mudah. Semestinya penerapan strict liability digunakan sebagai cara untuk
menyelesaikan kasus-kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang yang dimungkinkan menimbulkan dampak yang begitu luas
sehingga kasus-kasus tersebut dapat diselesaikan dengan mudah dan tidak
berlarut-larut karena strict liability merupakan konsep
pertanggungjawaban perdata yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan
yang dilakukan tergugat yang harus dibuktikan penggugat. Hal ini
dikarenakan bila dibandingkan dengan prinsip liability based on fault
33
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 204-205.

17
memerlukan proses pengumpulan data serta penggunaan teknologi dan
penelitian yang sangat pelik dan rumit, sehingga juga membutuhkan biaya
yang tidak sedikit dan efisien serta waktu yang cenderung lebih lama dan
tidak efektif. Selain itu, dirasa tidak adil bila korban pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan yang harus menyelesaikan kasus-kasus pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup padahal mereka sebagai korban yang
sudah dirugikan. Andri G. Wibisana mengatakan bahwa di dalam strict
liability, seseorang harus bertanggung jawab pada saat kerugian timbul,
yang berarti strict liability akan memaksa para potential polluter dari
perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitas terkait lingkungan harus
lebih memperhatikan level of care dan level of activity karena bila terjadi
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan secara otomatis pihak yang
melakukan hal tersebut akan langsung terjerat pertanggungjawabannya
tanpa harus para pihak yang dirugikan membuktikan adanya hubungan
kausal antara kerugiannya dengan tindakan individu tergugat.34
Ketentuan tentang strict liability dalam UU PPLH merupakan hal
yang berbenturan dengan Pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan
melanggar hukum yang merupakan sumber asalnya pertanggungjawaban.
Kedua prinsip tanggung jawab antara liability based on fault dan strict
liability yang dianut dalam hukum perlindungan lingkungan hidup
menimbulkan kebingungan dalam menentukan mengenai
pertanggungjawaban untuk melakukan gugatan ganti rugi karena dalam
praktiknya kedua prinsip tanggung jawab tersebut memerlukan adanya
gugatan PMH yang harus turut disertakan. Menurut Mas Ahmad Santosa
strict liability digunakan apabila setiap kegiatan atau aktivitas yang
mengandung bahaya dan resiko mengakibatkan kerugian bagi orang lain
dan tidak diperlukan pembuktian apakah pihak yang mengakibatkan
kerugian tersebut telah bertindak hati-hati (standard of care). Strict
liability pun dapat dikatakan memiliki kedudukan lex specialis bila
dibandingkan dengan liability based on fault yang ada pada KUHPer,
sehingga sudah selayaknya bila penegakan hukum terkait

34
Andria Luhur Prakoso, Prinsip Pertanggungjawaban Perdata…

18
pertangggungjawaban kasus pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan
dapat menggunakan gugatan strict liability saja tanpa adanya
persinggungan atau bertabrakan dengan prinsip liability based on fault
dengan turut disertakannya gugatan PMH.35
C. PENUTUP
Di bidang lingkungan hidup dengan pertanggungjawaban perdata
dalam bentuk mengganti kerugian yang dikarenakan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang telah dilakukan dapat dimintakan
pertanggung jawaban karena adanya PMH yang terjadi maupun dengan
menggunakan prinsip strict liability. Namun ada perbedaan prinsip antara
KUHPer dan UU PPLH dalam hal pertanggungjawaban di ranah perdata.
KUHPer menganut prinsip tanggung jawab karena adanya unsur kesalahan
atau liability based on fault dengan adanya PMH yang dilakukan sautu pihak.
Sedangkan UU PPLH menganut prinsip tanggung jawab mutlak atau strict
liability. Dalam penerapan strict liability Pasal 88 UU PPLH dirasa belum
dapat memenuhi tujuan utama dari prinsip tersebut, hal ini dikarenakan prinsip
strict liability yang sesuai dengan Pasal 88 UU PPLH hanya dimungkingkan
untuk berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang
tejadi karena adanya bahan yang mengandung limbah B3 yang berpotensi
terjadinya kerusakan parah. Padahal pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan walaupun kecil dan tidak terlihat parah pasti akan memiliki
dampak terhadap berkurangnya kualitas lingkungan yang akan berpengaruh
pada terganggunya kehidupan manusia. Oleh karena itu seharusnya ruang
lingkup strict liability yang diatur didalam UU PPLH perlu diperluas lagi
tidak sekedar pencemaran dan/atau pengerusakan lingkungan yang
mengandung limbah B3, tetapi unsur pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan lain yang telah dikaji lebih lanjut dengan melihat fakta realita yang
terjadi di masyarakat sehingga tidak perlu lagi mencari dasar hukum lain
seperti melihat Pasal 1365 KUHPer hanya perlu melihat UU PPLH dan
langsung menerapkan prinsip strict liability.

35
Ibid.

19
Selain permasalahan ruang lingkup yang diatur dalam UU PPLH,
penerapan strict liability untukmenegakkan hukum lingkungan di Indonesia
juga dirasa belum efektif karena dalam mengajukan gugatan ganti kerugiannya
masih didasarkan dengan dalil PMH. Hal ini mungkin terjadi karena kurang
luasnya ruang lingkup pembahasan strict liability yang ada pada UU PPLH
sehingga dalam pembuktiannya pengenaan sanksi perdata pada pelaku
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan masih menggunakan sistem
pembuktian Pasal 1865 KUHPer sehingga memerlukan unsur kesalahan untuk
dapat membuktikan PMH dengan pihak penggugat yang diwajibkan untuk
membuktikan dalilnya agar gugatan dapat dikabulkan di pengadilan. Efektinya
strict liability yang diterpakan di Indonesia seharusnya tidak lagi memerlukan
unsur PMH sebagai faktor penentu untuk adanya pertanggungjawaban
sehingga tidak menjadikan kesalahan sebagai syarat mutlak untuk menerapkan
sanksi ganti rugi. Hal ini dilakukan agar tergugat tetap terikat
pertanggungjawaban meskipun ketika tergugat berhasil membuktikan bahwa
dirinya tidak melakukan kesalahan sesuai dengan peraturan yang berlaku
meskipun sangat jelas tergugat tersebut melakukan tindakan perusakan
dan/atau pencemaran lingkungan dan perbuatannya tidak memiliki unsur yang
dapat dimaafkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003.
Akib, Muhammad. Politik Hukum Lingkungan – Dinamika dan Refleksinya
Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2013.
Danusaputra, Munadjat. Hukum Lingkungan, Bandung: Binacipta, 1985.
Djojodirjo, M. A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta : Pradnya
Paramita, 1979.
Erwin, Muhammad. Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama, 2009.
Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2005.
Ibrahim, Johny. Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyu Media, 2008.
Komariah. Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah, 2001.
Machmud, Syahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.
Projodikoro, Wiryono. Azas-azas Hukum Perdata, Bandung: Penerbit Vorkink
Van Hoeve, 1959.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2006.
Siahaan, NHT. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta:
Erlangga: 2004.

21
Soemartono, Gatot P. Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
1996.
Soesilo dan Pramudji R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Surabaya:
Rhedbook Publisher, 2008.
Suherman, E. Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan
Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan
Karangan), Bandung: Alumni, 1979.
Wardah, Sri dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan
perkembanganya di Indonesia, Yogyakarta: gama Media, 2007.
Wibisana, Andri G. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui
Pertanggungjawaban Perdata, Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2017.

B. JURNAL
Eka, Muhammad Akbar. “Pertanggungjawaban Perdata Korporasi Dalam
Perlindungan dan Pengellaan Lingkngan Hidup Komparasi Hukum
Positif dan Hukum Islam (Studi Kasus: Kebakaran Hutan dan Lahan
PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten Kepulauan Meranti,
Provinsi Riau)”, Jurnal Al-Mazahib, Vol. 7 No. 2, 2019, hlm. 153-153.
Haryadi, Prim. “Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui
Pengeakan Hukum Perdata di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 14,
No. 1, Maret 2017, hlm. 140.
Usman, Abdurahman Supardi “Lingkungan Hidup Sebagai Subjek Hukum:
Redefinisi Relasi Hak Asasi Manusia Dan Hak Asasi Lingkungan
Hidup Dalam Perspektif Negara Hukum”, Legality, Vol.26 No.1,
Maret 2018-Agustus 2018, hlm. 3

C. INTERNET
Elnizar, Normand Edwin. “Strict Liability, Jurus Ampuh Hukum Lingkungan
Menjerat Korporasi Tanpa Buktikan Unsur Kesalahan”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5aa77cdf71ead/strictliabil

22
ity--jurus-ampuh-hukum-lingkungan-menjerat-korporasi-tanpa-
buktikan-unsur-kesalahan/. Diakses 4 Juni 2020.
Pradana, Muhammad Akbar Eka. “Pertanggungjawaban Perdata Korporasi
Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Komparasi
Hukum Positif Dan Hukum Islam (Studi Kasus: Kebakaran Hutan dan
Lahan PT. National Sago Prima (NSP) di Kabupaten Kepulauan
Meranti, Provinsi Riau), hlm. 47, file:///C:/Users/Yoga
%20520/Downloads/1881-4056-1-SM.pdf. Diakses 25 Mei 2020
Prakoso, Andria Luhur. “Prinsip Pertanggungjawaban Perdata Dalam
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang0-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup”, Prosiding Seminar Nasional “Tanggung Jawab
Pelaku Bisnis dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”,
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/9457/16.%20
Andria%20Luhur%20Prakosa.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Diakses
25 Mei 2020.

D. PERATURAN DAN PUTUSAN


Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009,
TLN No. 5059.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Putusan PN Jakarta Selatan No. 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel

23

Anda mungkin juga menyukai